Davin cepat-cepat turun dari atas tubuh Kaori lalu bangkit dan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Kaori pun langsung bangkit dan berdiri di sebelah Davin dengan salah tingkah. Dia menginjak kaki Davin dan menekannya kuat sampai-sampai Davin meringis kesakitan, tapi Kaori tak menghiraukannya.
"Eh, Mama sama Mami dateng!" seru Kaori dan menghampiri keduanya. Dia menoleh sesaat ke arah Davin dan melotot.
"Kamu udah sembuh, Ri?" tanya Kintan.
"Udah, sih. Cuma agak lemas aja, Mi."
"Oh, gitu. Kamu nggak kerja, Dav?"
Davin mendekat seraya menjawab, "Enggak, Mi. Mau di rumah aja jagain Kaori. Kasihan kalo ditinggal sendirian."
Kaori menyipitkan mata dan tersenyum. "Mama sama Mami dari mana?"
"Tadi habis nyalon. Jadi, sebelum pulang, kami mampir dulu ke sini lihat kamu. Kan kemarin sakit. Tapi, Alhamdulillah kalo kamu udah merasa lebih baik sekarang,
**Hasil perjuangan nulis setelah drama bocil yang membagongkan. Selamat membaca gais! *** Kaori membuka mata ketika merasakan suhu kamarnya meningkat. Bukan hanya menjadi pengap, sekelilingnya pun berubah gelap gulita. Mati lampu? Sekarang jam berapa? Kaori pun perlahan bangkit dan mencari ponselnya di sekitar kasur. Seingatnya, tadi sehabis mandi sore, dia menaruhnya di atas bantal. "Mana, sih?" cetusnya kesal. Akhirnya, Kaori pun beranjak dari sana lalu berjalan sambil meraba-raba untuk mencari pintu. Di luar, sepertinya hujan sangat deras dan sesekali terdengar suara petir menyambar. Mungkin itulah sebabnya ada pemadaman listrik. "Pintunya mana lagi?" Kaori meraba dinding dan belum juga menemukan di mana pintu kamarnya berada. Davin mana, ya? Apa dia di rumah? Soalnya, seingat Kaori, tadi sehabis makan siang di
Setelah semalaman tidur dalam keadaan gelap gulita dan digigiti nyamuk, akhirnya pada jam tujuh pagi listrik sudah kembali menyala. Saat itu, Kaori belum sepenuhnya bangun, dia masih rebahan di ranjang sambil memeluk guling. Kaori masih belum ingat kalau dia sedang berada di kamar Davin sampai pria itu keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk. Kaori mengendus ketika mencium aroma cologne yang segar dan manis, namun matanya belum membuka sepenuhnya lantaran silau akan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela kaca yang terbuka lebar. Selain mencium aroma yang mencurigakan, Kaori juga mendengar ada suara seseorang sedang bernyanyi kecil, juga suara lemari dibuka dan ditutup. Kaori kemudian membuka matanya lebar-lebar dan terkejut begitu melihat Davin berdiri di depannya dengan bertelanjang dada. Cowok itu bahkan sedang memegang underwear berwarna hitam ketika mereka saling menatap. "Lo ngapain?!" teriak Kaori lantang, seolah-olah nyawanya s
Rasa benci bisa membuat seseorang menjadi egois. Tetapi, rupanya selain itu bisa juga membuat seseorang merasa gelisah tak menentu, persis seperti yang sedang Kaori rasakan. Kaori benci Davin, kata hatinya. Namun, di sisi lain, dia marah jika Davin mengacuhkannya. Paham, nggak? Enggak, kan? Sama, Kaori juga nggak paham. Kenapa tiba-tiba dia jadi merasa seperti istri yang tersakiti, sih? Kaori nggak suka kalau Davin lebih akrab dengan Putri, ya walaupun si Putri itu sahabatnya. Lagian, Putri juga keterlaluan deh. Dia ke sini kan buat ketemu Kaori, kenapa malah jadi berduaan sama Davin di dapur? Ngapaaaaain coba? Bener-bener ya tuh anak! Minta disentil ulu hatinya. "Ri! Makan, yuk!" Pintu kamarnya membuka dan menampilkan sosok Putri yang wajahnya berbinar-binar. "Lo ngapain sih deket-deket sama si Keong Racun? Lo pasti udah diracuni sama dia," cetus Kaori, belum mau beranjak dari ranjan
🌼 Jika ada yang mengatakan masa SMA adalah masa yang paling indah, mungkin ada benarnya. Di mana saat itu, jatuh cinta adalah hal yang paling indah. Seperti yang orang-orang bilang, berjuta rasanya. Dan ya, itulah yang Kaori rasakan saat itu. Dia jatuh hati pada seorang cowok berjambul dengan wajah manis yang tak bosan-bosan dipandang. Awal mula hati itu terpanah adalah ketika di suatu hari yang panas terik, di tengah lapangan saat jam olahraga berlangsung, cowok itu datang dan menawarkannya sebotol minuman. Dia tersenyum manis sekali, membuat remaja perempuan di sekitar mereka meleleh dan salah tingkah. Namun, tidak dengan Kaori. Dia membeku, seiring jantungnya yang berdetak kencang seperti pacuan kuda. Kaori
Kaori sedang memasak ketika Davin masuk ke dapur sambil bersiul. Serta merta, Kaori langsung mengacungkan sutil ke arah pria itu, sampai-sampai Davin melonjak kaget."Woi! Apaan, nih?!"Kaori mengerling. "Awas aja kalo lo macem-macem sama gue!"Tahu apa yang dimaksud Kaori, Davin tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. "Biasa aja, kali. Yang kemarin itu gue khilaf. Habis nyium lo gue mual-mual, asal lo tau."Mulut Kaori terbuka lebar mendengar ucapan kurang ajar tersebut. "Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Lo pikir mulut gue sampah?"Davin terkekeh-kekeh, tak peduli dengan reaksi Kaori tersebut. Rasanya tuh, senang aja bisa bikin Kaori marah-marah."Jadi, gimana? Lo udah beneran sehat? Kapan mulai kerja?""Besok," jawab Kaori acuh tak acuh. Dia kembali memasak udang saus favoritnya."Gue kan nggak bisa makan udang. Ngapain lo masak itu?""Ya iyalaaaah, gue yang mau makan iniii.""Terus, gue makan apaan, Saya
*Loh, udah bab segini mereka masih musuhan juga? Kapan mesranya??? Entar, pas ending wkwkkwkwwmkw*kabor****"Oi, Nyet! Ngapain aja, sih? Gue udah nungguin lo lebih dari dua jam nih."Davin menggerutu sambil bolak-balik melihat jam di ponselnya. Ah, kalau cewek udah dandan, pasti ujung-ujungnya ngaret."Kaoriiii?" panggil Davin untuk kesekian kalinya.Pintu kamar Kaori membuka dan sosoknya yang dibalut dress berwarna cokelat susu sebatas lutut pun muncul. Sesaat, Davin terpana. Kaori benar-benar bersinar malam itu. Cantiknya keterlaluan. Tapi, sayang...."Apaan, sih?! Nggak sabaran banget jadi orang! Gue tuh lagi siap-siap, tauk!"Dia galak."Tapi, jangan pake lama juga dong, Beb. Gue udah laper! Dari pagi cuma dikasih makan ati doang ini."Mata Kaori menyipit dan bibirnya mencebik. "Ya udah, yuk!" ajaknya ke
*Tamatnya diundur beberapa bab lagi. Tetap pantauuu yaaaa wkwkwkwk***Setibanya di rumah, Davin langsung merebahkan tubuhnya ke sofa dan memejamkan matanya, menahan sakit karena perih di wajahnya. Beberapa bagian tubuhnya pun juga sakit, akibat dipukuli bertubi-tubi oleh salah seorang teman Kafka.Setiap kali dia membayangkan bagaimana Kafka mencium Kaori, darahnya kembali mendidih."Dav, tunggu di sini, ya. Biar gue ambilin obat." Kaori hendak melangkah namun Davin melarangnya."Nggak perlu. Gue nggak pa-pa.""Nggak pa-pa gimana? Muka lo babak belur gitu! Udah deh, nggak usah ngajak ribut! Tunggu bentar!" Kaori langsung berjalan cepat mengambil kotak P3K yang ada di lemari dapur."Sini, biar gue obatin," ucap Kaori sekembalinya dia dari dapur. Dikeluarkannya satu buah obat merah dan tisu basah.Davin menurut saja. Dibiarkannya Kaori membersihkan lukanya."Sampe babak belur gini. Sori, ya, Dav... ini semua gara-gara gue
Beberapa jam setelah ciuman panas itu, Kaori tidak menampakkan batang hidungnya, sehingga itu membuat Davin galau. Dia takut kalau Kaori semakin muak dan membencinya.Bagaimana kalau Kaori benar-benar marah padanya? Tapi, mengingat apa yang tadi terjadi, Davin mulai bertanya-tanya. Kenapa Kaori membalas ciumannya? Jika memang begitu, seharusnya Kaori tidak perlu marah karena dia sendiri juga mau, bukan?Tapi, masa sih Davin diam saja setelah kejadian tadi?Maka dari itu, di sinilah Davin sekarang, berdiri di depan pintu kamar Kaori, berniat meminta maaf padanya. Walau bagaimanapun juga, dialah yang memulainya.Dengan pelan, diketuknya pintu itu. Beberapa kali, sampai Kaori membukanya. Awalnya, mereka saling tatap sejenak, disertai wajah yang sama-sama merona merah.“Gampar gue, Ri!” seru Davin kemudian.Kaori terkesiap. Apa-apaan sih nih orang, datang-datang mi
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag
"Mama sakit apa, Ma? Kok baru bilang sama Kaori kalau Mama lagi sakit?" Kaori duduk di sisi ranjang ibunya dan menangis."Kolesterol Mama kemarin tinggi, Ri. Tapi, sekarang udah nggak lagi, kok. Kamu ngapain malam-malam ke sini? Pasti disuruh papa, ya?"Kaori berhenti menangis lalu menggenggam jemari ibunya yang mulai keriput meski wajahnya masih menawan."Maaf, ya, Ma, belakangan ini Kaori sibuk kerja dan jarang ke sini. Kaori jarang perhatiin Mama dan Papa.""Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ri? Kamu kan sekarang udah jadi seorang istri, kamu harus lebih memprioritaskan suami kamu.""Tapi, kalau lihat Mama sakit gini, Kaori nggak tega. Rasanya nggak mau jauh-jauh dari Mama.""Namanya Mama ini sudah tua, Ri. Ya wajarlah kalau sakit-sakit sedikit.""Mana pasti makannya sembarangan, ya? Kaori kan udah bilang, jangan sering makan-makanan yang mengandung koleste
Cafe milik Evan terlihat ramai selama lima bulan terakhir ini. Setelah melakukan renovasi dan menambah beberapa menu baru seperti yang disarankan Kaori, cafe ini menunjukkan kemajuan yang signifikan. Evan benar-benar berterima kasih pada Kaori karena sudah membawa angin segar untuk cafenya yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu itu."Ri, thanks, ya? Gara-gara lo cafe gue jadi rame lagi, hehehe," kata Evan dengan wajah sumringah. "Gue juga udah naikin gaji kalian. Nih, gaji lo bulan ini!" Evan mengangsurkan sebuah amplop pada Kaori.Namun, seperti biasanya, Kaori justru mengembalikan amplop berisi upahnya itu ke hadapan Evan."Gue titip buat Sista, ya? Tapi seperti biasa, jangan bilang kalo itu dari gue.""Ri, sejak lo kerja sama gue, lo nggak pernah mau terima gaji dari gue. Lagian, lo kok baik banget sih sama Sista?"Apa yang dikatakan Evan, benar adanya. Sudah hampir setengah tahun
Kaori sedang mengambil minum di dapur ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Ditaruhnya cangkir yang sudah kosong ke atas meja makan lalu dia berjalan menuju pintu sambil mengira-ngira siapa yang datang.Itu pasti Davin, siapa lagi, pikirnya."Davin?" seru Kaori, memastikan. Namun anehnya tidak ada jawaban.Kaori mulai deg-degan, apalagi mengingat obrolannya dan Davin beberapa saat yang lalu di telepon. Mana Davin sempat menakut-nakutinya pula.Meskipun tidak ada jawaban, pintu itu masih diketuk dari luar. Kali ini agak keras dan tidak sabaran."Davin, itu elo, kan?!" tanya Kaori dengan nada tinggi sambil menempelkan telinganya ke pintu.Kok nggak ada yang jawab, sih? Jangan-jangan....Maling?Tapi, mana ada maling yang ngetuk pintu targetnya sebelum ngerampok.Ini pasti....Kaori memberanikan diri untuk mengintip ke luar melalui jendela kaca di sisi pintu. Di depan pagar rumahnya tampak ada sebuah gerobak baks