Hidup Azwa dan Aufal kembali normal. Mereka menikmati peran barunya sebagai orang tua. Akhir Februari, Aufal memboyong keluarga kecilnya ke rumah Bunda Nawa. Tepat setelah Azwa menyelesaikan revisi sempro dan sudah mendapatkan acc dari dosen pembimbingnya. Begitu sampai di Semarang, dia langsung melakukan penelitian sesuai saran ibunya. Tidak mudah baginya mengerjakan skripsi sekaligus mengurus anak. Azwa harus bisa membagi waktu dengan adil antara penelitian, menyusun skripsi, dan anak. Berkali-kali pula dia ingin menyerah. Untungnya, ada Bunda Nawa yang membantunya mengurus Wafa. Selain itu, ada Mama Erina yang berprofesi sebagai dosen juga turut membantu dalam penyusunan skripsi meski dengan jurusan yang berbeda. Tak lupa, Aufal yang senantiasa memberikan semangat dan energi positif untuknya. Pria itu semenjak ada Wafa menjadi lebih sering pulang, yakni dua minggu sekali setiap weekend. Hingga beberapa bulan kemudian, Azwa berhasil menyelesaikan skripsinya dengan sempurna. Se
Siang hari sekitar pukul dua, Azwa duduk berdampingan dengan Meyra di salah satu kursi restoran. Mereka sedang menunggu seseorang yang katanya lagi on the way. Azwa menatap sang sahabat yang sedari tadi menekuk wajahnya. “Meyra, udah dong jangan cemberut terus. Aku janji, ini terakhir kalinya aku menemui Nazhan. Oke?” Meyra melengos ke arah lain. Dia masih sangat kesal karena tadi Azwa mengabaikan sarannya agar tidak menemui Nazhan lagi apapun alasannya. “Lebih baik kamu nggak usah temui Nazhan. Bilang aja kamu udah perjalanan pulang ke Semarang,” sarannya beberapa jam lalu. “Tapi, Mey, aku juga sekalian ingin berterus terang tentang pernikahanku mumpung bertemu,” bantah Azwa. “Kan bisa lain kali, Azwa, nggak harus sekarang juga. Apa kamu lupa kalau Kak Aufal berkali-kali melarangmu untuk menemuinya lagi?” “Aku sangat ingat, Meyra. Asal kamu nggak beritahu Mas Ofa, dia nggak akan tau. Lagian kan Nazhan ingin bicara penting. Siapa tau emang penting beneran kan?” “Lebih penting m
“Apa urusan dengan teman itu lebih penting dibanding anakmu?” Bunda Nawa mendudukkan dirinya di kursi ruang tamu.“Dua-duanya penting, Bun.” Azwa mengganti posisi gendong dengan posisi miring. Tangannya menepuk-nepuk pant*t Wafa yang masih rewel meski tak separah tadi.“Emang siapa sih teman yang kamu temui itu?” tanya Bunda Nawa lagi dengan tatapan yang tak lepas dari putrinya.Azwa diam dan tak berani menjawab jujur yang malah semakin membuat sang ibu marah jika tahu Nazhan lah yang ditemuinya. Dia sekarang ini hanya berduaan bersama Bunda Nawa di rumah. Ayahnya masih bekerja, sedangkan sang kakak semenjak menikah sudah tinggal terpisah.“Sepenting apa sih urusanmu itu sampai-sampai mengabaikan anakmu sendiri?” Bunda kembali bertanya ketika tak mendapatkan jawaban.“Adek nggak mengabaikan Wafa, Bun,” elak Azwa. Dia tersenyum membalas tatapan putranya yang mulai tenang.“Lha, buktinya kamu baru pulang sekarang. Kalau urusan kampus udah selesai, langsung pulang. Bukan malah keluyuran
Azwa : [Assalamualaikum, Mas. Besok jadwal Azwa sidang skripsi. Sampai sekarang, Azwa masih berharap Mas bisa datang][Kalaupun nggak bisa, nggak papa. Azwa cuma minta izin sekaligus doa restunya, ya, Mas. Doakan Azwa dari sana semoga bisa lulus dengan nilai memuaskan. Aamiin….]Itu adalah pesan yang Azwa kirim beberapa jam lalu ketika tiba di Surabaya, tepatnya di rumah Papi Kafka. Namun, sayang pesan itu hanya dibaca tanpa dibalas.Bukan hanya pesan itu saja, melainkan pesan sebelumnya pun bernasib sama. Azwa merasa akhir-akhir ini Aufal mendiamkannya. Hal itu terjadi sudah sejak dirinya pulang dari mendaftar sidang hingga sekarang.Entah apa kesalahannya kali ini hingga membuat suaminya kembali bersikap seperti itu. Azwa merasa tidak melakukan apapun yang mengakibatkan Aufal marah. Gara-gara masalah itu, dia menjadi agak kurang fokus mempersiapkan presentasi sidang. Wanita itu selalu kepikiran hingga lebih banyak melamun.Aufal juga menjadi jarang menelpon bahkan jarang pulang. Bi
Diaz tertawa sinis. “Nggak selingkuh, tapi kok ada di lorong kamar hotel. Kamu pikir aku bodoh?”Aufal menghela napas berat. “Aku ke sini karena ada pertemuan sama klien. Kebetulan beliau sedang sakit parah sekarang dan tidak bisa bertemu di kantor.”“Jadi, kami memutuskan yang mendatangi beliau di tempatnya menginap karena besok udah harus terbang ke luar negeri untuk pengobatan,” jelasnya.“Mana ada meeting di kamar hotel? Apalagi sama perempuan ini. Orang lain yang melihat pun pasti akan berpikiran negatif. Kamu jangan membodohiku demi menutupi kesalahanmu, Aufal,” balas Diaz sinis“Beneran, Mas. Aku nggak ada hubungan apapun dengan Sheilla. Dia hanya partner kerjaku. Aku sama dia cuma berhubungan dalam hal pekerjaan, nggak lebih. Azwa pun udah tau tentang itu.”“Semuanya berawal dari partner kerja. Seringnya bertemu cepat atau lambat pasti membentuk hubungan terlarang,” sengit Diaz.“Apa yang dikatakan Aufal benar. Saya tidak ada hubungan apapun dengannya. Anda tidak bisa seenakny
Azwa menatap suaminya sendu. “Apa kehadiran Wafa belum cukup membuktikan perasaan Azwa untuk Mas?” tanyanya balik.Aufal tersenyum miris. “Bisa aja kamu cuma memenuhi kewajibanmu sebagai istri dan ingin memenuhi keinginan Mas yang pengen punya anak. Nggak ada jaminan kehadiran Wafa artinya kamu membalas perasaan Mas, Dek.”“Jujur, Mas capek kita seperti ini terus. Kita suami-istri, tapi seolah hidup masing-masing. Kita juga nggak ada rasa saling percaya. Kalau seperti ini terus, mau jadi seperti apa rumah tangga kita kedepannya, Dek?” ungkapnya.Pria itu menghela napas sejenak. “Mas nyerah, Dek. Mas lelah mencintaimu sendirian dan nggak pernah kamu hargai. Kalau kamu memang ingin bersama masa lalumu dan lebih bahagia bersamanya, silakan. Mas ikhlas melepasmu.”Mata Azwa berkaca-kaca mendengar perkataan Aufal. Dia tertawa sumbang. “Segampang itu Mas menyerah? Mana kata Mas yang akan selalu menunggu Azwa? Semua butuh proses, Mas, begitupun dengan perasaan Azwa.”Aufal lagi-lagi menghela
Azwa ragu untuk menceritakan masalahnya kepada keluarganya apalagi masalah rumah tangga yang katanya tidak boleh diumbar.Namun, dia juga tidak sanggup menanggung sendirian dan butuh pencerahan dari orang-orang terdekatnya.Melihat adik iparnya yang tampak ragu, Adeeva menggenggam tangan Azwa. “Nggak papa cerita kalau memang Adek nggak sanggup menampungnya. Nggak semua masalah bisa Adek pendam sendirian. Ada kami yang siap membantu.”Azwa membalas tatapan Deeva. “Bukankah itu sama aja membongkar aib suami, Mbak? Azwa nggak mau itu terjadi.”“Nggak kalau kamu bercerita apa adanya tanpa menjelekkan nama suami. Ceritalah, Dek. Jika kamu belum siap bercerita sekarang, kami akan menunggumu. Tapi ingat, jangan melakukan tindakan bodoh,” nasehat Deeva.Azwa kembali menunduk sambil menggigit bibir bawah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan keringat dingin. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian menatap kedua orang tuanya. “Adek sama Mas Aufal memang ada masalah….”Azwa akhirnya menceritaka
Azwa berjalan mendekati Eliza dan temannya yang diketahuinya bernama Fiyya. Dia mengenal gadis itu sebab masih satu prodi meski beda kelas. Fiyya juga merupakan teman kos Eliza dahulu sebelum pindah ke kontrakan.“Jadi kamu, El, pelakunya?” tanyanya lirih.“Azwa?” Eliza menoleh ke belakang karena posisinya membelakangi Azwa. Dia cukup terkejut mengetahui ada dua sahabatnya di sini. “Hah? Pelaku apa? Aku nggak ngerti.”“Palaku yang udah membuat beasiswaku dicabut dan menyebarkan rahasia pernikahanku,” balas Azwa dingin.Untuk beberapa detik raut wajah Eliza tampak kaget, tetapi segera dinormalkan kembali. “Kamu nuduh aku, Wa? Mana mungkin aku ngelakuin hal itu. Kamu kan sahabatku.”“Kamu nggak usah mengelak, El. Aku udah dengar semuanya kalau kamulah pelakunya. Kamu sendiri yang mengaku sama dia.” Azwa melirik Fiyya yang entah disadari atau tidak tersenyum miring padanya.Eliza seketika merubah mimik wajahnya menjadi datar. “Oh, jadi kamu udah dengar. Bagus deh biar aku nggak usah pura
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup