“Kau menamparku?” Lenzy berusaha untuk mencerna apa yang sudah terjadi. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dapatkan. Rumah tangga yang harmonis dan bahagia akhirnya berakhir karena sebuah kesalahan. Tangannya gemetar menyentuh pipi yang perih. Tampak ada bekas telapak tangan berwarna merah di sana.“Itu pantas untukmu.” Arie menegaskan. “Kau sudah gila, sama seperti putrimu.” Ia menekan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.Lenzy tertawa miris. Ia usap darah yang menetes dari hidungnya, hingga punggung tangannya tampak memerah karena noda darah.“Kau tidak perlu menunggu aku melakukan kesalahan lain hanya untuk bercerai. Kita pisah malam ini. Kau sudah melanggar janjimu dengan melayangkan tanganmu ke wajahku. Aku tidak akan rugi kehilangan suami kasar sepertimu.” Lenzy berucap dengan sinis.“Demi wanita gila itu kau jadi ikut gila dibuatnya? Dia ingin pulang karena dia sedang sakit. Setelah dia sedikit lebih sehat nanti, dia akan kembali meninggalkanmu seperti yang su
“Mami, ikuuut!” Arka mulai merengek ketika Lenzy memapah Airin menuju luar rumah. Anak enam tahun itu tidak bisa menahan tangisan karena akan ditinggal. Ia tidak ingin kehilangan sosok sang ibu, sebab Lenzy yang menemani tumbuh kembangnya selama ini. Sementara Arie hanya sibuk bekerja. Ia tidak ingin kehilangan tempat bersandarnya. Ia peluk kaki Lenzy kuat-kuat, menahan langkah wanita itu agar berhenti.Lenzy berhenti melangkah. Ia menatap Arka dengan mata memerah. Ada bendungan air mata di sana, yang siap meluncur ketika ia berkedip.Arie menatap dengan tajam dari lantai dua sana. Semuanya tersakiti di sini, bahkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia tidak rela anak dan istrinya pergi, hanya saja egonya lebih tinggi. Amarah yang tertumpuk selama ini akhirnya meledak dan pecah malam ini karena sudah tidak tertahan lagi.“Mami, Arka janji akan nurut.” Anak itu terus saja merengek.Lenzy melepas pelukan Arka di kakinya. Ia harus tega, membuang muka agar tidak bisa melihat betapa menyedihkann
Seminggu berada di rumah neneknya, kondisi Airin perlahan mulai membaik. Namun, tetap saja ia tidak bisa mencium bau-bau tajam, termasuk bau makanan. Ia masih susah untuk makan, membuat tubuhnya semakin menjadi kurus hingga tampak tinggal tulang. Ia mengenakan masker hampir sepanjang hari demi mengurangi rasa mual yang tiba-tiba datang menyerang.Kemarin ia diinfus setelah tumbang karena kekurangan cairan. Dokter telah menyarankan agar Airin memaksakan diri untuk makan. Sebab, bergantung pada cairan infus juga akan berefek buruk pada ginjal.Pagi ini Airin duduk di teras, berjemur sekalian menyantap sarapan dengan susah payah. Sementara botol infus tergantung dengan besi penopang di hadapannya. Ada beraneka macam buah yang sudah dicuci bersih dan juga dipotong-potong sedemikian rupa. Airin telah berjuang keras untuk menelan mereka.Sebuah mobil yang begitu familiar tampak berhenti di depan pagar. Tidak lama berselang, dua bocah kecil turun dari sana. Jaya dan Arka. Disusul oleh lelaki
“Tidak mau menginap di sini?” Lenzy menawarkan ketika Arka dan Jaya pamit pulang, sebab hari sudah mulai petang. Sementara perjalanan mereka cukup panjang.“Kasian papi di rumah tidak ada temannya, Mi.” Anak itu menjawab dengan polosnya.“Mami kapan pulang? Jaya kangen Mami.”Lenzy terdiam mendengar pertanyaan se-simple itu. Entah harus bagaimana ia menjelaskan agar Jaya paham bahwa sekarang situasinya tidak lagi sama. Arka yang dua tahun lebih tua darinya saja tidak akan mengerti.“Mami tidak bisa pulang karena harus jaga Kak Airin di sini. Kapan-kapan kita ke sini lagi kata papi.” Arka berusaha memberi pengertian pada adiknya itu.Jaya tampak murung setelah mendengar jawaban abangnya. Namun, ia tidak bisa memaksa. Anak itu kembali memeluk ibunya, lalu pamit pulang karena Arie sudah menunggu seharian di kursi teras tanpa dipersilakan untuk masuk. Segelas air minum pun tidak ada ditawarkan untuknya. Ia benar-benar tidak lagi dianggap sebagai keluarga.“Ayo, Pi!” Arka dan Jaya berucap
Robin menghentikan laju mobil tepat di depan pagar rumah mewah milik Arie. Ia menatap jauh ke depan sana, berpikir bahwa Airin berada di dalam rumah itu. Ia tidak tahu seperti apa hidup Airin setelah ia tinggal.Lelaki itu menghela napas berulang kali. Kembali menancap gas menuju rumahnya. Setelah tiga bulan menghilang, akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Sebab, tidak bisa menahan kerinduan pada orang-orang yang telah ia tinggal. Terutama Airin, wanita itu paling berharga baginya. Ia benar-benar ingin tahu seperti apa kandungan Airin sekarang. Ingin tahu seperti apa perkembangan calon bayinya.Mobil berhenti setelah Robin tiba di rumahnya. Seperti yang pernah Alex katakan, kini ia dan Leonel tinggal di sana bersama Belvina. Sementara Livy tidak tahu di mana rimbanya.Pria dan wanita memang berbeda cara dalam meluapkan perasaan. Hanya tegur sapa sewajarnya yang Robin dapatkan ketika ia pulang. Tidak ada pelukan seperti yang ia harapkan.Belvina sudah lancar berjalan. Kata-kata yang te
Airin melangkah dengan cepat ketika sebuah mobil mengikutinya dari belakang. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Wajahnya memucat dan menegang. Ia tengah menahan ketakutan. Sebab, ia tidak mengenali mobil itu. Ada rasa takut dalam dada jika kejadian yang dulu kembali terulang.Wanita berparas cantik itu mulai berlari seraya merapalkan doa dalam hati. Di saat seperti ini ia baru menyadari bahwa dirinya telah lama lupa akan keberadaan Tuhan di sisinya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mendatangi gereja untuk beribadah.Airin semakin panik ketika mobil itu mulai menyamai langkahnya. Tangannya yang tengah menjinjing kantung belanjaan, meremas dan menggenggam dengan erat pegangan jinjingan.Mobil itu berhenti ketika Airin berlari semakin cepat. Sesosok lelaki dewasa turun dengan cepat, sedikit membanting pintu mobil, lalu berlari menyusul langkah Airin.“Airin!”Panggilan itu berhasil membuat Airin berhenti melangkah. Ia membatu seketika, mematung tidak percaya. Suara barito
Hantaman yang Lenzy berikan benar-benar memberikan efek yang sangat besar. Robin dirawat di rumah sakit dan belum sadarkan diri hingga kini. Dokter menjelaskan terjadi luka dalam yang cukup serius, sehingga lelaki itu terjatuh dalam koma. Antara hidup dan mati.Alex yang cukup paham dunia kedokteran, tidak terima begitu saja dengan kondisi ayahnya. Ia melaporkan Lenzy ke pihak berwajib agar mendapatkan hukuman yang setimpal. Ia didakwa atas percobaan pembunuhan.Airin dibuat begitu kelimpungan ketika ibunya diseret menuju kantor polisi. Ia tidak bisa melakukan apa pun. Karena terbiasa disokong oleh kedua orang tua, ia tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendirian bersama neneknya yang sudah tua.“Mi ….” Airin bangkit berdiri ketika seorang petugas membawa Lenzy dari sel tahanan untuk menemui Airin. Sudah tiga hari Lenzy dtahan, seraya menunggu persidangan. Sebab, bukti kuat sudah ada berupa rekaman CCTV.“Airin.” Lenzy memeluk putrinya dengan perasaan yang tidak bisa didefenisikan. C
“Gila!” Airin tertawa mendengar jawaban Leonel. Bagaimana mungkin mereka menganggap pernikahan sebagai permainan? Dia seakan tidak memiliki harga diri yang dioper ke sana ke mari. Bapak dan anak ternyata sama saja. Pikirannya tidak ada yang waras. Pantas saja Robin menduda selama itu tanpa ada wanita di sisinya. Ternyata ia red flag untuk dijadikan pasangan.Airin tidak lagi ingin merendahkan harga diri. Ia berbalik, lalu beranjak pergi. Sepanjang perjalanan ia bertanya-tanya dalam hati. Mengapa dulu ia bisa jatuh cinta pada dua lelaki itu hanya karena fisiknya yang memikat hati.Airin menghentikan taksi setelah ia berjalan cukup jauh dari area rumah sakit. Saran dari Leonel barusan membuka hati dan pikirannya. Bisa-bisanya ia lupa jika ia masih punya Arie yang bisa dimintai pertolongan. Persetan dengan sakit hati yang masih berbekas hingga kini. Masa bodo dengan hinaan yang akan kembali ia dapatkan nanti. Inilah saatnya ia membalas budi pada Lenzy.Taksi berhenti ketika ia tiba di ge
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener