Home / All / Mengandung Bayi Bos / Part 6 - Kecipratan

Share

Part 6 - Kecipratan

Author: Zidney Aghnia
last update Last Updated: 2021-09-04 02:29:41

"Marimar,"

"Iya, Tuan."

Pria berkumis tipis itu menarik kedua tanganku, mengusapnya dengan halus. Perlahan ia mengangkatnya, mendekatkannya, lalu mengecup tanganku seraya tersenyum simpul. Aku tersipu.

Di sebuah meja makan bundar dalam sebuah restoran mewah dengan dekorasi berwarna emas, kami duduk menanti pesanan. Tak ada siapa pun di sana selain para pegawai restoran karena tempat itu khusus di-booking olehnya.

Ia menarik kursi yang aku duduki sampai berada persis di sampingnya. Lengannya melingkari pinggang mungilku. Hmm, jantung rasanya bertalu-talu dengan keras.

Aku duduk malu-malu dalam sandaran dadanya yang berbentuk seperti bar cokelat. Ia mengangkat daguku lima sentimeter ke atas. Aku segera menunduk malu karena pandangan kami saling berpautan.

"Silakan dinikmati hidangannya, Tuan dan Nyonya Sergio." Para pelayan bergegas pergi setelah menyapa kami dan meletakkan banyak sekali menu di atas meja.

Lelaki dengan rambut disisir rapi ke belakang di sampingku mengambil gelas kaca yang berisi minuman berwarna merah. Ia memutarnya sebentar, lalu hendak meminumkannya padaku. Mulutku sedikit terbuka ....

Byuurrr!

"Bangun! Jangan jadi wanita malas kalau di sini!"

Seketika, aku terbangun karena megap-megap setelah mendapati guyuran air membasahi sebagian tubuhku ke atas. Aku melirik gembor (tempat menyiram tanaman) di tangannya. Ya, ampun, memangnya aku bunga mawar. Ternyata, tadi cuma mimpi. Syukurlah, sebab rasanya tidak mungkin dia melakukan hal seperti di mimpi tadi.

"Jam berapa sekarang, Mbak?"

Mbak Sari yang melipat tangan di depan dada tak menjawab. Dia hanya memutar bola matanya, lalu berjalan ke arah jendela. Mbak Sari membuka gorden dengan kasar. Sinar matahari langsung menghalangi pandanganku.

Astaghfirullahal'adzhiim! Aku kesiangan. Aku belum terbiasa dengan kamar di rumah itu. Kamar dengan ranjang yang besar dan empuk.

Mataku berkeliling mencari letak jam dinding. Ternyata, posisinya tepat di atas sandaran ranjangku.

"Ya, Allah, sudah jam setengah tujuh."

"Nikmat, ya tidur di rumah baru? Wajar, sih. Kamu pasti belum pernah tidur di atas ranjang mahal."

"Iya, Mbak," jawabku asal.

Aku cepat-cepat beranjak dari tempat tidur dan merapikannya. Setelah itu mengambil handuk dan beberapa peralatan mandi dari koper.

"Mau ke mana kamu?"

"Sa-saya mau siap-siap kerja, Mbak. Takut terlambat."

"Oh, ya. Sebelum bersih-bersih hotel di sana, tolong kamu bersih-bersih rumah ini dulu!"

"Ta-tapi, Mbak? Bukannya sudah ada yang bersih-bersih di sini?"

"Memang ada. Tapi mulai saat ini, dia saya tugaskan hanya membersihkan kamar saya, Mama, dan kamar Lisa."

Waktu sudah lewat dari jam setengah tujuh. Sepertinya, aku bisa selesai sebelum jam setengah delapan sampai aku berangkat kerja.

"Ba-baik, Mbak, tapi ... tolong izinkan saya mandi dulu."

Mbak Sari menunjuk dengan wajahnya, mengisyaratkan bahwa dia mengizinkanku mandi dulu.

"Terima kasih, saya permisi."

Aku berjalan ke luar kamar mencari posisi kamar mandi. Tak jauh, aku melihat keberadaan ibu mertuaku. Ia berjalan semakin mendekat.

"Cari apa, Nak?"

"Saya, cari kamar mandi ...."

"Kamu lurus ke sana. Di samping ruang makan, sebelah kirinya itu kamar mandi." Ia memberi tahuku.

"Te-terima kasih." Aku membungkukkan badan sebelum berjalan melewatinya. Ngomong-ngomong, ibu mertuaku sepertinya orang baik. Dari cara bicaranya sangat keibuan. Ekspresi wajahnya selalu memancarkan senyuman yang tulus.

Aah, itu dia kamar mandinya, tapi pintunya tertutup. Sepertinya, ada orang di dalam. 

Tak sampai lima menit menunggu, pintu terbuka. Pria tinggi berbadan atletis berdiri di balik pintu. Ia memakai handuk putih sambil mengacak-acak rambutnya. Aku langsung menutup mata dengan tangan dan menyadarkan diri saat tadi mataku terus memandanginya.

Ah, aku belum terbiasa walaupun aku sudah pernah melihat isinya. Aku mengintip dari bawah tangan, ia sudah keluar dari kamar mandi dan melewatiku.

Baru saja aku hendak melangkah, tapi Lisa tiba-tiba menabrakku dan menyerobot masuk.

"Aku dulu!" Dia menyunggingkan bibir sebelum menutup pintu dengan keras. Dasar anak bau kencur!

"Bi, maaf. Apa ada kamar mandi lain selain ini?" Aku bertanya pada ART yang lewat.

"Ada satu di kamar Nyonya Hasna ." Hah, aku tidak mungkin memakai kamar mandi di sana. "Dan satu lagi, di dekat kamar saya," sambungnya.

Mataku berbinar. "Kalau begitu, saya mandi di sana saja."

Setelah mandi, aku mengerjakan salat yang tadi sempat kesiangan dilanjut salat Duha. Lalu, aku mengambil sapu dan mulai bersih-bersih rumah.

Di tengah kegiatanku itu, aku merasakan mual-mual yang hebat. Aku langsung berlari ke wastafel dan mengeluarkan cairan. Pagi itu, aku belum sarapan. Jadi, tidak ada makanan yang keluar.

Aku merasakan lemah di perut. Kepalaku pusing dan sedikit sempoyongan. Tiba-tiba ada tangan yang memijat tengkukku dengan lembut.

"Kamu baik-baik saja? Pasti capek, ya?"

Aku menoleh sekilas dengan menyipitkan mata.

"Rimar baik-baik saja, Nyonya."

"Jangan panggil Nyonya. Panggil Mama, ya?"

Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Ma."

"Ayo sarapan dulu, semuanya sudah menunggu."

"Tapi, ini—"

"Sudah, tinggalkan saja. Ada Bi Yuna nanti yang mengerjakan."

"Ba-baik, Ma." Aku mengikuti mama mertuaku berjalan.

Di meja makan, semua sudah berkumpul. Mereka melirikku dengan tatapan tak suka. Sementara itu, aku bingung memilih kursi karena tersisa tiga kursi kosong di sana.

"Rimar, duduklah di samping Sari," ucap ibu mertuaku.

Aku langsung mengikuti perintahnya.

"Enak, ya. Mulai sekarang hidup enak," tutur Mbak Sari sinis.

"Jangan-jangan, hamilnya bohongan, tuh, Kak? mengada-ada!" celetuk lagi adiknya Mas Gio.

"Astaghfirullah. Enggak ada saya berpura-pura soal kehamilan ini, Dek."

"Bisa jadi, Lis. Mungkin saja itu bukan anak Mas Gio, tapi anak dari lelaki lain."

"Siapa yang mau disentuh dengan lelaki yang bukan suami sendiri? Apalagi suami orang lain. Bersentuhan fisik dengan lelaki lain pun saya menghindarinya." Aku berbicara dengan nada emosi. Aku ini sedang hamil. Karena itu, mood-ku mudah naik dan turun. Aku jadi lebih sensitif.

Aku melihat Mas Gio hanya berdehem. Aku memakluminya karena aku memang bukan bagian yang diharapkan di rumah ini. 

"Lisa, Sari, sudah. Mama enggak suka ada yang berbicara saat di meja makan. Bagamainapun Rimar sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Kalian harus menerimanya, mengerti?" Mama Mas Gio berbicara tegas membuat Lisa dan Mbak Sari terdiam.

Semuanya memulai makan, aku hanya mengambil sedikit nasi goreng dengan kerupuk. Nasi goreng di rumah ini beda rasanya dengan di rumahku. Padahal sama-sama nasi goreng, tapi kenapa rasanya sangat enak? Saat itu, aku sedang tak berselera makan karena menahan mual, tetapi karena nasi goreng itu aku memakannya dengan sangat lahap.

Mas Gio sudah selesai makan, kemudian Mbak Sari ikut berdiri untuk memperbaiki dasi Mas Gio. Lantas, Mas Gio mengecup keningnya sebelum berangkat ke kantor.

Aku yang baru menyelesaikan makan langsung bangkit dari kursi untuk menahan kepergian Mas Gio dan Mbak Sari yang akan mengantarnya ke depan.

"Ada apa?" tanya Mas Gio.

"Aku, cuma mau mencium tangan suamiku sebagai bentuk hormat."

"Oh, tidak usah. Kamu tidak perlu melakukannya denganku."

"Tapi, aku takut berdosa."

Mas Gio menatapku sambil memikirkan ucapanku. Namun, Mbak Sari mendekatiku seakan ingin memberi tahu sesuatu.

"Kamu tidak usah sok suci di rumah ini! Karena kamu tidak lebih dari benalu!"

Tiba-tiba saja rasa mualku memuncak dan tak bisa kutahan lagi.

"Aaaaaaaaaakkkkkkkhhh ...." Mbak Sari berteriak kaget.

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Heran padahal orang kaya kok kamar mandi nya gantian,emang nya di dalam kamar gada kamar mandinya? syukurin tuh nenek lampir di muntahin Marimar...jahat sih sama mama nya jadi di kerjain si debay di perut hahahaha
goodnovel comment avatar
sandranovia80
orkay kamar mandi kok rebutan ya hmmmm
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 7 - Rencana Busuk Mbak Sari

    "Kamu tidak usah sok suci di rumah ini! Karena kamu tidak lebih dari benalu!"Ucapannya itu membuat hatiku memanas. Aku menatapnya dan semakin membuat rasa mualku memuncak sampai akhirnya tak bisa kutahan lagi."Aaaaaaaaaakkkkkkkhhh ...." Mbak Sari berteriak kaget.Ia melonjak kaget dan membulatkan matanya penuh. Kulihat, wajahnya pelan-pelan menoleh ke arahku. Penuh emosi yang tersulut. Memang hanya dia yang emosi? Salah siapa memancing macan hamil?"Ma-maaf—""Kamu ...?!"Plak!Pipiku mendapat cap tangannya dengan keras. Lebih keras daripada tamparannya Abah beberapa waktu lalu, tetapi hatiku lebih sakit mendengar kata-katanya sepagian itu."Maaf, Mbak. Saya ... saya tidak sengaja.""Dasar wanita kotor! Kamu benar-benar menjijikan, tau!" pekiknya."Maaf, Mbak. Itu ... itu keluar begitu saja." Aku menyeka aliran air yang hendak keluar dari ekor mata. Aku berinisiatif

    Last Updated : 2021-09-08
  • Mengandung Bayi Bos   Bab 8. Terjatuh di Tangga

    Ojekonlineyang kusewa berhenti di depan rumah megah berlantai dua. Aku segera turun dan lekas membayar tunai jasanya, kemudian berjalan pelan sambil memandangi rumah di depanku.Seakan masih tak percaya jika aku menjadi bagian dari keluarga pemilik rumah ini. Apalagi bermimpi menjadi seorang madu, tak pernah terlintas sedikit pun.Di teras rumah, aku melihat Bi Yuna sedang menyapu. Ia langsung menghampiri begitu menyadari kepulanganku."Nyonya, tadi Nyonya besar menitip pesan agar Nyonya Rimar menemuinya di kamar kalau sudah pulang.""Baik, Bi. Terima kasih, ya. Saya permisi masuk dulu."Mama pasti mau membicarakan hal yang tadi pagi disampaikannya. Aku masuk ke kamar untuk bersih-bersih sebelum menemui mamanya Mas Gio. Setelah selesai, aku segera melangkah menuju kamar yang terletak di lantai atas.Lantai dua hanya dihuni oleh mamanya Mas Gio dan Lisa—adiknya. Sebelum menaiki tangga, Mbak S

    Last Updated : 2021-09-09
  • Mengandung Bayi Bos   Bab 9. Playing Victim

    Jangan lupa subscribe & rate bintang 5 ya 😇____________________________________________Aku bisa pulang setelah menginap selama semalam di rumah sakit. Dokter bilang, aku tidak diperbolehkan bekerja selama seminggu. Baiklah, aku bisa sedikit bersantai.Mas Gio keluar dari mobil begitu saja tanpa menungguku. Jadi, aku harus jalan sendiri ke dalam, begitu? Padahal, aku membayangkan kalau Mas Gio membopongku seperti kemarin atau minimal memegang tanganku sampai kamar."Istirahatlah," ketusnya."Tuan, mau ke mana?""Saya harus bekerja. Emh... hati-hati dengan kehamilanmu," sahutnya sambil menggaruk dahi yang tidak gatal, kemudian dia berlalu meninggalkanku sendirian di kamar yang luas. Kamar dengan dekorasi yang elegan.Tidak adakah sedikit perasaan ingin menemaniku di kamar? Aku ini sedang mengandung anaknya. Aku butuh perhatian khusus dari seseorang.Aku terkejut ketika ponselku berdering ker

    Last Updated : 2021-09-10
  • Mengandung Bayi Bos   Bab 10. Pertemuan Rahasia Mbak Sari

    "Apa yang Mbak pasang di situ?" Aku menunjuk perutnya, "sampai Mbak tidak bisa hamil?"Mbak Sari membulatkan mata dengan sempurna. Dia tercengang karena ucapanku yang pasti tak akan disangkanya."Kamu? Jangan bicara sembarangan, ya!""Tentang apa? IUD?" Aku menantangnya. Terlintas di pikiranku kalau hanya IUD yang bisa mencegah kehamilan tanpa diketahui siapa pun."IUD atau apalah itu. Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan." Dia menjawabnya dengan penuh percaya diri."Emm ... baiklah."Terus saja seperti itu, Mbak. Aku akan mencari tahu apa yang kamu sembunyikan dan hiduplah dengan baik untuk saat ini."Ada lagi yang mau dibicarakan? Kalau tidak, silakan keluar dari kamar ini. Dan ... terima kasih sudah membuat saya bisa beristirahat."Aku l

    Last Updated : 2021-09-11
  • Mengandung Bayi Bos   Part 11. Oh, Pak Adit

    Sampai beberapa hari kemudian, aku masih penasaran. Siapa pria yang ditemui Mbak Sari? Apa Mas Gio mengetahuinya?Aku ingin menanyakan pada Mas Gio, apakah dia merokok atau tidak? Tidak, jangan sekarang. Huh, banyak sekali teka-teki yang dimainkan Mbak Sari.Mulai dari wanita yang akan disingkirkan, rencana rahasianya, apa yang ada di dalam perutnya, dan terakhir pria yang ditemuinya.Ya, ampun. Apa aku harus berperan sebagai detektif abal-abal. Conan ... bantulah aku menyelesaikan deduksi ini."Kenapa melamun?"Aku terkesiap saat mendengar pertanyaan itu."Ah ... emm ... Pak Adit, selamat pagi." Aku menunduk malu."Pagi-pagi sudah melamun. Lihat lantai itu sampai tipis dari tadi di pel enggak pindah-pindah.""Ooh ...." Aku terkekeh. "Ma-maaf, Pak.""Sudah sarapan?""Sudah, Pak. Saya sudah sarapan.""Baiklah. Saya tinggal, ya? Jangan melamun lagi, nanti kerasukan

    Last Updated : 2021-10-15
  • Mengandung Bayi Bos   Part 12. Sekamar dengan Sergio

    Alangkah kagetnya ketika aku ke luar kamar. Kebetulan, aku melihat Mbak Sari masuk dan maskernya terlepas. Wajah itu, tepatnya di sekitaran pipi membiru dan ada bekas luka di sudut bibir. Aku melirik ke kakinya, sama-sama membiru. Cepat-cepat dia memakai maskernya lagi saat menyadari kehadiranku.Ada apa dengannya?Dia tergesa-gesa untuk masuk ke kamar. Aku berhasil menahan lengannya."Mbak?""Lepas!" hardiknya."Mbak, ada yang bisa saya bantu?" Aku bertanya baik-baik, siapa tahu dia butuh tempat berbagi."Lepas kubilang!" Dia menyingkirkan tanganku. "Jangan ikut campur urusan saya!"Dia masuk kamar tapi berhenti sebentar sebelum menutup pintu. "Anggap tadi kau tidak melihat apa pun!" Dia memperingatkan.Aku masih berdiri di antara kamar kami. Mem

    Last Updated : 2021-10-15
  • Mengandung Bayi Bos   Part 13. Tempat Rahasia

    Mbak Sari membelalak karena melihat Mas Gio menangkap tubuhku dari belakang. Sama halnya dengan Mas Gio yang terkejut melihat wajah istri pertamanya yang lebam. "Sari!" tegur Mas Gio yang keheranan. Apa Mas Gio mendengar ucapanku tadi? Semoga saja tidak, karena aku belum menyelidiki apa pun tentang Mbak Sari. "Kenapa wajahmu?" Mas Gio melepas genggamannya dari tubuhku begitu saja dan hampir membuatku terjatuh kedua kalinya. Ia mengambil langkah untuk menghampiri istri tuanya. Aku menepuk jidat. Nasib istri yang tak diakui, dilirik pun tidak. Aku ditangkapnya mungkin karena tadi kebetulan terjatuh di hadapannya. Pada akhirnya, p

    Last Updated : 2021-10-15
  • Mengandung Bayi Bos   Part 14. Bunglon

    "Mungkin. Tapi kalau dia sedang merasa banyak pikiran. Dia akan pergi ke suatu tempat.""Oh, ya? Tempat apa itu?""Ada laaah ... tempat yang bisa membuat pikirannya tenang."Bikin penasaran saja. Tempat yang membuat tenang itu, kan banyak. Bisa di pantai, gunung, kuburan, bahkan hati aku.Aku mau bertanya satu hal penting lagi padanya selagi di kantin masih sepi"Oh, ya, Pak?""Hm?" Dia menaikkan alisnya."Pak Ibrahim itu kan sudah tidak ada. Kenapa Pak Sergio tidak menjabatCEO?Bukannya, kursi itu kosong?"Pak Adit yang baru saja menyeruput minumannya, segera menggeleng dan menggoyang tangan kanannya. Dia tidak membenarkan kesimpulan yang kubuat."Jadi,--" Aku menahan ucapanku sendiri.

    Last Updated : 2021-10-15

Latest chapter

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 49. Selesai

    “Saya menceraikanmu, Rimar.”“Sergio!” pekik Mama.Mas Gio menghela napas dalam-dalam, lalu diembuskannya dengan keras. Aku yang masih menunduk, melihat sepasang sepatu yang dipakainya melangkah menuju pintu. Mataku yang berurai air mata terus melirik mengikuti suara entakannya sampai aku tak melihat sosoknya lagi hanya dalam hitungan detik. Pintu pun kembali tertutup rapat. Dia pergi.“Huh, baguuus. Dari dulu, kek!” sindir Lisa sekonyong-konyong, tetapi aku tak menggubrisnya sama sekali.“Rimaar?”Panggilan Mama membuyarkan lamunanku.Aku segera berdiri sambil berusaha menyeka air mata dengan tanganku, kemudian menghampiri Mama yang sudah menantiku.“Iya, Ma,” jawabku sambil terisak. Suaraku pun berubah jadi serak.Aku duduk di kursi bulat di samping Mama. Beliau menarik tanganku lalu diusap-usapnya dengan lembut.“Rimar, kamu yakin sama keputus

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 48. Gugatan Cerai Kedua

    “Sari, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku akan melayangkan gugatan cerai ke pengadilan secepatnya.”Mbak Sari hanya memandang Mas Gio dengan tatapan kosong dan ekspresi datar. Mungkin, situasi seperti itu yang sudah lama diharapkan olehnya. Sementara itu, windu hanya berdiri tanpa pergerakan di tempatnya tersungkur tadi.“Te-terima kasih, Mas.” Mbak Sari menghapus kristal bening yang hampir menetes di sudut matanya.“Mulai sekarang aku tidak peduli lagi dengan urusanmu dan semua yang berkaitan tentang kamu.”“Mas?” Aku memanggilnya dengan lirih.“Ya?”“Tolong ceraikan aku juga!”Mas Gio mengerutkan dahi. “Rimar, saya menceraikan Sari bukan kamu,” katanya dengan tatapan mata menyalang.“Aku tahu. Makanya, sekarang juga aku minta Mas ceraikan aku.”“Tapi, kenapa?”“Aku gak bisa lagi hidup

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 47. Gugatan Cerai

    “Mas?”“Pak Sergio?”Dokter Arin menatap Mas Gio, kemudian menatap bergantian lelaki yang datang bersama Mbak Sari.“Ada apa ini?!” Mas Gio menghampiri Mbak Sari dan menarik tangannya: memaksa untuk bangun dari perbaringan. Dengan berat hati, Mbak Sari mengikuti paksaan Mas Gio.“Maaf, kalau ini Pak Sergio, lalu Anda siapa?!” tanya Dokter Arin menyelisik pria tak dikenal yang ia sangka Mas Gio.Kedua mata Mas Gio dan Dokter Arin menyiratkan kilatan amarah. Lantas, Dokter Arin meletakkan dengan kasar alat yang tadi dipegangnya ke nampan tempat peralatan medisnya.“Sari, jelaskan apa yang kamu lakukan!” Mbak Sari tetap bergeming meskipun Mas Gio mengguncang-guncang tubuhnya.Karena Mbak Sari tetap diam, akhirnya lelaki yang tengah berpakaian kasual tersebut bertanya pada Dokter Arin. Dokter pun menjelaskan kalau Mbak Sari sedang melakukan operasi kecil untuk melepas KB Implan.

  • Mengandung Bayi Bos   Part 46. Memergoki Mbak Sari

    Tiba-tiba, aku merasakan getaran dari ponsel yang kutaruh di saku celana. Siapa yang meneleponku di waktu Subuh? Segera kutarik ponsel dari saku, ternyata Mas Gio yang menelepon.“Halo, assalamau’alaikum, Mas.”“Halo, dengan Nyonya Sergio?”Nyonya? Siapa ini? Lalu, ke mana Mas Gio? Siapa yang mengambil ponselnya?“Iya, benar. Ini siapa?”“Saya dari M2 Club Malam mau mengabari kalau Tuan Sergio pingsan.”“Pingsan? Terus ada siapa di sana, Mas? Teman atau seseorang yang menemaninya?”“Tidak ada, Nyonya. Tadi Tuan hanya datang sendiri dan minum banyak sampai akhirnya pingsan.”“Baik, tolong jaga dia, ya, Mas. Saya segera ke sana. Terima kasih.”Setelah menutup sambungan telepon, aku segera melipat mukena dan bergegas pergi ke Club M2. Aku tidak tahu di mana lokasinya dan harus ke arah mana kalau pergi dengan angkutan umum. Sebaiknya, a

  • Mengandung Bayi Bos   Part 45. Diskotik

    Dalam perjalanan ke rumah sakit itu, Mas Gio menghubungi Mbak Sari. Ia hanya menceritakan bahwa papanya diciduk polisi, tetapi tidak menceritakan detail kejadian yang terjadi.“Kamu kenal Pak Akala?” tanya Mas Gio sambil menyetir. Kulihat peluh berembun di sekitar dahi sampai membasahi rambutnya yang menutupi. Matanya terlihat berat seperti menahan kantuk. Dia pasti sangat kelelahan, belum satu masalah selesai sudah datang masalah baru.“Hah? Ti-tidak,” ucapku berbohong.“Terus, kenapa dia sampai membuatmu jadi korban?” Benar juga, dia pasti penasaran kenapa sampai Pak Akala membuatku menderita. Padahal, di rumah itu ada beberapa orang ART yang bisa saja dia jadikan korban. Namun, saat itu jelas sekali kalau dia sedang menunggu seseorang, yang tidak lain adalah aku.“Hmm, sebenarnya ....” Tekadku maju-mundur untuk menjelaskan pada Mas Gio. Apa lebih baik aku menceritakan semuanya saja?“He

  • Mengandung Bayi Bos   Part 44. Korban Perasaan

    Baru saja akan berbelok ke arah pintu masuk, ada dua orang berpakaian serba hitam seperti lelaki sebelumnya, mereka berusaha mengadangku. Sial! Dari mana munculnya kedua orang itu? Mana tubuhnya besar-besar semua, lebih besar dibanding pria yang menodongkan pistol ke arahku.Aku berpikir keras ke mana lagi harus berlari? Aku tidak tahu banyak mengenai rumah besar itu. Ah, benar. Pintu belakang! Baru saja aku membalikkan badan, Pak Akala dan pengikutnya sudah berada di belakangku. Sementara itu, para ART histeris dan berusaha berteriak karena mengkhawatirkanku.Tidak! Hal yang kutakutkan akan segera terjadi, saat itu juga aku berada di antara mereka yang terus berjalan semakin dekat. Bahkan, aku tidak bisa mencari celah untuk bisa melarikan diri dari keempat pria itu. Satu hal yang lebih kucemaskan bukanlah diriku, melainkan calon anakku.Saat napasku terengah-engah, irama jantungku kembali berdegup kencang. Tetesan keringat pun menyapu kening dan mengaliri pelip

  • Mengandung Bayi Bos   Part 43. Terjebak di Rumah

    “Ha—Aku mendengar suara ceklekan menempel tepat di belakang kepala, membuat napasku terhenti sejenak dalam beberapa detik dan tak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba saja aku ingat kejadian persis beberapa waktu lalu.“Maaaas!” Aku sengaja memanggil Mas Gio dengan teriakan sebelum yakin ponselku direnggut.Dengan kecepatan tangannya, ponselku sudah berpindah tangan tepat setelah aku berteriak memanggil Mas Gio, tapi aku tidak tahu apa saat itu masih terhubung dengannya atau tidak! Debaran jantung serta otot-otot kakiku benar-benar melemah dan gemetar saat merasakan sesuatu di belakang kepalaku.“Jangan bergerak!” tegasnya membuatku menelan ludah.Suara siapa itu? Aku tidak mengenalnya. Suara itu sangat jauh berbeda dibandingkan saat aku terperangkap terakhir kali di ruang kerja Mas Gio.Lalu, terdengar langkah demi langkah ketukan sepatu dari arah belakang menuju ke sampingku. Aku masih belum bisa mel

  • Mengandung Bayi Bos   Part 42. Suara Pistol

    “Loser.”“Apa?” Mas Gio tampak bingung. Ia tak mengerti sama sekali dengan maksud ucapan si pelaku.“Loser. Kata kuncinya.”“Hei, kau !” Pak Adit mengadang Mas Gio yang berusaha menyerang kembali si pelaku. “Kau pikir aku mengerti maksudmu memberi tahu kata kunci itu? Bicara yang jelas, tak usah gunakan kode-kode yang tidak ku mengerti!”“Begini, Pak. Kami juga tidak tahu siapa dia. Kami hanya menerima proyek yang diberikan agen kami. Dan dia juga hanya memberitahukan kode Loser itu sebagai si pemberi proyek.” Seorang pelaku lainnya angkat bicara.“Maksudmu, ada perantara lain di antara kalian?” Mas Gio tampak menutup sambungan telepon, padahal aku tidak mendengar dia mengakhirinya.“Benar, Pak.”“Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa tidak ikut ditangkap dengan kalian?!”“Dia sedang dalam pencarian karena sudah melari

  • Mengandung Bayi Bos   Part 41. Loser

    “Halo, iya, Pak?”“Jadi, pelakunya sudah terlacak?”“Baik, baik, Pak. Saya ke sana sekarang.”Begitulah percakapan antara Mas Gio dan seseorang yang kudengar sampai sambungan telepon terputus. Lalu, dimasukkannya kembali ponsel dengan tiga kamera tersebut ke saku kemeja. Dengan tampang kuyunya, Mas Gio mulai menatap sayu kami dan berbicara.“Kalian tolong jaga Mama. Aku pergi dulu.”“Biar kutemani, Gi. Aku yang akan menyetir,” seru Pak Adit dengan antusias.Tanpa basa-basi lagi, aku mengekori di belakang mereka yang berjalan cepat. Namun, Mas Gio ternyata menyadari aku yang membuntutinya dan coba menghentikanku.“Mau ke mana kamu?”“Aku harus ikut. Aku mau tahu siapa pelakunya, Mas, karena aku merasa orang itu ada hubungannya dengan orang yang membekapku malam itu.”“Tidak usah, kamu sedang hamil.”“Ta

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status