Rosa berdiri di depan kamar itu dengan penuh kemarahan. Ia ingin menggedor pintu itu agar terjadi keributan dan keduanya malu hingga tak jadi memadu kasih. Ketika tangan Rosa hendak beraksi, ponselnya berdering. Wanita itu menghela napas kasar. Ia mengambil ponsel dan mendapati nama Miftah tertera di layar.“Di mana? Aku sudah menunggu dari tadi,” ucap pria itu di ujung telepon.“Ya, aku sudah sampai.” Rosa merungut, panggilan Miftah mengganggu aksinya.Pintu kamar sebelah terbuka. Miftah muncul dengan bertelanjang dada. Rosa tak menyangka, kamar yang dipesan Miftah berdampingan dengan kamar yang dipesan Pandu. “Bukan di situ.”“Oh, aku pikir di sini,” dalih Rosa.Miftah semringah, ketika Rosa memasuki kamarnya. Ia tak peduli dengan wajah wanita itu yang tampak menyembunyikan sebuah kemarahan. Rosa meletakkan tasnya di nakas. Pandangannya berserobok dengan sebuah obat khusus pria dewasa yang sudah terbuka. Sebagai wanita yang bergelut dari satu ranjang ke ranjang lain, Rosa hafal betu
Suara ponsel tak henti berdering, hingga mengusik dua orang yang sedang tertidur pulas memulihkan tenaga. Tangan Miftah bergerak meraih benda pipih itu, kemudian meletakkannya di telinga.“Mas, kamu di mana?” Tanpa basa-basi, suara wanita dengan nada cemas terdengar di ujung telepon.Miftah bangkit dari tidurnya seraya memijit kepala yang terasa pusing karena pengaruh obat. “Lagi di luar. Ada pertemuan penting dengan klien.”Rosa yang mendengar Miftah berbohong tersenyum kecut tanpa membuka mata. Ini adalah alasan klasik seorang suami mengelabuhi istrinya.“Iya, Sayang, aku pulang.” Pria itu bergegas ke kamar mandi, kemudian memakai kembali pakaiannya. Sebelum pergi, Miftah mendatangi Rosa yang pura-pura memejamkan mata. “Aku harus segera pulang, ayah mertuaku berkunjung,” ucap Miftah, kemudian mengambil dompet dan kunci mobil yang tersimpan di nakas. Ia pergi, meninggalkan Rosa begitu saja tanpa memastikan wanita itu sudah bangun atau mendengar tanggapan Rosa. Miftah bukanlah pria pe
Kejadian tempo hari di hotel membuat Alina tak tenang. Pengakuan Rosa dan tangisnya menjadi pertanda, bahwa apa yang diucapkan wanita itu benar. Jika mereka tak bahagia selama menikah, kenapa mereka bertahan selama enam tahun? Kenapa Rosa mengaku tak disentuh Pandu? Bukankah mereka sudah melakukannya sebelum menikah? Alina memijit kepalanya yang terasa pusing memikirkan hal itu. Ia pikir, hidup Rosa sangat bahagia karena telah berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Ternyata semua tak sejalan dengan prasangka Alina.“Lin,” panggil Pandu, ketika melihat istrinya terpaku di balkon kamar. Terlalu larut dalam lamunan, Alina tak menyadari kehadiran pria itu.“Lin,” ucap Pandu seraya menyentuh pundak Alina. Sontak Alina kaget. Pandu terkekeh melihat reaksi istrinya. Ia duduk di samping wanita itu, kemudian menggenggam tangannya erat. “Kenapa? Serius amat melamunnya.”Alina menyandarkan punggung pada sofa, kemudian menoleh pada Pandu yang menatap ke depan. Ia bisa melihat dengan jela
Akhir-akhir ini Alina sering mengeluh sakit kepala dan tak enak badan. Kadang ia berpikir, apakah penyebab kesehatannya menurun karena faktor usia? Namun setelah mengetahui bahwa ia telat datang bulan dan rutin berhubungan suami istri, Alina yakin jika di rahimnya sedang tumbuh benih Pandu.“Kita ke dokter, ya,” ajak Pandu pada Alina yang berbaring di ranjang. “Kamu tampak pucat, Lin.”Alina memejamkan mata. Kepalanya terasa berputar setiap kali ia bangkit dari ranjang. “Ayo.” Pandu membantu wanita itu berdiri. “Huek.” Perutnya yang bergejolak memaksa Alina berlari ke kamar mandi dan menumpahkan cairan yang terasa pahit dari mulut. Pandu memijit pundak wanita itu. Setelah membersihkan diri, ia menggendong Alina kembali ke ranjang. “Mas.”“Ya.” “Sepertinya aku hamil.” Ucapan Alina membuat Pandu ternganga dan jantungnya berdegup kencang. “Aku sudah telat datang bulan dua minggu.” “Sekarang kita ke dokter.” Pandu membuka lemari pakaian, kemudian menyiapkan baju ganti Alina. Dengan t
“Tetapi … jika Zea mau,” lanjut Pandu yang seketika membuat senyum Bryan terhenti.Bryan mengalihkan pandangan pada Zea yang duduk di sofa keluarga. Syarat terakhir yang diajukan Pandu ada pada gadis itu. Zea tampak diam dan terlihat tak sebahagia dirinya. Bryan yang melihat perubahan di raut wajah Zea merasa takut. Jika Pandu merestuinya, tetapi Zea menolak, sama saja dengan gagal. “Bolehkah saya minta waktu untuk bicara berdua dengan Zea, Om?” tanya Bryan.Pria itu mengangguk. “Silakan.”Bryan berjalan mendekati Zea. Ia minta Zea mengikutinya ke taman untuk bicara berdua. Setelah meyakinkan Pandu, kini Bryan harus bisa meyakinkan putrinya. “Zea belum ada niat untuk menikah,” tolak gadis itu halus.Bryan memandang Zea dengan kecewa. “Kenapa, Zee?”Zea menatap Bryan yang terlihat sangat berharap. “Zea belum bisa berpisah dengan Papa dan Mama. Zea baru saja menikmati kebahagiaan menjadi seorang anak, karena memiliki keluarga yang utuh.”Bryan menghela napas lemah. Ia tahu, semenjak k
Berdasarkan kesepakatan, Zea dan Bryan dinikahkan secara sederhana. Sedangkan resepsi pernikahan akan dirayakan setelah keduanya lulus kuliah. Meskipun demikian, pernikahan mereka tetap dilegalkan. Bertempat di rumah Pandu, pernikahan sederhana pun digelar. Dekorasi cantik nan elegan menghiasi rumah mewah itu. Walaupun prosesi pernikahan hanya dihadiri oleh keluarga besar kedua pengantin dan orang terdekat, Pandu tetap melayani tamu dan besannya dengan hidangan mewah dan cendera mata cantik. Keluarga Bryan datang dengan membawa seserahan, mahar, dan sepasang cincin berlian. Pria muda itu memakai beskap berwarna putih, sedangkan Zea tampil cantik memakai kebaya panjang dengan ekor dan taburan mute yang memberi kesan ningrat dan elegan. Warna putih disepakati Regina dan Alina, karena mengandung makna akan terbentuknya sebuah ikatan yang suci. Jantung Bryan berdegup kencang, ketika detik-detik ijab kabul akan dilaksanakan. Berkali-kali ia melirik ke lantai atas rumah Pandu, tetapi yang
Setelah pernikahan selesai, keluarga besar Bagas undur diri untuk pulang kecuali Bryan. Sebelumnya, pengantin itu sudah sepakat untuk tinggal di rumah masing-masing dan menjalani kehidupan seperti biasa. Namun Alina bersikukuh meminta keduanya untuk tinggal bersama. Permintaan Alina sangat menguntungkan bagi Bryan yang selalu ingin dekat dengan istrinya. Namun, tidak dengan Zea. Semenjak pria itu ikut masuk ke kamarnya, Zea tak mampu berbuat banyak. Keduanya hanya duduk terpaku di sisi ranjang tanpa ada yang berani membuka percakapan.Walaupun sebelumnya sudah akrab dan saling kenal, tetapi untuk berduaan di dalam kamar membuat Zea panas dingin. Zea gelisah. Ia tak menduga perjanjian keduanya untuk tetap tinggal bersama keluarga masing-masing ditentang orang tua mereka.“Ke mana suami ikut, istri harus ikut. Jadi, jangan tinggal terpisah. Menikah itu untuk menyatukan. Suami istri saja yang serumah bisa berpisah, apalagi yang enggak serumah,” ucap Alina kala itu.Akhirnya Zea hanya bis
Bryan menyingkirkan anak-anak rambut dari kening Zea, kemudian mengecup kening itu lembut. Sentuhan itu begitu manis dan menggetarkan jiwa Bryan. Tak hanya itu, pria muda itu juga mengelus pipi mulus Zea. Sentuhan Bryan tak berarti bagi Zea yang telah nyenyak. Buktinya, ia tak terganggu dengan aksi sang suami. Bryan kembali mendekatkan diri seraya tersenyum. Saat sang istri tertidur, ia bisa dengan bebas melakukan apa pun tanpa harus minta izin atau mendapatkan penolakan.Sesaat, tatapannya terhenti pada bibir merah alami yang sangat menggoda. Tak ingin membuang kesempatan, pria itu mengecupnya lembut, menikmati sentuhan yang baru pertama kali ia rasakan. Indah dan melenakan. Zea yang sedang di alam mimpi merasa terganggu, hingga ulah Bryan itu membuatnya tersadar dan kaget. Refleks, Zea membuka mata. Kedua tangannya mendorong tubuh Bryan, sementara mulutnya berteriak, “Agrhhh!”Bryan yang panik langsung membungkam mulut itu dengan sebelah tangannya.“Hmmp.” Zea mencoba memberontak.
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.
Beberapa Bulan kemudian ....Bertempat di halaman rumahnya yang luas, Zidan yang kini berusia satu tahun mulai melangkahkan kaki kecilnya di atas rumput hijau yang sangat terawat. Pandu merentangkan kedua tangan seraya memanggil nama putranya. Kaki kecil Zidan melangkah menuju sang papa yang disambut dengan gembira oleh Pandu.Alina yang melihat interaksi keduanya sangat bahagia. Tawa Zidan menggema. Ia merentangkan kedua tangan, ketika Pandu mengayunkan tubuh kecilnya seperti akan terbang. Pria itu tampak makin sehat dan muda, meski usianya hampir setengah abad. Senyumnya begitu merekah dan kebahagiaan begitu terlihat dari bibirnya yang tak henti tertawa. Bahkan, sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak cinta untuk wanita yang berdiri di sampingnya.Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita memakai gamis dan sebagian wajahnya tertutup cadar. Ia berdiri, terpaku menatap keluarga bahagia itu. Hampir setiap hari ia berdiri di balik pagar rumah hanya untuk melihat pria yang hi
Kehadiran anggota baru keluarga membuat rumah mewah Pandu menjadi ceria. Suara tangis, tawa, dan celoteh kecil terdengar bak mantra yang mampu menghipnotis para penghuninya. Zea dan Bryan lebih banyak bermalam di rumah itu, supaya bisa dekat dengan adik kecilnya. Sedangkan Zyan menghabiskan waktu luangnya setelah pulang bekerja untuk mengasuh Zidan. Laki-laki kecil itu menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seperti magnet yang menarik semua anggota keluarga untuk berkumpul. Kebahagiaan Pandu makin bertambah, perusahaan mereka makin maju. Zyan mewarisi bakat Pandu dalam berbisnis. Ia begitu pintar mengelola perusahaan dan jeli dalam membaca peluang. Pandu sangat bangga, ketika menghadiri rapat petinggi perusahaan untuk mendengar perkembangan perusahaan sekaligus kerja sama baru yang sedang mereka kerjakan. Zyan dan Bryan bekerja sama dalam menggarap sebuah proyek pemerintah yang sangat menantang dalam skala besar. Pandu dan Bagas tersenyum dan saling melirik, ketika kedua pria muda itu
Rosa hanya bisa menunduk dengan air mata berlinang saat mendatangi Ustazah Ana. Ia malu dan merasa hina, setelah semua aibnya terbongkar. Walaupun wanita itu tak pernah mengusik masa lalunya, tetapi Rosa yakin, Ustazah Ana mengetahui semuanya. Apalagi ia pernah sombong dan menolak nasihat wanita itu hingga memblokir kontak Ustazah Ana. Kini, ia terpaksa menjilat ludah sendiri. “Maafkan saya, Ustazah, saya salah. Saya menyesal, karena enggak mengikuti nasihat Ustazah,” lirih Rosa penuh penyesalan.Ustazah Ana menatap Rosa yang bersimbah air mata. Dengan terbata-bata, Rosa menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam dan tak bahagia. Tak hanya itu, dosa-dosa yang telah ia perbuat ikut terucap dari bibirnya hingga menjelaskan bagaimana buruknya seorang Rosalina di masa lalu.“Hijrah itu harus dari hati yang terdalam. Benar-benar ingin berubah dan siap menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama. Hijrah akan terasa sangat berat bagi hamba yang mengagungkan dunia. Perbaiki diri, niatkan dal