Hari ini Azwa telah berhasil melaksanakan seminar proposal skripsinya. Dia dinyatakan lolos ke tahap selanjutnya, yaitu penelitian oleh Bu Aminah selaku dosen penguji. Pak Fazal sebagai dosen pembimbing juga memberikan keringanan kepada Azwa agar melakukan bimbingan secara online mengingat objek penelitiannya ada di Semarang. Kini, Azwa sedang melakukan sesi foto di GU bersama teman-temannya. Mulai dari foto sendirian, bersama beberapa teman sekelas, terakhir bersama kedua sahabatnya. Meyra beberapa kali melihat raut wajah Azwa yang tampak menahan sakit. Meskipun begitu, sahabatnya tetap tersenyum di hadapan mereka. “Kamu nggak papa kan, Wa?” tanyanya khawatir. “Nggak, aku nggak papa.” Azwa mengumbar senyum untuk menenangkan orang lain. Semua teman-temannya sudah pergi dan tersisalah mereka bertiga yang duduk di sofa menunggu jemputan Azwa. Beberapa kali pula Azwa mengusap-usap perutnya yang mengencang disertai dengan tendangan anaknya yang bergerak aktif. ‘Ya Allah, ini
Satu persatu air mata Azwa menetes hingga membentuk aliran deras. Dia menangis. Dadanya terasa sangat sesak. Rasa bersalah menghantam hatinya sangat kuat. “Mas tau kamu belum mencintai Mas. Kamu belum bisa menerima Mas sebagai suami kamu. Setidaknya kamu hargai Mas.” “Mas kerja sepanjang hari demi siapa? Demi kamu, Dek! Tapi di belakang Mas kamu malah bekerja dan berhubungan sama cowok lain. Kamu anggap Mas ini apa? Hah?!” Aufal memegang erat kedua lengan Azwa. “Mas bukan orang lain, Dek. Mas ini suami kamu. Suami kamu!” ujarnya dengan penuh penekanan. “Oh, satu lagi.” Aufal mengambil rekam medis lantas memperlihatkannya kepada Azwa. “Ini apa? Kamu pendarahan sampai opname, tapi lagi-lagi kamu nggak beritahu Mas. Kamu bohong waktu itu. Sebenarnya maumu apa sih?” Azwa mulai terisak pelan. “Maaf….” Aufal mengacak rambutnya frustasi. Masalah kantor belum menemukan titik terang kini ditambah lagi dengan masalah ini. Kepalanya seakan mau meledak sekarang juga. “Kamu bilang, juj
Aufal dan Azwa dikaruniai seorang putra yang lahir pada tanggal 24 Desember pukul 02.20 WIB. Panjangnya 53 cm dengan berat badan 3,5 kg. Persalinan Azwa tergolong lumayan cepat untuk ukuran pertama kali.Aufal tak henti-hentinya mengucap syukur atas kelahiran anaknya. Namun disisi lain, dia juga sangat cemas dengan kondisi Azwa yang belum sadarkan diri. Kini, dia tengah berjalan menuju ruang rawat Azwa setelah sebelumnya dari ruangan dokter. Ucapan dokter barusan masih terngiang-ngiang dalam kepalanya.“Azwa mengalami pendarahan hebat yang mengakibatkan dia kekurangan banyak darah. Butuh perawatan intensif untuk memastikan tidak ada pendarahan lagi.”“Saya tidak bisa memastikan kapan Azwa bisa bangun, tapi yang jelas saat ini tubuh Azwa butuh istirahat total karena kondisinya sangat lemah.”“Kejadian ini benar-benar diluar dugaan. Kita sudah mengatur jadwal melakukan operasi Caesar minggu depan, tapi dedeknya sudah tidak sabar pengen bertemu orang tuanya.”“Sebenarnya masih bisa dil
Oek…oek… oek….Suara tangisan bayi yang sangat kencang memenuhi salah satu ruangan rawat inap VIP. Tangisannya begitu memilukan hingga membuat siapa saja yang mendengar akan merasa tak tega.“Ssst… ssst… tenang, ya. Papa di sini, Nak. Cup cup cup… anak kesayangan Papa sama Bunda jangan nangis, Sayang.” Aufal yang notabenenya ayah dari si bayi berusaha menenangkan sambil mengayun-ayunkan serta menepuk-nepuk pantat kecil debay. Sudah lebih dari 30 menit si kecil menangis, bukannya mereda malah semakin kejer. Sekarang ini pria itu sedang sendirian di kamar inap Azwa. Bunda Nawa dan Mbok Yanti pergi membeli makan siang. Sementara keluarganya yang di Semarang sudah pulang di hari ketiga karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggal.Dedek terus-terusan menangis membuat Aufal semakin kalut dan frustasi. Entah kenapa, hari ini Dedek sangat rewel. Dia benar-benar bingung harus berbuat apa. Biasanya kalau Dedek menangis, lalu ditenangkan sebentar langsung diam, tapi kali beda.Pria yang menge
“Kamu merasa nggak sih kalau Azwa ini menjauh dari kita? Sejak udah menikah, apalagi waktu hamil.”“Hah? Masa sih? Nggak ah. Azwa nggak gitu. Biasa aja tuh. Cuma perasaanmu aja kali.”“Dibilangin kok nggak percaya. Azwa itu–”“Assalamualaikum bestie-bestie aku tercinta!” Meyra datang dengan wajah cerianya menyapa kedua gadis itu.“Wa'alaikumsalam.”“Lebay!” cibir Eliza kesal karena ucapannya harus terpotong.“Bukan lebay, ya, tapi memberikan semangat baru di siang yang terik ini,” balas Meyra ngeles lantas mengambil tempat duduk di samping Bahira. Dia memandang keduanya antusias. “Rek, rek! Aku punya berita ter-hot, ter-update, and terpercaya. Kalian pasti senang mendengar kabar ini.”“Apa?” tanya Bahira dan Eliza bebarengan.“Kalian pasti bertanya-tanya kan di mana Azwa? Ya kan, ya kan?” tanya Meyra sambil menunjuk mereka satu-persatu.Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan, “debaynya Azwa launching. Azwa lahiran, Rek!”“Hah?! Serius kamu, Mey?!” tanya Bahira ter
Azwa keluar dari kamar mandi bertepatan dengan Aufal yang memasuki kamar dengan Dedek yang berada di gendongannya. Wanita itu berjalan mendekat, menatap suaminya dari atas hingga bawah, lalu tak lama dia tertawa geli. Aufal mengernyitkan dahinya heran. “Kenapa? Ada yang lucu kah?” Azwa mengangguk. Dia menarik napas dalam-dalam guna menetralkan tawanya. “Itu, siapa yang bantu pakein?” tanyanya sambil menunjuk ke arah gendongan Aufal dengan dagu. “Bunda yang bantu pasangin. Katanya harus digendong pake sayut biar lebih enak. Ya udah sih, Mas manut aja,” jawab Aufal. (Sayut = selendang untuk gendong bayi/jarik gendong) Azwa terkekeh kecil. “Owalah, gitu toh. Lucu tau Mas. Hahaha…. bapakebel banget.” Tangannya terulur mencubit kedua pipi Aufal dengan gemas. Coba bayangkan, badan Aufal yang tinggi dan kekar menggendong putranya menggunakan selendang apalagi dalam bentuk jarik, gimana Azwa tidak ketawa melihatnya? Teknik gendongnya juga hanya diuwel-uwel ke belakang. Aufal terlihat
“Apa? Apa?” tanya Meyra sangat antusias. “Panggil aja Baby W,” jawab Aufal. “Baby W? Nama lengkapnya?” “Rahasia.” “Aish! Mesti loh mainnya rahasia-rahasiaan. Nggak asyik, ah!” Meyra menggerutu kesal. Azwa tertawa kecil sebelum menjawab, “ya biar surprise gitu, Mey, skenarionya. Kan muka Baby W udah terpampang nyata tanpa diprivat. Nah, biar ada gregetnya, nama Baby W disensor dulu. Ya kan, Mas?” Aufal mengangguk membenarkan. “Aku sih yang kasih ide ini. Kalau kalian pengen tau, dateng aja ke acara aqiqah Baby W.” “Emang kapan acaranya, Kak?” Bahira mengambil buah anggur di meja, mengupas kulitnya, lalu memakannya. “Insyaallah, minggu depan tanggal enam belas. Kalian datang, ya,” jawab Aufal. “Iya, wajib datang. Ini aku undang secara khusus loh buat kalian. Awas aja kalau nggak dateng. Lagian acaranya pas weekend, jadi nggak ada alasan kalian buat nggak datang,” sahut Azwa. “Insyaallah, kami akan datang.” “Ya, itung-itung sebagai pengganti acara pernikahanku dulu.” Azwa ber
AQIQAH BABY W Tulisan menjadi background di acara aqiqah putra pertama Aufal dan Azwa pada hari ini. Acaranya digelar di kediaman Papi Kafka yang berada di Surabaya. Tamu yang diundang cukup banyak. Bukan hanya orang-orang terdekat saja, melainkan dari pihak kampus, baik perwakilan dosen maupun organisasi. Ada pula teman-teman satu kelas Azwa dan kelas lain di jurusan yang sama. Kini, Aufal tengah berdiri memberikan pidato sambutan didampingi oleh Azwa bersama Baby W dalam gendongannya. Binar bahagia senantiasa terpancar di wajah keduanya seakan tak pernah surut. “Sebelum saya umumkan nama putra pertama kami, adakah yang bisa nebak kira-kira siapa sih nama Baby W ini?” tanya Aufal kepada para hadirin usai memberikan pidato singkat. Salah satu tamu undangan mengangkat tangan dan menjawab dengan lantang. Kemudian disusul lainnya yang juga ikutan menebak bahkan dari pihak keluarga pun ikutan juga. Aufal terkekeh melihat begitu antusiasnya mereka. Dia menatap istrinya seolah memint
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup