Malam harinya, Arnesh hanya bisa diam dan menemani Livya yang sedang merasakan gejala kehamilan. Wajahnya sudah pucat dan badannya pun lemas, karena memuntah isi perutnya.Livya keluar dari kamar mandi dengan kedua mata yang sudah dibasahi oleh air mata. "Ternyata begini rasanya hamil! Mual mulu nggak berhenti-berhenti!" kesalnya.Arnesh menghentikan memainkan ponselnya, menghampiri Livya yang tampak tersiksa di kehamilan pertama. "Sabar, Liv. Namanya juga ibu hamil. Pasti ngerasain begini.""Sabar! Sabar! Gimana bisa aku sabar, Mas! Makan nggak nafsu, pengen muntah tapi nggak keluar apa-apa! Sebel!" Livya menutup wajahnya dan menangis terisak-isak.Dia mungkin tak terbiasa, gejala kehamilan memang kadang menyiksa. Namun, itulah risikonya orang hamil. Ia sendiri bahkan pernah mengalaminya.Tangan Arnesh terulur, mengusap perut Livya yang masih rata. "Lebih baik kamu tidur, Mama pasti curiga kalau dengar kamu nangis, Liv," kata Arnesh, merasa pengang mendengar Livya yang terus menangis
Arnesh mengacak rambutnya frustasi, tidak bisa bebas karena diapit 3 wanita yang menurutnya biangnya rusuh. Alhasil, dia menjauhkan diri. Memilih untuk bergabung dengan ayahnya saja.Papa Wandi menoleh, menatap wajah putranya yang tertekan pagi ini."Kalau mau kerja, berangkat saja. Soal Livya ada kami yang urus. Sehari nggak kerja, sepertinya kamu pusing sekali," kekeh ayahnya, yang sedang membaca buku di tangannya.Meski usianya tak lagi muda, Papa Wandi memang punya kegemaran membaca. "Kenapa Livya jadi bertambah rewel seperti itu saat sedang hamil. Apakah Mama juga sama?" tanya Arnesh.Mulai membandingkan Gladys dan Livya, keduanya jauh berbeda. Livya lebih banyak keinginannya. Dari semalam saja, Arnesh ingin sekali menemui istri mudanya. Namun tidak sempat, karena Livya tidak mengizinkan dirinya pergi ke mana pun.Dia hanya ingin, melihat kondisi Gladys usai dirampok saat berdagang. Dirinya pikir, Gladys lebih membutuhkan orang di sisinya, sedangkan Livya sudah terbiasa dilimpahi
Arnesh mengekori tubuh Gladys yang menghindari dirinya, dia menarik dan menahan pergelangan tangan sang istri lalu mendorongnya ke tembok dengan hati-hati.Gladys memberontak, sayangnya Arnesh malah mengunci pergerakan tangannya."Lepas, Pak Arnesh! Anda mau apa datang ke sini? Mau bersikap sok pahlawan, iya?" desis Gladys, begitu jengkel ketika kehadiran Arnesh saat banyak orang yang melihat.Ia tidak ingin, orang-orang curiga karena dirinya kedatangan pria. "Kenapa kamu nggak bilang kepadaku sih kalau butuh sesuatu?" tanya Arnesh."Sudah aku bilang, aku nggak butuh bantuan anda! Minggir, nggak!" Tangan Arnesh di samping kepala Gladys. Tatapan seolah menerkam, karena sang istri sulit sekali dijinakkan.Andai dia tidak datang, mungkin Arnesh tidak akan tahu, betapa kasarnya pemilik kontrakan itu pada istrinya. Kesal? Jangan ditanya, rasanya ia ingin memberikan pelajaran karena sudah keterlaluan."Diem bisa nggak sih? Lagi sakit masih saja keras kepala. Ayahku ingin bertemu denganmu,"
Menjelang 1 hari pernikahan. Ghani tak henti-hentinya memikirkan Gladys, wanita pujaan hati yang mustahil untuk ia miliki. Apalagi besok, dia akan menyelenggarakan pernikahan dan menjadi suami orang lain.Dia belum siap, karena hatinya masih tentang Gladys. Ghani penasaran, sedang apa Gladys sekarang?"Mustahil bagiku untuk memilikimu, Glad. Haruskah aku mengungkapkan isi hatiku agar kamu tahu?" gumam Ghani, bermonolog sendiri.Selagi tidak ada orang di rumahnya, Ghani langsung memakai sandal untuk pergi ke kediaman Gladys. Semoga saja gadis itu belum tidur.Ia mengetuk pintu dan menunggu, sampai kontrakan itu terbuka dan menampilkan Gladys yang sangat sederhana dengan penampilan rumahannya."Udah aku bilang, Mas Ghani jangan datang sembarangan saat malam. Apalagi besok Mas Ghani akan menikah, aku nggak mau dikataki yang bukan-bukan." Gladys langsung memberikan penegasan.Lelaki tersebut tampak muram, menilik pada Gladys yang memperlihatkan wajah datar."Aku ingin menyampaikan sesuatu
Di bawah teriknya sinar matahari siang ini, Gladys terus berjalan ke tempat satu sampai ke tempat lainnya, untuk menawarkan dagangannya agar banyak yang membeli.Dengan berpeluhkan keringat, wanita yang tengah hamil itu sesekali mengusap wajahnya karena panas dan lelah. Sesekali berhenti, tatkala tangannya berdenyut nyeri.Ia menunduk, memandangi dagangannya yang masih tersisa dan harus disetorkan sore harinya. "Semoga saja dagangnya laku, supaya aku bisa ada simpanan uang supaya bisa memeriksa kandungan," gumam Gladys, mengusap perutnya yang tertutup hoddie.Sengaja ia memakai pakaian tebal, agar orang-orang tidak tahu soal kehamilan. Dia tidak ingin, rahasinya terbongkar.Selamang menit berikutnya, Gladys melanjutkan berjualan sampai ke berbagai daerah sekitar. Lumayan jauh jarak yang harus ia tempuh.Gladys berhenti, di tengah banyaknya orang-orang kampung yang sedang mengobrol."Gorenganya, Pak, Bu ... mumpung masih ada," ujar Gladys, menawarkan pada orang dengan begitu ramah.Pa
Di Rumah Sakit. Usai melakukan pemeriksaan terhadap pasien, kini jam sudah menunjukkan waktu istirahat. Sindrom couvade yang Dokter Arnesh alami masih terasa, meski tidak separah sebelumnya.Dia berjalan beriringan bersama dr. Aulia menuju kantin. Mengobrol masalah pekerjaan dan juga ngobrol santai.Dr. Arnesh hanya bisa menahan rasa mual, karena ingin memuntahkan isi perutnya. Untungnya, mulutnya tertutup masker."Anda kenapa, Dok?" tanya dr. Aulia, melihat dr. Arnesh yang dirasa aneh gelagatnya akhir-akhir ini."Tidak papa, hanya mual saja," jawab dr. Arnesh beralibi.Mengetahui jika Livya sedang mengandung, dr. Aulia tentu tahu jika gejala kehamilan juga bisa dialami oleh laki-laki. Mungkin saja Arnesh sedang mengalami ini.Dibalik maskernya, dr. Aulia mengulum senyum. Bisa dilihat dari matanya yang menyipit saat sedang tersenyum."Ngalamin sindrom couvade, ya, Dok? Cie-cie, perhatian banget jadi suami." Dr. Aulia terus menggoda."Ah, iya kali. Seperti begitu, Dok."Kendatipun Livy
Tangan kokoh dan besar itu terulur, membelai lembut serta mengusap cairan bening yang mengalir di pipi Livya. Kemarahan Daniel melunak, kesedihan Livya adalah kelemahannya.Hanya saja, Daniel kehilangan kontrol karena Livya menghindarinya saat dia ingin bersama dengan wanita itu."Anak siapa pun nantinya, aku hanya berharap anak itu lahir dengan keadaan sehat. Maafkan aku udah bentak kamu, Sayang," ujar Daniel dengan lirih.Menyudutkan Livya ke tembok dan mengungkung tubuhnya, Daniel mencondongkan wajah dan menyatukan kening keduanya dengan hembusan napaa berat.Jari Livya menahan dada bidang Daniel dan mengusapnya. "Nggak papa, maafin aku juga. Aku lagi agak sensi saat kehamilan ini, aku harap kamu memaklumi."Pria di hadapannya itu hanya mengangguk, karena tahu jika wanita yang sedang menikah mempunyai perasaan yang berubah-ubah dan cenderung sensitif."Senyum dong, aku paling nggak bisa lihat kamu sedih. Meskipun kesedihan kamu itu karena aku." Tubuh Daniel lebih menunduk ke bawah,
Selama kurang lebih 1 jam lamanya menunggu kabar. Dokter spesialis ortipredi keluar, untuk memberitahukan kepada keluarga tentang kondisi pasien.Dokter berusia itu berhadapan langsung dengan dr. Arnesh yang kacau balau, mengetahui jika pasien yang ia tangani adalah pemilik Rumah Sakit ini."Bagaimana keadaan Papa saya, Dok?" tanya dr. Arnesh dengan cepat.Dr. Gio menghela napas, agak kewalahan selama menangani pasien yang jatuh dari ketinggian itu. Beruntung segera dibawa ke Rumah Sakit, sehingga Papa Wandi masih bisa tertolong."Keadaan ayah anda dinyatakan kritis, Dok. Karena Pak Wandi mengalami luka-luka serius di beberapa tubuh. Akibat benturan di bagian kepala, ayah anda mengalami pendarahan. Untuk tulang kaki dan tangan mengalami keretakan, bisa dipastikan jika Pak Wandi harus menjalani perawatan untuk waktu yang lama guna melihat perkembangan kesembuhannya," papar dr. Gio pada keluarga pasien."Lakukan yang terbaik untuk ayah saya, Dok. Aku percayakan padamu," ucap dr. Arnesh
Livya terduduk di lantai, dia terus dimarahi oleh para tahanan lain karena terus menangis. Dia memeluk lututnya, menangisi takdir yang tak berpihak padanya.Ia ingin pulang dan keluar dari sini. Mama Venny datang untuk besuk, dia menghampiri Livya yang sedang duduk."Livya! Livya!" pekik mama Venny. Berhasil menyentak Livya yang sedang melamun.Livya yang tadinya duduk, buru-buru mendekat ke arah ibunya sambil memegang kedua tangannya. "Ma, tolong bantu aku keluar dari sini, Ma."Mama Venny tak bisa melakukan apapun sekarang. Bukti yang diberikan Arnesh sangat kuat."Nanti Mama pikirkan. Mama punya info penting Livya.""Info apa, Ma?""Soal Daniel."Mendengar nama Daniel disebut-sebut, Livya jadi mengharap sang kekasih datang dan membebaskannya."Ada apa soal Daniel, Ma?" Dengan cepat Livya bertanya."Daniel ... dia sudah menikah dengan perempuan lain, Livya," balas mama Venny.Deg! Tubuh Livya terbujur kaku. Ia berpegangan pada jeruji agar tubuhnya tidak limbung. Saraf-sarafnya tera
Satu minggu kemudian ....Setelah dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, akhirnya Gladys diizinkan pulang selama proses pemulihan. Bayinya pun sehat setelah melakukan pemeriksaaan.Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa Gladys dan Arnesh akan pulang ke kediaman mama Linda. Arnesh juga memutuskan untuk menjual rumah yang dulu ia tempati bersama Livya."Angkat aja, Nak, bawa masuk ke kamar," kata mama Linda, memberitahu anaknya agar menggendong Gladys yang masih kesulitan jalan. Dia menggendong Jesslyn, bayi perempuan yang mirip sekali dengan putranya.Gladys digendong ala bridal, menuju salah satu kamar di lantai bawah."Nah, Gladys, ini rumah kami. Saya harap kamu nggak merasa sungkan di sini," kata mama Linda. Perlahan mulai menerima kehadiran anak dan menantunya."Iy-iya, Ma."Gladys mengangguk. Sejak kejadian Livya datang, ibu mertuanya jadi perhatian sampai sekarang. Apalagi wanita paruh baya itu selalu membantu menjaga Jesslyn."Kamu temani aja istrimu. Biar Mama yang
Arnesh terkekeh sinis, saat Daniel meminta Livya untuk dibebaskan. Padahal sudah bersalah, bukti pun sudah jelas. Dia tak mengindahkan keinginan Daniel, pengkhianat yang sudah menusuknya dari belakang.Arnesh bangkit dari kursi, mengabaikan Livya dan Daniel yang ada di hadapannya. Sementara mama Venny, wanita paruh baya itu bingung mau bagaimana."Gila saja membebaskan orang yang sudah terbukti bersalah. Lanjutkan prosesnya, Pak, biarkan Livya menjalani hukumannya," ujar Arnesh berlalu bergitu saja, meninggalkan para dua pengkhianat itu.Mulai sekarang, Arnesh tidak ingin lagi berhubungan atau bertemi dengan mereka. Ia hanya ingin fokus pada kehidupannya yang sekarang bersama Gladys."Udah. Mulai sekarang kamu lupain mereka, fokus ke kebahagiaanmu," ujar papa Wandi menepuk pundak putranya.Pria berbeda usia itu menaiki mobil masing-masing untuk kembali ke rumah sakit. Ia khawatir dengan kondisi Gladys beserta anaknya.Ia menjalankan mobilnya dengan kebut-kebutan, ingin segera sampai,
Arnesh memutuskan untuk pergi, karena ia akan bicara dengan pengacaranya di sebuah caffe. Ia akan mengurus surat perceraiannya dengan Livya. Ia berpamitan dulu pada Gladys dan juga anaknya."Aku pergi dulu sebentar, kalau ada apa-apa hubungi aku," ujar Arnesh. Melabuhkan kecupan berulang-ulang pada pipi istri dan pipi anaknya.Gladys terkekeh, ia mendorong Arnesh agar menjauh. "Nanti Jesslyn bangun, Pak Arneh.""Gemas rasanya," ucap Arnesh diiringi dengan tawa.Arnesh melirik arloji yang melingkar di tangannya. Ia lantas pamit. Arnesh sudah mengundang pengacara datang. Dengan berat hati dia pun menaiki mobilnya.Kepergian Arnesh itu menjadi sebuah kesempatan bagi Livya yang diam-diam masuk ke dalan ruangan Gladys. Wanita itu memakai topi dan juga masker agar kehadirannya diketahui.Melihat ada Livya di sini, Gladys membeliakkan matanya sambil memeluk Jessyln. Livya membuka topi, ia menatap bengis pada wanita yang sudah menjadi simpanan suaminya."Sekarang kau bahagia bukan jika Mas Ar
Sementara di luar ruangan, papa Wandi sedang membujuk istrinya yang enggan masuk ke dalam. Mama Linda masih belum bisa menerima Gladys sebagai menantunya. Ia juga belum percaya, jika anak yang dikandung Gladys adalah anaknya.Papa Wandi juga sudah bercerita, jika ia sudah dikenalkan pada Gladys. Mama Linda kesal, selama ini hanya dia yang tidak tahu fakta sebesar ini. Ia kesal, itulah sebabnya enggan keluar."Ma, kenapa nggak masuk ke dalam? Yakin nih nggak mau lihat cucu kita? Bukannya Mama pengen banget punya cucu," ajak papa Wandi menggoda istrinya yang memiliki keinginan menimang cucu.Mama Linda tidak akan luluh begitu saja, dia bersedekap dada dan membuang pandangannya. "Ngapain Papa ngajak Mama? Biasanya juga main rahasiaan, 'kan? Udahlah sana. Mama di sini aja."Melihat istrinya yang sedang marah. Papa Wandi jadi gemas sendiri, pasalnya kemarahan sang istri sudah seperti anak ABG saja, tidak ada ubahnya dari dulu."Ada alasan kenapa Papa nyembunyiin dari kamu, Ma, sekarang ngg
Livya terusir paksa dari rumah suaminya. Dia harus pindah, ke kediamannya yang di Jakarta. Wanita hamil itu menangis tersedu-sedu, harus diceraikan karena Arnesh memilik madunya itu.Mama Venny merasa malu, dengan kelakuan Livya dan juga Daniel. Karena mereka, reputasinya hancur. Arnesh juga tidak mau percaya. Lelaki itu memilih menceraikan Livya.Sesampainya di kediaman. Mama Venny menyapu semua barang-barang sekitar, dia begitu geram dipermalukan. Tentu saja yang tak lain dan tak bukan karena Livya."Lihat sekarang, Livya! Atas perbuatanmu itu Mama yang harus menanggung malu! Sekarang Arnesh sudah menceraikanmu. Mama nggak akan membantumu! Silakan saja menikah dengan Daniel, pria yang menghamilimu!" sentaknya sembari menunjuk pelipis Livya menggunakan jari telunjuknya.Amarahnya sudah tak terkendali dengan semua ini. Apalagi Livya hanya bisa diam dan menangis, seolah itu bisa menyelesaikan masalah."Dan kamu, Daniel! Nikahkan anak saya jika benar itu anakmu! Saya tidak mau cucu saya
Pipi Gladys bersemu, ia menunduk dalam saat Arnesh mengatakan hal itu padanya, tepat di depan matanya. Pria itu menegakkan duduk, menggenggam tangan Gladys begitu erat dan mencium punggungnya tangannya dengan sangat lama."Kenapa, Glad? Apa kamu nggak cinta aku dan nggak mau hidup bersamaku?" tanya Arnesh dengan serius.Apa yang harus Gladys jawab? Dia sendiri pun bingung harus menjawab apa di saat dirinya belum bisa memahami yang dirasakan dirinya saat ini."Glad ...." Arnesh memanggil, dia menunggu jawaban istri keduanya. Dagu Gladys diangkat agar bisa menatapnya. "Maukah?" tanyanya.Gladys membalas tatapan Arnesh, kepalanya mengangguk begitu saja seolah setuju dengan pertanyaan Arnesh."Aku lakukan demi putri kita, ibumu sepertinya nggak menyukaiku," ujar Gladys. Masih terngiang-ngiang perkataan yang dilotarkan mama Linda padanya.Gladys tidak mau, mengganggu keluarga suaminya. Ia hanya ingin hidup tenang bersama putri yang baru dilahirkan.Jawaban Gladys membuat Arnesh senang, mes
Sekujur tubuh Livya terbujur kaku. Bagai tersambar petir di siang bolong Livya tersentak kaget saat Arnesh berkata seperti itu. Livya langsung memeluk Arnesh, dia tidak mau hubungannya berakhir."Apa maksud kamu, Mas? Aku nggak mau cerai, aku nggak pisah," ujar Livya menangis terisak-isak. Sial sekali, nasib buruk malah terjadi padanya hari ini.Arnesh mendengus. Sudah terlanjur murka dengan apa yang dilakukan Livya padanya, yang lebih parah lagi pada ayahnya. Papa Wandi hampir meregang nyawa karena perbuatan Livya.Apa yang sudah Livya lakukan sulit ditolelir. Arnesh jadi tidak mau lagi berhubungan dengannya. Livya sudah berkhianat dan mencelakai keluarganya. Begitipun mama Linda, dia juga sangat geram pada menantu kesayangannya, dengan tiba-tiba malah membencinya."Lepaskan aku, Livya! Aku nggak akan memberikanmu kesempatan! Kamu udah mencelakai ayahku!" sentak Arnesh. Tanpa rasa iba yang ia rasa, Arnesh dengan cepat menepis tangan Livya yang melingkar di perutnya."Mama, tolong Liv
Diberikan pilihan yang rumit seperti itu, Arnesh menjadi dilematis memilih salah satu di antaranya. Dia diam, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Livya terus mendesak jawaban.Livya memukul-mukul dada bidang Arnesh, sambil mencengkram kerah kemejanya. Sia-sia sudah perjuangannya mempertahankan rumah tangga, Arnesh malah tergoda oleh Gladys yang bernotabene sebagai orang ketiga di kehidupan rumah tangganya."Kenapa diam, Mas? Nggak bisa jawab 'kan kamu? Tinggalkan perempuan itu," pinta Livya, menuntun tangan Arnesh untuk mengelus perut besarnya. "Ini juga anak kamu, Mas Arnesh. Kenapa kamu lebih memilih gadis yang nggak jelas asal-usulnya?" "BOHONG! JANGAN PERCAYA PADA LIVYA!"Suara teriakan dari seseorang membuat ketiga orang itu menoleh ke arah belakang. Tepatnya pada seorang pria yang berdiri di ambang pintu, sontak saja mereka membelalak terkejut."Papa?" pekik Arnesh. Kaget saat Papa Wandi datang dengan keadaan yang sudah bisa berjalan."Ma-mas? Ka-kamu ... kenapa bisa? Kamu