Dave geram luar biasa dengan apa yang telah dilakukan Maura. Sikapnya yang langsung meninggalkan ruang kerja Dave tanpa sepatah kata pun dianggapnya tidak sopan. Dave juga sebal karena menurutnya Maura sok jual mahal. Dave pun memikirkan sebuah rencana untuk memberi pelajaran pada Maura. Dave menekan nomor Matt dan sejurus kemudian laki-laki itu sudah muncul di hadapannya.
“Aku mau kamu mengawasi Maura.”
“Siapa dia, Boss?” Matt mengerutkan kening. Nama yang terdengar asing di telinganya.
“Mahasiswa yang kemarin menghentikanku setelah kuliah umum. Entah, ada hubungan apa dia dengan dekan sehingga dia bisa leluasa meminta janji bertemu denganku.” Mata Dave menatap salah satu sudut kantornya. Ingatannya kembali saat dia selesai memberi kuliah umum kemudian dihentikan oleh seorang gadis berpenampilan biasa, Maura.
Matt mencoba mengingat sosok yang dimaksud Dave. “Kenapa dia, Boss? Anda terganggu dengannya?” Matt bertanya penuh selidik. Dave kemudian menatap Matt, “Dia minta bantuan untuk membayar kuliahnya. Beaiswanya tak lagi dibayarkan penuh.”
“Ah… kasihan sekali gadis itu. Pantas dua kali bertemu dengannya, wajahnya selalu kusut dan terlihat lelah.” Matt bergumam sendiri, namun didengar jelas oleh Dave.
Dave menyeringai penuh makna pada Matt, “Cabut beasiswanya!”
“Tapi kenapa, Boss?” Matt bertanya-tanya, tidak paham dengan jalan pikiran Dave.
“Dia menghinaku, Matt.”
Matt ingin bertanya lebih detail, tapi tampaknya Dave tidak berkenan meladeni Matt.
*
Hari berikutnya, Matt sudah beada di kampus sejak pagi. Dia tidak tahu harus memulai pengintaian dari mana karena dia lupa wajah Maura. Dilihatnya jam di pergelangan tangannya, pukul delapan tepat.
Seharusnya dekan sudah ada di ruangannya. Pikir Matt.
Suasana kampus begitu sibuk di pagi hari. Saling bersenggolan karena terlambat menghadiri kelas sudah biasa terjadi. Matt pun entah sudah berapa kali bertabrakan dengan mahasiswa yang berlarian menuju kelas.
Dasar pemuda. Rutuknya sambil bergegas menuju ruang dekan.
“Fuih.” Matt mendesah ketika akhirnya ia sampai di depan ruang dekan. Dua kali Matt mengetuk pintu sampai akhirnya terdengar suara yang mengizinkannya masuk.
“Matt… tumben sepagi ini.”
“Oh…. Ayolah, Dean. Ini sudah jam 8.” Matt memasang ekspresi lucu. Mereka pun tertawa bersamaan dan saling memeluk.
“Apalagi yang membawamu ke sini, Matt?” Dekan melangkah kembali ke mejanya diikuti Matt yang duduk di seberangnya.
“Maura.” Jawab Matt singkat. Dekan mengernyitkan dahi.
“Apa dia berulah?” Kali ini dekan memasang ekspresi penuh tanda tanya, penasaran. Matt mengedikkan bahu.
“Belum tahu. Boss belum mengatakan apa pun.”
“Kupikir kemarin gadis itu menemui Dave.” Dekan masih menatap Matt penuh rasa ingin tahu. Matt mengangguk, “Ya, tapi kulihat dia di luar gedung sambil menangis.”
“Kenapa?”
“Entahlah, Dean. Setelah gadis itu keluar Boss memanggilku dan menyuruhku untuk mengawasi dia. Dan… Boss juga menyebut tentang mencabut beasiswanya.”
Dekan membelalak tak percaya dengan penuturan Matt. Dia mencoba menyimpulkan sendiri berdasarkan cerita Matt.
Kenapa Dave sekeji itu pada Maura? Apa kesalahan gadis itu? Dekan sibuk bertanya pada dirinya sendiri. Ditatapnya Matt dalam-dalam.
“Apa yang akan kamu lakukan, Matt?”
“Mengintainya… errr…. Maksudku mengamati kegiatannya di kampus dan luar kampus selama beberapa hari.”
“Apa yang kamu butuhkan?” tanya dekan lagi.
“Apakah Anda mempunyai foto gadis itu, Dean?”
Dekan mengangguk sambil membuka folder berisi data mahasiswa. Setelah menemukannya, dekan menyodorkan pada Matt.
“Wajahnya sangat biasa, tapi senyumnya manis.” Matt tanpa sadar mengomentari foto Maura. Dekan berdeham dua kali. Matt pun menyeringai lucu.
“Di mana aku bisa melihatnya sekarang?”
Dekan mengedikkan bahu, “Kalau sekarang aku tidak tahu, tapi besok pagi pukul 9 dia akan masuk kelasku, membantuku memberi kuliah tentang Indonesia.”
“Ahh… dia pintar rupanya, Dean.” Terdengar nada kagum dari suara Matt. Dekan mengangguk mengiyakan.
“Itulah kenapa aku mengarahkan dia pada Dave dengan harapan agar Dave mau membantunya sehingga studinya bisa selesai dengan baik.”
“Oke. Untuk aktivitas di luar kampus apakah Anda mengetahuinya, Dean?” Kali ini Matt mencatat detail informasi dari dekan.
“Dari awal kuliah dia sudah berkerja part time. Alasannya untuk membantu orang tuanya. Tapi hasil akademiknya selalu memuaskan.” Dekan bertutur dengan perasaan bangga.
“Sekarang, karena pengurangan jatah beasiswa, maka dia mengambil kerja part time setiap hari. Kalau dulu hanya di week end atau hari libur.” Lanjutnya. Matt terus menulis pada buku catatannya.
“Di mana dia bekerja?” Matt menatap dekan, seolah meminta jawaban segera. Dekan menangkap ketidaksabaran Matt, kemudian ia tersenyum.
“Kamu bisa menjumpai Maura di seluruh kota ini, Matt. Informasi terakhir yang kudengar, Maura menjadi nanny paruh waktu pada sebuah keluarga dengan tiga anak yang super aktif.”
Matt menggerakkan kedua alisnya, takjub. Otaknya sibuk berpikir, menyusun strategi yang tepat agar kerjanya bisa lebih efisien.
Matt menggigit alat tulisnya, berpikir tentang pertanyaan apalagi yang akan dia lontarkan pada dekan. Tapi, tampaknya Matt sudah merasa cukup dengan informasi yang diperolehnya.
“Ada lagi yang ingin kau ketahui, Matt?” Dekan seolah bisa membaca pikiran Matt. Matt hanya menggeleng, “Cukup, Dean. Terima kasih.” Matt kemudian beranjak dan menyalami dekan.
“Matt…” panggilan dekan membuat Matt menahan diri untuk membuka pintu.
“Datanglah besok pagi ke kelasku. Dan lihatlah kemampuan Maura. Kuharap kamu bisa objektif dalam menilai Maura sehingga Dave bisa membantu gadis itu. Dan satu lagi,….”
“Apa, Dean?”
“Semua mahasiswa di sini memanggilnya grossy, si kotor. Hanya karena salah satu dari mereka pernah melihat Maura bekerja sebagai petugas kebersihan.”
Matt tampak mengerucutkan bibirnya. Luar biasa. Pujinya dalam hati. Matt berpamitan lagi pada dekan kemudian keluar dari ruangannya.
Sebentar lagi waktu istirahat siang. Gumam Matt setelah melirik arlojinya. Dia tahu ke mana sebaiknya dia pergi sekarang untuk memulai pengintaiannya.
*
Jam istirahat siang pun tiba. Matt yang telah berada di kantin sejak tiga puluh menit yang lalu tampak sedikit terkejut dengan suasana kantin yang berubah seratus delapan puluh derajat. Dari lengang menjadi gaduh. Dari rapi menjadi berantakan.
Dasar mahasiswa barbar. Kelakuannya sangat tidak mencerminkan posisinya sebagai orang terpelajar. Matt terkekeh sendiri dengan pikirannya. Matanya mantap satu-satunya akses keluar masuk kantin, berharap sosok yang menjadi targetnya muncul. Tapi hasilnya nihil. Maura belum juga menampakkan diri di kantin. Dan sialnya, beberapa mahasiswi dengan penampilan dan aroma wewangian yang menggoda justru menghampirinya dan berebut untuk duduk di sampingnya.
“Hai, kamu bukan mahasiswa sini ya?” tanya seorang berambut pirang. Matt mengangguk. Ia malas membuka mulut.
“Dari fakultas apa?” tanya yang lainnya. Seorang gadis berambut hitam legam. Matt tetap memilih bungkam.
“Kamu tuli? Bisu? Atau…. Keduanya?” ujar seorang yang tampak seperti leader pada kelompok itu. Matt meliriknya sekilas.
Sebenarnya cantik, tapi lidahnya membuat kecantikannya langsung menguap. Matt menyeringai pada gadis itu.
Tampaknya ketiga gadis yang diabaikan oleh Matt merasa kesal. Hingga datanglah salah satu mahasiswa dengan gaya tengil, menurut Matt, mengenali dirinya.
“Heyy Bro, bukankah kamu asistennya David Peters?” Matt menatap mahasiswa itu tajam. Sementara ketiga mahasiswi, seolah mendapat durian runtuh, mereka kembali antusias menempel Matt.
“Benarkah?”
“Tolong bantu aku berkencan dengan Tuan David Peters.” Si leader tanpa rasa malu langsung menodong Matt. Matt yang muak kemudian berdiri dan hendak keluar dari kantin. Namun hal itu dia urungkan karena melihat Maura, dengan ransel besar serta beberapa buku dalam dekapan, masuk.
“Awass… ada Grossy.” Ketiga gadis di dekat Matt memekik serentak. Matt menoleh pada mereka kemudian kembali melihat ke arah Maura.
“Gempa bumi…. Gempa bumi….” Kali ini giliran mahasiswa yang menyapa Matt berteriak. Provokasi mereka berempat berhasil menciptakan suasana kantin yang lebih gaduh. Gelak tawa menyebar dari seluruh penjuru kantin.
Gila! Matt mengumpat dalam hati. Tanpa sadar dadanya naik turun dengan cepat. Matt sangat marah dengan apa yang dilihatnya. Mengapa kelakuan mereka sangat berbeda dengan dirinya dan mahasiswa di masanya dulu. Tidak ada hinaan yang menjurus pada fisik seseorang atau hidup seseorang. Kenapa mereka seolah tidak punya kesibukan lain selain mengurusi hidup seseorang.
Ahh… Matt benar-benar marah luar biasa. Sebelum meledak, Matt bergegas keluar kantin. Ia seolah melupakan apa tujuannya datang ke kampus ini setelah mendapati pemandangan yang menyedihkan dan memprihatinkan.
***
Halo?
Ada yang membaca cerita ini?
Bagaimana menurut kalian?
Yuk ah, tinggalin review untuk novel ini.
Dave yang tengah menekuni tumpukan berkas di depannya tidak sadar jika Matt sudah muncul di hadapannya.“Bos…” Sapa Matt dengan suara pelan. Dave mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas. Tampak kekesalan menghiasi wajahnya.“Kau tidak mengetuk pintu!” ujar Dave tegas. Matt membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah beberapa kali mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Dave pun mengangguk pertanda memaafkan Matt.“Besok pagi Maura akan menggantikan dekan mengisi kuliah tentang Indonesia.” Matt memilih informasi itu untuk dismpaikan pertama kali pada Dave. Bagi Matt, itu adalah informasi besar. Matt memang tidak mengenal Maura, tapi mengingat semua cerita dekan tadi ia sangat berharap agar Dave tidak terlalu kejam pada gadis itu. Dan tentu saja, yang terpenting menur
Maura menghentikan langkah dan memasang pendengarannya baik-baik. Ya, benar, para mahasiswa menyebutkan nama David Peters.Apa yang membuat David Peters datang lagi ke kampus? Maura bertanya pada diri sendiri. Ingin rasanya ia menanyai semua mahasiswa yang berlalu-lalang, tapi diurungkannya. Maura mencoba menekan rasa ingin tahunya kuat-kuat. Ia tidak mau menjadi bahan ejekan lagi karena bertanya tentang keberadaan David Peters di kampus.Maura mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Sesampainya di persimpangan koridor arah perpustakaan dan ruang kelas, Maura melihat David Peters melintas. Sontak ia memekik tertahan melihat apa yang baru saja ditangkap matanya. Seorang laki-laki dengan kaos polo, jins, dan topi bisbol
Maura bertekad menemui David Peters sekali lagi. Ia akan memohon agar David Peters mau membantunya. Bekerja paruh waktu setap hari ternyata sangat melelahkan. Hal ini berdampak pada produktivitasnya dalam mengerjakan tesis. Tadi pagi sebelum keluar kamar, Maura menyempatkan diri melihat kalender duduk di atas meja belajarnya. Ia mendapati tiga tanda silang pada kalender, artinya sudah tiga hari tesisnya tidak tersentuh.Maura tengah memikirkan rencana untuk menemui David Peters lagi. Tiba-tiba terlintas dalam benak Maura untuk meminta bantuan Matt. Berdasarkan pengamatan Maura, Matt bukanlah orang yang sulit untuk dimintai tolong.Apakah sebaiknya aku meminta nomor telepon Matt pada dekan?Maura sangat berharap Matt bisa membantunya, menjadi perantara dirinya unt
Bunyi notifikasi pesan membangunkan Maura dari tidurnya. Sepagi ini siapa yang mengiriminya pesan. Maura melihat penunjuk waktu di ponselnya. Pukul enam tepat. Rasanya Maura ingin menunda membaca pesan itu dan melanjutkan tidurnya. Tapi itu tidak dilakukannya setelah membaca nama pengirim pesan. Dekan.Maura, jangan lupa menghadiri malam inaugurasi. Tahun lalu kamu tidak hadir karena belum datang. Jadi untuk tahun ini kamu tidak punya alasan untuk tidak datang. Jangan lupa, pukul tujuh tepat!Maura melempar ponselnya ke salah satu sudut tempat tidurnya. Rasa malas kembali menyelimutinya. Padahal hari ini, ia sudah merencanakan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan sebelum bekerja pada pukul enam sore. Maura yang tersadar dengan jadwal kerjanya pun segera bangun dan mencari ponselnya. Tak lama jemari Maura pun bergerak dengan lincahnya di atas
“Aku tidak bisa menari, Tuan David.” Maura mencoba meyakinkan Dave. Dave hanya diam, seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Maura. Maura mengulangi kalimatnya dengan berteriak di dekat telinga Dave.“Aku tidak bisa menari, Tuan David. Kumohon carilah partner lain.” Maura mencoba menggerakkan tangannya agar terlepas cari cengkeraman Dave.“Tidak akan. Kamu tidak bisa ke mana-mana.” Dave semakin mengeratkan cengkeramannya. Maura meringis kesakitan.“Apa yang Anda inginkan, Tuan?” tanya Maura lagi. Dave menyeringai aneh sehingga Maura bergidik melihatnya.“Anda menerorku!”
“Finally….” Suara Tim mengejutkan Matt. Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedari tadi dipegangnya. Alisnya terangkat kala Maura tidak juga keluar. Tim menepuk jidatnya, masuk kembali ke dalam.“Ada apa lagi, Mauraaa…” Tim mencoba menahan emosi. Maura nyengir kuda, “Aku malu.” Tim meraih tangan Maura dan menggandengnya keluar.“Tadaaa….” Kali ini Maura, Tim, dan Kim muncul di hadapan Matt. Mata Matt berbinar melihat sosok di depannya. Maura benar-benar terlihat sangat berbeda. Tak akan ada yang menyangka jika gadis ini adalah korban bullying, perundungan, di kampus. Sebutan grossy, si kotor, label abadi yan
Maura merasa Matt terlalu lama menjemputnya sehingga begitu sosok Matt berdiri di depannya, Maura sengaja memanyunkan bibirnya. Berpura-pura marah pada Matt. Matt terkekeh melihat sikap Maura. Hatinya sangat senang. Maura yang cantik sekarang sedang marah padanya.“Lama sekali, Matt. Kamu sengaja ya?”“Maaf, aku harus berdandan dulu sebelum menjemput princess.” Maura menonjok bahu Matt pelan. Yang ditonjok pura-pura mengaduh kesakitan. Kemudian mereka berdua terbahak bersama.“Mau pulang sekarang?” Maura hanya mengangguk. Matt berjalan menuju mobil diiringi Maura.“Bagaimana pestanya?” pertanyaan Matt memecah keheningan di antara keduanya
Maura menyapukan pandangannya ke seluruh sudut kamar pribadi Dave. Kamar yang sangat luas dengan dominasi warna hitam dan putih. Sebuah set meja kerja terletak di salah satu sudut kamar yang berdekatan dengan rak buku setinggi dinding. Sepasang meja kecil dengan lampu tidur yang bertengger manis di atasnya mengapit tempat tidur berukuran super. Di seberang tempat tidur, menempel pada dinding, terdapat cermin seukur dinding. Terdapat dua pintu di dalam kamar itu, entah apa yang ada di baliknya. Decak kagum tak jarang terdengar dari bibir Maura. Sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa Dave sudah masuk ke dalam kamar, memandangi Maura dengan pandangan yang susah ditafsirkan. Yang pasti, sorot mata Dave menunjukkan bahwa laki-laki sedang dalam pengaruh alkohol.Dave berjalan mendekati Maura. Dilihatnya gadis itu terkejut dengan kehadirannya. Maura mundur perlahan untuk menghindari Dave. Dengan sigap, Dave merai
“Kau tampak menyedihkan, Dave.” Ujar Maura sambil menyunggingkan senyum. Ia sengaja menghentikan langkahnya demi mengamati sosok lelaki yang dicintainya. Dave yang menunggunya di depan pintu kedatangan bandara memang terlihat sangat memprihatinkan. Cambang yang tumbuh tidak terawat, lingkaran hitam di bawah mata, dan keseluruhan penampilan Dave yang kusut masai, meskipun lelaki itu tengah memakai setelan jas mahal. Dave terkekeh menanggapi komentar Maura akan dirinya. Dalam hati, ia tidak menyangkal penilaian perempuan yang sangat dipujanya itu. Beberapa peristiwa yang telah berlalu memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran Dave. Kini, setelah ia berhasil melalui semuanya, meskipun dengan susah payah, Dave hanya menginginkan satu hal, yakni Maura. “Dan kau tampak semakin menggairahkan, Maura.” Ujar Dave sambil melangkah mendekati Maura. Maura memalingkan wajahnya guna menyembunyikan senyum le
Maura masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Perasaannya campur aduk, susah untuk dijelaskan. Maura masih sulit untuk percaya bahwa hari ia akan menikah. Melepas masa lajang kalau kata orang. Ia akan menikah dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Maura memang pernah bertemu satu kali dengan lelaki itu, tapi tentu saja pertemuan yang hanya sebentar itu tidak serta merta membuatnya langsung mengenal kepribadian lelaki itu. Jangankan mengenal kepribadiannya, namanya saja Maura tidak tahu. Seingat Maura, laki-laki itu tidak pernah menyebut apa pun tentang dirinya termasuk nama.Ditengah kecamuk pikiran dan kegalauan yang melanda hatinya, Maura dikejutkan oleh suara adiknya, Naura. Adik Maura itu tengah sibuk mengecek sekali lagi buket bunga yang akan dibawa oleh kakaknya."Ayo, Kak." Kata Naura sambil mengangsurkan buket bunga berwarna putih. Maura men
“Lepaskan!” Suara laki-laki dengan nada tinggi karena amarah sukses menghentikan kegiatan membaca Dave. Sambil terus menatap layar laptop yang menampilkan seorang lelaki muda bersama orang bayarannya, Dave meletakkan pembatas buku untuk menandai halaman terakhir yang dibacanya. Suara khas benturan lembaran buku yang tertutup sempat mengisi keheningan ruang kerja Dave. “Apa yang kamu lakukan?” Dave menanyai orang bayarannya. Lelaki yang ditanya itu pun menghadapkan tubuhnya ke layar yang menampilkan sosok Dave. “Dia menolak ketika saya ajak bertemu Bos.” Lelaki itu menjawab dengan suara yang menunjukkan ketegasan. “Siapa kamu?” Lelaki yang telah duduk pada sebuah kursi kayu sederhana itu pun memotong pembicaraan Dave dan orang bayarannya. Dave tidak segera menyahut. Sebagai gantinya, ia melempar senyuman tipis. Senyuman yang terlihat manis, namun berbahaya karena tidak bisa dengan mudah diartikan maknanya. Lelaki itu pun terlihat kesal karena Dave tida
“Silakan, Maura.” Rektor mengangkat satu tangannya guna menyilakan Maura duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Maura duduk dengan terlebih dahulu melepas ranselnya. Tas berwarna abu-abu muda itu kemudian diletakkan Maura di sisi kaki kirinya dengan alas tas menempel permukaan karpet tebal yang melapisi lantai ruangan rektor.“Terima kasih, Pak.” Jawab Maura sambil menyilangkan kedua tangannya di atas pangkuan.“Saya tidak ingin berlama-lama karena masih ada yang harus saya kerjakan.”“Baik, Pak.” Tidak tahu harus merespons apa, Maura lebih memilih mengiyakan kalimat rektor. Tentu saja ia tidak akan menyangkal jika rektor memiliki banyak pekerjaan.“Saya mohon maaf, tapi dengan berat hati saya katakan bahw
“Aku pergi dulu, Bi.” Kata Maura sembari meraih tas ranselnya di salah satu kursi meja makan. Dengan langkah gontai Maura menuju pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun. Maura merasa semangatnya hilang. Tercerabut bersama kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Sesampainya di ruang tamu, Maura sempat berhenti beberapa waktu. Rasanya ia ingin menoleh ke samping kanannya, meskipun itu artinya dia akan kembali melihat foto pengantin Dave dan Rosaline. Hati Maura memintanya untuk jangan melihat, tapi sepasang matanya seolah dipaksa untuk melakukan sebaliknya. Dan akhirnya, Maura menyerah. Ia kembali melihat foto itu. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan, Maura bergumam sambil matanya menatap lurus ke arah foto Dave. “Semoga kau bahagia, Dave.” Setelahnya, Maura mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Ia harus segera meninggalkan ruma
Vania mengetuk dua kali pintu kayu dengan ukiran khas wilayah Pesisir Utara Jawa Timur di hadapannya. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang mengizinkannya masuk. Perlahan, Vania membuka pintu besar berwarna coklat terang itu kemudian melongokkan wajahnya.“Permisi, Pak Rektor.” Sapa Vania disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. Pak Rektor melihat Vania sekilas kemudian mempersilakan gadis itu masuk. Setelah diizinkan duduk, Vania belum juga mengatakan maksud kedatangannya.“Ada apa, Vania?” Tanya Pak Rektor tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.“Ini…tentang Maura lagi, Pak.” Vania terlihat sangat berhati-hati ketika menyebut nama Maura. Vania tahu saat ini masih terlalu pagi untuk membuat laporan tentang Maura lagi. Terlebih, ia sudah perna
“David, kuharap kamu tidak keberatan menunda kepulanganmu ke Belanda.” Ujar rektor setelah acara peresmian gedung pertunjukan berakhir. Dave yang ditepuk bahu belakangnya pun serta merta mengiyakan permintaan rektor.“Ada masalah apa, Pak Rektor?”Rektor tersenyum sambil kembali menepuk bahu Dave.“Senin kau akan tahu. Tolong temui saya di kantor sebelum jam makan siang.”Dave mengangguk sambil mengatakan iya untuk permintaan rektor. Setelah rektor pergi meninggalkan Dave, Vania segera mendekati Dave. sambil melingkarkan tangannya ke lengan Dave, Vania menanyai lelaki itu. Mencoba mengorek informasi, meskipun secuil.“Ada apa dengan Pak Rektor?” Tanya Vania dengan su
Entah Maura harus merasa senang atau sedih ketika ia dan Dave ternyata tidak punya waktu untuk bersama, meskipun mereka berada di kota dan negara yang sama. Baik Maura maupun Dave sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Short course yang sudah berjalan selama dua pekan memaksa Maura untuk memusatkan perhatian hanya pada kegiatan tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri, segala hal yang berhubungan dengan Vania termasuk mimpi buruk yang dialaminya sebelum berangkat ke Belanda masih terus mengganggu pikirannya.Rutinitas harian Maura yang didominasi oleh kursus memang terasa sangat menjemukan. Bisa dikatakan, Maura tidak punya kegiatan lain selain mengikuti kursus. Maura mengawali hari dengan persiapan yang ala kadarnya karena ia selalu terlambat bangun. Terlambat bangun, tapi tidak boleh terlambat hadir
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Vania?" Maura berusaha menekan suaranya agar tidak berteriak. Dadanya terasa mau meledak karena kesal bercampur marah. Bukannya menjawab, Vania justru tertawa terbahak. Suaranya yang nyaring begitu memekakkan telinga, membuat Maura semakin terpancing amarahnya.Maura tahu dan sepenuhnya sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Vania. Dan Maura yang ingin menyudahi semuanya terlihat begitu bernafsu meladeni permainan Vania. Maura benar-benar tidak ingin membuang waktu. Ia ingin semua yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir dan jelas.Maura sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di tempat kerjanya akibat terpengaruh hasutan Vania."Aku ulangi lagi. Apa maumu, Vania?" Maura berkata sambil memekik tertahan. Napasnya yang sedikit tersenga