“Tante. Kalau gitu Karina pulang dulu, ya?” pamit Karina seraya menyalami tangan Bu Ningsih penuh hormat.“Loh, kamu udah mau pulang? Maafin kelakuan Axel, ya, Rin. Axel mungkin hanya sedang banyak pikiran.” Bu Ningsih tidak ingin Karina salah paham dengan semua yang terjadi antara Axel dan Agni sehingga berniat menjauhi putranya.“Nggak apa-apa, Tante. Karina ngerti kok.” Setelah itu Karina langsung pulang. Meninggalkan bu Ningsih yang tidak enak hati pada Karina karena ulah Axel.Bu Ningsih segera menyusul Axel ke kamarnya. Dia langsung masuk karena pintu kamar putranya itu tidak dikunci. Axel baru saja ke luar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuh.“Apa, Ma?” Axel tahu pasti kalau mamanya pasti akan membahas tentang Karina tadi.“Xel, tolong kamu jangan kaya gitu dong sama Karina. Apa kamu nggak bisa menghargai dia sedikit aja?” tanya Bu Ningsih. Dia duduk di tepi ranjang milik Axel. Memandangi sang putra yang sedang menyisir rambut sambil bercermin.“Kan, selama ini udah, m
Agni ke luar dari kamar mandi dengan mata sembap.‘Ini adalah tangisan terakhirku. Aku harus bisa mengambil keputusan jalan mana yang akan aku pilih untuk kehidupanku. Axel sangat baik, tapi Tian juga nggak jahat. Tian begitu karena aku selalu membantahnya. Aku mencinta Axel, tapi Tian juga layak dicintai.’Tangan Agni dia letakkan di dada. Biarlah, waktu yang akan membawanya pada jalan takdir.*“Desi, segera datang ke ruanganku,” titah Tian pada Desi saat dia baru tiba di kantor dan lewat di depan meja sekretarisnya itu menuju ruangan kerjanya.“Baik, Pak.”Setelah Tian masuk ke ruangannya, lima menit kemudian Desi juga ikut masuk seperti yang sudah diperintahkan padanya tadi.“Ada apa, Pak Tian? Apa ada sesuatu yang harus saya kerjakan?” tanya Desi dengan menyungging senyum ramah. Tian menatap tubuh Desi yang kini berdiri tegak di hadapan. Entah kenapa bayangan Agni saat berdekatan dengan Axel tiba-tiba muncul begitu saja. Ada rasa kesal karena dia sempat menduga telah terjadi ses
“Kalau begitu ... terima kasih banyak Pak.”Tian mengangguk dan kembali duduk di kursinya. Sesaat kemudian dia sudah kembali sibuk dengan beberapa berkas yang sudah menumpuk di meja kerja. Desi masih diizinkan untuk di ruangan itu sampai kondisi kakinya lebih baik.Tanpa sadar Desi terus menyungging senyum bahagia. Sepatu itu sangat berarti baginya. Tapi kemudian raut wajahnya berubah datar saat dia mengingat sesuatu.‘Enak banget pasti jadi istrinya pak Tian. Saya yang cuma sekretaris aja dikasih sepatu sebagus dan semahal ini. Apalagi istrinya? Aku harus bisa dapetin hati pak Tian gimana pun caranya.’“Emh ... Pak, saya izin kembali ke meja kerja.” Desi pamit pada Tian karena dia tidak mau terlalu memikirkan kemewahan yang diterima Agni sebagai istri Tian.“Memangnya kaki kamu sudah baikan?” tanya Tian dengan raut wajah yang masih khawatir.“Sudah lebih baik, Pak. Dan saat akan lebih berhati-hati lagi.”“Baiklah kalau begitu.” Tian merentangkan sebelah tangan mempersilakan Desi ke
Agni memejamkan mata sambil menutup telinga. Tapi dia tidak menyalahkan Tian sama sekali. Dia juga tidak menyalahkan Axel karena ini di luar kendali semua orang.Agni gemetar lalu mendekati Tian dan bersimpuh di kaki Tian. “Maafkan aku Tian. Aku benar-benar nggak tau kalau Axel datang. Dan itu tadi karena dia mau ngajak aku pergi dari sini,” ucap Agni berusaha jujur agar Tian memaafkannya.Sayang sekali karena Tian sudah terlanjur salah paham. Pria itu melenggang pergi naik ke lantai atas tempat kamar mereka berada.Agni menyesali semua yang terjadi. Dia tidak tahu takdir apa yang sedang dia jalani kenapa begitu sulit untuk sejalan dengan apa yang ada di dalam pikirannya.“Non Agni kenapa?” Bi Ira berlari dari arah belakang karena mendengar suara benda jatuh tadi. Dia membawa Agni bangkit dan kembali duduk di sofa. “Kenapa lagi Non? Den Tian marah pasti ada sebabnya.” Bibi sudah menebak pasti kedua majikannya itu kembali bertengkar. Dia melihat pecahan guci yang berserakan di lantai.
*Agni memeluk lutut sambil duduk bersandar di ranjang. Dia menunggu Tian yang tak kunjung pulang padahal sudah jam sembilan malam. Tian pergi sejak sore dan tidak tahu ke mana. Agni juga baru tahu kalau ponselnya diambil oleh Tian, jadi dia tidak bisa menghubungi siapa pun termasuk suaminya itu. Akhirnya dia hanya bisa menunggu sampai Tian pulang dan akan kembali meminta maaf.Hatinya masih begitu rapuh. Rasa cinta pada Axel masih begitu menggebu. Tapi dia juga bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan Tian. Tok! Tok! Tok!“Non Agni. Non belum makan malam. Ayo turun kita makan sama-sama,” panggil bibi mengajak Agni makan malam. Agni memang belum makan karena kepergian Tian tadi membuatnya begitu merasa bersalah.“Nanti bi. Agni tunggu Tian pulang,” sahut Agni tanpa beranjak.“Tapi ini udah jam sembilan non. Den Tian juga belum tahu pulang jam berapa. Nanti non Agni sakit, loh,” bujuk bibi lagi.“Nggak bi. Agni masih belum lapar. Nanti kalau mau makan Agni turun sendiri.”Akhirny
Axel uring-uringan karena tidak bisa menelepon Agni. Dia jadi tidak bisa tahu bagaimana kabar sahabat yang dicintainya itu setelah diusir Agni. Axel mengerti itu Agni lakukan demi mempertahankan rumah tangganya. "Rumah tangga. Apa Lo harus bersikap sekasar itu ke gue buat mempertahankan hubungan yang sejak awal palsu itu?!" Tapi Axel tidak bisa melakukan banyak hal. Ia masih khawatir kalau Agni akan mendapat perlakuan buruk dari Tian. Untuk saat ini Axel tidak punya cara yang tepat untuk membawa Agni pergi dari rumah suaminya karena jelas-jelas Agni masih sah berstatus istri pria itu.“Xel. Kamu itu kenapa, sih? Dari semalam mama perhatikan seperti orang gila. Jalan ke sana ke mari. Lupa makan lupa mandi. Bahkan kamu nggak latihan lagi sama temen-temen kamu itu. Jangan bilang gara-gara Agni, ya?” Bu Ningsih sebenarnya tahu Axel seperti itu pasti ada hubungannya dengan Agni.Itulah yang tidak Bu Ningsih sukai dari hubungan Axel dan Agni. Mereka tidak akan pernah bersatu karena Agni s
Tian terus memperhatikan tanpa bergeming. Satu per satu kancing baju itu Agni terbuka. Dimulai menyimpirkan dari pongkol bahunya yang seksi hingga memperlihatkan dada yang masih tertutup bra. Perlahan Agni menurunkan piyama itu, dan masih terus menatap lurus ke depan. Agni tidak berusaha menatap Tian. Dia sendiri bingung apa ini yang sebaiknya dia lakukan. Tapi, kembali pada Axel juga tidak mungkin.Mamanya Axel tidak menyetujui hubungan mereka. Agni pahami karena memang dia yang lebih dulu menghianati cinta suci ini yaitu menikah dengan pria lain meski perasaan Agni masih milik Axel.Tapi dia gak mungkin terus menerus melawan arus. Di mata semua orang, dia istri sah Bastian. Dan sudah selayaknya dia melayani Tian di kamar tidur.Agni membuka celananya. Kini Agni hanya memakai dalaman saja. Tian tahu kalau Agni tidak nyaman berlaku seperti itu di depannya. Tapi dia ingin melihat sejauh mana istrinya tersebut. Tian mengakui tubuh Agni sangat indah. Semua nampak berisi tepat pada tempa
Sementara Tian yang ada di kamar lain menggusar rambut dengan kasar. ‘Kalau tidak siap kenapa coba-coba? Apa Agni itu mau mempermainkan perasaanku? Atau ... dia memang ingin membalas dendam padaku karena aku memukuli teman lelaki selingkuhannya itu? Atau jangan-jangan mereka malah sudah pernah melakukannya?’ batin Tian.Berbagai pertanyaan dan kesimpulan sepihak muncul di kepalanya. Tian banyak menduga-duga tentang Agni yang ternyata tidak dia ketahui sama sekali. Karena lelah memikirkan nasib rumah tangganya yang entah bagaimana, akhirnya Tian memilih tidur karena besok pagi dia harus bangun cepat untuk bekerja. *Axel sedang kesal karena Bu Ningsih memaksanya untuk mengantarkan Karina pemotretan. Sudah berulang kali dia menolak tapi Bu Ningsih mengancam akan menarik semua fasilitas yang dia punya termasuk motor yang selalu dia pakai kemanapun. “Oke Axel akan antarkan Karina. Tapi cuma mengantarkan saja. Axel hari ini ada janji ketamu sama Arkan, jadi Axel nggak mau menunggu Kari
"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p
Dengan langkah terburu Tian menyusuri koridor rumah sakit daerah tempat ayah Desi dirawat sesuai alamat yang dia ikuti di aplikasi penunjuk jalan.Dari jauh dia melihat Desi dan ibunya duduk di bangku panjang di depan sebuah ruang ICU. Segera Tian menuju ke sana.“Desi,” panggil Tian pelan.Desi yang tadi sedang berpelukan dengan ibunya kini mengangkat wajah dan menatap Tian.“P-pak Tian?”“Bagaimana keadaan ayah kamu?”“Infeksi usus buntu,” jawab Desi lirih. Sebenarnya dia malu untuk meminta bantuan pada Tian hanya untuk operasi yang sebenarnya tidak terlalu memakan banyak biaya. Hanya saja mereka baru saja melunasi rumah yang saat ini mereka tempati. Jadi tabungan Desi benar-benar sudah tidak ada lagi. “Dokter bilang apa harus segera dioperasi,” timpalnya lagi.“Ya sudah kalau begitu ayo kita urus administrasinya, supaya ayah kamu lekas bisa ditangani.”Desi mengangguk dan beranjak bangkit.“Ibu tunggu di sini, ya?”Ibunya Desi setuju dengan ucapan Desi.Kemudian Tian dan Desi ber
Ya, orang itu adalah papanya Tian. Dia baru kembali dari pertemuan dengan beberapa pejabat daerah lainnya. “Kamu sedang apa di sini hujan-hujan begini?”Agni tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang kalau melihat Tian yang hampir meniduri sekretarisnya sendiri.“Apa kamu bertengkar dengan Tian?” tebak pria paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.Agni tidak menjawab. Dia lagi menundukkan kepala dengan tangan yang saling bertaut.Papa Tian tentu sudah tahu kalau tebakannya pasti benar.“Ya sudah kalau begitu ayo kamu pulang ke rumah papa saja. Nanti biar mama yang bilang sama Tian kalau kamu tinggal bersama kami untuk sementara waktu.”Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Agni mengangguk setuju untuk ikut bersama mertuanya. Dia duduk di bangku belakang sedangkan papa Tian duduk di samping sopir.“Loh, Agni. Kenapa bisa ikut papa?” tanya mama Tian setibanya suami sampai di rumah.“Sudah, masuk dulu.” Mama Tian mengangguk dan mengajak menantunya masuk k
Seketika wajah Agni berubah pias. Rantang yang ada di tangannya terempas jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Dia melihat dengan jelas bagaimana tubuh Tian menindih seorang gadis yang hampir telanjang dan sedang menghisap puting payudara gadis itu dengan penuh nafsu.Sepasang manusia yang sedang dilanda gairah itu terkejut dengan kedatangan Agni.“A-Agni!” Tian langsung turun dari tubuh Desi dan menarik celananya ke atas dengan gerakkan terburu. Begitu juga dengan Desi yang langsung turun dan merangkak mencari bra dan kemejanya yang tadi dilempar sembarangan oleh Tian. Sadar dengan apa yang sedang terjadi, Agni langsung masuk dan menutup pintu agar tidak ada karyawan yang melihat adegan tersebut. Kini dia melihat dua orang berlainan jenis itu sibuk memasang pakaiannya kembali. Desi nampak ketakutan dari wajahnya yang pucat pasi. Berbeda dengan Tian yang wajahnya datar saja sambil terus menatap Agni. Meski awalnya sempat terkejut, tapi Tian sangat pandai menguasai diri dalam kondis