Sarah terdiam tanpa ekspresi di meja bar dengan segelas alkohol di tangannya, ini sudah gelas keempat yang ia minum dan sekarang kepalanya terasa sedikit pening padahal satu jam lagi ia akan naik ke atas stage. Barra, sudah hampir satu minggu pria itu tidak datang ke tempat ini padahal Sarah sedang sangat membutuhkannya. Setiap malam yang ia temui hanyalah para pria hidung belang yang tidak ada gunanya, Sarah mulai muak dengan semuanya dan merasa putus asa dengan rencananya untuk memikat Barra. Gelas keenam, Sarah akhirnya mulai kehilangan kesadarannya namun ia terus berusaha sekuat tenaga untuk tetap profesional menari di atas stage. Sarah kini sudah menjadi primadona di klub ini, berkatnya klub ini sekarang semakin ramai pengunjung dan banyak pria dari kalangan atas yang berdatangan ke tempat ini karena penasaran dengan kecantikan Sarah. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang berhasil tidur dengan Sarah meskipun sudah menawarkan uang yang cukup besar, Sarah tidak mau tidur dengan
Sarah terbangun dari tidur nyenyaknya saat telinganya mendengar suara dua orang pria berbincang di dalam kamar, Sarah mengenali suara yang satunya tapi yang satunya lagi terdengar asing di telinga Sarah. Sarah membuka kelopak matanya yang masih terasa berat, berusaha memulihkan kesadarannya untuk melihat siapa pria yang tengah berbincang dengan Barra. "Sepertinya putri tidur sudah bangun, kalau gitu saya permisi dulu tuan." Gabriel melangkah keluar dan selintas tersenyum kepada Sarah."Tuan Barra, siapa pria tadi?" tanya Sarah. "Dia Gabriel, asisten pribadiku." Sarah tersadar akan suatu hal sampai kedua matanya terbuka lebar, lalu dengan cepat menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Aneh, tubuhnya kini sudah terbalut kimono tidur padahal seingatnya tadi malam ia tidur tanpa mengenakan pakaian terlebih dahulu. "Ada apa? kenapa kamu begitu panik?" "Siapa yang memakaikan kimono ini di tubuhku, tuan Barra?" Sarah balik bertanya. "Tentu saja aku, memangnya siapa lagi. Kemarilah, a
"Saya tidak mau tau, pokoknya malam ini saya ingin tidur dengan Sarah!" teriak Irvan, membuat keributan di dalam klub. Olivia sudah tidak bisa bersabar lagi menghadapi Irvan, ia segera memanggil penjaga keamanan untuk mengusirnya dari tempat ini. Irvan meronta-ronta saat diseret keluar dan terus mengucapkan kata-kata yang membuat Olivia geram, tapi Olivia tidak mau membuang tenaganya untuk meladeni ucapan Irvan. Dulu Irvan merupakan tamu VIP di klubnya dan juga orang yang berjasa dalam meramaikan klubnya, tapi semenjak bisnis orang tuanya menuju ambang kebangkrutan ia tidak lagi di anggap sebagai tamu VIP. Setiap datang ke klub yang ia lakukan hanya membuat onar dan berhutang, dan inilah saatnya bagi Olivia untuk melarang Irvan datang lagi ke tempat ini karena pria itu selalu membuat kerugian di setiap kedatangannya. "Silahkan tampil lagi Sarah, Irvan sudah tidak ada lagi disini." Olivia mengelus pelan bahu Sarah. Tadi saat di pertengahan pertunjukan tarian, Irvan yang sudah mabuk
*Flashback*Barra nampak gelisah di balik mejanya karena pikirannya terus memikirkan Sarah, entah apa yang sudah Sarah lakukan padanya hingga membuatnya selalu teringat akan sosok cantiknya. Setelah meeting selesai, Barra segera keluar dari ruang meeting dan kembali ke ruangannya untuk menyelesaikan pekerjaan agar bisa cepat bertemu dengan Sarah. Berlama-lama jauh darinya membuat hati Barra tersiksa menahan rasa rindu, juga tubuhnya yang kini hanya menginginkan sosok Sarah saja karena Barra sudah tidak tertarik lagi pada wanita lain. Arista nampak tersenyum sumringah saat memasuki ruang kerja Barra bersama Luna, wanita paruh baya itu membawa sebuah kotak perhiasan ekslusif di tangan kanannya untuk ia tunjukkan kepada Barra. Luna pun demikian, rona bahagia dan senyum manis tidak kunjung pergi dari wajahnya karena hari ini Arista akan memberitahukan kepada Barra tanggal pernikahan mereka yang sudah di tetapkan oleh orang tua Luna. Arista masuk ke ruangan Barra tanpa permisi, membuat Ba
Sarah terbangun dari tidurnya saat ujung hidung bangirnya menabrak dada bidang Barra, pria ini tidur tanpa memakai baju dan hanya menggunakan celana bokser yang begitu ketat. Melihat bias cahaya yang muncul dari celah jendela Sarah yakin sekali kalau sekarang pasti sudah pagi atau mungkin sudah siang hari, ia lalu mengecek ponselnya untuk melihat jam dan benar saja sekarang sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. Sarah beranjak dari ranjang pelahan, lalu pergi keluar kamar untuk melihat-lihat tempat yang ia tiduri semalam. Tempat ini begitu luar biasa, meskipun Sarah terlahir sebagai anak orang kaya tapi ia belum termasuk ke dalam golongan yang bisa membeli barang antik berharga fantastis seperti ini juga barang branded yang harganya hampir bisa membayar gaji para karyawannya di kantor. Perut Sarah tiba-tiba mulai terasa keroncongan, Sarah baru ingat kalau kemarin ia hanya makan sedikit di siang hari dan minum alkohol di malam hari. Sarah segera pergi ke dapur untuk mengecek isi
"Sarah!" panggil Gabriel seraya menjegal tangannya. "Gabriel?" "Saya daritadi panggil-panggil kamu, apa kamu tidak mendengarnya?" Sarah menggeleng, ia tidak mendengar panggilan Gabriel karena otaknya sedang dipenuhi umpatan untuk Barra. "Ayo, saya antar kamu ke klub." Sarah langsung tersenyum sumringah saat mendengar ajakannya, Gabriel adalah asisten pribadi Barra jadi yang menyuruh Gabriel untuk mengantarnya sudah pasti Barra. Sarah kira Barra tidak perduli padanya, tapi ternyata pria itu punya caranya sendiri untuk memperdulikan Sarah.Sarah menepuk bahu Gabriel untuk menyuruhnya berhenti di apotik dekat persimpangan jalan, Gabriel pun memberhentikan mobilnya dan Sarah memintanya untuk menunggu di mobil saja agar Gabriel tidak tau apa yang Sarah beli di dalam. Sarah melangkah masuk ke dalam apotik dan langsung membeli pil kontrasepsi darurat untuknya, saat hendak keluar ia berpapasan dengan seorang wanita hamil yang berjalan terburu-buru ke dalam apotik. "Maaf," ucapnya denga
Barra melangkah menyusuri lorong lantai empat yang mulai di penuhi dengan suara manja dari para wanita yang ditiduri tamu kehormatan, dan Barra terus berharap kalau wanitanya itu belum terjamah meskipun hanya seujung kuku oleh Nathaniel. Barra akhirnya sampai di kamar paling pojok, lalu menendang pintunya hingga engselnya patah dan pintunya nyaris roboh. Mendengar suara kencang dari luar, Sarah langsung bergegas keluar dari kamar mandi dengan menggunakan sehelai handuk. "Tuan Nathan, ada apa?" tanya Sarah yang belum menyadari kehadiran Barra. "Wah, disini rupanya kalian." ucap Barra dengan emosi di kepalanya yang sudah memuncak saat melihat keadaan Sarah yang hanya terbalut handuk.Barra melirik ke arah Nathaniel, lelaki itu masih mengenakan setelan jasnya dengan lengkap itu berarti mereka belum melakukan aktivitas itu disini. "Mau apa kamu kesini Barra?" tanya Nathaniel."Menjemput wanitaku," sahutnya dengan tatapan tajam lalu menghampiri Sarah. "Wanitamu? tapi dia tidak menyebut
Ponsel Barra terus berdering di atas nakas dan membuat tidur nyenyaknya terganggu, Barra meraba nakas tanpa membuka matanya lalu menjawab telepon dalam keadaan belum sadar sepenuhnya. "Halo?" "Tuan Barra! cepat datang ke parkiran basement, Sarah melarikan diri!" ucap Gabriel membuat kesadaran Barra muncul seketika. "Apa?! dimana dia sekarang?" "Di dalam mobil saya tuan, untungnya saya cepat menemukannya sebelum ia pergi jauh." Barra segera memakai kimono tidurnya untuk menyusul Sarah, dari sudut matanya Barra melihat sebuah kertas cek yang ia berikan semalam untuk Sarah tengah tergeletak di atas karpet lantai. Sarah tidak membawa sepeser pun uang saat pergi, ternyata benar kalau wanita itu memang tidak membutuhkan hartanya. Pintu lift terbuka, parkiran basement yang luas dan gelap langsung terpampang jelas di depan matanya. Di ujung sana ada Gabriel yang tengah menunggunya dan masih mengenakan setelan olahraga, ia tengah berolahraga pagi saat menemukan Sarah pergi mengendap-endap
Pagi hari, Barra pergi lebih dulu ke Amethyst sebelum sarah terbangun. Barra sengaja pergi lebih dulu karena ia tidak ingin melihat Sarah dijemput oleh Julian, namun sebelum pergi Barra sudah menyiapkan sarapan khusus untuk Sarah.Sarah terbangun dengan keheningan yang menyambutnya di pagi hari, semua pelayan sibuk membersihkan rumah dan taman sedangkan penjaga rumah sibuk berjaga didepan. Sarah menyalakan ponselnya yang sejak semalam ia nonaktifkan, puluhan chat dari Julian membombardir ponselnya juga panggilan tidak terjawab. "Aku sudah bangun Julian, maaf aku lelah sekali jadi telat bangun pagi."Jawab Sarah menjelaskan kepada Julian mengapa ia bangun terlambat, namun Julian tetap berbicara omong-kosong terus menerus. "Baiklah, aku akan bersiap sekarang." Sarah memutuskan panggilan teleponnya, lalu bergegas mandi dan berdandan sebelum Julian datang. Lima belas menit kemudian Julian datang dengan sebuket bunga mawar untuk Sarah, Sarah masih berada di kamarnya dan mungkin baru aka
Sarah merenung menatap ke langit-langit kamarnya, ia terus memikirkan dua pria yang sangat mengharapkannya. Sarah belum bisa memutuskan untuk memilih siapa, karena ia juga tidak tau bagaimana perasaannya untuk kedua pria itu. Sarah sebenarnya punya rencana lain setelah pernikahan Claudia nanti, tapi jika seperti ini adanya mungkin Sarah akan lebih memilih untuk menjalankan rencananya sekarang.Sarah mengambil ponselnya, lalu menghubungi mereka dan memintanya untuk bertemu di sebuah cafe terkenal di kota ini. Mereka langsung bergerak cepat ke tempat yang Sarah sebutkan, tidak lupa juga membawa bunga untuk diberikan kepada Sarah."Loh, kenapa si pirang ada disini?!" tunjuk Barra di wajah Julian. "Sarah, kenapa dia datang juga? aku kira hanya kita berdua yang akan bertemu disini." "Aku sengaja meminta kalian datang kesini karena ada satu hal yang harus aku bicarakan dengan kalian," Barra dan Julian serentak mengambil kursi yang berhadapan langsung dengan Sarah, sekarang yang mereka ri
Sarah menatap sengit ke arah dua pria dewasa yang bertingkah kekanakan di depannya, mereka selalu membuat ulah sepanjang acara lamaran Claudia. Sampai akhirnya mereka bertengkar dan memecahkan patung es yang ada di tempat meja minuman, alasannya pun sepele hanya karena mereka berebut mengambilkan minum untuk Sarah. "Jadi kalian mau terus bertengkar seperti ini?"" tanya Sarah. "Bukan aku yang memulai pertengkaran Sarah, tapi si pirang ini yang memulai duluan!" "Hei bro, anda yang selalu menghalangi saya saat saya ingin mendekati Sarah." "Iya jelas aku melarangmu mendekati Sarah karena dia itu masih istriku, kamu harus pahami itu!" "Oh tapi seingatku kamu sudah menggugat cerai Sarah, jadi kamu sebentar lagi hanya akan menjadi masa lalu Sarah.""Stop! aku pusing mendengar pertengkaran kalian, jika kalian pikir aku akan memilih kalian kalian salah besar. Aku hanya ingin sendiri, tidak denganmu Barra atau denganmu Julian." bentak Sarah yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Sara
Hari lamaran Gabriel dan Claudia pun tiba, semua dekorasi impian Claudia sudah seratus persen rampung. Kini tinggal saatnya mereka menunggu keluarga dari pihak Gabriel datang, tidak banyak yang mereka undang untuk acara lamaran ini. Hanya kerabat, kolega dan teman dekat saja yang di undang. Claudia nampak cantik dengan gaun rancangan Arista, wajah cantiknya hanya di make up sederhana karena Claudia tidak menyukai make up yang terlalu tebal. Setelah Claudia, kini gantian Sarah yang didandani, mereka nampak mirip meskipun bukan saudara kandung. Barra menunggu para wanita kesayangannya keluar dari ruang tempat mereka berdandan, setiap kali ada yang keluar ia langsung berdiri tegap untuk menyambutnya. Tapi sayang yang keluar sejak tadi bukan wanita yang ia tunggu, entah apa yang mereka lakukan di dalam sampai berjam-jam. Barra sangat penasaran, tapi ia tidak diperbolehkan masuk untuk melihat aktifitas mereka. Pintu kamar terbuka perlahan, Claudia keluar dengan diiringi oleh Arista dan
"Mau apa kamu datang kesini?" tanya Barra sengit. "Ada yang harus aku lakukan," senyumnya lalu masuk menghampiri Claudia dan memberikan bunga untuknya. Claudia agak bingung saat menerima bunga dari Julian, tapi setelah Sarah menjelaskannya Claudia baru bisa menerima bunga itu dan bersikap ramah terhadapnya. Belum sempat Sarah menerima bunga miliknya, tiba-tiba bunga tersebut malah direbut oleh Barra dan dibuang ke tempat sampah. "Jangan pernah memberikan bunga murahan kepada istriku, dia alergi terhadap barang murahan." Julian tertawa pelan, "Istrimu? apa aku tidak salah dengar? ah tapi kamu ada benarnya juga, Sarah memang alergi terhdap barang murahan." Julian menatap Barra dengan tatapan merendahkan, membuat Barra semakin emosi dibuatnya. Sebelum terjadi keributan yang semakin parah, Sarah segera membawa Julian pergi dari rumah Arista. Lagipula semakin cepat ia pergi, semakin cepat ia kembali lagi ke rumah ini dan bisa beristirahat lebih awal agar bisa mempersiapkan diri untuk a
Setelah beberapa hari dirawat keadaan Barra kini sudah lebih membaik dan diperbolehkan pulang juga kembali beraktifitas seperti biasa, hanya saja ia harus tetap meminum obat dari dokter kejiwaan karena efek dari obat yang Sheila berikan masih sering ia rasakan. Kepulangan Barra bertepatan dengan hari persiapan lamaran Claudia besok, meskipun acara lamaran tersebut hanya di adakan di rumah Arista namun Arista tetap membuat acara tersebut semeriah mungkin. Apalagi ini kali pertama ia merasakan salah satu anaknya di lamar seseorang, saat Barra menikah kemarin ia bahkan tidak berkontribusi apapun karena saat itu hubunganya dengan Sarah belum baik. Arista ingin sekali menebus kesalahannya tapi semua tidak mungkin lagi bisa ia tebus, karena sebentar lagi Sarah mungkin akan menjadi mantan menantunya. Claudia membantu Arista menyiapkan apapun yang dibutuhkan besok, terutama gaun untuknya dan beberapa gaun untuk kerabat juga yang paling spesial untuk Sarah. Arista menatap putrinya penuh ha
Semenjak berada di rumah sakit, tingkah Barra entah kenapa jadi lebih menjengkelkan menurut Sarah. Barra selalu meminta dilayani ini dan itu seperti anak kecil, bahkan makan pun harus disuapi dengan alasan tangannya lemah karena jarum infus. Sarah juga tidak bisa membuat alasan apapun atau pergi meninggalkannya disini karena Arista meminta tolong kepadanya untuk merawat Barra, dengan terpaksa Sarah menjadi 'pengasuhnya' sampai beberapa hari ke depan sampai Barra keluar dari rumah sakit. Saking kelelahannya, Sarah tertidur di sofa dengan Tab yang masih berada di atas dadanya. Barra bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, ia mengambil satu selimut di lemari penyimpanan lalu ia tutupi badan Sarah dengan selimut tersebut. Barra mengecek Tab Sarah, jabatannya sebagai CEO membuat Sarah sebenarnya agak kelelahan. Dibandingkan dengan perusahaan orang tuanya, Amethyst jauh lebih besar dan luas itu sebabnya Sarah terkadang agak kewalahan. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Barra membantu S
Ibu dan anak itu dimakamkan secara berdampingan di makam kelurga Nathaniel, sempat terjadi perdebatan antara Barra dan Nathaniel karena Barra ingin Dhafin dan Sheila di makamkan di pemakaman keluarganya. Barra merasa Dhafin adalah anaknya jadi Dhafin berhak di makamkan disana, namun Nathaniel menolak. Sejak Dhafin belum lahir, Nathaniel lah yang merawat mereka berdua jadi Nathaniel merasa ia lebih berhak atas keputusan ini. Barra akhirnya mengalah, dengan syarat Nathaniel tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi makam Dhafin dan Sheila. Kali ini semuanya membiarkan Barra melepaskan kesedihannya dulu, tidak ada yang mengganggunya bahkan semua pekerjaan Barra diserahkan ke Gabriel. Sheila sekarang sudah benar-benar pergi meninggalkannya, bahkan membawa harta miliknya yang paling berharga yang selama ini Barra tidak ketahui keberadaannya. Barra bahkan belum sempat membahagiakan bocah kecil itu, tapi ia harus pergi karena perbuatan ibunya. Surat warisan yang Barra sudah buat sejak lama
Nathaniel datang ke rumah tahanan setelah mendengar kabar kalau Sheila dipenjara atas perbuatannya, meskipun ia sudah tidak ingin tau lagi apapun tentang Sheila tapi hati kecilnya tetap tidak bisa mengabaikannya. Sheila keluar dari sel dengan didampingi oleh sipir wanita, kelopak matanya nampak sembab dengan pipi sebelah kiri yang membengkak. Pakaian mewahnya sudah berganti dengan pakaian khas tahanan dengan nomor dan identitas kejahatannya, tatapannya kosong seakan tidak ada lagi semangat hidup yang ia rasakan. "Kenapa kamu datang?" tanyanya datar. "Aku ingin menjengukmu," "Aku tidak sakit, jadi tidak perlu kamu jenguk." "Sheila," "Lebih baik kamu pergi Nathan, aku tidak butuh kedatanganmu." Sheila bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah jatuh pingsan dengan darah keluar dari hidungnya. Sheila dibawa ke rumah sakit terdekat, tempat dimana Dhafin juga di rawat disana. Nathaniel meminta kepada sipir agar Sheila diizinkan bertemu dengan anaknya sebelum kembali ke penjara, mes