“Aku tidak bisa menari, Tuan David.” Maura mencoba meyakinkan Dave. Dave hanya diam, seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Maura. Maura mengulangi kalimatnya dengan berteriak di dekat telinga Dave.
“Aku tidak bisa menari, Tuan David. Kumohon carilah partner lain.” Maura mencoba menggerakkan tangannya agar terlepas cari cengkeraman Dave.
“Tidak akan. Kamu tidak bisa ke mana-mana.” Dave semakin mengeratkan cengkeramannya. Maura meringis kesakitan.
“Apa yang Anda inginkan, Tuan?” tanya Maura lagi. Dave menyeringai aneh sehingga Maura bergidik melihatnya.
“Anda menerorku!”
“Finally….” Suara Tim mengejutkan Matt. Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedari tadi dipegangnya. Alisnya terangkat kala Maura tidak juga keluar. Tim menepuk jidatnya, masuk kembali ke dalam.“Ada apa lagi, Mauraaa…” Tim mencoba menahan emosi. Maura nyengir kuda, “Aku malu.” Tim meraih tangan Maura dan menggandengnya keluar.“Tadaaa….” Kali ini Maura, Tim, dan Kim muncul di hadapan Matt. Mata Matt berbinar melihat sosok di depannya. Maura benar-benar terlihat sangat berbeda. Tak akan ada yang menyangka jika gadis ini adalah korban bullying, perundungan, di kampus. Sebutan grossy, si kotor, label abadi yan
Maura merasa Matt terlalu lama menjemputnya sehingga begitu sosok Matt berdiri di depannya, Maura sengaja memanyunkan bibirnya. Berpura-pura marah pada Matt. Matt terkekeh melihat sikap Maura. Hatinya sangat senang. Maura yang cantik sekarang sedang marah padanya.“Lama sekali, Matt. Kamu sengaja ya?”“Maaf, aku harus berdandan dulu sebelum menjemput princess.” Maura menonjok bahu Matt pelan. Yang ditonjok pura-pura mengaduh kesakitan. Kemudian mereka berdua terbahak bersama.“Mau pulang sekarang?” Maura hanya mengangguk. Matt berjalan menuju mobil diiringi Maura.“Bagaimana pestanya?” pertanyaan Matt memecah keheningan di antara keduanya
Maura menyapukan pandangannya ke seluruh sudut kamar pribadi Dave. Kamar yang sangat luas dengan dominasi warna hitam dan putih. Sebuah set meja kerja terletak di salah satu sudut kamar yang berdekatan dengan rak buku setinggi dinding. Sepasang meja kecil dengan lampu tidur yang bertengger manis di atasnya mengapit tempat tidur berukuran super. Di seberang tempat tidur, menempel pada dinding, terdapat cermin seukur dinding. Terdapat dua pintu di dalam kamar itu, entah apa yang ada di baliknya. Decak kagum tak jarang terdengar dari bibir Maura. Sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa Dave sudah masuk ke dalam kamar, memandangi Maura dengan pandangan yang susah ditafsirkan. Yang pasti, sorot mata Dave menunjukkan bahwa laki-laki sedang dalam pengaruh alkohol.Dave berjalan mendekati Maura. Dilihatnya gadis itu terkejut dengan kehadirannya. Maura mundur perlahan untuk menghindari Dave. Dengan sigap, Dave merai
Maura bergegas menuju kamarnya. Dalam hati Maura bersyukur karena lingkungan asrama sedang sepi. Sesampainya di dalam kamar, Maura menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ditatapnya langit-langit kamar selama beberapa saat. Maura mengubah posisi tidurnya, menelungkup dengan membenamkan wajah ke dalam bantal miliknya. Sejurus kemudian, tangisnya pun pecah lagi. Maura menumpahkan semua perasaannya melalui tangisan. Ia teringat ibunya. Membayangkan ibunya ada di sampingnya. Menyuruhnya merebahkan kepala di pangkuan lalu dengan pelan dan penuh sayang, ibunya akan membelai rambutnya. Sambil sesekali mengatakan hal-hal yang bisa menenangkan hatinya. Tapi di sini, di negeri yang sangat jauh dari rumahnya, Maura harus berjuang sendiri. Mengatasi kesedihan sendiri.Entah sudah berapa lama Maura menangis, tapi ia tidak peduli. Tadi ia sempat tertidur karena kelelahan. Begitu bangun, ia menangis lagi, meskipun k
Maura mendengus, kesal, begitu resepsionis mengatakan bahwa Dave sedang ada meeting di luar. Maura diminta datang lagi keesokan hari di waktu yang sama. Maura meninggalkan kantor Dave dengan perasaan marah. Ia merasa dipermainkan oleh Dave. Namun, Maura buru-buru mengenyahkan pikiran negatif bahwa Dave mempermainkannya. Mencoba memahami bahwa pekerjaan Dave tentulah sangat banyak. Tak ingin membuang waktu, Maura bergegas kembali ke perpustakaan.Maura menaiki satu demi satu anak tangga sebanyak tiga tingkat sebelum masuk ke lobi. Ia melewati ruang dekan dan ruangan-ruangan kantor lainnya. Ujung dari deretan kantor itu adalah pertigaan yang masing-masing cabangnya mengarah pada perpustakaan, auditorium, dan ruang kelas. Maura menghentikan langkah ketika beberapa gadis menyuruhnya menepi. Dilihatnya sosok yang ingin ditemu
Beep… Beep…Maura meraih ponsel yang tergeletak di sisi kirinya. Nama Matt muncul di layar dengan dua pilihan ikon telepon dalam warna merah dan hijau. Maura sengaja menyapukan ujung telunjuknya ke arah ikon berwarna merah. Saat ini ia sedang di perpustakaan, mengerjakan tesisnya sehingga ia enggan terganggu dengan apa pun termasuk panggilan ke ponselnya. Tak menunggu lama setelah panggilan terputus, Maura menulis pesan singkat kemudian dikirim kepada Matt.Call me after five minutes, please. Pesan yang dikirim Maura langsung ditandai dengan centang dua.Maura bergegas mengemasi barang-barangnya dan menuju bagian peminjaman buku. Hari ini Maura meminjam cukup banyak buku karena ia berencana tidak keluar asrama selama beberapa hari ke depan. Maura ingin fo
“Tuan David? Ponsel Matt bersama Anda?”“Ya. Ponsel Matt bersamaku. Ia melupakannya kemarin.” Alasan yang terdengar aneh bagi Maura. Bagaimana mungkin Matt seceroboh itu, lupa tidak membawa ponselnya.“Bagaimana aku bisa menghubungi Matt, Tuan?”Pertanyaan Maura membuat air muka Dave berubah. Matanya berkilat memancarkan rasa tidak suka. Gejolak cemburu menghantam hati Dave. Ya, Dave cemburu dengan kedekatan Maura dan Matt. Namun, lagi-lagi, otak Dave menyangkalnya. Kata-kata yang diucapkannya pada Maura kembali bergaung gaduh di kepala.“Jika Matt sudah datang biar dia menghubungimu.”“Baik, Tuan David. Terima kasih.”
Maura mengerjapkan mata perlahan. Dipandanginya langit-langit kamar yang terasa asing. Dihimpunnya ingatan tentang apa yang telah dilaluinya hari ini. Setelah sepenuhnya ingat, termasuk tentang keberadaannya kini, Maura menggeliat beberapa kali. Digerakkannya kedua telapak kakinya, mencoba menghilangkan lelah yang bersarang di kaki bagian bawah. Kemudian Maura bangun dan kembali melakukan senam ringan. Kali ini fokus gerakannya pada bahu dan punggungnya yang terasa ada hambatan kala digerakkan.Jam dinding menunjuk angka enam dan tiga. Dari luar jendela semburat jingga tampak samar mewarnai langit yang masih berwarna biru. Maura mencoba menghitung berapa lama ia tertidur. Buku-bukunya yang berada dalam kardus telah ia pindahkan semuanya ke rak buku. Ruangan kosong dalam rak ia gunakan untuk menyimpan beberapa suvenir, sertifikat, dan alat tulis serta laptop. Tak ketinggalan foto keluarga dalam bingkai warn
“Kau tampak menyedihkan, Dave.” Ujar Maura sambil menyunggingkan senyum. Ia sengaja menghentikan langkahnya demi mengamati sosok lelaki yang dicintainya. Dave yang menunggunya di depan pintu kedatangan bandara memang terlihat sangat memprihatinkan. Cambang yang tumbuh tidak terawat, lingkaran hitam di bawah mata, dan keseluruhan penampilan Dave yang kusut masai, meskipun lelaki itu tengah memakai setelan jas mahal. Dave terkekeh menanggapi komentar Maura akan dirinya. Dalam hati, ia tidak menyangkal penilaian perempuan yang sangat dipujanya itu. Beberapa peristiwa yang telah berlalu memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran Dave. Kini, setelah ia berhasil melalui semuanya, meskipun dengan susah payah, Dave hanya menginginkan satu hal, yakni Maura. “Dan kau tampak semakin menggairahkan, Maura.” Ujar Dave sambil melangkah mendekati Maura. Maura memalingkan wajahnya guna menyembunyikan senyum le
Maura masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Perasaannya campur aduk, susah untuk dijelaskan. Maura masih sulit untuk percaya bahwa hari ia akan menikah. Melepas masa lajang kalau kata orang. Ia akan menikah dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Maura memang pernah bertemu satu kali dengan lelaki itu, tapi tentu saja pertemuan yang hanya sebentar itu tidak serta merta membuatnya langsung mengenal kepribadian lelaki itu. Jangankan mengenal kepribadiannya, namanya saja Maura tidak tahu. Seingat Maura, laki-laki itu tidak pernah menyebut apa pun tentang dirinya termasuk nama.Ditengah kecamuk pikiran dan kegalauan yang melanda hatinya, Maura dikejutkan oleh suara adiknya, Naura. Adik Maura itu tengah sibuk mengecek sekali lagi buket bunga yang akan dibawa oleh kakaknya."Ayo, Kak." Kata Naura sambil mengangsurkan buket bunga berwarna putih. Maura men
“Lepaskan!” Suara laki-laki dengan nada tinggi karena amarah sukses menghentikan kegiatan membaca Dave. Sambil terus menatap layar laptop yang menampilkan seorang lelaki muda bersama orang bayarannya, Dave meletakkan pembatas buku untuk menandai halaman terakhir yang dibacanya. Suara khas benturan lembaran buku yang tertutup sempat mengisi keheningan ruang kerja Dave. “Apa yang kamu lakukan?” Dave menanyai orang bayarannya. Lelaki yang ditanya itu pun menghadapkan tubuhnya ke layar yang menampilkan sosok Dave. “Dia menolak ketika saya ajak bertemu Bos.” Lelaki itu menjawab dengan suara yang menunjukkan ketegasan. “Siapa kamu?” Lelaki yang telah duduk pada sebuah kursi kayu sederhana itu pun memotong pembicaraan Dave dan orang bayarannya. Dave tidak segera menyahut. Sebagai gantinya, ia melempar senyuman tipis. Senyuman yang terlihat manis, namun berbahaya karena tidak bisa dengan mudah diartikan maknanya. Lelaki itu pun terlihat kesal karena Dave tida
“Silakan, Maura.” Rektor mengangkat satu tangannya guna menyilakan Maura duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Maura duduk dengan terlebih dahulu melepas ranselnya. Tas berwarna abu-abu muda itu kemudian diletakkan Maura di sisi kaki kirinya dengan alas tas menempel permukaan karpet tebal yang melapisi lantai ruangan rektor.“Terima kasih, Pak.” Jawab Maura sambil menyilangkan kedua tangannya di atas pangkuan.“Saya tidak ingin berlama-lama karena masih ada yang harus saya kerjakan.”“Baik, Pak.” Tidak tahu harus merespons apa, Maura lebih memilih mengiyakan kalimat rektor. Tentu saja ia tidak akan menyangkal jika rektor memiliki banyak pekerjaan.“Saya mohon maaf, tapi dengan berat hati saya katakan bahw
“Aku pergi dulu, Bi.” Kata Maura sembari meraih tas ranselnya di salah satu kursi meja makan. Dengan langkah gontai Maura menuju pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun. Maura merasa semangatnya hilang. Tercerabut bersama kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Sesampainya di ruang tamu, Maura sempat berhenti beberapa waktu. Rasanya ia ingin menoleh ke samping kanannya, meskipun itu artinya dia akan kembali melihat foto pengantin Dave dan Rosaline. Hati Maura memintanya untuk jangan melihat, tapi sepasang matanya seolah dipaksa untuk melakukan sebaliknya. Dan akhirnya, Maura menyerah. Ia kembali melihat foto itu. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan, Maura bergumam sambil matanya menatap lurus ke arah foto Dave. “Semoga kau bahagia, Dave.” Setelahnya, Maura mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Ia harus segera meninggalkan ruma
Vania mengetuk dua kali pintu kayu dengan ukiran khas wilayah Pesisir Utara Jawa Timur di hadapannya. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang mengizinkannya masuk. Perlahan, Vania membuka pintu besar berwarna coklat terang itu kemudian melongokkan wajahnya.“Permisi, Pak Rektor.” Sapa Vania disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. Pak Rektor melihat Vania sekilas kemudian mempersilakan gadis itu masuk. Setelah diizinkan duduk, Vania belum juga mengatakan maksud kedatangannya.“Ada apa, Vania?” Tanya Pak Rektor tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.“Ini…tentang Maura lagi, Pak.” Vania terlihat sangat berhati-hati ketika menyebut nama Maura. Vania tahu saat ini masih terlalu pagi untuk membuat laporan tentang Maura lagi. Terlebih, ia sudah perna
“David, kuharap kamu tidak keberatan menunda kepulanganmu ke Belanda.” Ujar rektor setelah acara peresmian gedung pertunjukan berakhir. Dave yang ditepuk bahu belakangnya pun serta merta mengiyakan permintaan rektor.“Ada masalah apa, Pak Rektor?”Rektor tersenyum sambil kembali menepuk bahu Dave.“Senin kau akan tahu. Tolong temui saya di kantor sebelum jam makan siang.”Dave mengangguk sambil mengatakan iya untuk permintaan rektor. Setelah rektor pergi meninggalkan Dave, Vania segera mendekati Dave. sambil melingkarkan tangannya ke lengan Dave, Vania menanyai lelaki itu. Mencoba mengorek informasi, meskipun secuil.“Ada apa dengan Pak Rektor?” Tanya Vania dengan su
Entah Maura harus merasa senang atau sedih ketika ia dan Dave ternyata tidak punya waktu untuk bersama, meskipun mereka berada di kota dan negara yang sama. Baik Maura maupun Dave sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Short course yang sudah berjalan selama dua pekan memaksa Maura untuk memusatkan perhatian hanya pada kegiatan tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri, segala hal yang berhubungan dengan Vania termasuk mimpi buruk yang dialaminya sebelum berangkat ke Belanda masih terus mengganggu pikirannya.Rutinitas harian Maura yang didominasi oleh kursus memang terasa sangat menjemukan. Bisa dikatakan, Maura tidak punya kegiatan lain selain mengikuti kursus. Maura mengawali hari dengan persiapan yang ala kadarnya karena ia selalu terlambat bangun. Terlambat bangun, tapi tidak boleh terlambat hadir
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Vania?" Maura berusaha menekan suaranya agar tidak berteriak. Dadanya terasa mau meledak karena kesal bercampur marah. Bukannya menjawab, Vania justru tertawa terbahak. Suaranya yang nyaring begitu memekakkan telinga, membuat Maura semakin terpancing amarahnya.Maura tahu dan sepenuhnya sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Vania. Dan Maura yang ingin menyudahi semuanya terlihat begitu bernafsu meladeni permainan Vania. Maura benar-benar tidak ingin membuang waktu. Ia ingin semua yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir dan jelas.Maura sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di tempat kerjanya akibat terpengaruh hasutan Vania."Aku ulangi lagi. Apa maumu, Vania?" Maura berkata sambil memekik tertahan. Napasnya yang sedikit tersenga