Darma murka, amarahnya memuncak mendengar ucapan Lastri. Tak habis pikir dibuatnya, mengapa dia orang luar begitu ikut campur.
"Jangan egois!"
"Papa," Bulan mendekati suaminya, menenangkannya agar tak terbawa emosi.
"Hak apa anda melarang anak saya," begitu ketusnya Darma bertanya. Bahkan itu bukan Darma yang selalu ramah.
"Dia adalah suami anakku! Aku hanya melindungi posisi anakku dalam keluarga ini," serunya tak ingin kalah.
Darma tertawa terbahak-bahak. Ia mentertawakan ucapan yang baru saja Lastri serukan. Posisi?
"Apa yang mau anda lindungi disini? Posisi anak anda memang sejak lama sudah mati dalam keluarga ini."
"Jangan keterlaluan Darma," teriak Lastri yang mulai terbawa emosinya.
"Anak saya sudah mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan cucu kalian, anak saya sudah begitu banyak berkorban waktu untuk kelurga ini."
"Mempertaruhkan nyawa adalah tugasnya sebagai seorang ibu. Melahirkannya juga adalah
Syan menyeringai saat mendapat pembelaan dari mamanya. Carisa, ia bahkan tak bertanya lebih lanjut lagi tentang masalah anaknya karena selama itu berhubungan dengan Sabrina maka dialah yang salah."Memangnya apa rencana mama?""Kita bakar semua barang-barangnya."Tersenyum puas dengan ide mamanya, Syan mencoba menghubungi Sabrina. Namun tak satupun panggilan itu mendapat respon dari Sabrina."Ih kurang ajar banget sih," emosinya."Ada apa lagi Syan," dengan begitu sabar Carisa bertanya."Ini mah, masa Sabrina nggak angkat panggilan aku sih."Carisa mengambil ponsel yang Syan genggam, digenggamnya kedua tangan anaknya sambil berkata," Itu nggak penting. Sekarang yang terpenting adalah anak mama ini makan biar sehat.""Ahh, mama so sweet deh.""Tapi ya mah, barang apa yang kita bakar nanti. Secara dia kan nggak punya barang berharga dirumah ini?" lanjut Syan berfikir."Kata siapa nggak punya," dengan tel
Esok pagi yang begitu cerah, Sabrina tengah sibuk menyiapkan sarapan saat tiba-tiba saja Nio datang menghampirinya."Masak apa," tanyanya menyandarkan punggungnya pada lemari es."Air.""Baru tau saya kalau air berbentuk butiran," ledeknya."Punya mata bisa kali lihat sendiri saya masak apa pak," malas Sabrina berdebat."Mamaaa," Sasa berlari dari anak tangga mencari mamanya. Gadis kecil itu berlari sambil terus menangis memanggil-manggil mamanya."Mama, mama.""Pak dari pada nganggur disini bisa kali samperin anaknya, tuh nangis loh dia." omel Sabrina menatap Antonio yang hanya diam menatapnya."Baiklah, sesuai permintaan nyonya Nio saja.""Dih apaan sih," geli Sabrina mendengar Nio memanggilnya nyonya.Dipagi yang sama, Carisa juga tengah sibuk namun bukan menyiapkan sarapannya. Carisa terlihat sibuk mencari sesuatu didalam gudang."Mana sih," gumamnya terus saja membongkar barang satu persatu."Du
Kotak merah, kotak yang dulu digunakan Carisa untuk menyimpan benda milik Sabrina. Benda berharga dan satu-satunya milik Sabrina."Ternyata disitu ya," girangnya.Kalung putih bersinar, berhiaskan permata cantik berwarnakan ungu menghiasi kilau indahnya. Kalung yang menggugah untuk dimiliki oleh siapapun, tak termasuk Carisa."Kalau saja dulu papa nggak ngelarang aku buat ambil ini, pasti sekarang udah jadi milik aku.""Suruh bocah tengik itu kesini dulu aja," segera ia mengirimkan pesan singkat pada Sabrina untuk datang menghampirinya."Beres," senangnya. Ia pun segera pergi meninggalkan gudang dan membersihkan dirinya dari debu yang bersarang ditubuhnya.Sabrina begitu heran saat menerima pesan singakat dari Carisa, dalam benaknya ia bertanya-tanya mengapa ia diminta datang setelah diusir keluar dari rumah."Ada apa mama manggil aku ? Benda apa ya," gumamnya penuh tanda tanya.Namun ia tak ingin banyak berfikir, h
Darma segera menghubungi ponsel milik Nio, namun tak satupun panggilan dijawab oleh anaknya tersebut."Dimana anak ini, apa dia lagi sama Sabrina ?" gumam Darma menatap layar ponselnya."Gimana pah," nampak khawatir Bulan. Darma hanya menggelengkan kepalanya."Mama," tangis Sasa.Kini langit senja telah berganti dengan kilauan bintang malam. Menampakan cantiknya sang rembulan."Udah malam loh pah, kenapa mereka berdua belum pulang ya?""Sabar dulu mah, kita tunggu sebentar lagi ya.""Papaa," teriak gadis kecil itu dengan langkah riangnya saat melihat kedatangan papanya."Aduh aduh aduh, anak papa yang cantik."Tanpa tahu apa-apa, Nio menggendong putri kecilnya tersebut dengan riang. Ia bahkan tak memperhatikan mata cantik gadis kecilnya yang sudah membengkak."Darimana saja kamu," tegur Bulan."Dari perusahaan mam, darimana lagi," duduk memangku Sasa dalam pangkuannya."Mama mana pah, tad
Dalam perjalanannya, Nio menghubungi papanya. Menanyakan dimana alamat Sabrina tinggal sebelumnya."Disini, tapi kenapa sepi ya?"Antonio menatap bangunan rumah megah didepannya dengan kerutan pada dahinya. Sepi, dan Nio yakin jika Sabrina tak berada disana."Kalau nggak disini, kemana si nakal itu?"Sudah 2 kali Nio berkendara berulang menyisir setiap jalan menuju rumah Max, namun ia tak juga melihat Sabrina.Namun matanya menangkap satu jalan yang belum ia lalui. Jalan yang nampak begitu sepi juga gelap."Jalan itu, apa dia lewat sini ya ?" gumam Nio ragu. Sebab jalanan itu begitu gelap juga tak ada tanda ada kehidupan disana."Gimana kalau memang disana!"Tiba-tiba saja ia begitu panik, kekhawatiran membuat Nio meyakinkan dirinya. Begitu yakin hingga ia menerobos kegelapan itu dengan mobilnya.Dan benar, begitu gelap hingga Nio sendiri kesulitan untuk sekedar melihat. Tubuh Nio tiba-tiba saja terasa
Antonio mengernyit heran saat mendengar lirih Sabrina bergumam. Nana, nama yang berulang disebut oleh Sabrina."Siapa Nana?" batin Nio meletakkan Sabrina dengan perlahan diatas ranjang."Mama," tangis Sasa masuk kedalam kamar."Ssstt, anak cantik jangan berisik ya. Mama lagi bobok," ucap Nio pada putri kecilnya.Bulan menurunkan Sasa diatas ranjang, perlahan tangan mungil itu membelai wajah lelah mamanya. Menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah ayu Sabrina."Pah, mama kenapa mukanya gini ?" polosnya bertanya."Oh, mama tadi habis main lumpur nak."Nio berkilah, ia berbohong pada putrinya agar ia tak merasa cemas."Nio, kamu bersihin badan dulu. Mama akan bantu Sabrina ganti baju dulu," ucap Bulan pada putranya."Yaudah, aku mandi dulu ma. Kalau ada apa-apa langsung kabarin ya.""Papa tenang aja ya, Sasa pasti jagain mama kok," polosnya."Anak pinter," membelai puncak kepala anaknya.Nio k
Antonio masuk kedalam kamar, melihat dokter tengah membersihkan luka ditangan Sabrina."Papa, ssstt jangan berisik," bisik Sasa saat Nio masuk kedalam kamar.Nio hanya tersenyum mendengar peringatan anaknya, matanya begitu fokus menatap dokter yang tengah memegang tangan Sabrina."Dok," panggilnya."Saya tuan," membalikkan pandangannya."Bisa nggak dokter nggak usah megang-megang tangannya," serunya dengan wajah seriusnya.Semua orang menatap Antonio dengan pandangan penuh tanya, pandangan yang begitu heran atas yang ditunjukkannya."Papa, kan om dokter lagi obatin mama.""Iya nak, tapi-"Nio, kenapa sih nak kamu ini," heran Bulan"Enggak gitu mah, " jawabnya kebingungan."Kalau cemburu lihat-lihat kondisi nak," sindir Darma pada anaknya."Maaf, apa saya boleh mengobati lagi?""Silahkan dokter," ucap Darma. Namun ia menatap anaknya yang terlihat begitu kesal melihat Sabrina disentuh laki
"Kalung-"Iya kalung apa," tanya Nio."Kalung saya sewaktu kecil pak, kalung permata ungu."Nio menghela nafasnya, diusapnya puncak kepala Sabrina dengan penuh sayang."Tenang aja, kalungnya aman sama saya."Sabrina merasa lega, tubuhnya yang tegang kini terasa lemas seketika. Dan beruntung Nio sigap menopangnya hingga tak sampai membuat Sabrina terjatuh."Hati-hati," serunya panik."Makasih pak," lemahnya."Istirahat aja dikamar, nanti bibi yang bawa sarapan kesini.""Nggak, saya harus temenin Sasa kesekolah pak.""Nggak! Saya yang akan bicara sama Sasa, saya nggak mau kamu pingsan dijalan."**Dikampus, Aldo terlihat mengawasi setiap gerak-gerik mahasiswa yang berlalu-lalang. Rey teman satu genk nya merasa heran dengan sikap temannya."Loe lagi nyari siapa sih bro," melihat apa yang dilihat Aldo."Gue nyari cewek kemarin," ucapnya."Cewek apa lagi sih.""Udah diam loe!"
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam
Marshel terus mencari keberadaan Ica di dalam rumah, namun sudah semua tempat ia periksa masih juga tak bisa menemukan calon istrinya itu. Tak mungkin jika Ica pergi bersama Bunda, sebab Bunda sedang berada di rumah sakit untuk terapi ayah."Kemana lagi itu anak keluar nggak bilang-bilang," gerutunya.Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ica namun tak satupun panggilan atau pesan yang mendepat respon dari lawannya. Semakin geram saat Marshel memikirkan ide Ica lalu untuk membalas kelakuan Selly."Jangan-jangan?"Rasa panik segera menyelimutinya, ia meraih kunci mobil yang ada di dekatnya. Namun baru saja akan melangkah, orang yang sedari tadi di carinya tiba-tiba muncul dengan senyum merekah di wajahnya."Loh, mau kemana?" tanya Ica dengan polosnya."Kenapa sih? Orang nanya itu di jawab, bukannya di pelototin gitu," omelnya.Tak habis fikir Marshel dengan jalan fikiran wanita di depannya itu, bisa-bisanya tak mengerti dengan ke k
Sudah satu bulan sejak lahirnya kedua bayi mungil itu di tengah-tengah mereka, hari-hari Sabrina juga begitu sibuk dengan ketiga bayinya termasuk sang suami yang menjadi bayi kembali diantara anak-anaknya."Hubby ayo buruan, kasian stev udah dingin ini." teriak Sabrina dari dalam kamar mandi.Benar saja, keduanya bersama-sama merawat kedua bayi itu tanpa bantuan suster sebab Sabrina merasa masih sanggup mengurus buah hati mereka. Masih ada mami juga bunda yang setiap harinya selalu membantu menjaga kedua bayi lincah itu.Pagi ini penuh dengan teriakan Sabrina karena merasa kesal dengan suaminya, tugas melepas baju Stevi si bayi cantik itu hanya memakan waktu 10 menitan namun di tangan Nio itu bisa memakan waktu lebih dari 30 menit."Hubby buruan atau keluar dari kamar," teriaknya lagi dengan seluruh kekesalannya."Iya mama, kami datang." serunya dengan rasa tak bersalahnya.Kini keduanya duduk berhadapan dengan masing-masing bayi di tanganny
Deru mobil mulai terdengar, semua orang bersiap dengan berbagai hal di tangannya masing-masing. Terlihat Syan bersama Lili membawa sebuah gulungan berdua, entah apa itu isinya. Dan,"Surprise," teriak semua orang bersamaan.Jantung Sabrina terasa berdetak begitu cepat karena rasa terkejutnya, beruntung si kembar tak mendengar teriakan menggema tersebut.Mata Sabrina berkaca-kaca ketika menatap semua orang di depannya, dengan takjub ia melihat rumah yang ternyata sudah di dekor dengan begitu indahnya demi menyambut ke datangannya. Sabrina tak dapat menahan air mata harunya, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya."Terima kasih semua," ucapnya dengan sesegukan dalam pelukan sang suami."Mana cucu kami?""Ada di bekang, ayah tunggu aja nanti juga masuk si kembar," seru Antonio.Mata Sabrina memicing melihat sebuat tulisan yang di bentangkan Lili bersama Syan. Dengan penasaran ia mencoba mendorong sendiri kursi rodanya unt