Sejak tiga puluh menit lalu, yang Nayla lakukan hanya duduk diam sembari memandang kosong pada selembar kertas di tangannya.Dalam hatinya ia terus berperang. Salahkan Nayla yang asal meng-iyakan saja tantangan dari Zayyan, tanpa mau berkaca pada kemampuan dirinya sendiri.“Lomba Cerdas Cermat? Dan kamu menyetujuinya?” Nisa tak bisa menahan ekspresi terkejutnya.“Maafkan Nisa, Nona, bukan bermaksud meragukan kemampuan Nona, tapi apa tidak sebaiknya Nona batalkan saja kesepakatan dengan Ustadz Zayyan?” memang dasarnya Nisa ini adalah perempuan yang lemah lembut plus gak enakan, membuat dia mencoba menyadarkan Nayla dengan pemilihan kata-kata selembut dan sehalus mungkin. Nisa tak tega mengatakan secara frontal seperti:“Sadarlah, kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri! Huruf hijaiyah aja kamu belum hapal, apalagi harus mengikuti Lomba Cerdas Cermat melawan santri-santri lain yang lebih siap segalanya?”“Ya, aku tahu maksudmu,” Nayla bukan manusia bodoh yang tak tahu pesan tersira
Jika diibaratkan lampu, mungkin mata Nayla saat ini sudah 5 watt. Sebentar lagi, kedua mata itu akan terlelap, jika saja tidak ada dua batang korek api yang menopang kelopak itu agar tidak terpejam.Pukul 23.46, hampir tengah malam, namun kamar nomor 13 masih terang benderang cahayanya, pertanda bahwa si penghuni masih terjaga di sana. mereka sedang melakukan apa? mari kita cari tahu bersama.“Sejarah mencatat bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Perdagangan maritim menjadi jalur utama penyebaran agama ini. Pedagang-pedagang muslim dari berbagai wilayah, seperti Gujarat, India, dan Timur Tengah, datang ke pelabuhan-pelabuhan Indonesia membawa bersamaan ajaran Isl-,” Nayla tak mampu menyelesaikan kalimatnya karena rasa kantuk yang membuat matanya tertutup sejenak. Sadar bahwa jika ia tertidur, maka dia akan kalah dari Mutia, hal itu membuat Nayla terperanjat lalu memukul-mukul pipinya keras dan kembali membaca buku tebal di hadapannya.“Jangan, jangan tidu
Hari ini adalah hari penentuan. Hari di mana perlombaan akhirnya akan dilaksanakan.Di salah satu kamar dengan stiker angka 13, terlihat dua orang yang masih menyelami alam mimpinya. Seorang perempuan remaja menuju dewasa nampak tertidur pulas di atas tumpukan buku yang terbuka di halaman 146, sedangkan satu lagi, anak perempuan dengan rambut yang sudah tak karuan, terlihat tertidur berbantalkan tiga buku tebal yang ditumpuk.“Pengumuman-pengumuman, lomba cerdas cermat Pesantren Nurul Huda akan dilaksanakan satu jam lagi. bagi para peserta diharapkan untuk tiba tiga puluh menit lebih awal untuk bersiap-siap. Terima kasih.”Suara pengumuman itu masuk ke telinga Nayla dan membuat gadis itu langsung terlonjak dari tidurnya. Dengan mata panda yang nampak kentara, Nayla melihat ke sekeliling demi memastikan bahwa Nisa dan Aisha sudah bangun. Namun yang dilihatnya hanya ada Aisha yang masih pulas di alam mimpinya.“Aish, bangun,” katanya lembut sambil mengusap kepala Aisha pelan. Semalam su
TEET!“Ya, kelompok 3, apa jawabannya?”“Wajibul Maujud!” jawab Nisa dengan lantang dan semangat tingkat tinggi.“Alasannya?”“Allah adalah Khaliq atau yang menciptakan alam sehingga alam disebut makhluk. Keberadaan Allah adalah wajib atau disebut Wajibul Mujud dan Allah bersifat kekal. Sedangkan keberadaan makhluk itu tidak wajib atau disebut juga Mumkinul Wujud, artinya boleh ada dan boleh tidak ada.”“15 point!”Nisa bersorak kegirangan di tempatnya duduk, sedangkan dua orang manusia di sebelah kanannya malah diam terpaku, menatap Nisa dengan tatapan aneh seolah-olah bertanya, benarkah yang duduk di sisi mereka adalah Nisa yang sama yang pendiam seperti yang mereka kenal? Mengapa Nisa bisa berubah menjadi secerdas ini?“Nis? Ini benar Nisa teman kami kan?” tanya Nayla ragu-ragu, pasalnya ini sudah pertanyaan ke sembilan yang dijawab benar oleh kelompoknya.“Tentu saja Nona, ini Nisa,” jawabnya sambil tersenyum manis.“Bagaimana bisa teman kami berubah sepintar ini hanya dalam waktu
Nayla, Nisa, dan Asiha tak henti-hentinya tersenyum. Mereka kini berada di atas panggung dengan riuh suara tepuk tangan yang menggema memenuhi seluruh ruangan.Aisha sedari tadi terus melambai-lambaikan tangannya ke arah siapapun, terutama ke arah abangnya, Japar yang sampai menangis karena bangga. Nisa, gadis pemalu itu terus tersenyum malu-malu sambil mengusap air mata haru di matanya. Gadis itu masih tak menyangka bahwa usahanya begadang tiga hari lalu dan membaca belasan buku tebal ternyata membuahkan hasil sebaik ini.Berbeda dengan kedua temannya, Nayla, gadis itu nampak tak fokus. Matanya sedari tadi terus memindai seisi ruangan mencari kehadiran sosok yang ia tunggu. Di kursi depan, terlihat abah yang tersenyum bangga padanya, sedangkan di tengah-tengah ada Laila yang menatapnya tajam dengan wajah kusut masai.“Lah, kenapa dia?” Nayla berrgumam ketika melihat Laila memandangnya dengan tak suka, seperti seorang yang ingin melahap Nayla hidup-hidup.“Udahlah, ini bukan waktunya
“Saya mau Ustadz nikah sama saya.”Tiga detik berikutnya, hanya suara angin yang terdengar. Sepertinya Zayyan masih terkejut dengan permintaan aneh dari gadis itu sekaligus keberaniannya mengatakan kalimat konyol itu.“Itu permintaan saya, dan saya mau Ustadz tepati janji Ustadz kemarin.”“Saya tidak bisa,” kata-kata itu terlontar tegas dari bibir Zayyan, “Saya tidak bisa mengabulkan permintaan itu.” ulangnya lagi sembari melanjutkan langkahnya untuk menjauhi Nayla.“Kenapa?” Nayla tak akan menyerah semudah itu, dia terus mengejar dan mengikuti ke mana pun Zayyan pergi.“Kenapa Tadz, bukannya kemarin Ustadz udah janji?”“Tapi bukan permintaan seperti itu yang saya maksud!”“Kenapa? Bukannya itu hanyalah permintaan kecil yang bisa dengan mudah diwujudkan. Bahkan jika Ustadz setuju, kita bisa secepatnya melakukan pernikahan itu. Mau lusa? Besok? Atau sekarang pun saya siap, kita tinggal panggil penghulu dan-““TIDAK SEMUDAH ITU!” Zayyan tanpa sadar membentak Nayla. Emosinya tak bisa dik
Pukul 4 pagi, beberapa menit lagi menuju adzan subuh, Abah yang sudah terbangun dan tengah mengadu kepada Tuhannya di atas sajadah, dikejutkan dengan suara ketukan di pintu depan Bumi Ageung. Ketukan itu terdengar keras, dan berulang-ulang, menandakan ada sesuatu tak baik yang sedang terjadi.Terpaksa, lelaki tua itu bangkit dari sajadah berwarna marun dan menutup kitab Al-Quran di tangannya, lalu dicium sebelum diletakan kembali di atas nakas.“Abah! Abah!” suara dua orang wanita itu terdengar panik, terus menerus memanggil abah untuk segera ke luar dan menemui mereka.“Waalaikumsalam warahmatullah, sebentar,” dengan langkah tertatih, abah menuju sebuah pintu ukir berbahan kayu yang ia pesan langsung dari Jepara.“Siapa?” Abah membuka pintu itu, dan mendapati dua orang santrinya yang menatapnya dengan tatapan berbeda. Salahs eorang di antara mereka, seumuran dengan Nayla, cucunya, dan seorang lagi merupakan gadis kecil yang abah ingat beberapa kali melihat Nayla bersama dengan mereka
“Nama?”“Cassand- eh, Nayla. Nama saya Nayla Zahrana Putri.”Seorang perempuan dengan rambut disanggul rapi dan mengenakan jas kerja, nampak mengetikan sesuatu di layar komputernya.“Nona ingin menemui siapa?”“Jerry, Maksud saya Tuan Jeremy Nata Yudha,” suara Nayla terdengar gemetar ketika mengatakan nama itu. Jerry, adalah panggilan khusus untuknya kepada kekasihnya, Jeremy. Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam hatinya, perasaan takut, ragu, pun perasaan rindu yang meledak-ledak. Rasanya sudah sangat lama ia tak bertemu bahkan bertukar pesan lewat handphone pun tidak pernah, setelah hp miliknya diamankan oleh Abah.Mata Nayla mengedar, menelisik setiap sudut interior dalam bangunan megah ini. Sudah terlalu lama dia meninggalkan gedung yang dulu sudah serupa rumah kedua baginya di Jakarta. Tentu saja, karena gedung ini adalah gedung tempat manajemen yang menanungi pekerjaan keaktrisannya selama di ibu kota.Semua ruangannnya masih sama, hanya saja interiornya yang agak sedikit b
Pukul 2 dini hari. Hujan sudah berhenti, menyisakan sepi dan angin dingin yang masih berlari ke sana sini. suasana sepi itu juga dirasakan oleh dua insan manusia yang tengah duduk berhadapan dengan kondisi pakaian yang sama-sama basah.“Untuk apa kamu ke sini?” Nayla bertanya ketus setelah hampir dua puluh menit lalu yang mereka lakukan hanya duduk diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.“Untuk menyelamatkanmu.”“Tapi aku gak pernah minta diselamatkan.” Jelas Nayla yang seakan memberitahu sosok lelaki di sampingnya bahwa dia sama sekali tak butuh bantuan dari siapapun.“Kamu memang gak minta, tapi Abah yang memerintahkan saya untuk menyelamatkanmu.”Nayla menghela napas dalam. Abah? Abah yang menyuruhnya untuk menemukan Nayla di Jakarta? Apakah sebenarnya apa yang dipikirkan Nayla tak sepenuhnya benar? Apakah sebenarnya masih ada seorang manusia yang masih menyayanginya, yaitu abah?“Saya masih gak habis pikir, kok kamu bisa-bisanya berpikir untuk loncat dan menjerumuskan dirimu
“Ayok Nak, ikut Ibu,” wajah itu lambat laun membentuk sosok utuh perempuan cantik dengan rambut panjang dan kulit pucat. Dia terus tersenyum sembari mengulurkan tangannya untuk bisa digapai oleh Nayla.“Dunia memang jahat, kamu tidak seharusnya di sini. ayok ikut Ibu, bukannya kamu selalu rindu untuk bisa hidup denganku?”Nayla diam, membenarkan dalam hati. Yang dia katakan adalah benar, dunia terasa sangat jahat kepada Nayla. Tak ada satupun manusia yang bisa mengerti dirinya, bahkan Abah yang ia duga akan mengerti, sama saja seperti orang lain. Kekecewaan Nayla terhadap penolakan Ustadz Zayyan yang berlanjut kekecewaannya terhadap penghianatan Lily dan Jerry membuat kepala Nayla semakin kacau.Prasangkanya kepada Tuhan yang katanya selalu mencintai hamba-Nya, perlahan kabur, berganti menjadi rasa kecewa dan timbul pertanyaan, apakah Tuhan benar-benar baik seperti yang selalu dikatakan abah padanya?Kalau Tuhan m
“Totalnya jadi 76.000.”Nayla merogoh lagi saku gamis. Hanya tersisa uang lima puluh ribu di sana. semua yang terjadi benar-benar tak sesuai dengan ekspetasi. Mana tahu kalau kembali ke Jakarta membuatnya harus berada dalam situasi seperti ini.Selembar uang biru yang sudah lecek dan basah entah karena hujan atau air matanya, hanya itulah barang berharga terakhir yang ia punya. Salahkan juga Nayla yang merasa cukup kabur hanya dengan uang seratus ribu yang berhasil ia curi dari saku gamis abah. Lalu ke mana sisa lima puluh ribu lagi? uang itu sudah Nayla gunakan untuk menyogok sopir mobil bak yang sering membawa sayur ke pesantren, agar sopir itu bisa membawanya kabur kembali ke Jakarta.“Saya gak punya uang Pak, hanya sisa segini,” Nayla berbicara lemah. Seumur-umur dia tak pernah merasa se miskin ini. Dulu saat Nayla menjadi aktris, didompetnya tak ada lagi uang lain selain yang berwarna pink dan biru, tapi sekarang, bahkan uang tujuh p
“Cassandra?” Jerry lah yang pertama kali bersuara ketika ia melihat seorang perempuan berdiri di balik ruang kerjanya.Di sana, sudah ada Nayla yang menatap geram pada kedua manusia bejat di hadapannya. Beberapa detik lalu, Nayla memutuskan ke luar dari tempat persembunyiannya dan hendak melabrak Jerry dan Lily.“Apakah benar itu kamu?”“Ya, ini aku, Cassandra Calista, manusia yang telah kalian hancurkan karirnya dan kehidupannya.” Suara Nayla bergetar hebat, dia sudah tak sanggup lagi bersuara ketika hatinya sedang terluka. Sambil mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, Nayla berusaha setengah mati untuk tak terlihat lemah di hadapan Jerry dan Lily. Dia tak mau mereka merasa menang karena telah berhasil mengalahkan keteguhan hati Nayla.“Ini benar-benar kamu?” Jerry memastikan sekali lagi ketika melihat penampilan Nayla yang berbeda.“Kenapa kamu terlihat berbeda?” Cassandra yang dulu ia kenal tak mungkin berpenampilan seperti ini. Cassandra adalah tipe yang sangat mengerti tentang fa
“Apa kau ingat, Baby, saat kita membuatnya tak sadar dan berakhir di kamar hotel? Kita bahkan berhasil mengambil puluhan fotonya saat dia bersama lelaki tua yang kita sewa.”“Tentu saja, aku ingat waktu itu, satu foto barang bukti bisa kita jual seharga seratus juta lebih kepada banyak media.”Tawa itu semakin terdengar menusuk ke dalam hati Nayla. Di bawah sana, teapt di abwah meja, Nayla masih meringkuk sambil menutup kedua telinganya rapat-rapat berharap agar suara-suara dan hinaan itu tak terdengar lagi olehnya.Beberapa kali, gadis itu bahkan mencubit lengannya sampai memerah dan mengeluarkan darah, berharap agar semua yang terjadi adalah mimpi buruk dan Nayla ingin segera bangun dari mimpi buruk ini.“Yang paling aku ingat, Baby, saat wajahnya berubah sepucat mayat saat kakeknya yang kampungan itu datang ke klub dan menangkap basah cucunya yang sedang mabuk dan menari di atas lantai dansa. Aku bisa merasakan perasaan kecewa dari kakeknya itu ketika melihat cucu tersayangnya dal
Pintu itu tidak terkunci, membuat seorang gadis dengan gamis hitam dan jilbab panjangnya itu akhirnya berhasil masuk dengan mudah ke dalam ruangan bertuliskan ‘Ruangan Khusus Tuan Jeremy Nata Yudha.”Dengan satu niat kejahilan di kepala, Nayla memutuskan untuk bersembunyi di bawah meja milik Jeremy. Niatnya dia ingin mengagetkan kekasihnya itu dan memberikan kejutan kepadanya.“Pasti Jery bakal kaget liat aku ada di sini,” sembari terkikik, Nayla sengaja menarik lagi kursi geser agar menutupi tubuhnya yang jongkok di bawah meja.Tak lama menunggu, dapat Nayla dengar suara langkah kaki. Dari suara ketukannya, Nayla tebak bahwa yang datang mendekat bukan hanya satu orang melainkan lebih. Intuisinya mengatakan bahwa yang akan masuk ke ruangan ini adalah dua orang? Tapi siapa?Tiba-tiba terdengar suara pintu otomatis yang terbuka, disusul dengan suara seorang pria.“Gimana Baby, seneng gak kemarin waktu kita jalan-jalan ke
“Nama?”“Cassand- eh, Nayla. Nama saya Nayla Zahrana Putri.”Seorang perempuan dengan rambut disanggul rapi dan mengenakan jas kerja, nampak mengetikan sesuatu di layar komputernya.“Nona ingin menemui siapa?”“Jerry, Maksud saya Tuan Jeremy Nata Yudha,” suara Nayla terdengar gemetar ketika mengatakan nama itu. Jerry, adalah panggilan khusus untuknya kepada kekasihnya, Jeremy. Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam hatinya, perasaan takut, ragu, pun perasaan rindu yang meledak-ledak. Rasanya sudah sangat lama ia tak bertemu bahkan bertukar pesan lewat handphone pun tidak pernah, setelah hp miliknya diamankan oleh Abah.Mata Nayla mengedar, menelisik setiap sudut interior dalam bangunan megah ini. Sudah terlalu lama dia meninggalkan gedung yang dulu sudah serupa rumah kedua baginya di Jakarta. Tentu saja, karena gedung ini adalah gedung tempat manajemen yang menanungi pekerjaan keaktrisannya selama di ibu kota.Semua ruangannnya masih sama, hanya saja interiornya yang agak sedikit b
Pukul 4 pagi, beberapa menit lagi menuju adzan subuh, Abah yang sudah terbangun dan tengah mengadu kepada Tuhannya di atas sajadah, dikejutkan dengan suara ketukan di pintu depan Bumi Ageung. Ketukan itu terdengar keras, dan berulang-ulang, menandakan ada sesuatu tak baik yang sedang terjadi.Terpaksa, lelaki tua itu bangkit dari sajadah berwarna marun dan menutup kitab Al-Quran di tangannya, lalu dicium sebelum diletakan kembali di atas nakas.“Abah! Abah!” suara dua orang wanita itu terdengar panik, terus menerus memanggil abah untuk segera ke luar dan menemui mereka.“Waalaikumsalam warahmatullah, sebentar,” dengan langkah tertatih, abah menuju sebuah pintu ukir berbahan kayu yang ia pesan langsung dari Jepara.“Siapa?” Abah membuka pintu itu, dan mendapati dua orang santrinya yang menatapnya dengan tatapan berbeda. Salahs eorang di antara mereka, seumuran dengan Nayla, cucunya, dan seorang lagi merupakan gadis kecil yang abah ingat beberapa kali melihat Nayla bersama dengan mereka
“Saya mau Ustadz nikah sama saya.”Tiga detik berikutnya, hanya suara angin yang terdengar. Sepertinya Zayyan masih terkejut dengan permintaan aneh dari gadis itu sekaligus keberaniannya mengatakan kalimat konyol itu.“Itu permintaan saya, dan saya mau Ustadz tepati janji Ustadz kemarin.”“Saya tidak bisa,” kata-kata itu terlontar tegas dari bibir Zayyan, “Saya tidak bisa mengabulkan permintaan itu.” ulangnya lagi sembari melanjutkan langkahnya untuk menjauhi Nayla.“Kenapa?” Nayla tak akan menyerah semudah itu, dia terus mengejar dan mengikuti ke mana pun Zayyan pergi.“Kenapa Tadz, bukannya kemarin Ustadz udah janji?”“Tapi bukan permintaan seperti itu yang saya maksud!”“Kenapa? Bukannya itu hanyalah permintaan kecil yang bisa dengan mudah diwujudkan. Bahkan jika Ustadz setuju, kita bisa secepatnya melakukan pernikahan itu. Mau lusa? Besok? Atau sekarang pun saya siap, kita tinggal panggil penghulu dan-““TIDAK SEMUDAH ITU!” Zayyan tanpa sadar membentak Nayla. Emosinya tak bisa dik