Mata Devano terlihat tajam saat menatap layar yang menampilkan Kania yang sedang berada di kamar. Kepalanya sedikit miring, dan dia tersenyum sinis melihat gerakan gelisah wanita tawanan itu. Terlihat wanita tersebut sesekali menggigit bibir bawah, dan itu membuat pria yang melihat hal ini merasa gejolak sesuatu di tubuh. "Apa yang sedang kamu pikirkan, gadis kecil?" gumamnya dengan nada mengejek.Tiba-tiba, pintu terbuka dengan tiba-tiba, membuat Devano terkejut. Dia cepat-cepat menutup laptop dan menoleh ke asal suara. Mata pria tersebut menemukan Alex, bawahannya, yang tampak kaget juga. "Sudah bosan dengan pekerjaanmu, ya?" geram Devano dengan suara tinggi.Alex menelan ludah saat mendapatkan tatapan begitu sinis dari Devano. Dengan rasa takut yang jelas terpancar dari mata pria tersebut, ia segera mendekati sang Bos dan kini berada di samping majikannya ini. "Kalau gak di paksa Ka Wiliam, mana mungkin aku mau diam terlalu lama di sisimu Tuan!" Tetapi lelaki itu hanya berani m
"Apa!" Alex terkejut mendengar informasi dari kepala pelayan di kediaman Devano. Dia segera menatap sang Bos yang juga menatapnya, mereka memang sedang berada dalam satu ruangan setelah selesai rapat. "Ada apa?" tanya lelaki itu. Lelaki itu langsung bertanya pada intinya, membuat Alex sangat kesulitan menelan ludah saat mendapatkan tatapan tersebut, ia merasa canggung dan sedikit terkejut. "Eum ... Itu Tuan, Ibu dan adiknya Kania datang ke rumah, Tuan," jelas Alex. Devano mengangguk-anggukkan kepala pelan, ekspresinya menunjukan ketegasan. Lalu pria tersebut terus menatap tajam pria yang menunggu dia dihadapan ini mengucapan kata selanjutnya."Mereka membuat keributan di depan rumah, membuat orang yang mendengar berhenti di sana buat menonton aksi mereka," lanjut pria itu cepat.Setelah menjelaskan semuanya, Alex tidak berani membalas tatapan Devano secara langsung. Ia memilih menundukan kepala, merasakan debaran di dada karena kecemasan menunggu reaksi sang Bos. Devano mengger
"Ibu ...." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Kania, dia terpaku sangat syok dengan wanita yang ia anggap Ibu. "Tolong Kania ... jangan seret Ibu, Ibu gak mau keluarga Ibu dalam bahaya."Kania menggelengkan kepala, dia tak berniat membuat keluarga wanita tersebut dalam bahaya. Perempuan tersebut melangkah pelan mendekati wanita yang ia panggil Ibu. Baru saja hendak memegang bahu sang lawan bicara, suara manusia yang lebih tua darinya ini kembali bersuara. "Kamu gak tau, Kania ... betapa mengerikannya kalau Tuan Devano marah, sama kamu dia masih lunak sejak kemaren. Tapi kalau sama Ibu, entah gimana nasib kami nanti," tutur wanita itu.Kania terdiam saat mendengar perkataan wanita tersebut. Ia membenarkan apa yang dikatakan perempuan tersebut, karena dia hanya bertemu beberapa kali dengan pria itu. Dia juga pernah memergoki saat Devano menghukum bawahnya."Ya udah, gak papa, Bu. Biar nanti Kania cari cara lain aja. Maaf udah bikin Ibu takut," kata Kania pelan.Ucapan wanita itu s
Sebelum Devano menyelesaikan ucapannya, lelaki yang memiliki toko ini langsung menjatuhkan lutut ke lantai. Lalu bersuara sambil memegang kaki majikan Alex. "Tuan, tolong ... jangan buat toko kami bangkrut, kalau anda gak suka coba kasih ciri-cirinya aja. Nanti saya suruh designer bikinin," ujar lelaki itu. Lelaki yang memakai barang dan pakaian mahal ini menatap datar pemilik toko ini. Tatapannya begitu dingin, melihat hal tersebut Alex merasa cemas. "Kamu berdiri! Tuan Devano belum selesai ngomongnya, kenapa malah menyela," geram Alex.Pria tersebut segera bangkit mendengar perkataan Alex. Ia menundukkan kepala saat mendapatkan pandangan dingin dari Devano. "Saya suka, kalau bisa biarin dia bekerja dengan saya juga. Untuk menyiapkan pakaian sesuai permintaan saya," jelas Devano.Mendengar hal itu pemilik toko ini terdiam sebentar, karena designer itu adalah putri mereka. Ia segera mengangguk kepala sebagai jawaban. "Cepat keluarkan semua hasil karya dia! saya ingin lihat semua.
"Ganteng kan, Bu! Udah Dania bilang selera Dania mah gak bakal pernah ngecewain," celetuk perempuan tersebut. Mendengar hal itu, Erna menganggukan kepala mengiyakan perkataan anaknya. Tetapi, mulut wanita tersebut masih sibuk mengunyah makanan. "Ya udah kalau gitu sana ke kamarnya, godain dia," bisik sang Ibu. Dania segera melirik ke setiap penjuru, para pelayan di sini mulai sibuk setelah kedatangan Devano. Wanita itu lekas melangkah pergi ke arah tadi lelaki pemilik kediaman ini pergi. "Kamu mau ke mana!" seru seorang pelayan.Pelayan tersebut segera mendekati Dania, wanita yang berstatus adiknya Kania. Ia celingak-celinguk melirik sekitar, tidak menyangka kediaman ini sangat luas membuat dia sedikit kebingung hendak pergi ke mana karena banyak lorong. "Di mana Kamar Tuan Devano, saya disuruh ke kamarnya," balas Dania. Dia begitu gampang berkata demikian, bahkan tidak ada nada gemetar sedikitpun. Sang pelayan mengerutkan kening memandang perempuan tersebut. "Jangan berbohong!
Mereka seperti burung yang terkejut, padahal suara Devano tidak nyaring. Semua segera memutarkan badan dengan kaku dan menunduk kalau melihat sang pemilik kediaman ini. Sedangkan Dania, walau ia juga merasakan takut, tetapi ia mulai melangkah mendekati lelaki itu. Aura menyeramkan semakin terasa kala makin dekat pada Devano. "Berhenti! Siapa yang menyuruhmu, mendekat."Suara itu datar tetapi sangat tajam. Seperti belati yang selesai di asah lalu dilayangkan pada Dania. Membuat wanita tersebut lekas menghentikan langkah dan menundukan kepala seketika. Karena nyali yang awalannya sedikit ada kini tak tersisa sedikitpun. Seperti lilin yang menyala dan diterpa angin. "Ini caramu menyambut kami! kami keluarga Kania lho."Erna melangkah mendekati anaknya lalu berkata demikian, ia langsung memegang tangan Dania dan perempuan tersebut lekas melirik sang ibu. Suara wanita yang melahirkan kedua gadis itu bersuara nyaring walau dengan nada gemetar. Nada suara dan perkataan Erna membuat suasan
Erna, mendengar perkataan Devano, terdiam seketika. Amarah langsung membara sangat tampak jelas dari tangannya yang terkepal erat, seolah mencoba menahan emosi yang memuncak. Tetapi, mata wanita itu menatap kosong ke arah pemilik kediaman ini, seperti mencari balasan yang tepat untuk merespon."Uang segitu mana cukup, Bos aja nanti janji ke saya kalau bakal ngasih uang mahar, masa kamu enggak. Apa kamu lebih miskin dari dia!" Erna membalas dengan nada sinis, suaranya gemetar menunjukkan betapa emosinya tidak bisa dikendalikan. Sedangkan Devano hanya bisa menyeringai, mengejek. Sementara Kania, yang tidak menyangka ibunya akan berbicara begitu, tampak terpukul. Orang di sekitar mereka hanya bisa menggelengkan kepala, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar."Bu ...." Kata itu terlontar dari bibir Kania yang gemetar. Matanya berkaca-kaca, menatap wanita yang melahirkannya dengan penuh kekecewaan. Erna hanya melirik sinis, sementara Dania menatap ibunya dengan tatapa
Bawahan Devano melihat adegan tersebut berusaha menelan ludah dengan susah payah. Menatap wajah lelaki itu yang dingin bak kutub utara dan tatapan sangat tajam membuat mereka, seperti kekurangan oksigen karena pandangan mata sang majikan. Tubuh semua gemetar ketakutan, lalu tak berselang lama setelah membentak Kania. Pria tersebut segera memandang mereka, memilih menopang kaki dan bersidekap dengan sorot mata sinis."Kalian liatin apa, kenapa diam aja! Ayo cepat sajikan. Apa telinga kalian tuli," bentak Devano.Pembantu Devano tersentak mendengar omelan lelaki itu. Bahkan mereka segera melakukan tugas dengan tergesa-gesa, tidak bisa dipungkiri jika tangan para pelayan gemetar ketakutan."Yang bener kerjanya! Kalau tumpah gimana," sentak lelaki itu lagi.Mereka semakin gemetar ketakutan, bergegas menyelesaikan kerjaan lalu pergi dari ruangan mencengkam ini. Sedangkan Devano mendengkus melihat satu pembantu dengan perlahan mulai menarik pintu dengan pelan. "Lelet banget sih! Bisa cepet
Devano terperanjak mendengar seruan sang istri kala selesai menutup pintu, percakapan mereka tidak terdengar ke luar. Lelaki itu segera memandang wajah cemburu Kania dan membelai penuh kasih sayang. “Apa yang dipikirkan otak kecilmu itu, jangan bicara sembarangan,” tegur lelaki itu. Dia mendorong kening Kania membuat sang empu mengerucutkan bibirnya, lelaki itu segera menyalakan kemudi lalu Kania spontan memegang lengannya membuat dia menoleh. “Ada apa lagi,” kata Devano dengan nada malas. Perempuan itu masih memajukan bibirnya, dia bahkan berani menunjuk pipi sang suami sampai jari wanita tersebut menyentuh wajah Devano. “Kamu pasti berbohong, karena kamu sedikit lagi mau sembuh. Kamu mau mencari wanita lain yang lebih pantas denganmu,” sungut perempuan tersebut. Devano memutarkan bola mata mendengar ucapan sang istri, ia memilih mematikan mesin kendaraan lagi dan tangannya memilih menggengga
Li Jiazhen segera pergi setelah selesai dengan urusannya, tidak ingin menyulut amarah Devano lagi. Kini hanya sepasang suami istri ini yang ada di ruangan, kekasih Kania melangkah kaki menuju dispenser air lalu menyalakan unruk mengisi air di gelas dan meneguk hingga tandas. Sang perempuan tersebut mengikuti, tetapi lelaki ini sama sekali tak mengeluarkan suara. Terlihat jelas dari wajah tidak ingin diganggu sedikitpun."Sayang ….""Kamu marah?" tanyanya pelan.Lelaki ini hanya melirik tanpa menjawab pertanyaan Kania, padahal wanita itu sudah sangat jelas tau jika sang suami tengah berperang dengan emosi yang bergejolak."Pergilah! aku bakal lembur, kamu pulang aja."Devano secara halus mengusir sang istri, mendengar hal ini Kania menggeleng. Perempuan itu segera memeluk suaminya yang berjalan menuju sofa, membuat sang empu menghentikan langkah."Maafkan aku, Sayang. Lain kali aku gak bakal berbicara dengan pria itu kalau diajak
Karyawan itu tidak menanggapi ucapan Devano, dia langsung berlari lalu memeluk suami Kania. Mata pria tersebut membulat sempurna karena terkejut, ia berusaha melindungi minuman yang dibawa agar tidak tumpah.“Tuan … terima kasih!”seru lelaki tersebut.Setelah tersadar akan pandangan mata Devano, ia segera melepaskan pelukkan lalu menjauh. Menundukkan kepala tidak berani memandang wajah pemilik perusaaan ini.“Di mana sikapmu yang tadi? Kenapa sangat cepat lenyap,” ucap Devano datar.Pria ini semakin menunduk, sedangkan yang lain hanya memandang nanar. Mereka segera melakukan pekerjaan kembali kala Devano melirik semua. “Sudahlah, aku tidak mau menakutimu lagi. Selamat karena sudah menjadi Ayah, doakan istriku juga. Semoga dia lancar sampai anakku lahir,” ujar Devano.Karyawan itu mengangguk lalu mengucapkan terimakasih dan mendoakan istri Devano yang dibalas senyuman pria tersebut. Beberapa orang yang melihat memandang tak perca
Devano mendengar ucapan karyawannya langsung mendelik, ia kembali memandang ke depan.“Kalau kamu ada kesalahan lagi aku gak akan mengeluarkanmu begitu saja dari ruangan, aku aku keluar mau menjemput istriku di luar. Oh ya, siapkan minuman untuk dia, eh jangan! Biar saya aja yang buat, kamu cepat pergi beli susu untuk ibu hamil,” seru Devano.Setelah berkata demikian lelaki itu kembli bergegas melangkah, sedangkan karyawan yang diperintahkan mulutnya terbuka lebar. Ia benar-benar tidak mengenali Devano, sikap sangat berbeda dengan dulu. Bahkan sekarang ada rasa toleransi, dia merasa bersyukur akan kehadiran yang datang ke hidup sang Bos.“Ah, iya! Aku harus segera pergi membeli susu ibu hamil,” pekik pria tersebut.Dia langsung berlari untuk melakukan kerjaannya, se
William terperanjak mendengar suara Devano, membuat ia spontan menginjak pedal gas. Beruntung Kania sudah memakai sabuk pengaman dan berpegangan sebagai jaga-jaga. Bahkan handphone yang dipegang perempuan tersebut sampai terjatuh, lelaki sedang berganti profesi jadi supir ini lekas mematikan mesin dan membantu mengambil ponsel sang majikan.“Tu-Tuan,” kata William terbata-bata kala melihat layar handphone.Pria yang dipanggil Tuan itu memasang wajah datar kala mendengar suara William, sedangkan Kania segera mengambil handphone lalu segera mengganti jadi kamera depan.“Sayang, kamu mengejutkan kami,” tegur Kania.Lelaki itu hanya mendengkus mendengar teguran sang istri, ia memalingkan wajah menyembunyikan riak kekesalan.“Iya, maafkan aku. Aku hanya terkejut karena William melajukan kendaraan sangat kencang,” seru Devano.Me
Waktu terus bergerak sangat cepat, kini kehidupan sepasang suami istri itu sangat harmonis. Tetapi kadang Kania sangat jengkel pada Devano karena terlalu oper protektif pada dia. Bahkan untuk ke dapur aja tidak diperbolehkan, katanya takut sesuatu hal buru terjadi."Yasmin … aku sangat bosan," keluh Kania.Bibirnya mengerucut tanda sangat kesal, sedangkan Yasmin paham akan perasaan keduanya. Satu sisi Devano takut sesuatu terjadi, karena pas usia kandungan perempuan itu empat bulan, Kania sempat hendak terjatuh di dapur akibat ada minyak yag tumpah. Bahkan karena hal tersebut, beberapa pelayan dipecat begitupun yang tak menyukai wanita hamil ini."Tuan begitu karena sangat menyayangimu, takut kamu kenapa-napa," balas Yasmin.Kania menganggukkan kepala mengiyakan perkataan Yasmin, tetapi ia juga kembali cemberut karena merasa terkekang di sangkar emas milik sang suami. Sedangkan sahabat perempuan tersebut, sebenarnya mereka percakapan dan segera m
Mendengar ucapan wanita itu mereka terdiam sejenak, membuat Elsa langsung menyeringai. Tak berselang lama perempuan tersebut segera dibopong salah satu dari para pria ini.“Diamlah, Nyonya! Ini perintah Tuan Devano, kalau anda terus memberontak. Mohon maaf kalau kami bakal kasar, karena Tuan Devano memperbolehkan hal itu.”Mendengar hal itu Elsa membulatkan mata, perempuan tersebut berhenti memberontak. Sedangkan bawahan Devano lekas memasuki ke kendaraan, William yang ada di dalam mobil hanya tersenyum lalu melajukan alat tranfortasi tersebut.“William, kalian mau membawaku ke mana?” tanya wanita tersebut.Lelaki tersebut tidak menjawab, membuat Elsa mengepalkan tangan.“Pinjam handphone-mu, aku mau berbicara dengan anakku.’Elsa menyodorkan tangannya ke arah William, pria tersebut tak merespon sedikitpun membuat Ibu Devano memakinya. Tangan perempua
Suara lembut dan serak terdengar di indra pendengar Devano, apalagi panggilan sayang membuat ia bergegas menoleh. Senyuman langsung ia lemparkan kala mata bertabrakan dengan manik Kania. Tatapan perempuan itu masih sangat sayu, pria ini segera menyudahi telepon lalu memasukkan benda pipih ke saku. Melangkah mendekat dan melingkarkan pelukkan di pinggang Kania.“Sayang, kamu ngobrol sama siapa tadi?” tanya Kania dengan suara serak.Devano mendengar perkataan Kania hanya mengulas senyuman, dia membenarkan pelukkan pada istrinya agar wanita ini nyaman.“Gak perlu kamu pikirkan, mendingan temani aku berbaring sebentar. Kepalaku agak pusing,” tutur pria tersebut.Mendengar perkataan sang suami, Kania spontan mengarahkan punggung tangan ke dahi Devano dan dia sendiri. Gerakkan perempuan tersebut sangat cepat, refleks dilakukan seolah ingin segera memastikan keadaan pri
Liburan keluarga besar ini masih sangat ramai, walau beberapa sudah ada yang pergi. Entah karena urusan mendadak atau usiran dari pria berstatus suami Kania. Mereka sekarang tengah pulang ke kediaman masing-masing, sedangkan Devano pergi mengantarkan Farrah terlebih dahulu. Saat gadis kecil itu turun diikuti istri lelaki tadi mengemudi, kedua manusia saling berpelukkan."Auntie, nanti kalau jalan-jalan ajak aku lagi ya," kata Farrah.Mendengar perkataan gadis kecil itu, Devano mendelik. Dia memandang sinis Farrah, tetapi disambut senyuman di bibir perempuan muda ini."Cih, malas aku bawa kamu. Kamu menyabotase waktu istriku," balas lelaki berkemeja hitam itu.Kania hanya terkekeh mendengar balasan sang suami pada Farrah, wanita itu langsung mengulurkan tangan dan mengusap penuh kasih sayang puncuk kepala gadis kecil tersebut."Gak usah dengarkan, Paman. Okey, nanti Auntie ajak ka