Masih saja hati Sisi dibuat bertanya-tanya. Ditambah Damar sama sekali belum memberinya kabar, kalau dia sudah ada di Jakarta. Kesal juga, hari ini Sisi. Kerjaannya hanya mengamati handphonenya dan menanti pesan dari Damar. Namun, belum jua hadir pesan itu.
Setidaknya, katakan 'hai' saja Sisi pasti sudah senang. Tapi ini aneh, belum juga kirim pesan untuknya. Atau, barangkali Sisi merasa ge er? Menanti-nanti dan berharap banyak. Padahal Damar, pacarnya saja bukan! Sisi ngedumel sendiri dalam hati.
Sisi berpikir, justru ia ingin menghindari lelaki yang bernama Rio itu. Eh, malahan masih saja dipertemukan terus.
Sisi mengetuk-ngetukkan telunjuk kanannya pada meja kerjanya di kantor. Hari ini pikirannya sedang melanglang buana.
"Si!"
Tiba-tiba Sisi tersentak dari lamunannya."I-iya Pak!" Sisi langsung bersikap tegak duduknya.
"Saya, mau laporan hasil riset kamu minggu kemarin," pinta Pak Bimo.
Pak Bimo adalah atasan Sisi di te
"Maafkan aku baru beritahu kamu sekarang."Suara Damar melalui telepon terdengar sangat tenang."Gak apa, Damar." Sisi sempatkan mengutas senyum dinginnya."Kamu, di mana? Ehm, maksudku Jakarta bagian mana?" Tanya Sisi terbata."Jakarta Selatan," Damar menjawab tegas tanpa raguYang terlintas dipikiran Sisi adalah Jakarta Selatan memang daerah tempat tinggal Rio. Sisi lalu tidak mempertanyakan itu kembali."Aku ingin bertemu denganmu," ucap Damar pelan.Sisi terdiam sejenak."Kapan?""Kamu sendiri bisa kapan?" Damar balik bertanya."Ehm ..." Sisi kembali berpikir.Sisi sama sekali sudah terasa buntu. Mengingat saat ia menyaksikan Damar bersama Rio. Apakah ketika mereka bertemu nanti, Rio tidak akan tau? pasti dia tau. Sisi sulit memberi kepastian untuk bertemu dengan Damar. Keputusannya belum bisa ia tegaskan.Pertemuan itu jadi ragu untuk Sisi jalani. Sedangkan Damar terdengar antusias, tadi dari suara di telepon. Sisi? Sisi masih
Ada rasa penasaran Sisi. Dan itu masih saja mengganjal. Kenapa tak ia tanyakan saja siapa Rio sebenarnya?"Atau bisa jadi, mereka bertemu di jalan. Lalu Damar bertanya pada Rio, dan mereka pun berteman," tebak Sisi. Mereka-reka sendiri."Tapi, bukankah terlalu dramatisir? sebegitu mudahnyakah Rio menawarkan menginap di rumahnya?" Sisi terus menebak-nebak. Sampai ia sendiri merasa ngaco dengan pikirannya itu.Sisi melirik ponselnya, nampak chat dari Maya masuk. Katanya, ada hal yang mau dibicarakan. Kebetulan sekali, Sisi lagi butuh teman.Terdengar sayup suara motor Maya. Dan disambut oleh Kak Sena yang sepertinya sedang ngobrol sama Harry di teras."Hei! Lagi galau, Non?" tiba-tiba suara beserta wajah Maya sudah menyembul di pintu kamarnya."Kamu, bikin kaget aja." Sisi mengelus-elus dadanya."Cepet banget sudah sampai, May?" tanya Sisi menyerbu dengan pertanyaan. Sekaligus dia merasa tumben saja Maya lagi mood main ke mari."Si! Lang
Pagi ini seharusnya bangun lebih awal membuatnya segar. Tetapi Sisi merasakan badannya sakit semua. Rasanya pegel banget. Kayaknya kemarin baik-baik saja.Datang bulan, juga tidak pernah sampai terasa badan jadi lesu begini. Namun Sisi baru minggu kemarin selesai berhalangan."Mungkin aku kelelahan." Sisi mencoba rileks."Aku kecapean, karena banyak pikiran." Ia mereka-reka sendiri.Ia segera meraih ponsel dan mengetik pesan. Yang ditujukan untuk Maya.Sisi : May! Aku gak masuk kerja hari ini ya. Badanku sakit banget.Maya : Tumben banget Si?Oke, aku ijinin ke pak Bos segera.Sisi : Thank ya, May.Sisi segera mematikan layar ponselnya. Lalu memijat keningnya."Kok, jadi kepalaku malahan terasa sakit?"Sisi memijat kepalanya pelan. Lalu ia berbaring kembali di tempat tidur."Si! kamu sudah siap?"Suara kak Sena dengan ketukan kecil dari luar."Bareng kakak, yuk?""Si?"Suara kak Sena masih saja me
"Si ... jadi Ibunya Rio adalah sahabat kecil emaknya Damar?" tanya Maya. Damar sudah pulang sedari tadi. ia beralasan kalau sudah berjanji akan jalan dengan temannya. Temannya adalah Rio."Iya, Rio gak pernah cerita.""Pantas saja mereka begitu akrab," imbuh Maya."Aku gak tau harus bagaimana, May.""Pikiranku gak karuan. Badanku juga masih lemas, jadi aku malas sekali memikirkan itu semua." Sisi lalu memiringkan tubuhnya. Maya diam."Ya, sudah. Baiknya kamu full istirahat, Si. Jangan mikir yang enggak-enggak dulu," ujar Maya akhirnya."May ... apa mungkin sebenarnya Rio sudah tau kalau Damar menjenguk aku?" tanya Sisi dengan suara lirihnya."Aku kurang tau juga, Si," Maya langsung menyimpulkan. Karena ia juga tak mau menebak-nebak asal."Bisa minta tolong air putih, May," perintah Sisi. Dengan sigap Maya mengambilkan gelas bening berisi air mineral, di meja. Mungkin Sisi agak kesulitan jika harus merubah posisi baringnya. Makanya ia l
Sisi masih memandangi rangkaian bunga, pemberian seseorang misterius. Sambil mengamatinya. Lalu tersenyum. Bunga itu tidak ada nama pengirimnya. Mawar berwarna putih bercampur merah jambu, lalu dihiasi daun-daun hijau yang masih segar. Belum layu. Bunganya diletakkan di vas bening, berisikan air. Sisi lalu terlihat tersenyum sangat lebar."Aku tahu, dari siapa bunga ini," gumamnya menerka sendiri."Damar," ucapnya lirih. Menebak dengan yakin. Tidak ketinggalan senyumnya terbit.Ternyata seorang Damar yang pemalu itu, bisa juga romantis. Batin Sisi. Lalu, ia berusaha meraih ponselnya, untuk menelepon Damar. Namun, tetiba ia mengurungkan niatnya."Kalau aku telepon dia, nanti gak seru lagi. Bukan surprise namanya." Sisi.mengurungkan niatnya."Lagipula, ia tidak memberikan nama pengirim. Ia tidak mau aku tahu. Walau, aku sudah tahu." Sisi senyum-senyum sambil memeluk ponsel ke dadanya.Sisi menaruh kembali ponselnya di atas meja. Dan berbaring. Karena sebe
Suasana kantor seperti biasa saja. Tidak ada sedikitpun yang berbeda. Itu bagi Sisi. Ia mengetuk-ngetuk bolpointnya. Pikirannya melayang ke mana-mana. Hingga sampai pada kata-kata Maya yang mengatakan, agar ia menawarkan lowongan pekerjaan di kantor kepada Damar."Si, bagaimana kalau kamu tawarkan saja kepada Damar?" Kata- kata yang selalu diingat Sisi dan menempel terus. Karena ia tidak tahu harus bagaimana. Setahunya, latar pendidikan Damar tidak sesuai dengan pesyaratan yang diminta.Apakah aku terlalu jahat dan mempunyai pandangan seperti itu? Sisi bertanya pada dirinya sendiri.Maya saja bisa seyakin itu? Sisi masih penuh dengan renungan. Perang berkecamuk di kepalanya."Heh!"Tetiba suara yang sangat dikenalnya, sudah membuatnya terkejut. Dari lamunan sesaat itu."Ngapain sih? Mata ke sana terus? Bengong ya, kamu?" Maya memiring-miringkan kepalanya memandangi dekat wajah Sisi."Bikin kaget aja sih, May?""Duh, maaf lo
"Maaf, sudah nunggu lama."Sisi buru-buru menoleh ke belakang. Meski terkejut, dia tau itu suara Damar.Namun seketika, justru kaget itu dobel. Dia hampir terperanjat. Malahan, sudah terjadi. Sisi hampir ingin menghentikan sendiri detak jantungnya. Karena apa yang dia lihat sangat membuatnya shock."Kau, kau. Ah! Aku belum lama di sini. Aku...," Sisi menghentikan suaranya. Lalu menarik napas cepat, dan menghembuskannya segera. Sebenarnya gugup itu sudah nampak di diri Sisi."Biasa, Si. Macet di jalan. Oh ya, mana Maya?"Damar tak sadar sudah menyelamatkan Sisi, dengan ungkapannya. Hingga gugupnya tak nampak. Sisi menggangguk."Aku tidak mengajaknya. Dia pulang sendiri sepertinya." Sisi menjawab, berjuang untuk bersikap lebih tenang.Mereka berdua, duduk tepat di depan Sisi. Dengan begitu santai. Lalu, Damar memanggil pelayan. Pelayan langsung menghampirinya."Capucinno Panas sama, ehm, kau pesan apa, Rio?""Sepe
Segerap rasa, Sisi tuangkan dalam sepi. Sisi tau, dia sedang dalam posisi tak beraturan. Nyatanya, ia yang harus mengalami ini semua. Keinginannya ingin menjauhi Rio. Tetapi, malahan bayangannya terus menguntit. Bahkan manusianya ada di depannya. Seperti waktu itu, yang seharusnya dia hanya bertemu dengan Damar, tetapi dia dikagetkan oleh sosok Rio kembali. Yang ada tepat di samping Damar. Sisi yang memendam rasanya untuk Damar. Begitupun dia tau persis, Damar memang menaruh hati untuknya juga. Sisi pun begitu sadar, jika dia cukup lama menahannya. Itu dikarenakan, dia mengetahui tak sengaja, kalau Rio bersaudara dengan Damar. Kaget? Sangat. Itulah kenapa Sisi sampai sekarang masih tidak bisa menunjukkannya pada Damar. "Aku bingung May, kenapa Rio seolah tidak suka aku mengenal Damar?" Sisi meringkukkan badannya di atas ranjang di kamar Maya. Maya menarik napasnya panjang. Dan menghembuskanya. "Kenapa bisa ya, Damar bersaudara dengan Rio?" Maya mikir keras. Menggaruk-garuk kepalany