Setelah merasa diperhatikan Mbak Sari, aku langsung bersembunyi. Sepertinya aku harus segera pergi dari semak-semak. Aku menarik kerudung yang tadi sempat terlepas agar menutupi sebagian wajahku lagi.Dug!"Sudah saya duga, kan! Kamu yang tadi mengelak membuntuti saya! Siapa kamu! Siapa yang memerintahmu untuk mengikuti saya?!" Mbak Sari berdiri di hadapanku lantas mencengkeram ke atas kerah baju. Secepat itu dia keluar dari kafe sampai ke sini?Aku membuka kerudung yang menghalangi batas hidung ke bawah sebagai cadar, dilanjut dengan menarik kacamata hitam. Aku merasakan cengkeramannya melonggar disertai tatapan terkejut saat mengetahui siapa aku."Ri-rimar?!"Ya, ini saya. Kebetulan saya melihat Mbak di rumah sakit ini. Tak mau kehilangan jejak, jadi sekalian saya mengikuti kemana Mbak pergi. Ternyata sama dia!" Aku mendengkus. Lalu, me
"Marimar!" Dia berteriak. Lalu, menarik tangan dan mengempaskannya berikut tubuhku yang tengah mengandung. Aku tak bisa menahan tangannya yang dengan kuat mendorong, akibatnya tubuhku terpelanting dan tersungkur di aspal."Aaahh toloong ...." Aku memanfaatkan kondisi jalan yang ramai agar perhatiannya tertuju pada aku dan Mas Gio.Benar-benar aku sudah menahan emosi ini pada puncaknya. Entah sampai kapan dia akan bersikap seperti itu? Mungkin sampai aku pergi dari kehidupannya, tapi mana bisa? Dia memiliki keturunan dari darah dagingnya sendiri. Walau aku pergi sejauh apa pun, kelak anaknya ini akan mencarinya."Kenapa ... kenapa, Mbak?""Mbak, baik-baik aja?""Mas, Mbaknya kenapa gak ditolong?!"Begitu pertanyaan dari beberapa orang yang menghampiri kami."Sa-saya istrinya, dia ... hampir menabrak dan mendorong saya yang sedang hamil." Tak terasa air mata mengalir di salah satu ekor mataku. Mungkin ini efe
Suara klakson di luar meminta agar pintu gerbang segera dibuka. Lalu, sebuah mobil sedan hitam berlogo kincir angin keluaran tahun 2010 memasuki pelataran rumah setelah seorang pekerja membuka gerbang.Sang sopir keluar dari mobil, lalu membukakan pintu penumpang. Ia menunggu seseorang yang keluar dari seat belakang. Kemudian, mama mertuaku yang berpenampilan sederhana, tapi elegan tengah berjalan ke arah kami berdiri."Kalian sedang apa di sini? Tumben sekali?" Selalu dengan senyumnya yang hangat dan bijaksana."Cuma sedang mengobrol, Ma," jawab Mbak Sari."Mama, kok, baru pulang?" rengek si bungsu sambil bergelayut di lengan mamanya."Iya, tadi pertemuannya agak lama, Lisa. " Mama menjawab sambil tangannya mengusap kepala anak bungsu yang sedang bersandar itu."Ya, sudah ... teruskan saja. Mama masuk duluan, ya?" sambungnya.Lisa melepa
"Sudah, ya? Besok kita cari sama-sama. Sekarang sudah malam, waktunya kita melanjutkan tentang kita." Kalimat terakhir yang diucapkan Mas Gio.Degh!Te-tentang kita? Tentang apa? Yang tadi? Ya, ampun. Apa aku harus semalaman di dalam lemari dengan baju-baju dan sprei yang terlipat rapi? Lalu, mereka melanjutkan ....Aku menutup mata. Aku tidak mendengar apa pun. Begitulah aku meyakinkan diri di tengah tragedi ranjang bergoyang yang membuat hati ini terasa panas.Kakiku yang sejak tadi dilipat terasa sulit digerakkan karena tidak juga berubah posisi. Aku memukul-mukulnya pelan untuk menghilangkan kebas. Keadaan yang sempit dan pengap membuat aliran air yang keluar dari pori-pori kulit bercucuran di dahi dan membasahi sebagian badanku.Aku berusaha menampik apa yang kudengar dengan menutup telinga rapat-rapat. Namun, tetap saja suara gaduh mereka sampai ke telingaku. Dalam dada berdegup kencang, bagaimana caranya aku bisa pergi agar tidak mendengar p
Aku kembali menatap layar memperhatikan satu persatu foto, kemudian fokus pada satu video. Di situ, Mbak Sari tampak berbaring di ranjang seperti rumah sakit. Lalu, dokter menyuntikkan sesuatu di tangan Mbak Sari dan menepuk-nepuknya setelah beberapa saat.Tunggu, kenapa dia disuntik di lengan? Bukannya untuk memasang IUD hanya disuntik di bagian leher rahim? Lalu, operasi apa yang sedang dilakukan Mba Sari itu?!"Rimaaaaar ...." Lani mengejutkanku dari belakang sambil menepuk bahu.Sontak langsung kumatikan video yang baru berlangsung sekitar lima menit. Lalu, aku matikan ponsel dan meletakkannya kembali di meja."Nonton apa, sih?""Cuma ... nonton drakor, Lan." Kujawab asal saja padahal aku tak pernah menontonnya sama sekali, hanya sering mendengarnya saja."Ooh, drakor, ya? Judulnya apa? Mau, doong ... semua judul udah kulahap habis, nih.""Itu drakor apa gorengan?""Hahaha." Lani malah dan Bu Hani malah tergelak.
Dia dengan lihainya memacu kendaraan roda dua yang masih terlihat baru itu, badannya meliuk-liuk seperti Mark Marquez membelah jalanan kota Jakarta yang sangat padat. Beruntung hari sudah menjelang sore, cuaca agak teduh dan mendukung aku untuk berinvestigasi.Dalam waktu tujuh menit, aku sudah sampai di Wisma Tulip dari yang seharusnya dua puluh menit. Sebelumnya, aku meminta sang driver untuk berhenti di samping wisma itu agar tak terlalu kentara.Kemudian, aku memberinya tips lebih karena berhasil mengantar dengan kilat ekspres halilintar walaupun saat aku melihat wajah si pengemudi sudah tak jelas bentuknya.Setelah si driver pergi, aku berjalan mengendap di depan pagar dan bersembunyi di bawah pohon palem. Karena terlalu jauh jaraknya, aku sampai tak bisa melihat apa pun. Akhirnya, kuputuskan untuk sedikit mendekat dan bersembunyi di balik bekas batang pohon besar yang pernah ditebang, karena tak ada tempat lain untuk bersembunyi.Aku memperhatikan g
"Abah ...?""Rimar, kenapa? Tumben telepon Abah malam-malam?""Baaah ...?""Kenapa? Anak Abah nangis?"Aku tak bisa menahan isak tangis yang disebabkan Mas Gio. Hatiku benar-benar seperti ditusuk ribuan jarum."Baah, Rimar mau pulang ....""Kenapa pulang? Tak betah di sana?""Rimar mau pulang saja, Abaaah ...." Air mataku terus berderai. Aku berbaring dengan posisi miring dengan ponsel di antara telinga dan bantal."Ya sudah, Rimar di mana sekarang? Abah jemput ke rumah si Gio itu, ya?""Rimar ... Rimar di rumah sakit, Bah.""Astaghfirullahal'adzhiim!" Suara Abah memekakkan telinga. "Kenapa di rumah sakit?! Siapa yang bikin anak Abah dirawat di sana?!""Dokterlah, Baah.""Terus si Gio ke mana?""Hm ...?""Tuh, kan! Pasti gara-gara anak gila itu. Sudah, sekarang Abah jemput ke rumah sakit, ya?""Iya, Bah."Aku terpaksa melepas jarum infus yang menempel di lengan walau
Mata Abah begitu membesar dan bulat sempurna karena terhenyak dengan ucapan menantu yang tak diharapkannya itu. Ia menaikkan kaki hendak melangkahi meja."Gio!"Namun, mama mertuaku bergerak lebih cepat. Beliau menarik bahu putranya, mendorong ke kursi, lalu--PlakDua kali tamparan menyerang pipinya."Ma ...?""Jangan bicara lagi! Mama tak pernah mengajarkan kamu menjadi anak yang kurang ajar. Mama sekolahkan kamu tinggi-tinggi supaya berpendidikan dan beradab. Tapi nyatanya, kamu hanya mempunyai pangkat tanpa etika! Mama malu dengan tingkah kamu, Gio!""Ma, sudah. Mas Gio hanya berkata yang sebenarnya. Mungkin dia sedang emosi jadi tidak sadar berkata seperti itu.""Kamu jangan membela suamimu kalau dia bertingkah seperti ini, Sari?! Mama tidak mau kelak cucu Mama diwariskan sifat kurang ajarnya.""Kenapa selalu Gio yang disudutkan, Ma? Apa Mama lebih sayang Rimar daripada Gio--anak Mama, sekarang?!"