Helaan napas kasar lolos begitu saja dari mulut Fasya. Tangannya terangkat untuk merasakan rintik air yang mulai turun dari langit. Dia mulai menengadahkan wajahnya sehingga wajahnya mulai basah, berharap jika air itu juga akan menghapus ingatannya. Rasa pusing kembali menyerang Fasya. Dia masih tidak tahu harus berkata dan berbuat apa saat ini. Ingatannya terus berutar akan rekaman ucapan Adnan. Pria itu menyukainya? Tidak, pria itu berkata mencintainya. Fasya sudah cukup dibuat bingung dengan perubahan tingkah Adnan akhir-akhir ini. Ternyata perubahan pria itu memiliki maksud. Perasaan istimewa itu yang membuat semua sikapnya berubah. Setelah Adnan dan Saka pergi dari restoran, Fasya masih duduk di sana selama beberapa menit. Merenungi semuanya dan berusaha meyakinkan diri jika ucapan Adnan hanya sebuah alasan, alasan agar Saka mau menjauhinya. Namun setelah mengingat perubahan Adnan, tentu aksi itu mendukung ucapannya. Fasya mendadak gelisah. Dia sadar jika dia benar-
"Cheers!" Dentingan suara gelas yang beradu terdengar memenuhi ruangan VIP di sebuah restoran. Hari ini merupakan hari yang cukup penting. Setelah pulang kerja, satu departemen tempat Fasya magang secara kompak menyisihkan waktu mereka. Hari ini bukan hanya hari terakhir Fasya dan Dinar magang, melainkan hari terakhir Kinan menjadi manager mereka. Semua orang tahu jika perpisahan memanglah menyedihkan. Namun mereka semua kompak memutuskan untuk bersenang-senang hari ini. Tidak perlu ada kesedihan karena mereka masih bisa saling berhubungan. "Semoga Bu Kinan gagal move on dan balik lagi. Aamiinn." Semua orang tertawa mendengar doa Hanum. Meskipun Kinan dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan sulit mentolerir kesalahan, tetapi semua orang tahu jika kerja wanita itu sangatlah bagus. Entah sudah berapa banyak pujuan yang mereka dapatkan di bawah kepemimpinan Kinan. Saat di kantor, Kinan memang mengutamakan profesionalitas, tetapi ketika di luar kantor, ia juga bisa menjadi priba
Di ruang kerjanya, Adnan meremas ponselnya dengan kesal. Dia baru saja selesai mendapat telepon dari Om Adit. Pria itu membicarakan pernikahan Denis dan memintanya untuk ikut serta dalam pengukuran baju seragam. Terpaksa Om Adit yang memberitahunya langsung karena Adnan selalu menolak panggilan dari Om Bayu. Rasa kesalnya pada Denis karena mempengaruhi kakek belum hilang hingga saat ini. Lalu sekarang pria itu kembali berulah dengan rencana pernikahannya yang dipercepat. Mungkin semua orang berpikir jika ini adalah niat yang baik, tetapi sayangnya Adnan tidak sebodoh itu. Dia tahu jika Denis hanya mengejar harta kakek. Dengan menikah, maka kakek akan memberikan hadiah yang cukup besar. Bukan iri yang Adnan rasakan. Dia hanya tidak suka jika perjuangan keluarganya dinikmati oleh manusia-manusia licik seperti Denis dan ibunya. Andai saja wanita itu tidak berulah tentu perang antar keluarga ini tidak akan terjadi. Untuk sekarang, Adnan harus lebih berhati-hati dalam bertindak. Me
Suara detik jam yang terdengar jelas menunjukkan jika ruangan itu benar-benar sunyi dan senyap. Pria yang duduk di sofa itu menghela napas kasar dan melempar kertas yang ia baca ke atas meja. Setelah itu ia menatap seorang gadis yang tengah membaca buku di atas kasur. Fasya, gadis itu terlihat sangat sibuk seolah fokusnya hanya tertuju pada buku. Padahal semua orang juga tahu jika ia jarang atau bahkan tidak pernah membaca buku. Fasya tidak serajin itu, tetapi entah kenapa malam ini dia bertingkah aneh dengan membaca banyak buku. Adnan, pria itu kembali menghela napas kasar. Sudah berapa kali dia katakan jika ia tidak suka didiamkan. Namum sepertinya itu tidak berlaku untuk Fasya. Setelah mengungkapkan keinginan terdalamnya, Fasya semakin menjaga jarak. Gadis itu menjauh bahkan juga tak berbicara dengannya. Sebelumnya Fasya memang sudah menjaga jarak, tetapi kali ini berbeda. "Sejak kapan kamu baca buku?" Fasya melirik Adnan sebentar dan kembali fokus pada bukunya. "Mau nger
Ketukan pintu kamar membuat mata Fasya terbuka lebar. Dia langsung terbangun dengan rasa pusing yang menyerang kepalanya. Fasya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua pagi. Siapa yang mengetuk pintu di dini hari seperti ini? "Mbak Fasya?" Suara itu membuat Fasya mengerutkan dahinya. Dia melirik ke samping dan tidak melihat Adnan di sana. Ternyata pria itu belum kembali. Dengan lemas, Fasya bangkit dan bergegas membuka pintu kamar. Kenapa Pak Yanto membangunkannya? Saat pintu terbuka, Fasya terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Pak Yanto menatapnya khawatir sambil memapah tubuh seseorang. Siapa lagi jika bukan Adnan? Keadaan pria itu begitu kacau. Fasya yakin jika Adnan setengah sadar kali ini. "Mas Adnan kenapa, Pak?" tanya Fasya panik. "Saya kurang tau, Mbak. Tadi ada taksi yang anter Pak Adnan. Turun-turun Pak Adnan udah mabuk dan luka gini." Fasya meringis melihat wajah Adnan. Terdapat luka di sudut bibirnya. Apa pria itu kembali bertengkar? Mema
Di sebuah lorong rumah sakit, terlihat sudah banyak orang yang berkumpul. Hampir semua keluarga Atmadja satu-persatu mulai datang untuk melihat kondisi kakek. Kesehatannya yang tiba-tiba menurun pagi ini membuat semua orang panik. Termasuk Fasya dan Adnan, mereka merasa bersalah dengan apa yang terjadi. Seharusnya mereka bisa menjaga kakek, tetapi kenyataannya mereka malah menambah beban tentang masalah keluarga mereka. Meskipun sudah berusaha untuk menutupi semuanya, tetap saja perlahan semua akan segera terbongkar. "Sudah berapa kali kesehatan kakek menurun sejak tinggal sama kalian? Ini yang bikin Tante nggak percaya sama kalian!" Tante Sarah tampak marah pada Fasya dan Adnan. Mendengar kemarahan itu, Fasya hanya bisa menunduk. Membantah pun percuma karena dia memang merasa bersalah di sini. Seharusnya dia bisa menjaga kakek dengan baik, bukan malah membuat kesehatannya menurun. Fasya bukanlah seorang Atmadja, tentu beban yang ia tanggung jauh lebih besar. Adnan sendiri tidak men
Hanya tinggal menunggu waktu. Untuk saat ini, satu detik pun sangatlah berharga. Apa yang Adnan katakan pada Mitha adalah seperti menanam sebuah bom. Jika waktunya tiba, maka bom itu akan meledak. Di saat itu terjadi, Adnan akan duduk manis menikmati drama kehancuran Denis. Jahat? Adnan tidak munafik. Dia tidak mau membohongi dirinya sendiri jika menghancurkan Denis adalah hal yang tidak ia sukai. Selama ini Adnan hanya diam karena ia sangat menghormati kakek dan Om Bayu. Namun setelah dilihat-lihat, Denis dan Ibunya benar-benar tak tahu malu. Mereka semakin berulah dengan mengusik kehidupan pribadi Adnan. Adnan memang pendiam, tetapi bukan berarti dia suka jika harga dirinya diinjak atau kehidupannya diusik. Intinya jangan mematikan kobaran api dengan minyak tanah. "Makan dulu," ucap Adnan pada Fasya yang melamun. Saat ini mereka berdua tengah berada di kantin rumah sakit. Bertujuan untuk mengisi perut kosong setelah jam makan siang sudah lewat dua jam yang lalu. Meski
Malam gelap telah Datang. Terlihat seorang pria tengah berjalan menjauh dari pintu utama sebuah rumah. Denis, pria itu berjalan lesu dengan tatapan sedih. Bukannya langsung pergi, dia malah bersandar pada Mobil tanpa tenaga. Kepalanya masih terngiang-ngiang akan kalimat perpisahan yang Mitha ucapkan. Wanita itu memilih mundur. Menyerah pada hubungan mereka karena kebohongan yang ia buat. Seperti karma, bukan hubungan Adnan dan Fasya yang hancur, melainkan hubungannya dengan Mitha yang berada di ujung tanduk saat ini. Wanita itu tidak mau menemuinya lagi. Tentu Denis menyesal, dia menyesal dengan apa yang sudah terjadi. Meskipun dia menyembunyikan semua masalahnya dengan Adnan pada Mitha, bukan berarti perasaannya adalah sebuah kebohongan. Denis berani bertaruh apapun jika perasaannya pada Mitha terbukti palsu. Pria itu benar-benar mencintai calon istrinya. Ah, mantan calon istrinya. Hati Denis kembali sakit mengingat fakta tersebut. Itu juga yang membuatnya dengan nekat mene
Di tengah kerumunan banyak orang, Fasya berjinjit untuk membuat tubuh mungilnya menjadi lebih tinggi. Bahkan heels setinggi tujuh sentimeter yang ia kenakan tidak banyak membantu. Pandangannya mengedar untuk mencari seseorang. Tas yang ia bawa semakin menyulitkan langkah kakinya. "Permisi," ucap Fasya yang harus menerjang ribuan orang itu. Mau tidak mau Fasya berhenti di tengah kerumunan dan mulai mengambil ponselnya. Saat akan menghungi Adnan, Fasya melihat ponselnya lebih dulu berdering. Nama Adnan muncul membuatnya tersenyum lega. "Mas, di mana?" tanya Fasya cepat. "Di sebelah kanan kamu. Jalan pelan-pelan ke sini." Fasya mengalihkan pandangannya dengan mata menyipit. Dia kembali berjinjit dan melihat seseorang yang melambaikan tangannya. Senyum Fasya pun merekah. Dengan cepat dia mengangkat sedikit rok kebayanya dan berlari kecil ke arah Adnan, kembali menerjang ribuan manusia yang tengah berbahagia saat ini, sama seperti dirinya. "Mas Adnan!" Fasya langsung masuk ke
Tak terasa satu tahun telah berlalu. Seperti tahun sebelumnya, hari ini adalah hari yang istimewa. Tepat hari ini semua anggota keluarga Atmadja kembali berkumpul di puncak untuk merayakan hari spesial, yaitu hari ulang tahun Kakek Faris. Tak henti mereka mengucapkan rasa syukur akan kesehatan yang diberikan Tuhan untuk kakek. "Fasya, sini coba, Sayang." Tante Laras mendekat sambil menyuapi Fasya dengan potongan daging. "Udah enak belum?" Fasya mengangguk sambil mengunyah. "Enak, Tan." "Kamu juga, Mitha. Gimana rasanya?" Tante Laras juga menyuapi Mitha. Benar, hari ini Mitha dan Denis memang hadir di ulang tahun kakek. Awalnya mereka menolak karena rasa segan dan malu, tetapi karena paksaan akhirnya mereka mau datang ke Puncak Bogor. Setelah pernikahan Denis dan Mitha, entah kenapa semua seperti kembali ke awal. Di mana mereka menjadi keluarga yang semestinya. Masa lalu yang buruk seperti mulai terkubur. Sekarang Denis tahu kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya ia ingink
Dengan bersenandung pelan, Fasya mengendarai mobilnya memasuki gerbang kampus yang cukup ternama. Dia melambatkan laju mobilnya saat memasuki area kampus. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang membuat Fasya harus berhati-hati. Kesabaran dan ketekunannya selama ini membuahkan hasil. Akhirnya Fasya bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski belum terlalu lama. Namun dia sering menggunakan mobil akhir-akhir ini agar bisa membiasakan diri. Lagi pula Adnan lebih merasa aman saat ia menggunakan mobil. Fasya menekan klakson mobil saat sudah berada di depan sekumpulan anak muda seusianya. Dia membuka jendela dan melambaikan tangannya pada seseorang. Seseorang yang menatapnya dengan berbinar, seperti melihat bank berjalan. "Gue duluan, sepupu gue udah jemput." Niko meninggalkan teman-temannya dan langsung masuk ke dalam mobil. Sudah hampir seminggu ini Fasya rutin menjemput Niko di kampusnya. Dia tidak lupa akan janjinya jika sudah bisa mengendarai mobil, maka Niko adalah orang pertama
Suasana di dalam mobil itu begitu tegang. Jantung Fasya masih berdegup dengan kencang. Dia mencoba untuk mengatur napasnya agar lebih tenang. Berdua bersama Adnan di dalam mobil membuat akal sehatnya menghilang. Jika bukan suaminya, mungkin Fasya sudah menendang pantat Adnan menjauh sampai tak bisa dipandang. "Jangan tegang," gumam Adnan. Mendengar itu, Fasya mulai merilekskan tubuhnya. Meskipun sudah berusaha, tetapi tetap saja sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa ia tenang jika berada di dalam situasi yang menegangkan seperti ini? Jika bukan karena Adnan, mungkin ia tidak akan mau melakukannya. "Pelan-pelan," ucap Adnan lagi. Bukannya menenangkan, apa yang pria itu lakukan justru membuat Fasya semakin tidak nyaman. Jika ada lakban, dia akan membungkan mulut suaminya agar diam. "Di depan nanti ada pertigaan, jangan lupa kurangi kecepatan," peringat Adnan lagi. "Iya, diem dulu." Fasya semakin mengeratkan tangannya pada setir mobil. Matanya fokus pada jalanan di depann
Suasana kafe malam ini terlihat sangat ramai. Selain karena banyaknya anak muda, para pekerja pun juga ikut menikmati malam minggu untuk melepas penat. Di salah satu meja yang cukup besar, terlihat Fasya tengah tertawa dengan lepas. Bisa dibilang malam ini adalah malam reuni, di mana ia kembali berkumpul dengan para seniornya saat magang dulu setelah beberapa bulan berlalu. "Masa, sih?" tanya Dinar geli. Shanon mengangguk yakin, "Iya, Pak Bonbon kalau marah hidungnya kembang-kempis." "Wah, parah. Masa ngomongin atasan sendiri." "Tapi Pak Bonbon asik. Istrinya nggak pelit, suka bawain makanan ke kantor, tapi ya gitu kalau marah bukannya serem malah lucu." Hanum kembali tertawa. "Apalagi kalau udah ngomel, itu perutnya juga goyang kayak ikutan ngomel," celetuk Damar. Tawa mereka kembali pecah. Kebiasaan buruk yang menyenangkan adalah membicarakan orang lain. Apalagi topik kali ini adalah atasan baru mereka yang menggantikan Kinan. Di tengah candaan, Fasya merasakan ponse
Hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu oleh semua orang. Terutama untuk dua sejoli yang tengah bersenda gurau saat ini. Tidak peduli dengan matahari yang sudah muncul sedari tadi, pasangan kasmaran itu semakin menikmati momen bersama yang tidak bisa mereka nikmati setiap hari. Momen intim di balik selimut yang sering mereka sebut sebagai pertukaran energi. "Geli, Mas." Fasya terkekeh saat Adnan mencium lehernya gemas. "Kamu bau." Fasya menarik rambut Adnan menjauh dari lehernya dan mulai menyentuh wajah pria itu. Tatapan mata Fasya begitu sayu karena rasa lelah yang ia rasakan. Bukan karena Adnan menyiksanya, tetapi sebaliknya. Pria itu kembali membuat tubuhnya melayang pagi ini. Melelahkan tetapi juga menyenangkan. Mata Adnan terpejam menikmati sentuhan jari Fasya di wajahnya. Untuk pertama kalinya dia merasa sangat nyaman berada di dekat seorang wanita. Selama ini Adnan selalu bersikap mandiri dan dewasa, padahal jauh di dalam lubuk hatinya dia juga ingin dimanja. "Puk-pu
Jika ada perayaan untuk hari terburuk, mungkin keluarga Atmadja akan menobatkannya sebagai hari ini. Rahasia yang disembunyikan oleh Om Bayu benar-benar menggemparkan. Tidak akan ada alasan atau kebohongan lain lagi yang akan tercipta. Kini semua orang sudah mengetahui semua kebenarannya. Mereka sekarang juga tahu kenapa permusuhan Adnan dan Denis tak kunjung usai. Mereka tidak menyangka jika Adnan menanggung beban berat akan rahasia ini selama bertahun-tahun. Semua ia lakukan demi kesehatan kakek. Namun kini semuanya terbongkar karena ulah Denis dan ibunya sendiri yang serakah. Malu, itu yang dirasakan Denis dan ibunya. Namun jauh di dalam hati, Denis lebih malu lagi untuk berhadapan dengan Mitha. Dia sekarang sadar betapa menjijikkannya sikapnya selama ini. Dia dibutakan oleh kesenangan duniawi sampai lupa untuk mempertahankan kebahagiannya sendiri. Mungkin jika namanya dicoret oleh keluarga Atmadja, Denis tidak akan peduli. Dia lebih sakit hati jika kehilangan Mitha. Dia bena
Pagi hari telah datang. Celah jendela mulai dimasuki oleh cahaya yang begitu terang. Disertai dengan kicauan burung merdu yang membuat suasana hati menjadi tenang. Yang kemudian membangunkan seorang wanita yang mulai mengerang. Fasya, mantan gadis yang semalam telah resmi menjadi seorang wanita itu mulai membuka mata. Cahaya yang menyilaukan mata membuatnya menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Dia sudah kembali bersiap untuk melanjutkan tidurnya. Namun sesuatu mulai menyadarkannya. Mata Fasya terbuka lebar. Dia menurunkan selimut dan melihat keadaan kamar yang sepi. Fasya terduduk sambil memperhatikan keadaan sekitar dengan bibir terbuka. Setelah itu dia melihat keadaan dirinya sendiri. Semuanya sama, baik kamar dan penampilannya terlihat sangat kacau. Malam pertama. Fasya menutup wajahnya yang memanas saat mengingat kejadian semalam. Entah bagaimana bisa mereka berakhir untuk menyalurkan kehangatan bersama? Fasya tidak pernah menduga sebelumnya. Namun setelah terjadi, d
Puncak Bogor masih menjadi tempat pelarian Adnan dan Fasya. Mereka berdua sepakat untuk memutus komunikasi dengan keluarga untuk sementara. Bahkan Adnan memilih untuk mematikan ponselnya agar bisa lebih tenang saat berdua dengan Fasya. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk saling mendekatkan diri. Tak terasa malam telah tiba. Seperti janji Adnan, dia yang akan menyiapkan makan malam. Dengan bantuan Mbok Yem tentu saja. Jika bukan karena keinginan Fasya, tentu dia tidak mau berkutat di dapur. Bukan bermaksud pamrih, tetapi Adnan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi versi terbaik bagi Fasya. Selama ia bisa, maka Adnan akan berusaha melakukan apapun keinginan istrinya. Tanpa imbalan. Dengan Fasya yang memberikan kesempatan kedua saja sudah membuat hati Adnan melayang dan berbunga-bunga. Setelah makan malam, Fasya memilih untuk ke kamar lebih dulu. Setelah pintu tertutup rapat, dia menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Ini gila! Fasya merasa jantungn