"Selamat pagi sayang," Barra mengecup bibir Sarah yang masih tertidur nyenyak di sebelahnya. Sarah melenguh ketika Barra mulai memainkan tangannya di gundukan kenyal milik Sarah, lalu melumat bibirnya yang masih terasa bengkak bekas percintaan kemarin. Seharian penuh yang mereka lakukan kemarin hanya bercinta dan bersantai di kamar, hari ini Sarah ingin jalan-jalan dan menikmati pemandangan Cappadocia secara langsung tidak hanya lewat jendela kamar hotel."One more time, baby? please." pinta Barra. "Baiklah, hanya satu kali dan setelah itu kita jalan-jalan. Aku ingin menaiki balon udara bersamamu," "Tentu saja, anything for you honey."Yang terjadi setelahnya adalah Barra ingkar pada janjinya, tiga jam berharga Sarah di hari ini akhirnya terpotong hanya untuk melayani Barra. Sarah yang kesal langsung mandi dengan tergesa-gesa, ia bahkan mengunci pintu kamar mandi agar Barra tidak bisa masuk ke dalam menyusulnya. Barra hanya bisa tertawa melihat wanitanya itu merajuk, bukan salahnya
"Bagaimana tante Arista?" tanya Luna dengan nada angkuhnya. Arista tertunduk dengan perasaan bingung yang bercampur aduk, ia tidak mungkin menyerahkan semua saham miliknya kepada Luna. Jika Arista memberikan semua saham miliknya kepada Luna, itu sama saja dengan membiarkan keluarga Lionel menginjak-injaknya di perusahaan miliknya sendiri mengingat Barra hanya memiliki dua puluh persen saham. Seandainya saja mereka kembali, mungkin Arista bisa meminta pertolongan kepadanya karena mereka pemilik saham tertinggi kedua di Amethyst. Tapi hingga kini Arista tidak tau dimana keberadaan mereka, bahkan keluarganya saja tidak tau atau lebih tepatnya tidak mau tau."Saya minta waktu untuk menunggu Barra dulu, Gabriel bilang mereka akan pulang besok." jawab Arista."Jadi tante tau dimana Barra sekarang?" Arista menggeleng lemah, "Tidak, Gabriel hanya memberitahukan kepada tante kalau Barra akan kembali besok.""Tante tidak sedang berbohong kan?" tanya Luna ragu. "Tidak, untuk apa tante berboho
"Let me go! son of a bitch!" pekik Enzo saat tubuhnya di seret paksa oleh orang bayaran Barra. "Shut your nagging mouth, Enzo! Or do you want me to give you a few more punches." Enrique menendang pinggang Enzo hingga pria itu mengerang kesakitan. Enrique melempar Enzo ke dalam sebuah rumah yang tidak Enzo ketahui siapa pemilik rumah tersebut, aura dari rumah ini begitu elegan namun terbalut dengan kesan yang dingin hingga membuat Enzo merinding. Setelah di seret cukup jauh, akhirnya Enzo di lemparkan ke hadapan seorang pria muda yang memiliki wajah ras campuran. Enzo menatapnya lekat, sampai akhirnya ia terdiam dengan mulut menganga karena saking terkejutnya."Kau, apakah kau putranya Arista?" tunjuk Enzo, berada di Indonesia cukup lama membuat Enzo fasih berbahasa Indonesia. "Apa kau mengenaliku, pria brengsek?" Barra bangkit menghampiri Enzo yang terkulai lemah di lantai. Semakin Barra mendekat, semakin Enzo yakin kalau yang ada di hadapannya saat ini adalah putranya. Barra Ars
Sarah melangkah gontai ke dalam kondominium, hari ini pekerjaan di kantor begitu banyak dan melelahkan untuknya. Saat membuka pintu kamar netra Sarah melihat sosok yang sudah dua hari ini sangat ia rindukan, pria itu kini tengah duduk di bibir ranjang dengan handuk melilit tubuh bagian bawahnya dan segelas wine di tangannya. Sarah langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat, mereka baru tidak bertemu selama dua hari tapi rasanya seperti sudah dua abad. "Sebegitu rindunya kah kamu kepadaku, Sarah?" tanya Barra."Tentu, apa kamu tidak merindukan aku?" tanya Sarah ketus."Aku tidak bilang begitu," "Lantas kenapa malah bertanya seperti itu?""Aku hanya menggodamu sayang, kenapa kamu sensitif sekali. Apa kamu sedang datang bulan?" Sarah tersenyum lebar dengan bola mata berbinar, "Aku tidak sedang datang bulan, tapi aku sedang hamil." "Oh, kamu sedang hamil." angguk Barra santai, "Apa Sarah?! kamu hamil? aku tidak salah dengar kan?" "Tidak, aku memang sedang hamil." Barra langsung
Sarah tiba di kota J pada sore hari dengan di temani oleh Barra dan Gabriel, saat mereka tiba di rumah sakit jenazah Helena rupanya baru saja selesai di autopsi dan hendak dimandikan oleh pihak rumah sakit. Dokter mengatakan jika Helena mengalami tindak kekerasan dengan bukti pukulan benda tumpul di tengkorak kepalanya, juga pendarahan di area intimnya yang diyakini karena percobaan pengguguran kandungan. "Kami menemukan jejak seseorang yang terakhir keluar dari unit apartemen itu lewat rekaman kamera pengawas," "Saya ingin melihatnya, boleh?" pinta Sarah, karena sepertinya ia memiliki firasat jika yang melenyapkan Helena adalah Tyo. "Silahkan ikut saya," Ternyata tebakan Sarah benar, yang melenyapkan Helena adalah Tyo bahkan lelaki itu masih sempat-sempatnya menyetubuhi Helena di titik terakhir nafas Helena. Bola mata Sarah memerah menampakkan kebencian yang begitu mendalam, tangannya mengepal erat hingga kukunya tertancap di telapak tangan. "Pria itu adalah Tyo Hartanto, seoran
Sarah duduk di depan cermin besar dan memperhatikan penampilannya lekat, ini memang bukan pernikahan pertamanya namun entah mengapa Sarah merasa gugup sekali melebihi saat menikah dengan Mario dulu. Sarah mengambil secarik foto usang yang selama ini selalu ia bawa kemanapun, hanya ini satu-satunya kenangan yang bisa mengobati rasa rindu Sarah kepada mereka. Lewat batin, Sarah memohon restu kepada kedua orangtuanya dan memanjatkan harapan kalau Barra adalah pelabuhan terakhirnya hingga menutup usia nanti. "Anda sudah sangat cantik nyonya, tidak perlu cemas seperti itu." ucap si penata rias saat melihat Sarah yang nampak gelisah, Sarah hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan penata rias tersebut.Penata rias itu keluar dari kamar Sarah setelah tugasnya selesai, namun beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya masuk ke kamarnya dan menatapnya dengan penuh kebencian. "Ibu Arista?" "Kamu benar-benar wanita yang tidak tau diri Sarah!" Arista melayangkan tangannya hendak menampar Sar
"Sudah lama saya mencari keberadaan Indah dan Petra, ternyata saya malah menemukan putrinya." ujar Arista seraya memandangi foto ibunya Sarah. "Apa ibu mengenal kedua orang tuaku?" tanya Sarah. "Tentu, ibumu adalah sahabat terbaik saya Sarah. Tapi dimana dia sekarang?" "Ibu dan ayah sudah meninggal dunia, karena kecelakaan." jawab Sarah lirih. Arista terkejut bukan main, "Ya Tuhan, kapan itu terjadi Sarah? tapi kenapa keluarga ibumu malah mengatakan kalau mereka tidak tau dimana keberadaan Indah?" "Saat aku kuliah semester dua, karena ibu tidak lagi di akui sebagai anak mereka sejak ibu nekat menikah dengan ayah." Arista mengambil dokumen yang ada di dalam tasnya, sebuah surat kepemilikan saham yang selama ini Arista simpan rapat-rapat atas nama Indah. Seharusnya saham ini jatuh ke tangan Indah, tapi karena Indah sudah tiada maka saham ini akan jatuh ke tangan Sarah. "Apa ini bu?" tanya Sarah. "Surat kepemilikan saham milik ibumu di Amethyst, ibumu memiliki saham di perusahaan
Barra terbangun dari tidurnya saat merasakan ada tangan kecil yang mengelus pelan wajahnya, lembut dan hangat bahkan sesekali mencubit ujung hidungnya. Dhafin beringsut mundur ketika mata Barra terbuka sempurna, "Maaf, aku pasti mengganggu." "Tidak apa-apa, sekarang sepertinya sudah pagi ya?" tanya Barra sembari meregangkan tubuhnya, Dhafin mengangguk. "Dimana ibumu?" "Mama sedang di dapur menyiapkan makan untuk kita semua," Barra bangkit dan menggandeng Dhafin keluar dari kamar, harum aroma masakan Sheila merebak ketika mereka tiba di meja makan. Sheila memang pintar memasak jenis makanan apapun, karena dulu ia sempat mengikuti kursus memasak agar bisa memasak semua makanan kesukaan Barra."Kalian sudah bangun? ayo silahkan dinikmati, mumpung masih hangat." Sheila menuangkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Barra dan juga Dhafin. Dhafin yang tidak tebiasa memakan nasi, agak tidak bersemangat saat melihat sarapannya. Dhafin mendorong makanan tersebut bahkan sebelum mencicipinya
Pagi hari, Barra pergi lebih dulu ke Amethyst sebelum sarah terbangun. Barra sengaja pergi lebih dulu karena ia tidak ingin melihat Sarah dijemput oleh Julian, namun sebelum pergi Barra sudah menyiapkan sarapan khusus untuk Sarah.Sarah terbangun dengan keheningan yang menyambutnya di pagi hari, semua pelayan sibuk membersihkan rumah dan taman sedangkan penjaga rumah sibuk berjaga didepan. Sarah menyalakan ponselnya yang sejak semalam ia nonaktifkan, puluhan chat dari Julian membombardir ponselnya juga panggilan tidak terjawab. "Aku sudah bangun Julian, maaf aku lelah sekali jadi telat bangun pagi."Jawab Sarah menjelaskan kepada Julian mengapa ia bangun terlambat, namun Julian tetap berbicara omong-kosong terus menerus. "Baiklah, aku akan bersiap sekarang." Sarah memutuskan panggilan teleponnya, lalu bergegas mandi dan berdandan sebelum Julian datang. Lima belas menit kemudian Julian datang dengan sebuket bunga mawar untuk Sarah, Sarah masih berada di kamarnya dan mungkin baru aka
Sarah merenung menatap ke langit-langit kamarnya, ia terus memikirkan dua pria yang sangat mengharapkannya. Sarah belum bisa memutuskan untuk memilih siapa, karena ia juga tidak tau bagaimana perasaannya untuk kedua pria itu. Sarah sebenarnya punya rencana lain setelah pernikahan Claudia nanti, tapi jika seperti ini adanya mungkin Sarah akan lebih memilih untuk menjalankan rencananya sekarang.Sarah mengambil ponselnya, lalu menghubungi mereka dan memintanya untuk bertemu di sebuah cafe terkenal di kota ini. Mereka langsung bergerak cepat ke tempat yang Sarah sebutkan, tidak lupa juga membawa bunga untuk diberikan kepada Sarah."Loh, kenapa si pirang ada disini?!" tunjuk Barra di wajah Julian. "Sarah, kenapa dia datang juga? aku kira hanya kita berdua yang akan bertemu disini." "Aku sengaja meminta kalian datang kesini karena ada satu hal yang harus aku bicarakan dengan kalian," Barra dan Julian serentak mengambil kursi yang berhadapan langsung dengan Sarah, sekarang yang mereka ri
Sarah menatap sengit ke arah dua pria dewasa yang bertingkah kekanakan di depannya, mereka selalu membuat ulah sepanjang acara lamaran Claudia. Sampai akhirnya mereka bertengkar dan memecahkan patung es yang ada di tempat meja minuman, alasannya pun sepele hanya karena mereka berebut mengambilkan minum untuk Sarah. "Jadi kalian mau terus bertengkar seperti ini?"" tanya Sarah. "Bukan aku yang memulai pertengkaran Sarah, tapi si pirang ini yang memulai duluan!" "Hei bro, anda yang selalu menghalangi saya saat saya ingin mendekati Sarah." "Iya jelas aku melarangmu mendekati Sarah karena dia itu masih istriku, kamu harus pahami itu!" "Oh tapi seingatku kamu sudah menggugat cerai Sarah, jadi kamu sebentar lagi hanya akan menjadi masa lalu Sarah.""Stop! aku pusing mendengar pertengkaran kalian, jika kalian pikir aku akan memilih kalian kalian salah besar. Aku hanya ingin sendiri, tidak denganmu Barra atau denganmu Julian." bentak Sarah yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Sara
Hari lamaran Gabriel dan Claudia pun tiba, semua dekorasi impian Claudia sudah seratus persen rampung. Kini tinggal saatnya mereka menunggu keluarga dari pihak Gabriel datang, tidak banyak yang mereka undang untuk acara lamaran ini. Hanya kerabat, kolega dan teman dekat saja yang di undang. Claudia nampak cantik dengan gaun rancangan Arista, wajah cantiknya hanya di make up sederhana karena Claudia tidak menyukai make up yang terlalu tebal. Setelah Claudia, kini gantian Sarah yang didandani, mereka nampak mirip meskipun bukan saudara kandung. Barra menunggu para wanita kesayangannya keluar dari ruang tempat mereka berdandan, setiap kali ada yang keluar ia langsung berdiri tegap untuk menyambutnya. Tapi sayang yang keluar sejak tadi bukan wanita yang ia tunggu, entah apa yang mereka lakukan di dalam sampai berjam-jam. Barra sangat penasaran, tapi ia tidak diperbolehkan masuk untuk melihat aktifitas mereka. Pintu kamar terbuka perlahan, Claudia keluar dengan diiringi oleh Arista dan
"Mau apa kamu datang kesini?" tanya Barra sengit. "Ada yang harus aku lakukan," senyumnya lalu masuk menghampiri Claudia dan memberikan bunga untuknya. Claudia agak bingung saat menerima bunga dari Julian, tapi setelah Sarah menjelaskannya Claudia baru bisa menerima bunga itu dan bersikap ramah terhadapnya. Belum sempat Sarah menerima bunga miliknya, tiba-tiba bunga tersebut malah direbut oleh Barra dan dibuang ke tempat sampah. "Jangan pernah memberikan bunga murahan kepada istriku, dia alergi terhadap barang murahan." Julian tertawa pelan, "Istrimu? apa aku tidak salah dengar? ah tapi kamu ada benarnya juga, Sarah memang alergi terhdap barang murahan." Julian menatap Barra dengan tatapan merendahkan, membuat Barra semakin emosi dibuatnya. Sebelum terjadi keributan yang semakin parah, Sarah segera membawa Julian pergi dari rumah Arista. Lagipula semakin cepat ia pergi, semakin cepat ia kembali lagi ke rumah ini dan bisa beristirahat lebih awal agar bisa mempersiapkan diri untuk a
Setelah beberapa hari dirawat keadaan Barra kini sudah lebih membaik dan diperbolehkan pulang juga kembali beraktifitas seperti biasa, hanya saja ia harus tetap meminum obat dari dokter kejiwaan karena efek dari obat yang Sheila berikan masih sering ia rasakan. Kepulangan Barra bertepatan dengan hari persiapan lamaran Claudia besok, meskipun acara lamaran tersebut hanya di adakan di rumah Arista namun Arista tetap membuat acara tersebut semeriah mungkin. Apalagi ini kali pertama ia merasakan salah satu anaknya di lamar seseorang, saat Barra menikah kemarin ia bahkan tidak berkontribusi apapun karena saat itu hubunganya dengan Sarah belum baik. Arista ingin sekali menebus kesalahannya tapi semua tidak mungkin lagi bisa ia tebus, karena sebentar lagi Sarah mungkin akan menjadi mantan menantunya. Claudia membantu Arista menyiapkan apapun yang dibutuhkan besok, terutama gaun untuknya dan beberapa gaun untuk kerabat juga yang paling spesial untuk Sarah. Arista menatap putrinya penuh ha
Semenjak berada di rumah sakit, tingkah Barra entah kenapa jadi lebih menjengkelkan menurut Sarah. Barra selalu meminta dilayani ini dan itu seperti anak kecil, bahkan makan pun harus disuapi dengan alasan tangannya lemah karena jarum infus. Sarah juga tidak bisa membuat alasan apapun atau pergi meninggalkannya disini karena Arista meminta tolong kepadanya untuk merawat Barra, dengan terpaksa Sarah menjadi 'pengasuhnya' sampai beberapa hari ke depan sampai Barra keluar dari rumah sakit. Saking kelelahannya, Sarah tertidur di sofa dengan Tab yang masih berada di atas dadanya. Barra bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, ia mengambil satu selimut di lemari penyimpanan lalu ia tutupi badan Sarah dengan selimut tersebut. Barra mengecek Tab Sarah, jabatannya sebagai CEO membuat Sarah sebenarnya agak kelelahan. Dibandingkan dengan perusahaan orang tuanya, Amethyst jauh lebih besar dan luas itu sebabnya Sarah terkadang agak kewalahan. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Barra membantu S
Ibu dan anak itu dimakamkan secara berdampingan di makam kelurga Nathaniel, sempat terjadi perdebatan antara Barra dan Nathaniel karena Barra ingin Dhafin dan Sheila di makamkan di pemakaman keluarganya. Barra merasa Dhafin adalah anaknya jadi Dhafin berhak di makamkan disana, namun Nathaniel menolak. Sejak Dhafin belum lahir, Nathaniel lah yang merawat mereka berdua jadi Nathaniel merasa ia lebih berhak atas keputusan ini. Barra akhirnya mengalah, dengan syarat Nathaniel tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi makam Dhafin dan Sheila. Kali ini semuanya membiarkan Barra melepaskan kesedihannya dulu, tidak ada yang mengganggunya bahkan semua pekerjaan Barra diserahkan ke Gabriel. Sheila sekarang sudah benar-benar pergi meninggalkannya, bahkan membawa harta miliknya yang paling berharga yang selama ini Barra tidak ketahui keberadaannya. Barra bahkan belum sempat membahagiakan bocah kecil itu, tapi ia harus pergi karena perbuatan ibunya. Surat warisan yang Barra sudah buat sejak lama
Nathaniel datang ke rumah tahanan setelah mendengar kabar kalau Sheila dipenjara atas perbuatannya, meskipun ia sudah tidak ingin tau lagi apapun tentang Sheila tapi hati kecilnya tetap tidak bisa mengabaikannya. Sheila keluar dari sel dengan didampingi oleh sipir wanita, kelopak matanya nampak sembab dengan pipi sebelah kiri yang membengkak. Pakaian mewahnya sudah berganti dengan pakaian khas tahanan dengan nomor dan identitas kejahatannya, tatapannya kosong seakan tidak ada lagi semangat hidup yang ia rasakan. "Kenapa kamu datang?" tanyanya datar. "Aku ingin menjengukmu," "Aku tidak sakit, jadi tidak perlu kamu jenguk." "Sheila," "Lebih baik kamu pergi Nathan, aku tidak butuh kedatanganmu." Sheila bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah jatuh pingsan dengan darah keluar dari hidungnya. Sheila dibawa ke rumah sakit terdekat, tempat dimana Dhafin juga di rawat disana. Nathaniel meminta kepada sipir agar Sheila diizinkan bertemu dengan anaknya sebelum kembali ke penjara, mes