"Memangnya mudah untuk membatalkan sayembara dengan seenaknya," cibir Ruby dengan nada mengejek. Gadis itu berkacak pinggang. "Yeeahh sangat mudah karena kau calon Rajanya bodoh!" Umpat Ruby kemudian menendang pot bunga yang baru saja lepas dari pandangannya. Emosi, kesal, dan muak menjadi satu. Gadis itu menggenggam rambutnya frustasi. Baru saja dia sembuh dari penyakit tangisnya, ia justru harus memutar otak tentang sayembara ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain kabur. Namun, tentu saja kabur dengan uang sedikit bukanlah hal yang bagus. Jika saja ini adalah sebuah novel, mungkin Ruby sedang merencanakan balas dendamnya karena sudah dijahati oleh sang penulis. Ah tidak, itu karmanya karena sudah menjahati sang protagonis. "Apa aku terus menjahati Zalina saja agar dipenggal dan kembali ke duniaku?" gumamnya lagi. "Tapi ... mengerikan juga kalau aku mati langsung masuk neraka, HIH!" Ruby merinding seraya memegang lehernya sendiri. "Ngomong-ngomong kalau aku tidak jadi Putri
Di musim dingin seperti ini, Ruby seharusnya menimbun dirinya di bawah selimut, tidur seharian jika ia tidak lupa tentang sayembara yang akan di adakan sebentar lagi. Meski Theron tidak menyebutkan waktunya secara spesifik, akan tetapi, semuanya telah siap, dan mungkin saja Zalina juga sudah menyiapkan segala hal. Perpustakaan Istana hari ini terasa begitu senyap seperti hari-hari biasanya. Sudah empat hari Ruby menghabiskan waktunya di sini, sendirian. Tanpa Elina. Mereka harus merahasiakan fakta ini. Ruby dijuluki sebagai 'Lady Jenius', mustahil dia pergi ke perpustakaan demi mempelajari dasar-dasar kerajaan yang sudah ia hapal di luar kepala. "Haruskah aku belajar etika?" gumam Ruby kini mengganti bukunya. Gadis itu membaca dengan jarak yang dekat. Pandangannya mulai kabur. Sepertinya karena kebanyakan membaca. Beruntung tulisan di sini sama seperti di dunianya. Dengan satu lentera serta teh Chamomile yang menemani, Ruby mengeratkan kain di punggungnya saat dingin mulai menyergap
"Lancang sekali bicaramu, pelayan!" Sentak suara barithon yang begitu familiar di telinga Ruby. Ruby berpaling, dapati Theron tengah menyorot tajam ke arah Bizzie yang kini menunduk takut. Tangannya berpegang pada ujung pedang seakan bersiap untuk mengambilnya. Gadis itu menegang di tempat, apa Theron mendengar seluruh percakapan mereka? "Maafkan saya, Yang Mulia, saya tidak bermaksud—" "Teganya ... kau menuduhku, Bizzie," lirih Ruby memotong ucapan Bizzie yang akan membela diri dengan sejuta alasannya. Pelayan itu tidak bisa berkutik saat Ruby memberinya senyum getir. Gadis itu menutup mulutnya dengan sorot kecewa. Menggeleng. Seolah mendalami peran sebagai karakter yang polos yang tengah dikhianati. "Minta maaf pada Ruby sekarang atau kau dikurung di ruang bawah tanah Istana dalam semalam?" titah Theron membuat Bizzie bergetar ketakutan. Siapa yang bisa bertahan di penjara bawah tanah dalam musim dingin seperti sekarang? Meski hanya semalam, Bizzie bisa beku berada di bawah san
Latihan di tengah musim dingin seperti ini membuat fokus Theron menjadi terbelah. Lirikan matanya selalu mengarah pada orang-orang yang berlalu lalang di lorong Istana. Seberapa banyak manusia pun yang hadir di depan matanya, ia masih berharap seseorang muncul di hadapannya meski hanya sesaat. Apa ini namanya Theron sendiri juga masih ragu. Intinya, ia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya selama seminggu ini. Hanya ingin melamun. Bahkan, sup terenak masakan sang Ibu pun, nampak tidak menarik. Pikirannya hanya tertuju pada satu orang. "Ruby?" gumamnya. Terlihat gadis itu dari kejauhan keluar dari lorong Istana utama. Tanpa sadar Theron meninggalkan para ksatria yang lain tanpa pamit. Bahkan, panggilan dari Jack sang asistennya pun tak ia hiraukan. Tungkainya hanya berporos pada satu tujuan. "Nona Ruby? Anda tidak merencanakan sesuatu untuk nona Zalina, 'bukan?" Mendengar itu, Theron membeku. Menatap nyalang ke arah pelayan yang kini membelakanginya. Suara itu, ia sangat mengenaln
"Ini sup penghilang pengarnya, nona." "Terima kasih." Ruby bangkit dari tidurnya. Memperhatikan sup yang baru saja disajikan pelayan dengan asap mengepul. Gadis itu menghembuskan nafas kasar. Lonjakan dari perutnya sukses membuat air mata keluar. Sepertinya, ia terlalu mabuk semalam. Bahkan, Ruby tidak ingat kapan Theron meninggalkan kamarnya. Ah masa bodoh. Mendesah lelah kemudian menyendokkan sup yang sudah ia tiup ke dalam mulut. Dalam genggamannya terdapat surat misterius yang kini belum ia pecahkan apa di dalamnya. Meski pening, Ruby tetap memaksa untuk meneliti setiap inci dari surat itu. Namun, nihil. Tidak ada hal yang mencurigakan dari tiap sisinya. "Ah ... sepertinya di sini terlalu gelap. Apa aku lihat dari jendela saja?" Gumamnya kemudian mengarahkan kertas itu pada jendela kamarnya. "Ini?" kejutnya saat mendapati beberapa huruf muncul saat matahari menyorot kertas dari arah belakang. "Apa?" Ruby menyipitkan mata.Pastikan bunga itu ada di sisi nona Ruby. Karena kan
"Apa Zalina sering terkena racun seperti ini? M-maksudku, dia sering sakit begitu? Dan semua orang menuduhku yang melakukannya?" tanya Ruby menggebu pada Elina. Ia masih ingat tentang kilasan masa lalu Ruby. Gadis itu bahkan berharap Theron tidak percaya seperti orang lain, akan tetapi, lelaki itu yang datang menuduhnya secara langsung. Menodongnya dengan pertanyaan yang Ruby tidak pahami. Sejahat itu memang. Dan mungkin, saat ini Theron juga percaya dengan rumor itu. Bahkan, Ruby bersiap memberi alasan jika lelaki itu datang menuduhnya yang tidak-tidak. Akan tetapi, saat sore menjelang, tak ada yang datang. Theron tidak menampakkan batang hidungnya. Sedangkan Ruby, memilih untuk mengurung diri di kamarnya. "Jika dihitung, ini sudah yang ke enam kali nona Zalina terkena racun selama tinggal di Istana. Entah itu datang dari makanan, atau minuman yang beliau konsumsi," jawab Elina membuat Ruby tertawa lirih. "Dan selalu aku yang dituduh meracuninya?" Anggukan dari Elina cukup membua
Beberapa hari berlalu, Kabar menyebar luas dengan cepat. Sebagian orang percaya bahwa Ruby dalang atas racun yang menimpa Zalina. Meski tidak ada bukti kuat, mereka tetap menyebarkan rumor itu hingga keluar Istana tanpa bisa dicegah. Bahkan Ruby sendiri pun, kini lebih sering mengurung dirinya dalam kamar. Tidak ingin menemui siapa pun, bahkan terkadang makanan yang telah pelayan siapkan untuknya masih bersisa. "Salam cahaya kekaisaran Darian, Yang Mulia Putra Mahkota." Sapa hormat Duke Edelmiro menunduk dalam. Theron memandang lelaki paruh baya itu dengan hati gelisah. Meski jelas kedatangan Duke jauh-jauh ke Istana untuk membahas pencucian dana. Tentu juga kabar tentang Ruby telah sampai ke telinganya. Akan tetapi, tidak biasanya Duke bersikap seperti ini. Bahkan ia seringkali acuh tak acuh. Ruby bisa membereskan semuanya sendiri. "Atas izin dari cahaya kekaisaran, bolehkah saya menjenguk Ruby? Saya dengar, dia kurang sehat akhir-akhir ini," ungkap Duke kemudian setelah mereka d
"Hahaha, kau benar Duke Arios," Hal yang paling Ruby benci saat ini adalah makan malam tamu kerajaan. Di mana semua orang berkumpul di meja makan bersama dengan beberapa bangsawan lainnya, termasuk Ruby dan sang Ayah. Serta Zalina membawa seorang laki-laki yang Ruby baru saja ketahui adalah kakak gadis itu. Menelisik lagi pada orang di sebelah Duke, Theron terlihat tidak menaruh minat pada percakapan dua pria setengah baya itu. Berada di tengah-tengah keduanya membuat Theron mau tak mau bereaksi dan memberi respon atas pembicaraan keduanya. "Silakan, dinikmati hidangan penutupnya," seru Ratu membuka suara di tengah candaan Raja dan Duke. Ruby menatap kosong ke arah camilan yang dihidangkan pelayan di hadapannya. Sungguh, pikiran Ruby saat ini tidak menentu. Masih banyak pertanyaan dalam kepala yang harus ia pecahkan dengan Elina malam ini. Bukan malah membuang waktu dengan kekakuan di meja makan. "Melihat camilan ini, aku teringat saat kita merantau di wilayah Santora. Kau ingat?
Kematian Grand Duke Ramon Darian dan Grand Duchess Diana Swayneza kini telah menyebar luas. Kabarnya, mereka berdua meninggal karena kecelakaan saat menuju pusat kota Eurõbia. Tepatnya di wilayah Santora dengan hutan terpanjang di kerajaan Darian. Akan tetapi, siapa tahu ini adalah kecelakaan yang sebenarnya, atau telah disiapkan oleh seseorang? Ruby menggenggam erat anyelir putih dengan kedua tangannya. Gaun hitamnya tertarik menyapu tanah musim semi. Dibiarkan beberapa daun hinggap. Wajah lesunya jelas menunjukkan kekhawatiran. "Kau yakin dengan ini? Ruby ... sudah lama kau tidak mengunjungi pemakaman dan—" "Aku baik-baik saja," potong Ruby kemudian. Theron menggeleng lemah, ia yakin saat ini Ruby takut. Semenjak kematian Ibunya, Ruby tidak pernah menghadiri pemakaman siapa pun sejak saat itu. Dia selalu mengurung dirinya saat terdengar kabar kalau orang terdekat mereka telah gugur waktu peperangan. Atau pelayan Istana yang selalu menjaga mereka. "Aku bisa meletakkan bungamu d
Musim semi empat tahun lalu. Awal musim semi yang masih terasa dingin ini seakan memanggilnya, menggodanya dengan rangkaian bayangan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang daunnya sudah tumbuh berpucuk. Dan akhirnya, ia pergi keluar Istana tanpa diketahui oleh siapa pun. Gadis itu memejamkan mata. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa tubuhnya hingga rambut cokelat yang dikepang itu menari-menari di bawah mentari sore. Sudah lama ia tidak ke sini. Tempat yang membuatnya merasa tenang. Di pinggir danau yang tak jauh dari Istana. Tempat yang membuat Ruby merasa nyaman dan jujur akan dirinya sendiri. Mengeluarkan keluh kesahnya selama berada di Istana. Bagaimana para pelayannya, Theron, Ratu Miranda, dan tentu saja tentang perasaannya. "Sejujurnya, aku sudah lupa bagaimana wajah Ibuku," celetuk Ruby di tengah heningnya suasana. "Yah ... setiap ingatan manusia memang akan pudar selama berjalannya waktu." Warna jingga dari mentari sore menyinari wajah
Theron tahu ia harus segera bertindak. Akan tetapi, hatinya ragu entah karena apa. Permintaan Ruby, pertanyaan Zalina membuat otak Theron beku. Ia bahkan tidak bisa lagi memikirkan pekerjaan yang telah menumpuk di meja kerjanya. Seandainya ia bisa berteriak, maka ia akan mengatakan ia juga tidak tahu. Katakanlah ia adalah orang yang tidak berpendirian di dunia ini. Di satu sisi ia merasa bersalah pada Zalina, dan satu sisi ia ingin Ruby terus berada di sisinya. Tidak mungkin ia memiliki selir, 'bukan? Ia tidak akan setega itu pada dua gadis ini. "Kau harus secepatnya memutuskan ini, Theron. Memangnya apa lagi yang kau tunggu? Keduanya sudah sehat. Aku tidak mengerti alasanmu menunda sayembara ini," ucap Raja Aeterius menghadap sang anak yang masih menunduk. "Apa karena gadis itu?" Raja Aeterius menatap sang anak dengan selidik. Menerka apa yang membuatnya ragu. "Siapa?" tanya balik Theron. Sementara sang Ayah hanya mendesah pasrah. Rupanya pikiran sang anak belum sampai. Atau mem
"Yang Mulia, apa anda mencintai saya?" Pertanyaan itu muncul begitu saja lewat belah bibir Zalina. Dadanya luar biasa sakit. Benaknya dipenuhi pertanyaan yang berbeda setiap waktu, dan benang merahnya hanya di satu pertanyaan. Apa cinta itu ada di hati Theron? Zalina tahu kata itu tak pernah terucap. Ia tahu bahwa lelaki itu masih memandang Ruby sedemikian lekat meski mulutnya melontarkan emosi. Mereka, seperti dua orang yang kehilangan arah. Dan dirinya masuk di sela-sela keduanya. "Yang Mulia saya bertanya ... " "Jangan melawannya," lirih Theron. Lelaki itu termenung di tempatnya. Sorot matanya terlihat menyedihkan. Pria yang biasanya menunjukkan ketegasan itu kini menatap Zalina dengan nanar. Gumamannya membuat gadis itu semakin bingung. Apa maksudnya? Siapa yang ia lawan? "Jangan melawannya. Ruby ... dia bukan tandinganmu," lanjut Theron membuat dada Zalina sesak. Air matanya menetes. Meski mensugesti dirinya dengan fakta bagaimana Theron membawanya ke Istana dan memperlaku
Kata orang, hidup ini penuh dengan berbagai kejutan. Awalnya, Ruby tidak mempercayai hal itu karena jalan hidupnya yang terlalu flat. Tidak ada yang spesial. Hingga saat ia terbangun di tubuh orang lain, tinggal di era yang jauh berbeda dengan era milenial, menjalani, dan mempelajari hidup yang bukan miliknya. Terkadang, Ruby pikir ini hanyalah ilusi semata. Dan terkadang, ia melihat dunia ini begitu nyata sehingga merasa tubuh ini benar-benar miliknya. Mungkin ini adalah masa lalu yang harus diperbaiki. Dunia yang penuh tipu muslihat ini adalah rintangannya. Serta, perasaannya pada lelaki ini yang tak kunjung pudar meski awalnya rasa benci mendominasi. "Sudah puas menggoda lelaki lain, huh?" Apa perasaan itu bisa ia manfaatkan? Mengejar cinta yang Ruby miliki dulu dan merebut kembali tempatnya, atau menjauh seperti rencana awalnya karena bahaya yang ada di dalam Istana ini? Tanpa sadar musik telah berhenti. Membuat atensi orang-orang yang ada di aula jatuh pada Theron yang datang
Setelah Roseline pergi menemui keluarganya, Ruby juga pamit. Ia tidak melihat Ayahnya di mana pun. Apa pria masih di perjanalan dinas dan belum kembali? Menggelengkan kepala, Ruby naik ke lantai dua untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Ratu Miranda secara langsung. "Selamat ulang tahun Yang Mulia Ratu yang terhormat. Bila berkenan, terimalah hadiah saya yang tidak seberapa ini." Ruby membungkuk anggun saat Ratu berdiri menghampirinya. Memeluknya sayang. Sementara Ruby memejamkan mata. Rasa rindu pada orang rumah di dunianya dulu kini membuat sesak karena pelukan Ratu. Ia tahu, rindunya kian bertambah karena tak mendapat jawaban. Dan saat Ratu Miranda mengurai pelukan mereka, Ruby tersenyum. "Hadiah terbaikmu adalah pesta ini, Ruby. Dan ini adalah hadiah terbaik untukku. Terima kasih, Arunika pasti bahagia melihatmu di atas sana." ucap Ratu Miranda menggenggam kedua tangannya. Arunika, atau sebut saja Duchess Arunika Edelmiro yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Ibu dari R
Satu bulan yang lalu. Ruby sebelumnya bersusah payah meletakkan sendok besi pada matanya yang masih panas. Sepertinya, air mata Ruby memiliki stok yang berlebihan hingga tidak berhenti mengalir layaknya air terjun. Hari ini, ia akan bertemu Ratu di kediamannya. Dan Ruby tidak boleh berantakan di hadapan wanita nomor satu di kerajaan ini, "ah ... mulai sekarang harusnya aku mengurangi minum." Gumamnya meletakkan sendok di meja dan bersiap keluar. Gadis itu menghela nafas sebelum masuk ke kediaman Ratu diiringi rombongan pelayannya kemudian membungkuk hormat memberi salam. Pertama kali yang mereka lihat adalah kain berwarna ungu mencolok terpampang rapi di atas lantai. Sementara Ratu tengah duduk dengan anggun dan menatap lekat ke arah kain-kain yang disediakan oleh Madam Jessica, salah satu perancang kain terbaik di kerajaan ini. Semua yang ada di sana menunduk hingga Ratu kemudian berucap. "Aku ingin ulang tahunku kali ini didominasi dengan warna ungu. Ruby, bisakah kau menunjukk
Tidak. Bukan ini yang Theron inginkan. Kenyataan pahit yang ia dengar sendiri dari mulut Ruby membawanya kembali ke masa lalu. Apa ia salah membawa Zalina ke tempat ini hingga membuat posisi Ruby terancam. Seharusnya, ia memikirkan ini secara matang. Bukan berpikiran dangkal hingga mengacau.Namun, ini semua telah terjadi. Apa yang harus Theron lakukan? Kenapa semuanya begitu rumit? Perasaannya pada Zalina tidak semenggebu miliknya pada Ruby saat gadis itu meminta untuk pergi. Dia tidak rela. Dan bagaimana jika Zalina juga meminta demikian? "Kenapa ... kau terlalu pasrah? Aku memilihmu dan Zalina untuk sayembara ini karena ingin melihat siapa yang lebih pantas untuk menjadi Ratu berikutnya. Aku akan menyerahkan semua ini pada Ayah, Ibu, dan Menteri lainnya. Sayembara ini akan berjalan dengan adil. Memangnya apa yang kau pikirkan hingga berkata seperti itu?" Tentu saja ia pasrah karena Ruby yang sekarang adalah Ruby yang bodoh. Apa Theron akan mengharapkannya menang karena kepintar
Percakapan mereka berjalan lancar. Ruby bisa melihat, Roseline terlahir dari keluarga yang hangat. Saat menceritakan orang tua serta adiknya yang kaku, matanya terlihat berbinar. Ruby pun turut merasakan, hingga rasa rindu pada keluarganya kembali mencuat. Bagaimana kabar mereka di sana? Sudah hampir empat bulan ia berada di dunia antah berantah ini. Bertahan hidup tanpa tahu alasan bagaimana ia bisa masuk ke tubuh ini. Sialnya nama mereka sama dan terlahir dengan kesengsaraan berbeda. "Putri ... putri!" Panggil Roseline menyadarkan Ruby dari lamunannya. Gadis itu berguman dan menyuruh Roseline melanjutkan ceritanya. "Apa Putri mendengarkan saya? Apa perkataan saya mengganggu Putri?" tanya Roseline khawatir. Takut Ruby tidak nyaman dengannya. "Tidak ... lanjutkan saja. Aku masih mendengarkan," kilah Ruby mengibaskan tangannya dan berucap. "Jadi apa yang terjadi padamu dan nona Zalina." Ruby beruntung. Ia tidak perlu membuang ludah untuk mencari informasi saat Roseline sendiri yan