Alina memberanikan diri menatap sang suami yang juga memandangnya lekat. Walaupun cahaya lampu tak begitu terang, tetapi ia bisa melihat pancaran kesalehan dari wajah ayah anak-anaknya itu. Pandu bergeser, mendekati Alina yang masih duduk di atas sajadah. Ia kembali melayangkan ciuman di kening wanita itu cukup lama dengan mendebarkan. Alina hanya pasrah menerima perlakuan Pandu. Merasakan wanita itu tak menolak aksinya, Pandu makin mendekatkan diri. Ia merengkuh punggung Alina, kemudian mengecup setiap inci wajah yang berbalut mukena itu hingga terhenti di bibir lembut yang sudah lama tak ia nikmati. Hasrat yang bertahun-tahun tersimpan, kini kembali bangkit. Tubuh Pandu bereaksi, jantungnya berdegup kencang, dan sorot matanya tampak sayu. Berkali kali Pandu menelan saliva, merasakan gejolak pria yang meronta.“Lin,” bisik Pandu dengan suara berat. “Bolehkah aku ....”Alina hanya menjawab dengan memejamkan kedua mata. Ia hafal gestur tubuh Pandu ketika pria itu butuh dirinya. Pan
Miftah berhasil membebaskan Rosa dari segala tuntutan. Wanita itu tak bisa dipenjara, karena berdalih bahwa video yang ia rekam merupakan koleksi pribadi. Ia tak tahu apa pun tentang penyebaran video itu ke publik. Ponselnya yang hilang menguatkan Rosa bahwa bukan ia pelaku penyebaran video itu. Himawan terpaksa harus mendekam tiga tahun di penjara. Sebagai pemeran pria di video tersebut, ia telah merusak citra institusi dan mengkhianati perkawinannya dengan berselingkuh dan melakukan perzinaan. Pria itu sangat menyesal ketika hakim memutuskannya bersalah. Himawan tak bisa berbuat banyak, apalagi membayar penegak hukum, karena kasusnya menjadi sorotan media. Bahkan, sidang putusan yang ia dapatkan dihadiri oleh puluhan wartawan dari media cetak maupun elektronik.“Selamat, Bu Rosa,” ucap Miftah mengulurkan tangan.“Terima kasih, Pak. Berkat jasa Bapak, akhirnya saya diputuskan bebas.”Miftah menghela napas lega ketika keluar dari persidangan. Untuk kesekian kalinya, pria itu sukses m
Suasana malam kian larut, membuat cuaca makin dingin. Alina beranjak dari perkumpulan remaja itu, kemudian berdiri di ujung pembatas rumah yang menampilkan pemandangan malam Kota Bandung. Alina kaget, ketika Pandu meletakkan jaket di pundak wanita itu agar tak kedinginan. “Terima kasih,” ucap Alina.Pandu berdiri di belakang wanitanya. Ia meletakkan kedua tangan di perut rata Alina. Sikap Pandu yang menunjukkan kemesraan di depan anak-anak membuat wanita itu tak nyaman. “Malu sama anak-anak, Mas.”Pria itu mendekatkan bibirnya di telinga Alina. “Kalau begitu, kita ke kamar saja.” Pandu menarik tangan Alina turun dari rooftop menuju kamar mereka. “Mas, Zea bagaimana?” tanya Alina khawatir.“Ada Zyan yang akan menjaganya,” ucap Pandu. Entah mengapa, selama menikah Pandu tak pernah bosan mencumbu wanita itu. Setiap kali mereka memiliki waktu berdua, maka akan berakhir di tempat tidur. Di usia yang tak muda lagi, kadang Alina menahan diri untuk tak menolak, tetapi jika diteruskan, ia
Miftah datang ke rumah Rosa dengan membawa lembar akta kelahiran Shanum yang baru. Setelah pengajuan perubahan akta kelahiran disetujui pengadilan negeri dengan mempertimbangkan bukti-bukti bahwa Shanum terlahir dari luar pernikahan yang sah, maka status anak itu memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Tak hanya itu, nama besar ‘Dirgantara’ pun dengan berat hati harus dilepas Rosa. Miftah menyerahkan hasil kerjanya pada Rosa, sekaligus menagih janji wanita itu untuk melunasi pembayaran atas jasa timnya.“Saya sedang enggak ada uang, Pak,” ucap Rosa jujur. Usaha butiknya merugi, sementara ia harus membayar semua pengeluaran pokok yang tak tertutupi oleh penghasilan yang diterima. Bahkan, mobil kesayangan Rosa telah terjual untuk membayar gaji karyawan, pengeluaran wajib setiap bulan, dan kebutuhannya sehari-hari. “Saya bangkrut, Pak. Tetapi saya usahakan untuk membayar kekurangannya.” “Apa Ibu punya penghasilan lain?” Selama menjadi pengacara Rosa, pria itu tahu bagaimana keuangan k
Bryan telah menunggu Zea di depan fakultas kedokteran, tempat gadis itu menuntut ilmu. Keduanya berjalan memasuki area parkir menuju kendaraan Bryan. “Kita ke mana?” tanya Bryan, ketika mereka telah masuk ke dalam mobil.Zea melirik jam di tangannya yang masih menunjukkan pukul 14.00. “Jalan, yuk!”Bryan setuju. Mereka memilih sebuah tempat wisata yang ada di kawasan Lembang, Bandung. Setelah menikmati aneka jajanan dan menaiki wahana air yang ada di Pasar Terapung, mereka pun kembali pulang. Namun di perjalanan keduanya terjebak macet, hingga mobil itu harus terhenti lama. “Masih di jalan, Ma,” jawab Zea, ketika Alina menelepon karena khawatir.Pukul 20.00, Zea tiba di rumah. Pandu dan Alina sudah berdiri di depan teras. Sepasang remaja itu merasa bersalah, karena pulang terlambat. Mereka tak menyangka akan terjebak macet beberapa jam di jalan. Pandu menyambut Zea dingin, ketika tangan gadis itu meraih tangannya. Kedekatan Zea dan Bryan membuat Pandu mulai khawatir. Kadang, tanpa
Regina menatap putranya yang akhir-akhir ini tak semangat. Bahkan, pulang kuliah Bryan sering menghabiskan waktunya di rumah atau membantu Bagas di kantor.“Kamu kenapa?” tanya Bagas yang penasaran dengan perubahan sikap putranya.Pria muda itu menghela napas lemah. “Om Pandu melarangku mendekati putrinya, Pa.”Regina dan Bagas saling pandang. Kesalahan apa yang dilakukan putranya, hingga Pandu melarang hubungan mereka? Putranya tampan, bahkan berasal dari keluarga baik-baik dan terpandang. “Kenapa?” “Om Pandu bilang, ia harus menjaga putrinya untuk enggak pacaran dan berduaan dengan pria yang enggak halal untuk Zea,” jawab Bryan lemah mengingat statusnya. “Om Pandu khawatir kami akan melakukan hal yang salah. Terus terang saja, aku enggak pernah berpikir untuk merusak Zea, Pa. Aku sayang dan cinta sama Zea. Tetapi Om Pandu meminta kami jaga jarak. Jika sudah menikah, baru boleh bersama.”Bagas terkekeh mendengar perkataan putranya. “Kamu tahu kenapa kakakmu, Diandra, Papa nikahkan d
Rosa berdiri di depan kamar itu dengan penuh kemarahan. Ia ingin menggedor pintu itu agar terjadi keributan dan keduanya malu hingga tak jadi memadu kasih. Ketika tangan Rosa hendak beraksi, ponselnya berdering. Wanita itu menghela napas kasar. Ia mengambil ponsel dan mendapati nama Miftah tertera di layar.“Di mana? Aku sudah menunggu dari tadi,” ucap pria itu di ujung telepon.“Ya, aku sudah sampai.” Rosa merungut, panggilan Miftah mengganggu aksinya.Pintu kamar sebelah terbuka. Miftah muncul dengan bertelanjang dada. Rosa tak menyangka, kamar yang dipesan Miftah berdampingan dengan kamar yang dipesan Pandu. “Bukan di situ.”“Oh, aku pikir di sini,” dalih Rosa.Miftah semringah, ketika Rosa memasuki kamarnya. Ia tak peduli dengan wajah wanita itu yang tampak menyembunyikan sebuah kemarahan. Rosa meletakkan tasnya di nakas. Pandangannya berserobok dengan sebuah obat khusus pria dewasa yang sudah terbuka. Sebagai wanita yang bergelut dari satu ranjang ke ranjang lain, Rosa hafal betu
Suara ponsel tak henti berdering, hingga mengusik dua orang yang sedang tertidur pulas memulihkan tenaga. Tangan Miftah bergerak meraih benda pipih itu, kemudian meletakkannya di telinga.“Mas, kamu di mana?” Tanpa basa-basi, suara wanita dengan nada cemas terdengar di ujung telepon.Miftah bangkit dari tidurnya seraya memijit kepala yang terasa pusing karena pengaruh obat. “Lagi di luar. Ada pertemuan penting dengan klien.”Rosa yang mendengar Miftah berbohong tersenyum kecut tanpa membuka mata. Ini adalah alasan klasik seorang suami mengelabuhi istrinya.“Iya, Sayang, aku pulang.” Pria itu bergegas ke kamar mandi, kemudian memakai kembali pakaiannya. Sebelum pergi, Miftah mendatangi Rosa yang pura-pura memejamkan mata. “Aku harus segera pulang, ayah mertuaku berkunjung,” ucap Miftah, kemudian mengambil dompet dan kunci mobil yang tersimpan di nakas. Ia pergi, meninggalkan Rosa begitu saja tanpa memastikan wanita itu sudah bangun atau mendengar tanggapan Rosa. Miftah bukanlah pria pe
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.
Beberapa Bulan kemudian ....Bertempat di halaman rumahnya yang luas, Zidan yang kini berusia satu tahun mulai melangkahkan kaki kecilnya di atas rumput hijau yang sangat terawat. Pandu merentangkan kedua tangan seraya memanggil nama putranya. Kaki kecil Zidan melangkah menuju sang papa yang disambut dengan gembira oleh Pandu.Alina yang melihat interaksi keduanya sangat bahagia. Tawa Zidan menggema. Ia merentangkan kedua tangan, ketika Pandu mengayunkan tubuh kecilnya seperti akan terbang. Pria itu tampak makin sehat dan muda, meski usianya hampir setengah abad. Senyumnya begitu merekah dan kebahagiaan begitu terlihat dari bibirnya yang tak henti tertawa. Bahkan, sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak cinta untuk wanita yang berdiri di sampingnya.Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita memakai gamis dan sebagian wajahnya tertutup cadar. Ia berdiri, terpaku menatap keluarga bahagia itu. Hampir setiap hari ia berdiri di balik pagar rumah hanya untuk melihat pria yang hi
Kehadiran anggota baru keluarga membuat rumah mewah Pandu menjadi ceria. Suara tangis, tawa, dan celoteh kecil terdengar bak mantra yang mampu menghipnotis para penghuninya. Zea dan Bryan lebih banyak bermalam di rumah itu, supaya bisa dekat dengan adik kecilnya. Sedangkan Zyan menghabiskan waktu luangnya setelah pulang bekerja untuk mengasuh Zidan. Laki-laki kecil itu menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seperti magnet yang menarik semua anggota keluarga untuk berkumpul. Kebahagiaan Pandu makin bertambah, perusahaan mereka makin maju. Zyan mewarisi bakat Pandu dalam berbisnis. Ia begitu pintar mengelola perusahaan dan jeli dalam membaca peluang. Pandu sangat bangga, ketika menghadiri rapat petinggi perusahaan untuk mendengar perkembangan perusahaan sekaligus kerja sama baru yang sedang mereka kerjakan. Zyan dan Bryan bekerja sama dalam menggarap sebuah proyek pemerintah yang sangat menantang dalam skala besar. Pandu dan Bagas tersenyum dan saling melirik, ketika kedua pria muda itu
Rosa hanya bisa menunduk dengan air mata berlinang saat mendatangi Ustazah Ana. Ia malu dan merasa hina, setelah semua aibnya terbongkar. Walaupun wanita itu tak pernah mengusik masa lalunya, tetapi Rosa yakin, Ustazah Ana mengetahui semuanya. Apalagi ia pernah sombong dan menolak nasihat wanita itu hingga memblokir kontak Ustazah Ana. Kini, ia terpaksa menjilat ludah sendiri. “Maafkan saya, Ustazah, saya salah. Saya menyesal, karena enggak mengikuti nasihat Ustazah,” lirih Rosa penuh penyesalan.Ustazah Ana menatap Rosa yang bersimbah air mata. Dengan terbata-bata, Rosa menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam dan tak bahagia. Tak hanya itu, dosa-dosa yang telah ia perbuat ikut terucap dari bibirnya hingga menjelaskan bagaimana buruknya seorang Rosalina di masa lalu.“Hijrah itu harus dari hati yang terdalam. Benar-benar ingin berubah dan siap menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama. Hijrah akan terasa sangat berat bagi hamba yang mengagungkan dunia. Perbaiki diri, niatkan dal