Dengan bersiul, Niko berjalan santai di belakang Adnan dan Fasya. Wajahnya tampak sumringah karena rasa bahagia. Bagaimana tidak senang jika dia melihat perubahan Adnan yang luar biasa? Meskipun Fasya harus sakit terlebih dahulu, tetapi semua berakhir memuaskan dengan kesadaran Adnan yang berangsur muncul. "Hati-hati," ucap Adnan membantu Fasya untuk menaiki tangga teras menuju pintu utama rumah mereka. Hal itu membuat Niko lagi-lagi harus menahan tawanya. Mendadak dia merasa geli dengan tingkah Adnan yang berlebihan. Kondisi Fasya sudah jauh lebih baik, meskipun masih belum bisa beraktivitas berat seperti biasa karena itu memerlukan sedikit waktu. Setelah dokter mengizinkan Fasya untuk pulang, hari itu juga mereka langsung kembali ke Jakarta. Mendadak Niko berperan sebagai asiaten pribadi Adnan yang membantu pria itu untuk mengurus semuanya karena selama Fasya sakit, fokusnya hanya tertuju pada gadis itu. "Biar saya gendong ke kamar." Fasya dengan cepat menggeleng. Dia mena
Perasaan cinta dan sayang bisa tumbuh kapan saja tanpa disadari. Meskipun banyak perdebatan dan pertengkaran yang terjadi, dengan begitu manusia bisa saling mengerti dan memahami satu sama lain. Bukan tidak mungkin rasa itu akan muncul secara tiba-tiba. Itu juga yang terjadi pada Adnan. Setelah beberapa hari berpikir dan meratapi nasib percintaannya, Adnan memutuskan untuk tidak lagi menepis perasaannya. Adnan sadar jika dia memiliki rasa istimewa untuk Fasya. Keberadaan gadis itu di sampingnya adalah hal yang paling ia inginkan saat ini. Melihat Fasya jatuh sakit kemarin membuat Adnan tertampar. Dia benar-benar tidak mau kehilangan gadis itu. Selain itu, Adnan sadar jika sikap menyebalkannya selama ini semata karena cemburu. Adnan takut jika Fasya memiliki pria lain dan mengabaikannya. "Bekal kamu?" "Ada." "Botol minum?" "Ada, Mas." Fasya memutar matanya jengah. "Obat dan vitamin?" "Astaga! Ada, Mas. Udah lengkap di tas. Mas Adnan sendiri yang siapin semuanya tadi mas
Di dalam ruang kerjanya, Adnan mendorong berkas yang baru ia baca untuk kembali merenung. Dahi yang berkerut dalam menandakan jika ia tengah berpikir keras saat ini. Tidak, Adnan sedang tidak memikirkan pekerjaan. Ada hal lain yang mengganggu konsentrasinya saat ini. Setelah kembali dari istirahat makan siang, Adnan tidak sengaja mencuri dengar karyawannya yang tengah bergosip. Mulai dari topik bonus akhir tahun, pernikahan salah satu karyawan, hingga kabar kedekatannya dengan Fasya. Adnan tidak menyangka jika kabar itu menyebar begitu cepat. Seharusnya ia tahu jika hal ini akan terjadi, tetapi tetap saja Adnan masih terkejut dan belum menemukan jalan keluar yang pas untuk masalah ini. Malah dia semakin takut jika Fasya kembali marah padanya. Adnan yakin jika gadis itu juga mendengar gosip yang sama. Satu hal lagi yang mengganggu pikiran Adnan saat ini, yaitu keputusan Kinan untuk mengundurkan diri dari perusahaannya. Ada rasa kesal di hati Adnan karena dia mendengar kabar itu d
Suasana ruang tamu rumah Adnan terlihat sangat sepi. Keberadaan Denis di sana tidak membuat kehebohan yang berarti. Tentu saja, dia datang di saat Adnan dan Fasya berada di kantor. Pilihan yang tepat agar bisa leluasa bertemu kakek. Jika saja ada Adnan di rumah ini, tentu pria itu tidak akan membiarkan Denis berdua bersama kakeknya sendiri. "Kaki kakek udah baikan?" tanya Denis perhatian. "Sudah nggak sakit, kok." "Kakek nggak mau balik ke rumah?" Kakek menggeleng mendengar itu. "Kakek masih mau tinggal di sini." Denis menunduk dengan ekspresi wajah yang cukup membuat kakek bertanya-tanya. Dia memang sangat ahli dalam hal seperti ini. "Kenapa, Denis? Ada apa?" Denis tersenyum kecut dan menggeleng. "Kalau kakek tinggal di sini terus, aku nggak bisa ketemu kakek dengan bebas." "Kata siapa?" Dengan bijak kakek menepuk bahu Denis. "Kamu bisa dateng kapan aja. Kalau kamu takut sama Adnan, kamu bisa ajak kakek keluar." "Pasti Mas Adnan nggak izinin, Kek." "Bukannya hub
Melihat orang tersayang tengah terbaring lemah adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Meskipun Adnan memiliki sifat yang keras dan acuh tak acuh, tetapi baginya keluarga adalah hal yang terpenting. Seperti saat ini, setelah mendapatkan kemarahan dan caci maki dari kakeknya, ia tetap bertahan di samping kakek yang tertidur. Setelah kemarahannya tadi, tiba-tiba kesehatan kakek kembali memburuk. Pria itu menolak dibawa ke rumah sakit dan memilih untuk mati karena ulah Adnan dan Fasya. Mau tidak mau Fasya memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa kondisi kakek. Beruntung pria itu baik-baik saja saat ini. Mungkin karena emosi dan amarahnya yang meledak sehingga tenaga di tubuhnya langsung habis dan terjatuh lemas. "Kok bisa?" tanya Niko berbisik di samping Fasya. Fasya memijat dahinya dan menggeleng pelan. Dia sendiri tidak tahu kenapa hal ini bisa terjadi. Semua terjadi begitu cepat. Bahkan dia tidak memiliki persiapan untuk menahan kemarahan kakek. Pria itu benar-benar terlihat k
Perubahaan sikap secara mendadak memang membingungkan. Terselip rasa curiga yang tak bisa diutarakan. Namun seiring berjalannya waktu ketika seseorang itu kembali ke semula, rasa bingung itu juga kembali datang. Kenapa? Apa karena mulai terbiasa dengan perubahan sebelumnya? Dengan memainkan tangannya gelisah, Fasya memilih untuk duduk di ujung kasur. Dia duduk tenang di sana sambil menunggu Adnan yang tengah membersihkan diri. Jam sudah menunjukkan pukul satu malam dan pria itu baru saja kembali entah dari mana. Apa Fasya menunggu? Tentu saja. Setelah apa yang terjadi malam ini tidak mungkin jika ia tidak khawatir. Membiarkan Adnan sendiri dengan emosinya adalah hal yang menakutkan. Pria itu bisa melakukan apapun sampai amarahnya mereda. Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunan Fasya. Pandangannya mengikuti ke mana pun Adnan pergi. Mulai dari meletakkan baju kotor ke dalam keranjang, mengusap rambut basahnya dengan handuk, serta merawat wajahnya sebelum tidur. Tidak ada
Di dalam kamar kakek, Fasya menunduk sambil mengaduk bubur di tangannya dengan lemas. Sudah 10 menit ia berusaha membujuk kakek untuk makan. Sejak dari pagi pria itu belum memasukkan makanan ke dalam perutnya. Hal itu membuat Fasya dibuat bingung harus melakukan apa lagi. Fasya tahu jika kakek marah padanya. Sejak bangun tadi pagi, belum ada kalimat sapaan penuh kasih sayang seperti biasanya. Fasya yang memilih untuk absen demi menjaga kakek mulai dibuat takut. Dia masih tidak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Jika saja Fasya memiliki kekuatan super tentu dia akan memanfaatkannya. Dia akan membuat kakek melupakan kejadian semalam yang membuatnya marah. Tidak! Fasya lebih memilih memutar waktu untuk menolak perjodohan ini sejak awal. "Kakek, makan dulu ya. Sedikit aja, biar nggak sakit." "Terlanjur, hati kakek udah sakit." Fasya meringis mendengar itu. "Maksud aku biar lambung kakek nggak sakit." Dengan cepat kakek menatap Fasya tajam, "
Pagi telah tiba tanpa terasa. Beranjak menjauhi hari lalu yang cukup menguras tenaga. Datang hari baru dengan kejutan tak terduga. Yang harus dilalui dengan lapang dada. Di dalam kamar mandi, Adnan memperhatikan wajahnya di cermin. Senyum tipis mulai terukir di sana. Senyum yang ia berikan untuk dirinya sendiri karena bertingkah aneh akhir-akhir ini. Adnan masih tidak habis pikir kenapa dia bisa bertingkah seperti ini. Menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya terdengar cukup konyol. Bahkan Adnan sadar jika dia sudah jauh melampaui zona nyamannya. Adnan keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah. Tatapannya langsung tertuju pada tempat tidur yang masih ditempati oleh putri tidur yang tidak terlihat anggun sama sekali. Bahkan selimut yang terjatuh menggantung ke lantai tidak membuat putri pingsan itu terbangun. Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, sudah waktunya Fasya untuk bangun jika tidak mau terlambat bekerja. Meskipun ini minggu terakhirnya, bukan berarti d
Di tengah kerumunan banyak orang, Fasya berjinjit untuk membuat tubuh mungilnya menjadi lebih tinggi. Bahkan heels setinggi tujuh sentimeter yang ia kenakan tidak banyak membantu. Pandangannya mengedar untuk mencari seseorang. Tas yang ia bawa semakin menyulitkan langkah kakinya. "Permisi," ucap Fasya yang harus menerjang ribuan orang itu. Mau tidak mau Fasya berhenti di tengah kerumunan dan mulai mengambil ponselnya. Saat akan menghungi Adnan, Fasya melihat ponselnya lebih dulu berdering. Nama Adnan muncul membuatnya tersenyum lega. "Mas, di mana?" tanya Fasya cepat. "Di sebelah kanan kamu. Jalan pelan-pelan ke sini." Fasya mengalihkan pandangannya dengan mata menyipit. Dia kembali berjinjit dan melihat seseorang yang melambaikan tangannya. Senyum Fasya pun merekah. Dengan cepat dia mengangkat sedikit rok kebayanya dan berlari kecil ke arah Adnan, kembali menerjang ribuan manusia yang tengah berbahagia saat ini, sama seperti dirinya. "Mas Adnan!" Fasya langsung masuk ke
Tak terasa satu tahun telah berlalu. Seperti tahun sebelumnya, hari ini adalah hari yang istimewa. Tepat hari ini semua anggota keluarga Atmadja kembali berkumpul di puncak untuk merayakan hari spesial, yaitu hari ulang tahun Kakek Faris. Tak henti mereka mengucapkan rasa syukur akan kesehatan yang diberikan Tuhan untuk kakek. "Fasya, sini coba, Sayang." Tante Laras mendekat sambil menyuapi Fasya dengan potongan daging. "Udah enak belum?" Fasya mengangguk sambil mengunyah. "Enak, Tan." "Kamu juga, Mitha. Gimana rasanya?" Tante Laras juga menyuapi Mitha. Benar, hari ini Mitha dan Denis memang hadir di ulang tahun kakek. Awalnya mereka menolak karena rasa segan dan malu, tetapi karena paksaan akhirnya mereka mau datang ke Puncak Bogor. Setelah pernikahan Denis dan Mitha, entah kenapa semua seperti kembali ke awal. Di mana mereka menjadi keluarga yang semestinya. Masa lalu yang buruk seperti mulai terkubur. Sekarang Denis tahu kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya ia ingink
Dengan bersenandung pelan, Fasya mengendarai mobilnya memasuki gerbang kampus yang cukup ternama. Dia melambatkan laju mobilnya saat memasuki area kampus. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang membuat Fasya harus berhati-hati. Kesabaran dan ketekunannya selama ini membuahkan hasil. Akhirnya Fasya bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski belum terlalu lama. Namun dia sering menggunakan mobil akhir-akhir ini agar bisa membiasakan diri. Lagi pula Adnan lebih merasa aman saat ia menggunakan mobil. Fasya menekan klakson mobil saat sudah berada di depan sekumpulan anak muda seusianya. Dia membuka jendela dan melambaikan tangannya pada seseorang. Seseorang yang menatapnya dengan berbinar, seperti melihat bank berjalan. "Gue duluan, sepupu gue udah jemput." Niko meninggalkan teman-temannya dan langsung masuk ke dalam mobil. Sudah hampir seminggu ini Fasya rutin menjemput Niko di kampusnya. Dia tidak lupa akan janjinya jika sudah bisa mengendarai mobil, maka Niko adalah orang pertama
Suasana di dalam mobil itu begitu tegang. Jantung Fasya masih berdegup dengan kencang. Dia mencoba untuk mengatur napasnya agar lebih tenang. Berdua bersama Adnan di dalam mobil membuat akal sehatnya menghilang. Jika bukan suaminya, mungkin Fasya sudah menendang pantat Adnan menjauh sampai tak bisa dipandang. "Jangan tegang," gumam Adnan. Mendengar itu, Fasya mulai merilekskan tubuhnya. Meskipun sudah berusaha, tetapi tetap saja sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa ia tenang jika berada di dalam situasi yang menegangkan seperti ini? Jika bukan karena Adnan, mungkin ia tidak akan mau melakukannya. "Pelan-pelan," ucap Adnan lagi. Bukannya menenangkan, apa yang pria itu lakukan justru membuat Fasya semakin tidak nyaman. Jika ada lakban, dia akan membungkan mulut suaminya agar diam. "Di depan nanti ada pertigaan, jangan lupa kurangi kecepatan," peringat Adnan lagi. "Iya, diem dulu." Fasya semakin mengeratkan tangannya pada setir mobil. Matanya fokus pada jalanan di depann
Suasana kafe malam ini terlihat sangat ramai. Selain karena banyaknya anak muda, para pekerja pun juga ikut menikmati malam minggu untuk melepas penat. Di salah satu meja yang cukup besar, terlihat Fasya tengah tertawa dengan lepas. Bisa dibilang malam ini adalah malam reuni, di mana ia kembali berkumpul dengan para seniornya saat magang dulu setelah beberapa bulan berlalu. "Masa, sih?" tanya Dinar geli. Shanon mengangguk yakin, "Iya, Pak Bonbon kalau marah hidungnya kembang-kempis." "Wah, parah. Masa ngomongin atasan sendiri." "Tapi Pak Bonbon asik. Istrinya nggak pelit, suka bawain makanan ke kantor, tapi ya gitu kalau marah bukannya serem malah lucu." Hanum kembali tertawa. "Apalagi kalau udah ngomel, itu perutnya juga goyang kayak ikutan ngomel," celetuk Damar. Tawa mereka kembali pecah. Kebiasaan buruk yang menyenangkan adalah membicarakan orang lain. Apalagi topik kali ini adalah atasan baru mereka yang menggantikan Kinan. Di tengah candaan, Fasya merasakan ponse
Hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu oleh semua orang. Terutama untuk dua sejoli yang tengah bersenda gurau saat ini. Tidak peduli dengan matahari yang sudah muncul sedari tadi, pasangan kasmaran itu semakin menikmati momen bersama yang tidak bisa mereka nikmati setiap hari. Momen intim di balik selimut yang sering mereka sebut sebagai pertukaran energi. "Geli, Mas." Fasya terkekeh saat Adnan mencium lehernya gemas. "Kamu bau." Fasya menarik rambut Adnan menjauh dari lehernya dan mulai menyentuh wajah pria itu. Tatapan mata Fasya begitu sayu karena rasa lelah yang ia rasakan. Bukan karena Adnan menyiksanya, tetapi sebaliknya. Pria itu kembali membuat tubuhnya melayang pagi ini. Melelahkan tetapi juga menyenangkan. Mata Adnan terpejam menikmati sentuhan jari Fasya di wajahnya. Untuk pertama kalinya dia merasa sangat nyaman berada di dekat seorang wanita. Selama ini Adnan selalu bersikap mandiri dan dewasa, padahal jauh di dalam lubuk hatinya dia juga ingin dimanja. "Puk-pu
Jika ada perayaan untuk hari terburuk, mungkin keluarga Atmadja akan menobatkannya sebagai hari ini. Rahasia yang disembunyikan oleh Om Bayu benar-benar menggemparkan. Tidak akan ada alasan atau kebohongan lain lagi yang akan tercipta. Kini semua orang sudah mengetahui semua kebenarannya. Mereka sekarang juga tahu kenapa permusuhan Adnan dan Denis tak kunjung usai. Mereka tidak menyangka jika Adnan menanggung beban berat akan rahasia ini selama bertahun-tahun. Semua ia lakukan demi kesehatan kakek. Namun kini semuanya terbongkar karena ulah Denis dan ibunya sendiri yang serakah. Malu, itu yang dirasakan Denis dan ibunya. Namun jauh di dalam hati, Denis lebih malu lagi untuk berhadapan dengan Mitha. Dia sekarang sadar betapa menjijikkannya sikapnya selama ini. Dia dibutakan oleh kesenangan duniawi sampai lupa untuk mempertahankan kebahagiannya sendiri. Mungkin jika namanya dicoret oleh keluarga Atmadja, Denis tidak akan peduli. Dia lebih sakit hati jika kehilangan Mitha. Dia bena
Pagi hari telah datang. Celah jendela mulai dimasuki oleh cahaya yang begitu terang. Disertai dengan kicauan burung merdu yang membuat suasana hati menjadi tenang. Yang kemudian membangunkan seorang wanita yang mulai mengerang. Fasya, mantan gadis yang semalam telah resmi menjadi seorang wanita itu mulai membuka mata. Cahaya yang menyilaukan mata membuatnya menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Dia sudah kembali bersiap untuk melanjutkan tidurnya. Namun sesuatu mulai menyadarkannya. Mata Fasya terbuka lebar. Dia menurunkan selimut dan melihat keadaan kamar yang sepi. Fasya terduduk sambil memperhatikan keadaan sekitar dengan bibir terbuka. Setelah itu dia melihat keadaan dirinya sendiri. Semuanya sama, baik kamar dan penampilannya terlihat sangat kacau. Malam pertama. Fasya menutup wajahnya yang memanas saat mengingat kejadian semalam. Entah bagaimana bisa mereka berakhir untuk menyalurkan kehangatan bersama? Fasya tidak pernah menduga sebelumnya. Namun setelah terjadi, d
Puncak Bogor masih menjadi tempat pelarian Adnan dan Fasya. Mereka berdua sepakat untuk memutus komunikasi dengan keluarga untuk sementara. Bahkan Adnan memilih untuk mematikan ponselnya agar bisa lebih tenang saat berdua dengan Fasya. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk saling mendekatkan diri. Tak terasa malam telah tiba. Seperti janji Adnan, dia yang akan menyiapkan makan malam. Dengan bantuan Mbok Yem tentu saja. Jika bukan karena keinginan Fasya, tentu dia tidak mau berkutat di dapur. Bukan bermaksud pamrih, tetapi Adnan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi versi terbaik bagi Fasya. Selama ia bisa, maka Adnan akan berusaha melakukan apapun keinginan istrinya. Tanpa imbalan. Dengan Fasya yang memberikan kesempatan kedua saja sudah membuat hati Adnan melayang dan berbunga-bunga. Setelah makan malam, Fasya memilih untuk ke kamar lebih dulu. Setelah pintu tertutup rapat, dia menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Ini gila! Fasya merasa jantungn