Peristiwa menjijikkan itu kembali terekam dengan jelas di otaknya. Ia merasa sangat kotor, jijik, dan benci terhadap diri sendiri karena tidak bisa menjaga diri. Kali ini ia tidak lagi ingin mengalami hal yang serupa.Ketiga orang itu berjalan mendekat dengan tatapan nyalang yang bersiap untuk menerkam. Airin kehabisan senjata untuk menyerang. Barang-barang yang ada di nakas telah ia lempar semuanya. Tangannya dengan pelan membuka laci nakas. Di sana ada sebuah gunting yang bisa ia jadikan sebagai alat pelindung diri.“Jangan mendekat!” Airin mengarahkan ujung gunting pada tiga orang itu secara bergantian.“Pergi!” Airin terus berucap sekuat tenaga.“Mami! Papi!” Airin mulai histeris ketika ketiga orang itu semakin mendekat. Tangisnya begitu kuat.“Airin!” Pintu kamar terbuka dengan kemunculan kedua orang tua Airin.Seketika ketiga orang itu menghilang setelah orangtuanya datang.“Sayang, kenapa?” Arie berlari menghampiri, membawa sang putri ke dalam dekapan untuk menenangkan. Gunting
Leonel tampak begitu nelangsa. Ia mengusap wajah dengan kasar, lalu menghela napas dengan kasar. Rumah itu tampak sangat sepi sekarang. Setelah Airin pergi, ayahnya juga kembali pulang ke rumahnya. Meninggalkan Leonel seorang diri.Tidak ada hal yang bisa Leonel lakukan selain tidur, makan, lalu tidur lagi. Ia belum mencari pekerjaan setelah dipecat dari kantor yang lama. Semangat hidupnya tidak ada sama sekali. Rumah terlihat begitu berantakan. Pakaian kotor di mana-mana, bungkus makanan juga bergeletakan secara sembarangan. Ada banyak sampah di tempat yang tidak seharusnya.Dering ponsel membuat Leonel bangkit untuk duduk. Tertera nama Livy di layar. Ia langsung menolak, tidak ingin berbicara dengan wanita itu sama sekali. Masih terngiang-ngiang di telinganya ketika Livy mengajak Robin untuk bercinta di bulan lalu ketika dirinya berada di ruang UGD rumah sakit setelah mendapat hantaman dari ayah Airin. Ia tidak menyangka Livy benar-benar tidak memiliki rasa malu sama sekali. Wanita
“Om—” Leonel mendekat, hendak mencium punggung tangan mertuanya. Namun, Arie langsung memberi jarak.“Apa kau sudah tidak sayang dengan nyawamu hingga kau berani datang ke sini?”“Om, aku minta maaf.” Leonel berusaha memelas iba. Ia berlutut di kaki lelaki paruh baya itu, memasang wajah semenyedihkan mungkin agar hati Arie bisa ia sentuh. “Tolong izinkan aku bertemu dengan Airin.” Lelaki itu memohon dengan penuh harap. Ia memelas.Arie menghela napas dengan kasar. Andai membunuh seseorang tidak dilarang, sudah ia habisi Leonel sejak lama. Kesabarannya benar-benar selalu diuji ketika berhadapan dengan Leonel.“Paksa dia untuk pergi. Jika perlu beri sedikit kekerasan agar dia jera.” Arie memberi perintah pada dua satpam yang berjaga di sana.“Baik, Tuan.” Kedua satpam itu menjawab dengan serentak dan penuh ketegasan.Arie berbalik, lalu beranjak pergi. Namun, langkahnya tertahan karena Leonel memeluk kaki kanannya.“Om, tolong maafkan aku. Aku rela diberi hukuman apa pun, tapi jangan pi
“Airin ke mana, Mi?” Arie bertanya ketika ia tidak menemukan putri kesayangannya di mana pun.“Loh, bukannya tadi sama Papi?” Lenzy mengerutkan kening menatap. Bingung, sebab yang ia tahu Airin ikut ayahnya untuk konsul siang ini.“Kapan?” Arie mulai panik, sebab Airin tidak bisa lepas dari pengawasan.“Kamar sudah dicek?”“Belum.”“Tidur mungkin.” Lenzy menghela napas lega, berpikir jika putrinya tengah istirahat di kamar. Jadi, tidak ada yang perlu ia khawatirkan.Arie bergegas menuju lantai atas. Sudah tidak sabar bertemu dengan Airin setelah ia tinggal setengah hari untuk menghadiri meeting penting. Lelaki itu berlari menaiki anak-anak tangga, lalu mengetuk kamar yang Airin tempati beberapa minggu ini. Biasanya Airin tidur di kamar mereka ketika tingkat depresi wanita itu memuncak. Ia akan tidur di kamar sendiri setelah sedikit tenang berkat obat.“Sayang!” Arie memanggil seraya mengetuk pintu dengan lembut. Tidak ada jawaban sama sekali. “Sayang, papi masuk, ya!” Arie meminta izi
“Kamu ke sini sama siapa?” Lelaki itu bertanya dengan penuh perhatian.“Sendiri, Pa.” Airin menjawab dengan suara serak dan lemah.Robin menghela napas dengan kasar. Ia merogoh saku meraih ponsel. Segera ia hubungi Arie untuk memberitahu jika Airin tengah bersamanya.Jantung Robin berdegup dengan sangat kencang. Ia diserang kegugupan ketika Airin tidak kunjung melepas genggaman. Ia bisa merasakan ketakutan yang Airin rasakan. Telapak tangan itu terasa dingin dan basah.Robin mengusap pipi Airin dengan ibu jarinya. Ia selipkan rambut Airin ke belakang telinga, hingga wajah cantik wanita itu tampak dengan sangat jelas.“Mbak!” Sang supir taksi akhirnya menemukan Airin.“Pergi! Arght!” Airin berteriak. Ia lekas menenggelamkan diri dalam pelukan Robin. Merasa takut, sebab pikirannya sedang terganggu.“Ada apa, Mas?” Robin menatap. Dengan rasa gugup yang luar biasa, ia lingkarkan lengannya ke pinggang Airin. Sesungguhnya ia merasa sangat tersiksa dengan posisi yang seperti ini, sebab libid
“Airin!” Leonel lekas memeluk sang istri ketika ia membuka pintu dan menemukan Airin pulang dengan membawa sebuah koper berwarna pink. Tidak terkira sebesar apa rasa bahagia yang menghinggapi dada. Lelaki itu memeluk dengan sangat erat. Akhirnya ia kembali bisa menyentuh Airin setelah empat bulan mereka dipisahkan.Dulu, hal seperti ini yang Airin inginkan. Dipeluk dengan limpahan kasih sayang. Namun, kini hanya ada perasaan jijik ketika ia disentuh oleh Leonel. Mengingat jika lelaki itu telah menghabiskan banyak malam bersama wanita lain.Airin melepas pelukan Leonel dengan kasar. Wajahnya tampak dingin dan mematikan.“Aku mau istirahat.” Airin berucap dengan tajam.Leonel tersenyum lebar. Senyum itu tampak sangat tulus, tidak terlihat dipaksakan sama sekali seperti senyum yang dulu selalu diterima oleh Airin.“Aku akan membereskan kamar kita, kau duduk dulu di sini.” Leonel meminta Airin untuk duduk di sofa ruang tamu.“Aku ingin pisah kamar.” Airin berucap tanpa ekspresi sama sekal
Robin ikut menyusul ke dapur. Lelaki itu menyerahkan empat butir obat yang ia dapat dari Arie. Lelaki paruh baya itu telah berusaha keras untuk meyakinkan sahabatnya bahwa ia akan menjaga Airin dan memastikan Airin akan kembali seperti dulu lagi. Ia yang akan menggantikan tugas Arie untuk menemai Airin bertemu dengan psikiaternya setelah ini.Airin membuang semua butir obat itu ke dalam westafel. Aura dingin memancar begitu tinggi dari dirinya.“Mengapa kau membuangnya?” Robin protes. Sebab, jiwa Airin tidak akan stabil selama ia tidak mengonsumsi obat itu.“Aku tidak butuh obat. Aku juga tidak butuh kata-kata penyemangat.” Airin berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Terdengar helaan napas kasar yang berasal dari Robin. Ternyata tidak mudah mengurus Airin. Pantas saja Arie tampak begitu tertekan dan kelelahan. Sebab, empat bulan ia menghadapi sikap Airin yang seperti ini.Leonel tampak bingung dengan apa yang terjadi. Bergegas ia menyelesaikan masakannya agar bisa menyusul Airin.
“Aku suaminya! Aku lebih berhak atas dia!” Suara Leonel terdengar menggema di dalam ruangan.Robin hanya menghela napas dengan kasar.“Apa Airin sering mengamuk akhir-akhir ini?”“Aku tidak tahu karena baru bertemu dengannya empat hari yang lalu. Waktu itu dia sempat histeris di tengah jalan. Pagi ini sedikit berbeda karena dia mengamuk pada semua orang. Dia bahkan hampir menyerangku.” Robin menjelaskan. “Empat hari yang lalu dia bisa tenang setelah diberi pelukan, tapi pagi ini dia bahkan semakin mengamuk setelah dipeluk.”“Apa penyebabnya?” Wanita itu bertanya ingin tahu.“Aku tidak tahu, itulah mengapa dia kubawa padamu.”“Obatnya kalau bisa jangan berhenti diminum. Minimal selama enam bulan. Jika putus minum obat, dia harus ngulang dari awal.” Wanita itu menjelaskan.“Dia tidak ingin minum obat.”“Masukkan ke makanan atau minuman yang dia konsumsi.”“Apa kau tidak bisa membujuknya agar bisa minum obat lagi?”“Akan saya coba setelah dia siuman nanti. Tolong tinggalkan kami berdua,
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener