Arnesh merasakan hal tak biasa, ketika melewati perjalanan bersama dengan Gladys. Seperti senang, tapi Arnesh juga tidak tahu apa yang terjadi. Padahal sikap Gladys cuek-cuek saja padanya.Depan gapura gang, keduanya berhenti. Lantaran mobil tidak bisa masuk ke sana."Kamu nggak usah turun, warga desa sedang ramai-ramainya jam segini," kata Gladys, melarang Arnesh turun.Lantaran di desanya, biasa ramai karena warganya banyak yang pulang kerja."Kan bisa pakai masker, Glad. Kamu emang kuat ngangkut belanjaan?" tanya Arnesh, yang masih ingin ikut dengan Gladys.Gladys menghunuskan tatapan tajam. "Tetap saja mereka akan bertanya, aku nggak mau mereka tahu!"Lagi, Arnesh hanya bisa pasrah saja. Biarpun Gladys cuek dan ketus, setidaknya wanita itu tidak mendiamkannya dan diam saja.Ia juga sudah bilang kepada Livya akan pulang sore, lain waktu Arnesh akan berkunjung ke kediaman istri keduanya.Tangan Arnesh merogoh saku, membawa dompet dan memberikan uang berwarna merah kepada Gladys. Dia
Arnesh sampai, di teras rumah sudah ada seorang wanita cantik yang selalu menunggu dan menyambutnya. Livya terlihat cantik dengan balutan dress melekat di tubuhnya moleknya. Hanya saja, Arnesh biasa-biasa saja, tidak terlalu terpana."Aku malah senang saat bersama Gladys," gumam Arnesh, sebelum akhirnya turun dari mobil.Livya melambaikan tangan, senyuman manis berkembang di bibir yang sudah dipolesi lipstik itu. Sang istri menghampiri, melingkarkan tangan, namun Arnesh segera menghindar, risih."Mas, ih. Kok dilepas terus!" Livya mengerucut, bibirnya manyun saat Arnesh menjauh."Udah tahu aku nggak suka kamu peluk-peluk, masih aja gitu," balas Arnesh."Ada Mama sama Papa lho, Mas. Masa kamu mau cuekin aku terus," Arnesh melirik ke samping. Benar, ada mobil milik orang tuanya terparkir. Entah apa maksud kedatangan mereka ke sini."Aku nggak peduli!" Arnesh berjalan dahulu, Livya mengekori dan memanggil-manggil namanya.Arnesh masuk ke dalam, disuguhkan wajah orang tua yang sudah berdi
Di dalam kontrakan kecil itu, Gladys sedang membereskan rumahnya agar tak berdebu. Tidak seperti biasanya, Gladys tidak merasakan mual dan pening.Dia bahkan merasa, jika dirinya sedang tidak berbadan dua. Gladys lega, setidaknya gejala kehamilannya tidak terlalu menyiksa agar dia bisa fokus kerja.Gladys berjalan ke dapur, membuka plastik belanjaan tadi sore. Ia ingin makan mie instan malam-malam begini."Aish, kenapa kompornya nggak nyala sih?" gumam Gladys, melihat gas elpiji yang ternyata sudah habis.Gladys memukul kening pelan, ia lupa jika dirinya lupa mengganti gas yang baru dibeli. Jika tidak ada, Gladys susah masak nantinya."Mana lagi udah malam," Gladys yang memang sedang lapar mengusap perutnya.Suara ketukan pintu membuat atensi Gladys menatap lurus ke depan. Dia was-was, takut Arnesh yang datang.Ia mengintip dibalik tirai jendela. Ternyata itu Ghani, bukan Arnesh. Tapi ... mau apa pria itu datang?"Mas Ghani ngapain malam-malam ke sini?" Gladys langsung bertanya. Tidak
Gladys bisa bernapas lega, jika Ghani tidak mengejarnya. Ia tidak tahu, bahwa warga desa memergoki dirinya dan Ghani semalam. Padahal Gladys hanya minta bantuan, hanya saja mungkin tidak etis dua orang dewasa disatu ruangan sama.Gladys berjalan sepanjang lorong, mulai memakai seragam kerjanya dan beraktivitas seperti biasa. Dia harus semangat, demi si buah hati.Mengusap perut, Gladys tersenyum simpul. Tingkah anehnya, tak ayal diperhatikan salah satu rekan kerja yang baru saja datang."Gladys, kamu kenapa usap-usap perut terus dari kemarin?" tanya Yulia, pekerja lama di sini.Gladys menjatuhkan tangannya, kaget karena ada Yulia di sini. "Oh, nggak kok, nggak papa. Cuma lapar aja. Belum sarapan," alibi Gladys menghindari kegugupan.Terlihat ketidakpercayaan di wajah Yulia, ia memicingkan mata. Akhir-akhir ini ia sering melihat Gladys seperti itu—mengelus perut dan ngomong sendiri."Iyakah? Aku bawa sarapan di rumah. Makan bareng, yuk. Supaya kamu nggak kelaparan, Glad," ajak Yulia se
Di salah satu kamar Hotel, Livya duduk di tepian ranjang sembari memakai kembali pakaiannya yang dibuka karena melakukan pergumulan panas selama beberapa jam. Badan Livya terasa lengket dan remuk, Daniel tidak membiarkannya istirahat sepanjang percintaan."Andai saja Mas Arnesh memperlakukanku seperti Daniel, aku akan sangat bahagia," gumamnya.Sang pacar sudah terlelap, di ranjang yang berantakan. Livya membalik setengah badan ke belakang, saat Daniel melingkarkan tangannya di perut."Sayang ... kok pakai baju?" panggil Daniel, suara serak pria saat bangun tidur emang enak didengar, Livya pun suka.Livya mengelus rambut Daniel, membiarkan pria itu mengelus bokong dan pahanya. "Udah malam, Sayang. Aku harus pulang. Mas Arnesh pasti curiga kalau aku nggak ada di rumah," balasnya.Daniel menumpukan dagunya di paha sang kekasih, pria yang masih telanjang ini begitu menikmati waktu bersama wanita yang dicinta.Livya menganga, saat Daniel membelai lembut kewanitaannya. "Besok saja pulang.
Gladys menahan debaran di dadanya, saat pasang mata Arnesh terus mengamatinya."Glad, bisa geser?" tanya Arnesh, berhenti di ambang pintu dapur karena Gladys berdiri dan menghalangi jalan lewatnya."Hah?""Mau geser sendiri atau mau aku bantu geser?"Lekas saja Gladys menggeser tubuh, membiarkan Arnesh yang baru selesai mandi dengan mengenakan handuk. Gladys mati-matian menahan ludah, gugup.Dengan tanpa dosanya Arnesh berpenampilan seperti itu. "Mau beli sarapan nggak?" tanyanya."Ngga—""Jangan nolak, Glad. Harus ingat di perut kamu ada anakku," sela Arnesh, menghentikan ucapan Gladys yang hendak berkata.Ya mau bagaimana lagi, saat ini Gladys tidak ada uang, dia juga enggan menerima uang dari Arnesh, gengsi.Arnesh merogoh saku celana, mengambil dompet dan mengeluarkan semua isinya. Dia berbalik, menarik tangan Gladys agar tidak menolak seperti tadi."Untuk kamu."Gladys melotot tak percaya, saat gambar Ir. Soekarno berbaris rapih digenggamannya. Entah berapa nominalnya, intinya it
Kaki Arnesh berpijak di rumah besar dan megah, yang menjadi istananya bersama Livya sejak menikah. Keduanya sepakat, untuk tinggal pisah dengan orang tua, agar Arnesh tidak tertekan Mama Linda yang banyak maunya.Arnesh tidak menemukan siapa pun di kamarnya, Livya tidak ada di sini, di mana dia?"Bi, Livya pergi ke mana? Kenapa di kamar tidak ada?" tanya Arnesh pada Bi Ijum sang pembantu."Nggak tahu, Tuan. Dari kemarin teh Non Livya nggak kelihatan," jawab Bi Ijum apa adanya."Ya udah, Bi Ijum lanjutkan kerja saja."Arensh hanya bisa menimbang-nimang, di mana keberadaan istrinya yang hilang tanpa kabar. Ia sudah cek ponsel, Livya tidak mengabari.Siapa yang tidak kesal, istri tidak ada di rumah dari kemarin. Itu artinya, Livya tidak pulang ke rumah. Ia mencoba menghubungi mertuanya, siapa tahu Livya sedang bersama mereka."Halo, Ar. Tumben kamu nelpon Mama. Ada apa?" tanya Venny—ibu Livya."Livya ada di sana, Ma?" Arnesh balik bertanya."Nggak ada, Ar. Memangnya Livya ke mana? Bagaim
Bagai disambar petir di siang bolong, sekujur tubuh Gladys langsung melemas seketika saat Daniel memutuskan untuk memecatnya. Gladys meluruhkan air mata dengan berkaca-kaca, berbeda dengan si tua bangka yang tersenyum puas melihat penderitaannya.Gladys menatap sang atasan, memohon agar dirinya tidak dipecat. Jika tidak di sini, ke mana hendak Gladys mencari penghasilan? Konon katanya, mencari pekerjaan di zaman sekarang sulit."Pak, saya mohon jangan pecat saya. Beliau sudah memfitnah saya," lirih Gladys, menahan untuk tidak membuncahkan tangisan.Ia menyeka sudut matanya, memikirkan bagaimana nasibnya dan si buah hati jika dirinya tidak bekerja. Gladys tidak mau, hidup terlunta-lunta.Daniel mengalihkan pandangan, dengan wajah merah padam. Pagi harinya sudah dipusingkan dengan keributan."Saya nggak peduli. Mulai sekarang kamu saya pecat, Gladys! Ini gaji kamu bulan ini. Silahkan pergi dan angkat kaki dari Hotel ini, jangan pernah kembali ke sini!" ketus Daniel, melempar amplop cokl
Livya terduduk di lantai, dia terus dimarahi oleh para tahanan lain karena terus menangis. Dia memeluk lututnya, menangisi takdir yang tak berpihak padanya.Ia ingin pulang dan keluar dari sini. Mama Venny datang untuk besuk, dia menghampiri Livya yang sedang duduk."Livya! Livya!" pekik mama Venny. Berhasil menyentak Livya yang sedang melamun.Livya yang tadinya duduk, buru-buru mendekat ke arah ibunya sambil memegang kedua tangannya. "Ma, tolong bantu aku keluar dari sini, Ma."Mama Venny tak bisa melakukan apapun sekarang. Bukti yang diberikan Arnesh sangat kuat."Nanti Mama pikirkan. Mama punya info penting Livya.""Info apa, Ma?""Soal Daniel."Mendengar nama Daniel disebut-sebut, Livya jadi mengharap sang kekasih datang dan membebaskannya."Ada apa soal Daniel, Ma?" Dengan cepat Livya bertanya."Daniel ... dia sudah menikah dengan perempuan lain, Livya," balas mama Venny.Deg! Tubuh Livya terbujur kaku. Ia berpegangan pada jeruji agar tubuhnya tidak limbung. Saraf-sarafnya tera
Satu minggu kemudian ....Setelah dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, akhirnya Gladys diizinkan pulang selama proses pemulihan. Bayinya pun sehat setelah melakukan pemeriksaaan.Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa Gladys dan Arnesh akan pulang ke kediaman mama Linda. Arnesh juga memutuskan untuk menjual rumah yang dulu ia tempati bersama Livya."Angkat aja, Nak, bawa masuk ke kamar," kata mama Linda, memberitahu anaknya agar menggendong Gladys yang masih kesulitan jalan. Dia menggendong Jesslyn, bayi perempuan yang mirip sekali dengan putranya.Gladys digendong ala bridal, menuju salah satu kamar di lantai bawah."Nah, Gladys, ini rumah kami. Saya harap kamu nggak merasa sungkan di sini," kata mama Linda. Perlahan mulai menerima kehadiran anak dan menantunya."Iy-iya, Ma."Gladys mengangguk. Sejak kejadian Livya datang, ibu mertuanya jadi perhatian sampai sekarang. Apalagi wanita paruh baya itu selalu membantu menjaga Jesslyn."Kamu temani aja istrimu. Biar Mama yang
Arnesh terkekeh sinis, saat Daniel meminta Livya untuk dibebaskan. Padahal sudah bersalah, bukti pun sudah jelas. Dia tak mengindahkan keinginan Daniel, pengkhianat yang sudah menusuknya dari belakang.Arnesh bangkit dari kursi, mengabaikan Livya dan Daniel yang ada di hadapannya. Sementara mama Venny, wanita paruh baya itu bingung mau bagaimana."Gila saja membebaskan orang yang sudah terbukti bersalah. Lanjutkan prosesnya, Pak, biarkan Livya menjalani hukumannya," ujar Arnesh berlalu bergitu saja, meninggalkan para dua pengkhianat itu.Mulai sekarang, Arnesh tidak ingin lagi berhubungan atau bertemi dengan mereka. Ia hanya ingin fokus pada kehidupannya yang sekarang bersama Gladys."Udah. Mulai sekarang kamu lupain mereka, fokus ke kebahagiaanmu," ujar papa Wandi menepuk pundak putranya.Pria berbeda usia itu menaiki mobil masing-masing untuk kembali ke rumah sakit. Ia khawatir dengan kondisi Gladys beserta anaknya.Ia menjalankan mobilnya dengan kebut-kebutan, ingin segera sampai,
Arnesh memutuskan untuk pergi, karena ia akan bicara dengan pengacaranya di sebuah caffe. Ia akan mengurus surat perceraiannya dengan Livya. Ia berpamitan dulu pada Gladys dan juga anaknya."Aku pergi dulu sebentar, kalau ada apa-apa hubungi aku," ujar Arnesh. Melabuhkan kecupan berulang-ulang pada pipi istri dan pipi anaknya.Gladys terkekeh, ia mendorong Arnesh agar menjauh. "Nanti Jesslyn bangun, Pak Arneh.""Gemas rasanya," ucap Arnesh diiringi dengan tawa.Arnesh melirik arloji yang melingkar di tangannya. Ia lantas pamit. Arnesh sudah mengundang pengacara datang. Dengan berat hati dia pun menaiki mobilnya.Kepergian Arnesh itu menjadi sebuah kesempatan bagi Livya yang diam-diam masuk ke dalan ruangan Gladys. Wanita itu memakai topi dan juga masker agar kehadirannya diketahui.Melihat ada Livya di sini, Gladys membeliakkan matanya sambil memeluk Jessyln. Livya membuka topi, ia menatap bengis pada wanita yang sudah menjadi simpanan suaminya."Sekarang kau bahagia bukan jika Mas Ar
Sementara di luar ruangan, papa Wandi sedang membujuk istrinya yang enggan masuk ke dalam. Mama Linda masih belum bisa menerima Gladys sebagai menantunya. Ia juga belum percaya, jika anak yang dikandung Gladys adalah anaknya.Papa Wandi juga sudah bercerita, jika ia sudah dikenalkan pada Gladys. Mama Linda kesal, selama ini hanya dia yang tidak tahu fakta sebesar ini. Ia kesal, itulah sebabnya enggan keluar."Ma, kenapa nggak masuk ke dalam? Yakin nih nggak mau lihat cucu kita? Bukannya Mama pengen banget punya cucu," ajak papa Wandi menggoda istrinya yang memiliki keinginan menimang cucu.Mama Linda tidak akan luluh begitu saja, dia bersedekap dada dan membuang pandangannya. "Ngapain Papa ngajak Mama? Biasanya juga main rahasiaan, 'kan? Udahlah sana. Mama di sini aja."Melihat istrinya yang sedang marah. Papa Wandi jadi gemas sendiri, pasalnya kemarahan sang istri sudah seperti anak ABG saja, tidak ada ubahnya dari dulu."Ada alasan kenapa Papa nyembunyiin dari kamu, Ma, sekarang ngg
Livya terusir paksa dari rumah suaminya. Dia harus pindah, ke kediamannya yang di Jakarta. Wanita hamil itu menangis tersedu-sedu, harus diceraikan karena Arnesh memilik madunya itu.Mama Venny merasa malu, dengan kelakuan Livya dan juga Daniel. Karena mereka, reputasinya hancur. Arnesh juga tidak mau percaya. Lelaki itu memilih menceraikan Livya.Sesampainya di kediaman. Mama Venny menyapu semua barang-barang sekitar, dia begitu geram dipermalukan. Tentu saja yang tak lain dan tak bukan karena Livya."Lihat sekarang, Livya! Atas perbuatanmu itu Mama yang harus menanggung malu! Sekarang Arnesh sudah menceraikanmu. Mama nggak akan membantumu! Silakan saja menikah dengan Daniel, pria yang menghamilimu!" sentaknya sembari menunjuk pelipis Livya menggunakan jari telunjuknya.Amarahnya sudah tak terkendali dengan semua ini. Apalagi Livya hanya bisa diam dan menangis, seolah itu bisa menyelesaikan masalah."Dan kamu, Daniel! Nikahkan anak saya jika benar itu anakmu! Saya tidak mau cucu saya
Pipi Gladys bersemu, ia menunduk dalam saat Arnesh mengatakan hal itu padanya, tepat di depan matanya. Pria itu menegakkan duduk, menggenggam tangan Gladys begitu erat dan mencium punggungnya tangannya dengan sangat lama."Kenapa, Glad? Apa kamu nggak cinta aku dan nggak mau hidup bersamaku?" tanya Arnesh dengan serius.Apa yang harus Gladys jawab? Dia sendiri pun bingung harus menjawab apa di saat dirinya belum bisa memahami yang dirasakan dirinya saat ini."Glad ...." Arnesh memanggil, dia menunggu jawaban istri keduanya. Dagu Gladys diangkat agar bisa menatapnya. "Maukah?" tanyanya.Gladys membalas tatapan Arnesh, kepalanya mengangguk begitu saja seolah setuju dengan pertanyaan Arnesh."Aku lakukan demi putri kita, ibumu sepertinya nggak menyukaiku," ujar Gladys. Masih terngiang-ngiang perkataan yang dilotarkan mama Linda padanya.Gladys tidak mau, mengganggu keluarga suaminya. Ia hanya ingin hidup tenang bersama putri yang baru dilahirkan.Jawaban Gladys membuat Arnesh senang, mes
Sekujur tubuh Livya terbujur kaku. Bagai tersambar petir di siang bolong Livya tersentak kaget saat Arnesh berkata seperti itu. Livya langsung memeluk Arnesh, dia tidak mau hubungannya berakhir."Apa maksud kamu, Mas? Aku nggak mau cerai, aku nggak pisah," ujar Livya menangis terisak-isak. Sial sekali, nasib buruk malah terjadi padanya hari ini.Arnesh mendengus. Sudah terlanjur murka dengan apa yang dilakukan Livya padanya, yang lebih parah lagi pada ayahnya. Papa Wandi hampir meregang nyawa karena perbuatan Livya.Apa yang sudah Livya lakukan sulit ditolelir. Arnesh jadi tidak mau lagi berhubungan dengannya. Livya sudah berkhianat dan mencelakai keluarganya. Begitipun mama Linda, dia juga sangat geram pada menantu kesayangannya, dengan tiba-tiba malah membencinya."Lepaskan aku, Livya! Aku nggak akan memberikanmu kesempatan! Kamu udah mencelakai ayahku!" sentak Arnesh. Tanpa rasa iba yang ia rasa, Arnesh dengan cepat menepis tangan Livya yang melingkar di perutnya."Mama, tolong Liv
Diberikan pilihan yang rumit seperti itu, Arnesh menjadi dilematis memilih salah satu di antaranya. Dia diam, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Livya terus mendesak jawaban.Livya memukul-mukul dada bidang Arnesh, sambil mencengkram kerah kemejanya. Sia-sia sudah perjuangannya mempertahankan rumah tangga, Arnesh malah tergoda oleh Gladys yang bernotabene sebagai orang ketiga di kehidupan rumah tangganya."Kenapa diam, Mas? Nggak bisa jawab 'kan kamu? Tinggalkan perempuan itu," pinta Livya, menuntun tangan Arnesh untuk mengelus perut besarnya. "Ini juga anak kamu, Mas Arnesh. Kenapa kamu lebih memilih gadis yang nggak jelas asal-usulnya?" "BOHONG! JANGAN PERCAYA PADA LIVYA!"Suara teriakan dari seseorang membuat ketiga orang itu menoleh ke arah belakang. Tepatnya pada seorang pria yang berdiri di ambang pintu, sontak saja mereka membelalak terkejut."Papa?" pekik Arnesh. Kaget saat Papa Wandi datang dengan keadaan yang sudah bisa berjalan."Ma-mas? Ka-kamu ... kenapa bisa? Kamu