Lima hari telah berlalu. Hari ini adalah hari terakhir di mana Kakek Farhat dan Kakek Faris dirawat di rumah sakit. Entah kenapa ikatan persahabatan mereka begitu kuat. Mereka sama-sama memiliki riwayat penyakit jantung. Setelah menggelar pernikahan cucunya lima hari yang lalu, kesehatan mereka juga berangsur membaik. Ada perasaan lega di hati Adnan dan Fasya melihat itu. Setidaknya pengorbanan mereka tidak sia-sia.
"Ayo, suapan terakhir, Kek. Buka mulutnya." Fasya kembali menyuapi kakeknya. "Makasih ya, Nduk. Kakek sayang sama kamu." Kakek Farhat tersenyum dan mengelus kepala Fasya sayang. "Mulai sekarang Kakek harus janji untuk jaga kesehatan. Nenek sama Fasya nggak mau liat Kakek sakit lagi kayak gini." Fasya mengangguk setuju saat mendengar ucapan neneknya. "Pasti, Kakek akan jaga kesehatan. Kakek masih mau liat cicit Kakek nanti," ucapnya dengan terkekeh pelan. Fasya berdeham dan beranjak untuk meletakkan piring kotor di atas nakas. Dia memilih untuk menghindar dari pada mendengar percakapan mengenai pernikahan yang baru ia lakukan lima hari yang lalu. Sejak saat itu pun, Fasya tidak lagi melihat Adnan. Entah kemana perginya pria itu karena ia tidak melihatnya di sekitar Kakek Faris. Mungkin itu yang terbaik, Fasya masih belum bisa bertemu ataupun melihat Adnan untuk saat ini. Dia masih mengingat tatapan kebencian pria itu untuknya. *** Sambil membawa tas kakeknya, Fasya mulai keluar dari ruang inap. Kakeknya sudah lebih dulu keluar dengan bantuan kursi roda. Saat berada di luar, langkahnya terhenti karena terkejut melihat keberadaan Adnan. Pria itu mendadak muncul setelah berhari-hari menghilang. "Ayo, Nduk. Kita pulang diantar Nak Adnan." "Bukannya Kakek Faris juga mau pulang?" tanya Fasya bingung. "Kakek diantar Tante saya," jawab Adnan singkat. Fasya hanya bisa mengangguk mengerti. Dia menggenggam tasnya erat bingung harus melakukan apa. "Ayo, kita ke mobil." Adnan mengambil alih kursi roda Kakek Farhat dan mendorongnya. Fasya dan neneknya memilih untuk berjalan di belakang. Melihat cucunya yang melamun, Nenek Atika mengelus bahu Fasya pelan. Dia tersenyum untuk menenangkan cucunya yang perasaannya kembali kacau ketika melihat Adnan. Dia sangat tahu itu. "Kamu nggak papa?" tanyanya. Fasya tersenyum tipis dan memeluk bahu neneknya, "Aku nggak papa, Nek." "Makasih udah bikin Kakek seneng. Semoga hidup kamu juga bahagia ya, Nduk. Nenek selalu berdoa untuk kamu." "Makasih, Nek." Fasya kembali tersenyum dan mengelus bahu neneknya, memberi tahu jika dirinya sedang baik-baik saja saat ini. Di dalam mobil, suasana begitu hening. Kakek Farhat memilih untuk tidur sebentar bersama nenek di kursi belakang. Saat ini hanya ada Fasya dan Adnan yang terjaga. Apa yang telah terjadi di antara mereka seolah menambah rasa canggung di dalam mobil ini. Fasya berusaha untuk santai karena Adnan sendiri juga enggan berbicara dengannya. "Kita sampai." Lamunan Fasya buyar saat mereka sudah sampai. Dengan cepat dia keluar dari mobil dan membangunkan Kakek. Lagi-lagi dengan sigap Adnan membantu Kakek Farhat untuk masuk ke dalam rumah sederhana milik mereka. "Biar Nenek yang anter Kakek ke kamar. Kamu bikinin Adnan minum, Nduk." Fasya kembali menurut dan berlalu ke dapur. Sesampainya di sana dia merutuk saat tidak tahu minuman apa yang diinginkan Adnan. Saat akan kembali ke ruang tengah dia menggeleng tegas. "Nggak! Ngapain tanya? Kan dia tamu." Fasya mengangguk meyakinkan diri. Kopi menjadi pilihan Fasya. Sepertinya pria seperti Adnan adalah pecinta kopi. Setelah selesai, dia kembali ke ruang tengah. Fasya kembali merutuk saat melihat Adnan hanya sendiri. Ternyata neneknya belum juga kembali. "Kopi, Mas." Adnan mengangguk, "Makasih," ucapnya singkat. Mereka kembali duduk dengan hening. Fasya hanya bisa memainkan tangannya gelisah. Ada sifat baru yang ia ketahui dari Adnan, yaitu pendiam. Bahkan pria itu tidak peduli dengan keadaan canggung di sekitarnya dan memilih untuk tetap diam. Fasya tahu jika keadaan mereka sedang tidak baik. Namun apa meraka harus terus seperti ini tanpa mencari jalan keluar? "Nenek denger kamu baru pulang dari Singapura tadi pagi ya, Nan?" Adnan mengangguk mendengar pertanyaan Nenek Fasha. Dia menyesap kopinya pelan. Tidak ada komentar yang keluar dari mulutnya. Fasya menghela napas lega, ternyata pria itu memang menyukai kopi. "Pasti capek langsung ke rumah sakit dan anter Kakek pulang tadi. Makasih ya." "Nggak masalah, Nek." "Kalau kamu capek, bisa istirahat dulu di kamar Fasya," ucap nenek lagi. Fasya langsung terbatuk mendengar itu. Dia menatap neneknya tidak percaya. Setelah itu dia melihat Adnan yang menatapnya bingung. "Kenapa, Nduk? Kok kaget gitu. Kan Adnan suami kamu." "Ah, aku lupa, Nek." Fasya mengumpat dalam hati dan mendunduk. "Nggak usah, Nek. Saya langsung pulang aja," ujar Adnan. "Kok cepet? Kalau gitu ayo Fasya cepet kemasi barang-barang kamu. Bawa yang penting-penting aja dulu, sisanya bisa nyusul. Kasian Nak Adnan harus istirahat." Fasya kembali terkejut mendengar itu. "Mau ke mana, Nek?" Nenek Atika berdecak, "Mau ke mana lagi? Ya ke rumah suami kamu. Kalian kan udah nikah, masa tinggalnya pisah?" Tubuh Fasya langsung lemas mendengar itu. Entah kenapa dia tidak berpikir hingga sejauh itu. Dia pikir pernikahan ini hanya sebatas status, bukan dilakukan dengan serius. "Tapi, Nek. Aku masih mau tinggal di sini." "Jangan aneh-aneh kamu. Ayo, cepet ke kamar." Fasya mulai merengek, "Nggak mau, Nek. Aku masih mau rawat Kakek." "Jangan alesan, Kakek udah sehat. Ada Nenek juga di sini. Kamu jangan bikin jantung Kakek kumat lagi." Fasya mulai panik. Dia sungguh tidak mau pergi. Tinggal berdua bersama Adnan? Itu seperti mimpi buruk untuknya. Fasya tidak mau. Dia tidak bisa hidup berdua dengan pria kejam tanpa ekspresi seperti Adnan. "Kalau nggak ada barang yang kamu bawa, kita pergi sekarang. Saya agak buru-buru." Adnan melirik jam tangannya. Tangan Fasya terkepal. Pria itu tidak terkejut dengan hal ini. Sepertinya Adnan sudah tahu jika merera akan tinggal bersama. Lagi-lagi Fasya merutuk, kenapa Adnan tidak berusaha untuk menolak dengan segala cara? "Sebentar," ucap Fasya yang langsung berjalan menuju kamarnya. Matanya kembali memanas tapi Fasya mencoba untuk menahannya. Dia sudah lelah menangis. Dengan kesal Fasya mulai memasukkan barang-barang yang sekiranya akan ia pakai. Mulai dari pakaian hingga perlengkapan kuliahnya. "Demi apapun, gue punya dosa apa sampe hidup gue kayak gini?" gumam Fasya memasukkan buku-bukunya dengan kesal. Dia tahu jika pernikahan terjadi juga atas izin darinya. Fasya sudah setuju untuk melakukan pernikahan. Namun entah kenapa dia tidak mau menjalankan kehidupan pernikahan yang sebenarnya. Dia benci karena Adnan yang terkesan diam tanpa melakukan apapun ataupun menolak. Apa hanya dirinya sendiri yang berjuang untuk mencari jalan keluar di sini? "Bisa agak cepet? Saya sudah ada janji." Gerakan tangan Fasya terhenti saat melihat Adnan sudah berada di pintu kamarnya. Matanya menyipit dengan tangan yang kembali terkepal. "Kamu nggak bakal selesai kalau nggak berhenti sumpahin saya dalam hati," ucap Adnan lagi. "Siapa yang nyumpahin Mas Adnan. Jangan geer!" Fasya kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam kotak. "Saya tau, telinga saya panas soalnya." Fasya kembali menatap Adnan tajam. Jika tidak bisa menahan diri, sudah sedari tadi dia ingin melempar buku setebal lima cm itu ke arah Adnan. "Lima menit, saya tunggu di mobil," ucap Adnan santai dan berlalu pergi. "Kalau mau cepet, bantuin kek! Dasar hantu!" *** TBCDi dalam mobil, Fasya tampak memainkan tangannya gelisah. Sesekali dia melirik Adnan yang tengah menyetir di sampingnya. Dia ingin bertanya tapi tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. Begitu banyak hal yang harus mereka bicarakan karena ini menyangkut masa depan hidupnya. "Jadi?" tanya Fasha pada akhirnya. Adnan hanya melirik sebentar sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapannya. "Untuk saat ini kita jalanin dulu sampai keadaan membaik," ucapnya. "Apa yang harus dijalanin?" tanya Fasya bingung. Adnan menghela napas kasar, "Pernikahan ini. Setidaknya di depan Kakek kita harus menjalankan peran suami-istri." "Kalau di belakang Kakek?" "Terserah kamu. Kita jalan sendiri-sendiri." Fasya tersenyum lega mendengar itu. Mungkin ucapan Adnan ada benarnya. Lebih baik mereka bersandiwara terlebih dahulu sampai keadaan kembali normal. Setelah itu mereka akan memikirkan kembali apa yang harus dilakukan untuk lepas dari pernikahan konyol ini. "Aku tinggal di rumah
Hari baru telah tiba. Dengan bersenandung, Fasya tampak memoles wajahnya di depan cermin. Polesan make-up yang tidak terlalu tebal melekat sempurna di wajahnya. Fasya terlihat cantik dengan riasan yang cocok di wajahnya. Setelah selesai, dia mulai memasukkan beberapa barang yang sekiranya ia butuhkan ke dalam tas bahunya. Fasya mengambil laptop dan bergegas keluar dari kamar. Hari ini adalah hari pertamanya magang, oleh karena itu dia tidak boleh terlambat. "Selamat pagi, Mbak?" sapa Bibi Sari saat Fasya mulai memasuki area meja makan. "Pagi, Bik." Fasya tersenyum dan memilih untuk duduk di kursi paling ujung. Matanya sesekali melirik pada pria yang tengah sarapan dengan tenang. Setelan kemeja yang rapi telah melekat di tubuh Adnan, menandakan jika pria itu akan berangkat bekerja. "Mau sarapan roti atau nasi, Mbak?" tanya Bibi Sari. "Hm...," Fasya tampak berpikir, "Nasi aja, Bik." Fasya terkejut saat Bibi Sari mulai mengambilkan sarapan untuknya. Dengan cepat Fasya
Memasuki ruang pertemuan, mata Fasya langsung tertuju pada sekumpulan mahasiswa dengan almamater kebanggaan dari kampus mereka. Mereka semua duduk rapi dengan wajah yang serius, siap mendengarkan materi kunjungan hari ini. Seketika Fasya meringis. Apa dia pernah seserius ini saat kuliah? Sepertinya tidak. "Ini, kalian bagiin kertas ini ke mereka semua ya. Setelah itu duduk di belakang laptop," ucap Shanon memberi arahan. Fasya dan Dinar kompak mengangguk dan segera melaksanakan tugas mereka. Melihat Damar yang sudah berdiri di depan podium, sepertinya pria itu yang akan mengisi materi kunjungan hari ini. Setelah membagikan kertas yang Fasya yakini berisi materi pembahasan hari ini, dia mulai duduk di depan laptop untuk membantu Damar melakukan presentasi. Mendengar penjelasan Damar mengenai perusahaan, Fasya seperti ikut belajar banyak hal di sini. Ini masih hari pertamanya tapi dia sudah mendapatkan banyak informasi. Awalnya yang ia ketahui hanya tentang departemen tempat
Hari pertama Fasya magang berlangsung cukup padat. Mungkin ini karena dia belum terbiasa dengan kehidupan seorang pekerja. Selama ini Fasya dibuat terlena dengan kehidupan mahasiswa yang terkesan santai. Bahkan dia bisa mengerjakan tugasnya dengan rebahan. Berbeda saat dia magang, dia harus bekerja dengan fokus. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar dari ruang tengah. Sengaja Fasya memilih untuk makan malam di sana karena tidak terbiasa makan di meja makan. Apalagi meja makan di rumah Adnan berukuran cukup besar karena berisi sepuluh kursi. "Bibi nggak makan?" tanya Fasya pada Bibi Sari yang duduk di sampingnya sambil mengupas buah. Namun matanya fokus pada televisi yang menambilkan sinetron kesukaan para ibu-ibu. "Nanti aja, Mbak." "Nggak laper?" tanya Fasya lagi karena mulai jenuh. "Saya kalau makan biasanya malem sama suami Bibi nanti." Fasya mengangguk mengerti. Dia lupa jika Bibi Sari tinggal bersama suaminya di rumah ini. "Udah jam 7, bi
Suara ketukan pada pintu kamar membuat Fasya mengerang. Dia semakin mengeratkan selimutnya dan berusaha kembali tidur. Baru saja akan kembali terlelap, Fasya dikejutkan dengan ketukan pintu yang semakin keras. "Aduh, siapa sih?!" Fasya dengan cepat bangun dan mengacak rambutnya kesal. Fasya adalah manusia yang cukup peka terhadap suara. Sepelan apapun suara, itu bisa membangunkan tidurnya. Alarm yang telah dia atur di setiap paginya bahkan belum berbunyi. Oleh karena itu dia kesal dengan orang yang mengganggu tidurnya. Tidak ingin pintu kamarnya rusak karena ketukan yang semakin kencang, akhirnya Fasya memilih untuk bangun. Tanpa memperhatikan penampilannya dia langsung membuka pintu. Matanya yang setengah sadar langsung membulat saat melihat Adnan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu menatapnya datar seperti biasa. Namun hal itu semakin membuat Fasya panik karena sadar dengan penampilannya. "Sial!" umpat Fasya menutup tubuh bagian depannya dengan kedua tanga
Sebagai mahasiswa magang, tentu pekerjaan Fasya tidak seberat karyawan tetap. Namun baru beberapa hari menjalani magang entah kenapa dia sudah mulai merasakan lelahnya bekerja. Fasya memang senang saat di kantor, tetapi saat pulang dia mulai merasakan lelah pada tubuhnya. Apa ini yang dirasakan oleh para pekerja? Dia meringis saat mengingat kakeknya yang sudah tua tetapi masih bisa mengurus peternakan sapi di desa. Sepertinya Fasya harus mulai lebih menghargai uang sekarang. Setelah pulang magang, mandi adalah pilihan terbaik. Fasya keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah. Mungkin setelah ini dia akan sedikit bersantai sambil menunggu jam makan malam tiba. Baru saja ingin meluruskan kakinya di tempat tidur, Fasya mendengar suara ketukan pada pintunya. "Bibi?" sapa Fasya saat tau jika Bibi Sari yang mengetuk pintu kamarnya. "Maaf, Mbak. Ada tamu di bawah." Kening Fasya berkerut, "Tamu? Siapa, Bik?" "Katanya namanya Denis?" "Tamu Bapak?" Bibi Sari
Kehidupan rumah tangga Fasya dan Adnan sangatlah aneh. Saat ini mereka tengah duduk di meja makan di mana Adnan dan Fasya masing-masing duduk di ujung meja. Tidak ada percakapan apapun di antara mereka selain dentingan sendok dengan piring. Ini pertama kalinya Fasya melihat Adnan setelah pria itu kembali dari luar kota tadi siang. Sesekali Fasya melirik Adnan yang masih fokus makan. Dia melihat pria itu dengan pandangan menilai. Bahkan dia memiringkan kepalanya untuk berpikir. Yang ada di otak Fasya saat ini adalah Adnan mirip seperti robot. Tidak ada yang pria itu lakukan selain makan, berbeda dengan Fasya yang tidak bisa diam dan sesekali melirik ponselnya agar tidak jenuh. Ingatan Fasya kembali pada semalam, di mana Adnan menghubunginya dan berkata hal yang membuatnya bingung. Hingga saat ini Fasya masih penasaran kenapa Adnan melarangnya bertemu dengan Denis? Mereka adalah sepupu seharusnya Adnan tidak boleh seperti itu. Apa mungkin memamg Adnan yang menyebalkan di sini? F
Adnan mengetuk pintu apartemen di depannya dengan sabar. Selagi menunggu, dia mematikan ponselnya agar tidak ada seorang pun yang menghubunginya. Tubuh Adnan sangat lelah hari ini dan pertemuannya dengan Denis semakin menguras tenanganya. Pintu terbuka dan muncul seorang wanita cantik dengan senyuman lebarnya. "Aku pikir kamu nggak dateng." "Aku males di rumah," jawab Adnan. "Tumben?" Kinan mengerutkan dahinya dan membuka pintunya lebar untuk membiarkan Adnan masuk. Seperti sudah terbiasa, Adnan melepas jasnya dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ini bukan kali pertama dia datang karena Adnan memang sudah sering datang berkunjung. Tentu saja! Kinan adalah kekasihnya. "Capek ya?" tanya Kinan mengelus bahu Adnan. "Kamu masak?" Kinan mengerutkan dahinya dan menggeleng, "Kamu laper ya?" Tanpa menjawab Adnan mengangguk. Dia belum sempat makan di rumah karena ia langsung pergi begitu Kinan menghubunginya. Berada di rumah dan melihat Fasya membuatnya sedikit kes
Di tengah kerumunan banyak orang, Fasya berjinjit untuk membuat tubuh mungilnya menjadi lebih tinggi. Bahkan heels setinggi tujuh sentimeter yang ia kenakan tidak banyak membantu. Pandangannya mengedar untuk mencari seseorang. Tas yang ia bawa semakin menyulitkan langkah kakinya. "Permisi," ucap Fasya yang harus menerjang ribuan orang itu. Mau tidak mau Fasya berhenti di tengah kerumunan dan mulai mengambil ponselnya. Saat akan menghungi Adnan, Fasya melihat ponselnya lebih dulu berdering. Nama Adnan muncul membuatnya tersenyum lega. "Mas, di mana?" tanya Fasya cepat. "Di sebelah kanan kamu. Jalan pelan-pelan ke sini." Fasya mengalihkan pandangannya dengan mata menyipit. Dia kembali berjinjit dan melihat seseorang yang melambaikan tangannya. Senyum Fasya pun merekah. Dengan cepat dia mengangkat sedikit rok kebayanya dan berlari kecil ke arah Adnan, kembali menerjang ribuan manusia yang tengah berbahagia saat ini, sama seperti dirinya. "Mas Adnan!" Fasya langsung masuk ke
Tak terasa satu tahun telah berlalu. Seperti tahun sebelumnya, hari ini adalah hari yang istimewa. Tepat hari ini semua anggota keluarga Atmadja kembali berkumpul di puncak untuk merayakan hari spesial, yaitu hari ulang tahun Kakek Faris. Tak henti mereka mengucapkan rasa syukur akan kesehatan yang diberikan Tuhan untuk kakek. "Fasya, sini coba, Sayang." Tante Laras mendekat sambil menyuapi Fasya dengan potongan daging. "Udah enak belum?" Fasya mengangguk sambil mengunyah. "Enak, Tan." "Kamu juga, Mitha. Gimana rasanya?" Tante Laras juga menyuapi Mitha. Benar, hari ini Mitha dan Denis memang hadir di ulang tahun kakek. Awalnya mereka menolak karena rasa segan dan malu, tetapi karena paksaan akhirnya mereka mau datang ke Puncak Bogor. Setelah pernikahan Denis dan Mitha, entah kenapa semua seperti kembali ke awal. Di mana mereka menjadi keluarga yang semestinya. Masa lalu yang buruk seperti mulai terkubur. Sekarang Denis tahu kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya ia ingink
Dengan bersenandung pelan, Fasya mengendarai mobilnya memasuki gerbang kampus yang cukup ternama. Dia melambatkan laju mobilnya saat memasuki area kampus. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang membuat Fasya harus berhati-hati. Kesabaran dan ketekunannya selama ini membuahkan hasil. Akhirnya Fasya bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski belum terlalu lama. Namun dia sering menggunakan mobil akhir-akhir ini agar bisa membiasakan diri. Lagi pula Adnan lebih merasa aman saat ia menggunakan mobil. Fasya menekan klakson mobil saat sudah berada di depan sekumpulan anak muda seusianya. Dia membuka jendela dan melambaikan tangannya pada seseorang. Seseorang yang menatapnya dengan berbinar, seperti melihat bank berjalan. "Gue duluan, sepupu gue udah jemput." Niko meninggalkan teman-temannya dan langsung masuk ke dalam mobil. Sudah hampir seminggu ini Fasya rutin menjemput Niko di kampusnya. Dia tidak lupa akan janjinya jika sudah bisa mengendarai mobil, maka Niko adalah orang pertama
Suasana di dalam mobil itu begitu tegang. Jantung Fasya masih berdegup dengan kencang. Dia mencoba untuk mengatur napasnya agar lebih tenang. Berdua bersama Adnan di dalam mobil membuat akal sehatnya menghilang. Jika bukan suaminya, mungkin Fasya sudah menendang pantat Adnan menjauh sampai tak bisa dipandang. "Jangan tegang," gumam Adnan. Mendengar itu, Fasya mulai merilekskan tubuhnya. Meskipun sudah berusaha, tetapi tetap saja sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa ia tenang jika berada di dalam situasi yang menegangkan seperti ini? Jika bukan karena Adnan, mungkin ia tidak akan mau melakukannya. "Pelan-pelan," ucap Adnan lagi. Bukannya menenangkan, apa yang pria itu lakukan justru membuat Fasya semakin tidak nyaman. Jika ada lakban, dia akan membungkan mulut suaminya agar diam. "Di depan nanti ada pertigaan, jangan lupa kurangi kecepatan," peringat Adnan lagi. "Iya, diem dulu." Fasya semakin mengeratkan tangannya pada setir mobil. Matanya fokus pada jalanan di depann
Suasana kafe malam ini terlihat sangat ramai. Selain karena banyaknya anak muda, para pekerja pun juga ikut menikmati malam minggu untuk melepas penat. Di salah satu meja yang cukup besar, terlihat Fasya tengah tertawa dengan lepas. Bisa dibilang malam ini adalah malam reuni, di mana ia kembali berkumpul dengan para seniornya saat magang dulu setelah beberapa bulan berlalu. "Masa, sih?" tanya Dinar geli. Shanon mengangguk yakin, "Iya, Pak Bonbon kalau marah hidungnya kembang-kempis." "Wah, parah. Masa ngomongin atasan sendiri." "Tapi Pak Bonbon asik. Istrinya nggak pelit, suka bawain makanan ke kantor, tapi ya gitu kalau marah bukannya serem malah lucu." Hanum kembali tertawa. "Apalagi kalau udah ngomel, itu perutnya juga goyang kayak ikutan ngomel," celetuk Damar. Tawa mereka kembali pecah. Kebiasaan buruk yang menyenangkan adalah membicarakan orang lain. Apalagi topik kali ini adalah atasan baru mereka yang menggantikan Kinan. Di tengah candaan, Fasya merasakan ponse
Hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu oleh semua orang. Terutama untuk dua sejoli yang tengah bersenda gurau saat ini. Tidak peduli dengan matahari yang sudah muncul sedari tadi, pasangan kasmaran itu semakin menikmati momen bersama yang tidak bisa mereka nikmati setiap hari. Momen intim di balik selimut yang sering mereka sebut sebagai pertukaran energi. "Geli, Mas." Fasya terkekeh saat Adnan mencium lehernya gemas. "Kamu bau." Fasya menarik rambut Adnan menjauh dari lehernya dan mulai menyentuh wajah pria itu. Tatapan mata Fasya begitu sayu karena rasa lelah yang ia rasakan. Bukan karena Adnan menyiksanya, tetapi sebaliknya. Pria itu kembali membuat tubuhnya melayang pagi ini. Melelahkan tetapi juga menyenangkan. Mata Adnan terpejam menikmati sentuhan jari Fasya di wajahnya. Untuk pertama kalinya dia merasa sangat nyaman berada di dekat seorang wanita. Selama ini Adnan selalu bersikap mandiri dan dewasa, padahal jauh di dalam lubuk hatinya dia juga ingin dimanja. "Puk-pu
Jika ada perayaan untuk hari terburuk, mungkin keluarga Atmadja akan menobatkannya sebagai hari ini. Rahasia yang disembunyikan oleh Om Bayu benar-benar menggemparkan. Tidak akan ada alasan atau kebohongan lain lagi yang akan tercipta. Kini semua orang sudah mengetahui semua kebenarannya. Mereka sekarang juga tahu kenapa permusuhan Adnan dan Denis tak kunjung usai. Mereka tidak menyangka jika Adnan menanggung beban berat akan rahasia ini selama bertahun-tahun. Semua ia lakukan demi kesehatan kakek. Namun kini semuanya terbongkar karena ulah Denis dan ibunya sendiri yang serakah. Malu, itu yang dirasakan Denis dan ibunya. Namun jauh di dalam hati, Denis lebih malu lagi untuk berhadapan dengan Mitha. Dia sekarang sadar betapa menjijikkannya sikapnya selama ini. Dia dibutakan oleh kesenangan duniawi sampai lupa untuk mempertahankan kebahagiannya sendiri. Mungkin jika namanya dicoret oleh keluarga Atmadja, Denis tidak akan peduli. Dia lebih sakit hati jika kehilangan Mitha. Dia bena
Pagi hari telah datang. Celah jendela mulai dimasuki oleh cahaya yang begitu terang. Disertai dengan kicauan burung merdu yang membuat suasana hati menjadi tenang. Yang kemudian membangunkan seorang wanita yang mulai mengerang. Fasya, mantan gadis yang semalam telah resmi menjadi seorang wanita itu mulai membuka mata. Cahaya yang menyilaukan mata membuatnya menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Dia sudah kembali bersiap untuk melanjutkan tidurnya. Namun sesuatu mulai menyadarkannya. Mata Fasya terbuka lebar. Dia menurunkan selimut dan melihat keadaan kamar yang sepi. Fasya terduduk sambil memperhatikan keadaan sekitar dengan bibir terbuka. Setelah itu dia melihat keadaan dirinya sendiri. Semuanya sama, baik kamar dan penampilannya terlihat sangat kacau. Malam pertama. Fasya menutup wajahnya yang memanas saat mengingat kejadian semalam. Entah bagaimana bisa mereka berakhir untuk menyalurkan kehangatan bersama? Fasya tidak pernah menduga sebelumnya. Namun setelah terjadi, d
Puncak Bogor masih menjadi tempat pelarian Adnan dan Fasya. Mereka berdua sepakat untuk memutus komunikasi dengan keluarga untuk sementara. Bahkan Adnan memilih untuk mematikan ponselnya agar bisa lebih tenang saat berdua dengan Fasya. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk saling mendekatkan diri. Tak terasa malam telah tiba. Seperti janji Adnan, dia yang akan menyiapkan makan malam. Dengan bantuan Mbok Yem tentu saja. Jika bukan karena keinginan Fasya, tentu dia tidak mau berkutat di dapur. Bukan bermaksud pamrih, tetapi Adnan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi versi terbaik bagi Fasya. Selama ia bisa, maka Adnan akan berusaha melakukan apapun keinginan istrinya. Tanpa imbalan. Dengan Fasya yang memberikan kesempatan kedua saja sudah membuat hati Adnan melayang dan berbunga-bunga. Setelah makan malam, Fasya memilih untuk ke kamar lebih dulu. Setelah pintu tertutup rapat, dia menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Ini gila! Fasya merasa jantungn