Teriakan Sabrina perlawanan Sabrina membuat Matius buta karena amarahnya, ia menarik lengan Syan dan mendorongnya dengan kuat hingga tersungkur kelantai dengan begitu keras. Sabrina terkejut, namun ia segera berlari dan menolong sang kakak yang tengah kesakitan.
"Anda benar-benar gila," teriak Sabrina murka.
"Sabrina cukup, jangan melawan lagi. Dia bukan tandingan kita," ucap Syan yang menahan adiknya agar tak terpancing oleh emosinya.
Syan menyadari betapa bahayanya laki-laki yang kini sedang berdiri menatap murka padanya, tak hanya berbahaya namun laki-laki itu juga begitu nampak mengerikan dengan senyum menyeringainya.
"Kita pergi dari sini," ajak Sabrina membantu Syan bangkit.
Tiba-tiba saja Matius menarik lengan Sabrina dan membawanya kedalam pelukannya, pelukan yang begitu erat hingga rasanya tubuh Sabrina begitu kesakitan.
"Lepaskan, loe menyakiti adik gue," teriak Syan.
"Oh ya, kalau begini sakit nggak," tanya Matius sambil me
Hari sudah berganti, bulan berganti mentari namun Sabrina masih belum bisa ditemukan dimana dirinya berada. Nio begitu frustasi mencari keberadaan istrinya, ia begitu takut jika hal buruk saat ini menimpa sang istri.Sedangkan saat ini Sabrina tengah tertidur bersama Syan, tertidur lelap diatas ranjang didalam sebuah kamar yang begitu asing bagi keduanya. Perlahan Syan menggerakan kelopak matanya, sayup-sayup ia mendengar suara seseorang yang tengah bertelpon didekat dirinya."Ehm suara siapa itu, kenapa rasanya mata ini susah sekali untuk dibuka," batin Syan mencoba membuka matanya.Sedikit demi sedikit mata Syan mulai terbuka dan orang yang pertama kali dilihatnya ternyata adalah Matius, laki-laki yang membawa paksa dirinya dengan Sabrina entah kemana. Syan berusaha membuka ikatan tali yang melilit ditangannya, begitu sakit namun ia tetap harus segera melepaskan dirinya."Sabrina please bangun," bisiknya begitu lirih.Sabrina me
Matius mengetahui keberadaan kedua wanita tawanannya, ia berusaha berlari mengejar keduanya namun jarak yang cukup jauh antara keduanya membuat Matius harus lebih kencang dalam berlari."Sabrina ayo, ayo kita udah nggak punya waktu lagi," paksa Syan pada Sabrina yang sudah sangat kelelahan ditambah kesakitan pada perutnya.Sabrina melepas pegangan tangan Syan pada tubunya, ia meminta Syan untuk segera pergi meninggalkannya. Meminta Syan berlari sejauh mungkin sedang dirinya sendiri yang akan menahan Matius agar tak mengejarnya."Bodoh! Target dia adalah loe, ikut gue," paksanya marah."Sakit kak, perut gue sakit banget."Namun sebuah mobil tiba-tiba berhenti tepat didepan keduanya, Syan menatap was-was pemilik mobil tersebut hingga sebuah gerakan tangan membuat Syan nekat memasuki mobil tersebut."Hanya ini caranya, kita terpaksa mengikuti orang ini," serunya sambil membawa saudarinya lebih dekat dengan mobil tersebut.Dan akhirnya me
Berpindah tempat, hanya berpindah tempat namun masih sama tak amannya. Terlepas dari Matius yang gila kini keduanya malah masuk ke sarang Selly yang tak kalah gila juga. Hari itu Selly mengikuti Matius hingga tiba di rumah Syan.Ia melihat dan mendengar semua yang mereka bicarakan, Selly benar-benar tak menyangka jika Matius akan mengkhianati dirinya dan bermain dengan Syan. Dari situlah Syan merasa marah dan menyusun rencana balas dendamnya, ia awalnya ingin mendatangi kedua wanita tersebut setelah kekasihnya itu pergi.Diluar dugaan ternyata Matius malah membawa keduanya ikut serta bersamanya. Selly sangat marah saat itu, hingga ia memutuskan untuk meninggalkan rumah itu dan menggagalkan rencananya sendiri."Kalian sudah sadar," seru Selly."Ternyata benar anda, nona Selly," balas Sabrina dengan ekspresi wajahnya yang begitu santai."Loe kenal wanita ini ," tanya Syan."Kenal kak, dia adalah Selly. Dia mantan istri dari suamiku
Nio benar-benar tak tega melihat kondisi istrinya saat ini, tubuhnya begitu lemah dan hanya bisa berbaring diatas ranjang rumah sakit. Namun sudah demikian Sabrina masih saja keras kepala, ia mencoba meyakinkan semua orang jika dirinya baik-baik saja."Jangan banyak gerak dulu nak," khawatir Bulan."Mi aku baik-baik saja kok, lihatlah aku bahkan bisa turun.""Berani kamu turun dari ranjang, aku patahkan kedua kakimu!!"Nio berteriak dengan begitu kencangnya, saking kerasnya teriaka itu hingga membuat Sabrina sangat terkejut. Nio berteriak bukan sebab ia marah terhadap istrinya, ia berteriak karena rasa bersalahnya melihat sang istri terus berpura-pura kuat dan baik-baik saja demi semua orang.Semua orang terdiam setelah Nio berteriak, tak ada sepatah katapun terdengar. Hening dan sepi, suasana berubah menjadi begitu dingin. Nio menyadari apa yang telah dilakukannya, ia berbalik dan segera meninggalkan ruang rawat Sabrina."Suamimu buka
Nio begitu panik, ia menatap Sabrina yang masih saja terpejam namun berderai air mata. Ia terus menerikan ayah serta bunda, namun Nio tak tahu apa dan siapa yang dimaksud istrinya."Ayah!!"Mata Sabrina tiba-tiba saja terbuka dengan begitu sempurna, nafasnya tersenggal-senggal layaknya orang selesai berlari."Sayang ada apa, kenapa sayang?""Ayah, mana ayah," mencengkram lengan suaminya."Ayah? Ayah siapa ??""Ayahku hubby, dimana ayah juga bundaa.."Sabrina benar-benar tak bisa mengendalikan dirinya, tangannya gemetar mencengkram suaminya.Air mata terus mengalir deras membanjiri wajahnya. Nio panik, ia tak tahu apa yang kini terjadi dengan istrinya.Kini yang ada difikirannya hanya ada ayah Rizal yang mungkin dimaksud oleh istrinya. Dengan inisiatifnya sendiri ia mengambil ponselnya dan mencoba mebghubungi Rizal."Ayah hubby," rengeknya dalam tangis."Iya sayang, bentar ya. Ini aku coba telpon ayah
Sabrina tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan Lena, Nio yang melihat istrinya pingsan segera berlari menuju Sabrina. Nio panik, ia segera meminta Marshel untuk memanggil dokter untuk istrinya."Bagaimana dok," tanya Nio yang tetap setia berdiri disebelah sang istri."Pasien terlalu lelah, biarkan dia istirahat. Kita akan lanjutkan pemeriksaan lebih lanjut esok pagi.""Baik, makasih dok.""Saya permisi dulu, selamat istirahat."Semua orang lega jika Sabrina baik-baik saja, ada rasa syukur sebab ternyata Sabrina bisa mengingat sebagian dari masa lalunya. Namun kini tubuh gadis itu begitu lemah, mungkin karena terlalu memakskan diri untuk mengingat masa lalunya."Maaf ya ayah bunda, aku ganggu tidur kalian.""Gpp, ayah seneng sekali. Ayah seneng putri ayah sudah kembali," menepuk bahu Nio tiga kali."Yaudah kalau gitu kalian bisa istirahat diruang sebelah, biar Marshel disini sama aku.""Kak, panggil gue kak
Hari ini semua orang sangatlah bahagia, semua orang berkumpul bersama dalam satu ruang yaitu diruang rawat milik Sabrina. Rizal juga Lena merasa begitu bersyukur dengan kembalinya Sabrina dan keduanya berencana ingin mengadakan sebuah syukuran bersama."Gimana menurut kamu Nio," tanya Darma pada putranya."Aku gimana baiknya aja pi, kalau ayah mau gitu ya gpp. Nanti aku bakal siapin semuanya," seru Nio."Nggak, ini kan acara untuk syukukan adik gue jadi gue yang bakal siapin semuanya," sanggah Marshel."Kalau emang gitu ya gpp, nanti kalau memang butuh bantuan tinggal bilang aja sama aku," lanjut Nio."Gimana menurut kamu sayang," tanya Lena sambil membelai kepala putrinya."Aku terserah sama ayah bunda aja," senyumnya."Kalau gitu gimana kalau kita adain dirumah aja, jadi Nana juga bisa istirahat juga," lanjut Rizal mengembangkan senyumannya."Tapi," ragu Sabrina."Tapi apa nak," tanya Bulan yang juga berdir
Setelah pertemuannya itu dengan Darma, Max semakin penasaran dengan menantu yang dimaksud oleh Darma tersebut. Terbesit niat untuk dirinya mengikuti kemana Darma pergi, namun ia tak mungkin melakukan itu disaat Irma sudah menunggunya untuk pulang."Darimana aja, kenapa lama," tanya Irma saat Max baru saja masuk ke dalam ruang rawat Cica.Sambil mengelus kepala putrinya, Max menatap Irma dengan mengembangkan senyumannya. "Tadi ada rekan bisnis yang nggak sengaja berpapasan," jelasnya.Irma hanya menganggukan kepalanya, ia kemudian menggendong putrinya dan berjalan keluar kamar. Max mengikuti istrinya itu dari belakang dengan membawa semua barang milik putri juga istrinya.Ketiganya kini sedang menuju rumah dimana yang pernah Carisa tempati, rumah yang menjadi tempat Syan merasakan bahagia bersama kedua orang tuanya. Max masih begitu ragu membawa Irma pulang kerumahnya itu namun paksaan serta rengekan Irma begitu membuatnya tak bisa berkutik.S
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam
Marshel terus mencari keberadaan Ica di dalam rumah, namun sudah semua tempat ia periksa masih juga tak bisa menemukan calon istrinya itu. Tak mungkin jika Ica pergi bersama Bunda, sebab Bunda sedang berada di rumah sakit untuk terapi ayah."Kemana lagi itu anak keluar nggak bilang-bilang," gerutunya.Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ica namun tak satupun panggilan atau pesan yang mendepat respon dari lawannya. Semakin geram saat Marshel memikirkan ide Ica lalu untuk membalas kelakuan Selly."Jangan-jangan?"Rasa panik segera menyelimutinya, ia meraih kunci mobil yang ada di dekatnya. Namun baru saja akan melangkah, orang yang sedari tadi di carinya tiba-tiba muncul dengan senyum merekah di wajahnya."Loh, mau kemana?" tanya Ica dengan polosnya."Kenapa sih? Orang nanya itu di jawab, bukannya di pelototin gitu," omelnya.Tak habis fikir Marshel dengan jalan fikiran wanita di depannya itu, bisa-bisanya tak mengerti dengan ke k
Sudah satu bulan sejak lahirnya kedua bayi mungil itu di tengah-tengah mereka, hari-hari Sabrina juga begitu sibuk dengan ketiga bayinya termasuk sang suami yang menjadi bayi kembali diantara anak-anaknya."Hubby ayo buruan, kasian stev udah dingin ini." teriak Sabrina dari dalam kamar mandi.Benar saja, keduanya bersama-sama merawat kedua bayi itu tanpa bantuan suster sebab Sabrina merasa masih sanggup mengurus buah hati mereka. Masih ada mami juga bunda yang setiap harinya selalu membantu menjaga kedua bayi lincah itu.Pagi ini penuh dengan teriakan Sabrina karena merasa kesal dengan suaminya, tugas melepas baju Stevi si bayi cantik itu hanya memakan waktu 10 menitan namun di tangan Nio itu bisa memakan waktu lebih dari 30 menit."Hubby buruan atau keluar dari kamar," teriaknya lagi dengan seluruh kekesalannya."Iya mama, kami datang." serunya dengan rasa tak bersalahnya.Kini keduanya duduk berhadapan dengan masing-masing bayi di tanganny
Deru mobil mulai terdengar, semua orang bersiap dengan berbagai hal di tangannya masing-masing. Terlihat Syan bersama Lili membawa sebuah gulungan berdua, entah apa itu isinya. Dan,"Surprise," teriak semua orang bersamaan.Jantung Sabrina terasa berdetak begitu cepat karena rasa terkejutnya, beruntung si kembar tak mendengar teriakan menggema tersebut.Mata Sabrina berkaca-kaca ketika menatap semua orang di depannya, dengan takjub ia melihat rumah yang ternyata sudah di dekor dengan begitu indahnya demi menyambut ke datangannya. Sabrina tak dapat menahan air mata harunya, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya."Terima kasih semua," ucapnya dengan sesegukan dalam pelukan sang suami."Mana cucu kami?""Ada di bekang, ayah tunggu aja nanti juga masuk si kembar," seru Antonio.Mata Sabrina memicing melihat sebuat tulisan yang di bentangkan Lili bersama Syan. Dengan penasaran ia mencoba mendorong sendiri kursi rodanya unt