Memasuki ruang pertemuan, mata Fasya langsung tertuju pada sekumpulan mahasiswa dengan almamater kebanggaan dari kampus mereka. Mereka semua duduk rapi dengan wajah yang serius, siap mendengarkan materi kunjungan hari ini. Seketika Fasya meringis. Apa dia pernah seserius ini saat kuliah? Sepertinya tidak.
"Ini, kalian bagiin kertas ini ke mereka semua ya. Setelah itu duduk di belakang laptop," ucap Shanon memberi arahan. Fasya dan Dinar kompak mengangguk dan segera melaksanakan tugas mereka. Melihat Damar yang sudah berdiri di depan podium, sepertinya pria itu yang akan mengisi materi kunjungan hari ini. Setelah membagikan kertas yang Fasya yakini berisi materi pembahasan hari ini, dia mulai duduk di depan laptop untuk membantu Damar melakukan presentasi. Mendengar penjelasan Damar mengenai perusahaan, Fasya seperti ikut belajar banyak hal di sini. Ini masih hari pertamanya tapi dia sudah mendapatkan banyak informasi. Awalnya yang ia ketahui hanya tentang departemen tempat ia magang, tapi ternyata sebuah perusahaan jauh lebih luas dari pada itu. "Mas Damar keren banget," bisik Dinar sambil menyandarkan kepalanya di bahu Fasya. "Untuk materi selanjutnya akan dijelaskan oleh Bapak Fatomi, perwakilan dari bagian produksi. Silakan, Pak." Setelah itu Damar turun dan mendekat. Dia duduk di samping Fasya sambil merapikan kemejanya. "Haus, Mas?" tanya Dinar. "Dikit." "Minum dulu." Dinar memberikan sebotol air mineral dengan tatapan yang masih terpesona. "Terima kasih." "Biasanya kunjungan itu berapa jam, Mas?" tanya Fasya. "Untuk penjelasan materi nggak lama, paling cuma setengah jam. Selebihnya mereka akan keliling pabrik nanti." Fasya dan Dinar kompak mengangguk. Mereka benar-benar seperti anak kecil yang baru mengetahui sesuatu. Banyak pertanyaan yang mereka tanyakan pada Damar dan Damar juga dengan sabar menjawabnya. "Nanti kalian ikut keliling pabrik temenin Mbak Hanum." "Pihak humas juga ikut, Mas?" "Iya dong, kan kita penjembatan antara pihak eksternal dan internal," jelas Damar lagi. "Siap, Bos!" Beberapa menit kemudian penjelasan materi telah selesai. Mereka semua bergegas keluar menuju bus milik perusahaan untuk berkeliling pabrik. Namun sebelum itu, Fasya memutuskan untuk ijin ke toilet terlebih dahulu. Dia tidak bisa menahannya lagi. Tubuhnya memang sangat sensitif dengan suhu ruangan yang cukup dingin. Ketika keluar dari kamar mandi, Fasya dikejutkan dengan bayangan seorang pria yang terlihat tidak asing. Pria itu memasuki toilet pria saat ia keluar dari toilet wanita. Meskipun terlihat samar tapi Fasya tetap dibuat terkejut. Apa penglihatannya salah? Tidak mungkin jika Fasya melihat pria itu. "Kok mirip Mas Adnan ya?" gumam Fasya panik. Dia sangat penasaran tapi dia tidak mungkin masuk ke toilet pria. Fasya masih waras untuk tidak mengikuti insting gilanya. "Asli, orang tadi mirip Mas Adnan," gumam Fasya lagi. Pada akhirnya Fasya memilih untuk menunggu di depan toilet. Dia berdiri dengan bersandar pada tembok. Bibirnya berdoa agar penglihatannya memang salah tadi. Mungkin karena terlalu benci sehingga bayang-bayang wajah pria itu menghantuinya. Fasya masih menunggu, ia hanya ingin memastikan jika tidak akan berhubungan dengan pria itu tempat ini. Cukup di rumah saja mereka bertemu, Fasya tidak ingin Adnan mengganggu ketenangan magangnya di kantor. Suara langkah sepatu yang terdengar mendekat membuat Fasya berdiri tegak. Dia menatap pintu masuk toilet pria dengan mata yang tajam. Bahkan tanpa sadar keningnya berkerut dalam karena rasa penasaran yang begitu dalam. Saat pintu terbuka, Fasya menghela napas lega melihat Damar yang keluar dari sana. "Loh, Sya. Masih di sini?" tanya Damar bingung. Fasya menghela napas lega. Ternyata apa yang ia lihat memang salah. Pria tak asing itu dalah Damar. Anggap saja seperti itu, Fasya terlalu malas untuk berpikir lebih dalam yang akan membuatnya terus berpikiran yang tidak-tidak. "Iya, Mas. Saya ke toilet dulu tadi. Mas Damar sendiri kok masih di sini? Nggak balik ke ruangan?" "Ada rapat sama Pak Dirut di ruangan sebelah. Ini saya lagi temenin Bu Kinan buat ikut rapat." Fasya mengangguk mengerti. Dia melirik jamnya sebentar dan bersiap untuk pergi. "Kalau gitu saya ke Mbak Hanum dulu ya, Mas." "Iya, nanti jangan lupa pake APD pas masuk pabrik!" ucap Damar agak keras saat Fasya sudah berlalu. "Kenapa teriak-teriak?" tanya seorang pria yang baru saja keluar dari toilet. Damar tersenyum canggung, "Enggak, Pak. Cuma ingetin anak magang tadi." Pria itu mengangguk mengerti dan melirik jam tangannya sebentar, "Kamu ikut rapat kan? Ayo, kita mulai rapatnya." "Baik, Pak," jawab Damar yang kemudian berjalan di belakang pria yang merupakan Direktur Utama perusahaan ini. *** Di dalam pabrik, tidak banyak hal yang Fasya lalukan. Dia hanya mengekor dengan pelan. Berbeda dengan Dinar, sahabatnya itu tampak bersemangat melihat isi pabrik. Kapan lagi dia bisa melihat dengan jelas seperti ini? Meskipun tidak semua bagian pabrik bisa dilihat oleh umum, tapi dia tetap bersyukur bisa mengetahui ini semua. Apa yang Dinar lakukan tidak membuat Fasya melakukan hal yang sama. Gadis itu masih berjalan sambil berpikir. Dia benci dengan sifatnya yang pemikir seperti ini. Meskipun sudah terbukti jika penglihatannya salah, tapi Fasya tetap memikirkan kejadian di toilet tadi. Dia berusaha untuk tenang tapi entah kenapa dadanya terasa sesak. Dia merasa jika ada sesuatu yang besar akan terjadi nanti. "Heh! Jangan ngelamun. Kecemplung adonan mesin baru tau rasa." Fasya menatap Dinar kesal. Dengan jahil tangannya mencubit bibir sahabatnya itu, "Mulut lo difilter lain kali." "Lagian lo ngelamun, mikirin apa sih?" Fasya menggeleng pelan. Tidak mungkin dia menceritakan apa yang ada diotaknya pada Dinar. Meskipun sahabat dekat, tapi hingga saat ini Dinar tidak tahu mengenai permasalahan keluarga yang ia hadapi. Ya, Dinar tidak tahu jika Fasya telah menikah dan menjadi seorang istri saat ini. Bukan bermaksud untuk menyembunyikannya, hanya saja Fasya berpikir jika semua ini hanyalah kepalsuan yang akan segera berakhir. Pernikahannya dengan Adnan tidak akan berlangsung lama dan akan berakhir jika keadaan sudah memungkinkan. Tidak ada yang istimewa dari mimpi buruk ini. "Kan, ngelamun lagi lo." "Udah, ayo ke Mbak Hanum." Fasya tersadar dan merangkul bahu Dinar untuk menghampiri Hanum, salah satu karyawan departemen humas yang mereka segani. "Gimana? Seneng nggak?" tanya Hanum. "Seneng, Mbak. Makasih ya udah diajak ikut keliling pabrik." "Makasih sama Bu Kinan. Beliau yang minta kita semua buat bener-bener ajarin kalian tentang departmen ini." Dinar tampak terharu, "Baik banget idola gue. Bapak gue pasti suka." "Tetep ya otak lu!" Fasya mendorong kepala Dinar. Fasya memutuskan untuk melupakan kejadian di toilet tadi. Dia juga sudah meyakinkan dirinya sendiri jika pria tak asing itu adalah Damar. Lagi pula pemikiran Fasya tidaklah masuk akal. Tidak mungkin jika Adnan bekerja di perusahaan ini. Seingat Fasya, pria itu bekerja di perusahaan milik keluarganya. "Kan ngelamun lagi!" Dinar menepuk kencang kepala Fasya. "Sakit bego!" "Mau lagi?" tanya Dinar polos. Fasya mendengkus dan memilih untuk berjalan lebih dahulu. Bahkan dia masuk ke dalam kerumumanan mahasiswa dan ikut mencatat ilmu baru yang ia dapatkan. Jika sedang seperti ini dia benar-benar menjadi seorang mahasiswa, yaitu sibuk dengan teori dan tugas. Lebih baik seperti ini. Fasya membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan isi kepalanya yang agak aneh akhir-akhir ini. *** TBCHari pertama Fasya magang berlangsung cukup padat. Mungkin ini karena dia belum terbiasa dengan kehidupan seorang pekerja. Selama ini Fasya dibuat terlena dengan kehidupan mahasiswa yang terkesan santai. Bahkan dia bisa mengerjakan tugasnya dengan rebahan. Berbeda saat dia magang, dia harus bekerja dengan fokus. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar dari ruang tengah. Sengaja Fasya memilih untuk makan malam di sana karena tidak terbiasa makan di meja makan. Apalagi meja makan di rumah Adnan berukuran cukup besar karena berisi sepuluh kursi. "Bibi nggak makan?" tanya Fasya pada Bibi Sari yang duduk di sampingnya sambil mengupas buah. Namun matanya fokus pada televisi yang menambilkan sinetron kesukaan para ibu-ibu. "Nanti aja, Mbak." "Nggak laper?" tanya Fasya lagi karena mulai jenuh. "Saya kalau makan biasanya malem sama suami Bibi nanti." Fasya mengangguk mengerti. Dia lupa jika Bibi Sari tinggal bersama suaminya di rumah ini. "Udah jam 7, bi
Suara ketukan pada pintu kamar membuat Fasya mengerang. Dia semakin mengeratkan selimutnya dan berusaha kembali tidur. Baru saja akan kembali terlelap, Fasya dikejutkan dengan ketukan pintu yang semakin keras. "Aduh, siapa sih?!" Fasya dengan cepat bangun dan mengacak rambutnya kesal. Fasya adalah manusia yang cukup peka terhadap suara. Sepelan apapun suara, itu bisa membangunkan tidurnya. Alarm yang telah dia atur di setiap paginya bahkan belum berbunyi. Oleh karena itu dia kesal dengan orang yang mengganggu tidurnya. Tidak ingin pintu kamarnya rusak karena ketukan yang semakin kencang, akhirnya Fasya memilih untuk bangun. Tanpa memperhatikan penampilannya dia langsung membuka pintu. Matanya yang setengah sadar langsung membulat saat melihat Adnan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu menatapnya datar seperti biasa. Namun hal itu semakin membuat Fasya panik karena sadar dengan penampilannya. "Sial!" umpat Fasya menutup tubuh bagian depannya dengan kedua tanga
Sebagai mahasiswa magang, tentu pekerjaan Fasya tidak seberat karyawan tetap. Namun baru beberapa hari menjalani magang entah kenapa dia sudah mulai merasakan lelahnya bekerja. Fasya memang senang saat di kantor, tetapi saat pulang dia mulai merasakan lelah pada tubuhnya. Apa ini yang dirasakan oleh para pekerja? Dia meringis saat mengingat kakeknya yang sudah tua tetapi masih bisa mengurus peternakan sapi di desa. Sepertinya Fasya harus mulai lebih menghargai uang sekarang. Setelah pulang magang, mandi adalah pilihan terbaik. Fasya keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah. Mungkin setelah ini dia akan sedikit bersantai sambil menunggu jam makan malam tiba. Baru saja ingin meluruskan kakinya di tempat tidur, Fasya mendengar suara ketukan pada pintunya. "Bibi?" sapa Fasya saat tau jika Bibi Sari yang mengetuk pintu kamarnya. "Maaf, Mbak. Ada tamu di bawah." Kening Fasya berkerut, "Tamu? Siapa, Bik?" "Katanya namanya Denis?" "Tamu Bapak?" Bibi Sari
Kehidupan rumah tangga Fasya dan Adnan sangatlah aneh. Saat ini mereka tengah duduk di meja makan di mana Adnan dan Fasya masing-masing duduk di ujung meja. Tidak ada percakapan apapun di antara mereka selain dentingan sendok dengan piring. Ini pertama kalinya Fasya melihat Adnan setelah pria itu kembali dari luar kota tadi siang. Sesekali Fasya melirik Adnan yang masih fokus makan. Dia melihat pria itu dengan pandangan menilai. Bahkan dia memiringkan kepalanya untuk berpikir. Yang ada di otak Fasya saat ini adalah Adnan mirip seperti robot. Tidak ada yang pria itu lakukan selain makan, berbeda dengan Fasya yang tidak bisa diam dan sesekali melirik ponselnya agar tidak jenuh. Ingatan Fasya kembali pada semalam, di mana Adnan menghubunginya dan berkata hal yang membuatnya bingung. Hingga saat ini Fasya masih penasaran kenapa Adnan melarangnya bertemu dengan Denis? Mereka adalah sepupu seharusnya Adnan tidak boleh seperti itu. Apa mungkin memamg Adnan yang menyebalkan di sini? F
Adnan mengetuk pintu apartemen di depannya dengan sabar. Selagi menunggu, dia mematikan ponselnya agar tidak ada seorang pun yang menghubunginya. Tubuh Adnan sangat lelah hari ini dan pertemuannya dengan Denis semakin menguras tenanganya. Pintu terbuka dan muncul seorang wanita cantik dengan senyuman lebarnya. "Aku pikir kamu nggak dateng." "Aku males di rumah," jawab Adnan. "Tumben?" Kinan mengerutkan dahinya dan membuka pintunya lebar untuk membiarkan Adnan masuk. Seperti sudah terbiasa, Adnan melepas jasnya dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ini bukan kali pertama dia datang karena Adnan memang sudah sering datang berkunjung. Tentu saja! Kinan adalah kekasihnya. "Capek ya?" tanya Kinan mengelus bahu Adnan. "Kamu masak?" Kinan mengerutkan dahinya dan menggeleng, "Kamu laper ya?" Tanpa menjawab Adnan mengangguk. Dia belum sempat makan di rumah karena ia langsung pergi begitu Kinan menghubunginya. Berada di rumah dan melihat Fasya membuatnya sedikit kes
Fasya diam mematung dengan melamun. Dia menatap pergerakan Adnan dengan wajah yang bodoh. Dia masih berusaha mencerna ucapan pria itu tadi. Tidur bersama? Dalam satu kamar? Tidak, itu tidak akan terjadi! "Mas," panggil Fasya lemah. Adnan sendiri masih tak acuh sambil melepas jam tangannya. Dia melirik Fasya sebentar tanpa berniat untuk menjawab panggilan gadis itu. "Mas!" Kali ini Fasya memanggil dengan keras. Dia baru saja tersadar dan mulai menggunakan emosinya. "Kurang keras. Sekalian biar Kakek denger," sahut Adnan santai. "Aku nggak mau satu kamar." Fasya mulai merengek sambil menghentakkan kakinya. Adnan menatap Fasya datar, "Kamu boleh balik ke kamar kamu kalau nggak mau, tapi kalau kakek saya tau dan penyakitnya kambuh. Kamu orang pertama yang saya salahin." Setelah mengucapkan itu Adnan beranjak menuju ke kamar mandi. "Kenapa jadi aku yang salah? Ini semua salah Mas Adnan! Kenapa tiba-tiba ngilang dan pulang malem?!" Fasya berucap dengan suara tertahan.
Berlari lima kali putaran di taman komplek perumahan sudah cukup bagi Adnan. Dari jauh dia bisa melihat kakeknya yang tengah duduk di kursi taman sambil bermain dengan anak-anak komplek. Adnan tersenyum tipis melihat itu. Perasaannya menjadi tenang saat kakeknya sudah lebih sehat dan bisa tersenyum lepas. Udara pagi yang segar memang efektif untuk membuat pikiran menjadi tenang. "Ayo, pulang, Kek," ajak Adnan setelah sampai di depan kakeknya. Pria tua itu melirik jam tangannya sebentar dan mengangguk, "Ayo, kalau Fasya bangun pasti dia cariin kamu yang ilang." Di belakang kakeknya, Adnan memutar matanya jengah. Jika pria di hadapannya itu bukan pria yang ia sayangi tentu Adnan akan berbicara dengan tajam. Sayangnya ia tidak bisa melakukannya. Bahkan Adnan merelakan kebahagiaannya demi menikah dengan gadis asing yang jauh dari kriterianya. Perjalanan ke rumah tidak terlalu lama, hanya membutuhkan waktu tujuh menit dengan berjalan kaki. Sesekali Kakek Faris menyapa dan ters
Fasya menatap beberapa kantong belanjaan di tangannya dengan perasaan senang. Lupakan fakta jika dia pernah berjanji untuk menghargai uang. Dia akan menghargai uang, tetapi tidak untuk saat ini. Fasya sedang terlena dan membeli barang yang sudah ia inginkan sejak dulu. Tidak, Fasya bukan termasuk orang yang kurang mampu. Kakeknya selalu mencukupi kebutuhannya. Hanya saja, Fasya lebih sadar diri sehingga tidak mau merepotkan kakek dan neneknya. Dia tidak mau kakek dan neneknya bekerja lebih keras hanya untuk memenuhi keinginannya. Sebenarnya Fasya cukup bijak, tetapi jika berhadapan dengan Adnan adalah pengecualian. Pria itu tidak memberikan uangnya dengan cuma-cuma. Adnan sudah menjual namanya di depan Kakek Faris dan tentu Fasya harus mendapatkan keuntungan dan memanfaatkannya. "Java Chip Frappucino satu ya, Kak. Yang grande." Setelah berkeliling memanjakan dirinya akhirnya Fasya memilih untuk beristirahat dan membeli minuman. Dia sudah lelah berjalan ke sana-ke mari tet
Di tengah kerumunan banyak orang, Fasya berjinjit untuk membuat tubuh mungilnya menjadi lebih tinggi. Bahkan heels setinggi tujuh sentimeter yang ia kenakan tidak banyak membantu. Pandangannya mengedar untuk mencari seseorang. Tas yang ia bawa semakin menyulitkan langkah kakinya. "Permisi," ucap Fasya yang harus menerjang ribuan orang itu. Mau tidak mau Fasya berhenti di tengah kerumunan dan mulai mengambil ponselnya. Saat akan menghungi Adnan, Fasya melihat ponselnya lebih dulu berdering. Nama Adnan muncul membuatnya tersenyum lega. "Mas, di mana?" tanya Fasya cepat. "Di sebelah kanan kamu. Jalan pelan-pelan ke sini." Fasya mengalihkan pandangannya dengan mata menyipit. Dia kembali berjinjit dan melihat seseorang yang melambaikan tangannya. Senyum Fasya pun merekah. Dengan cepat dia mengangkat sedikit rok kebayanya dan berlari kecil ke arah Adnan, kembali menerjang ribuan manusia yang tengah berbahagia saat ini, sama seperti dirinya. "Mas Adnan!" Fasya langsung masuk ke
Tak terasa satu tahun telah berlalu. Seperti tahun sebelumnya, hari ini adalah hari yang istimewa. Tepat hari ini semua anggota keluarga Atmadja kembali berkumpul di puncak untuk merayakan hari spesial, yaitu hari ulang tahun Kakek Faris. Tak henti mereka mengucapkan rasa syukur akan kesehatan yang diberikan Tuhan untuk kakek. "Fasya, sini coba, Sayang." Tante Laras mendekat sambil menyuapi Fasya dengan potongan daging. "Udah enak belum?" Fasya mengangguk sambil mengunyah. "Enak, Tan." "Kamu juga, Mitha. Gimana rasanya?" Tante Laras juga menyuapi Mitha. Benar, hari ini Mitha dan Denis memang hadir di ulang tahun kakek. Awalnya mereka menolak karena rasa segan dan malu, tetapi karena paksaan akhirnya mereka mau datang ke Puncak Bogor. Setelah pernikahan Denis dan Mitha, entah kenapa semua seperti kembali ke awal. Di mana mereka menjadi keluarga yang semestinya. Masa lalu yang buruk seperti mulai terkubur. Sekarang Denis tahu kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya ia ingink
Dengan bersenandung pelan, Fasya mengendarai mobilnya memasuki gerbang kampus yang cukup ternama. Dia melambatkan laju mobilnya saat memasuki area kampus. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang membuat Fasya harus berhati-hati. Kesabaran dan ketekunannya selama ini membuahkan hasil. Akhirnya Fasya bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski belum terlalu lama. Namun dia sering menggunakan mobil akhir-akhir ini agar bisa membiasakan diri. Lagi pula Adnan lebih merasa aman saat ia menggunakan mobil. Fasya menekan klakson mobil saat sudah berada di depan sekumpulan anak muda seusianya. Dia membuka jendela dan melambaikan tangannya pada seseorang. Seseorang yang menatapnya dengan berbinar, seperti melihat bank berjalan. "Gue duluan, sepupu gue udah jemput." Niko meninggalkan teman-temannya dan langsung masuk ke dalam mobil. Sudah hampir seminggu ini Fasya rutin menjemput Niko di kampusnya. Dia tidak lupa akan janjinya jika sudah bisa mengendarai mobil, maka Niko adalah orang pertama
Suasana di dalam mobil itu begitu tegang. Jantung Fasya masih berdegup dengan kencang. Dia mencoba untuk mengatur napasnya agar lebih tenang. Berdua bersama Adnan di dalam mobil membuat akal sehatnya menghilang. Jika bukan suaminya, mungkin Fasya sudah menendang pantat Adnan menjauh sampai tak bisa dipandang. "Jangan tegang," gumam Adnan. Mendengar itu, Fasya mulai merilekskan tubuhnya. Meskipun sudah berusaha, tetapi tetap saja sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa ia tenang jika berada di dalam situasi yang menegangkan seperti ini? Jika bukan karena Adnan, mungkin ia tidak akan mau melakukannya. "Pelan-pelan," ucap Adnan lagi. Bukannya menenangkan, apa yang pria itu lakukan justru membuat Fasya semakin tidak nyaman. Jika ada lakban, dia akan membungkan mulut suaminya agar diam. "Di depan nanti ada pertigaan, jangan lupa kurangi kecepatan," peringat Adnan lagi. "Iya, diem dulu." Fasya semakin mengeratkan tangannya pada setir mobil. Matanya fokus pada jalanan di depann
Suasana kafe malam ini terlihat sangat ramai. Selain karena banyaknya anak muda, para pekerja pun juga ikut menikmati malam minggu untuk melepas penat. Di salah satu meja yang cukup besar, terlihat Fasya tengah tertawa dengan lepas. Bisa dibilang malam ini adalah malam reuni, di mana ia kembali berkumpul dengan para seniornya saat magang dulu setelah beberapa bulan berlalu. "Masa, sih?" tanya Dinar geli. Shanon mengangguk yakin, "Iya, Pak Bonbon kalau marah hidungnya kembang-kempis." "Wah, parah. Masa ngomongin atasan sendiri." "Tapi Pak Bonbon asik. Istrinya nggak pelit, suka bawain makanan ke kantor, tapi ya gitu kalau marah bukannya serem malah lucu." Hanum kembali tertawa. "Apalagi kalau udah ngomel, itu perutnya juga goyang kayak ikutan ngomel," celetuk Damar. Tawa mereka kembali pecah. Kebiasaan buruk yang menyenangkan adalah membicarakan orang lain. Apalagi topik kali ini adalah atasan baru mereka yang menggantikan Kinan. Di tengah candaan, Fasya merasakan ponse
Hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu oleh semua orang. Terutama untuk dua sejoli yang tengah bersenda gurau saat ini. Tidak peduli dengan matahari yang sudah muncul sedari tadi, pasangan kasmaran itu semakin menikmati momen bersama yang tidak bisa mereka nikmati setiap hari. Momen intim di balik selimut yang sering mereka sebut sebagai pertukaran energi. "Geli, Mas." Fasya terkekeh saat Adnan mencium lehernya gemas. "Kamu bau." Fasya menarik rambut Adnan menjauh dari lehernya dan mulai menyentuh wajah pria itu. Tatapan mata Fasya begitu sayu karena rasa lelah yang ia rasakan. Bukan karena Adnan menyiksanya, tetapi sebaliknya. Pria itu kembali membuat tubuhnya melayang pagi ini. Melelahkan tetapi juga menyenangkan. Mata Adnan terpejam menikmati sentuhan jari Fasya di wajahnya. Untuk pertama kalinya dia merasa sangat nyaman berada di dekat seorang wanita. Selama ini Adnan selalu bersikap mandiri dan dewasa, padahal jauh di dalam lubuk hatinya dia juga ingin dimanja. "Puk-pu
Jika ada perayaan untuk hari terburuk, mungkin keluarga Atmadja akan menobatkannya sebagai hari ini. Rahasia yang disembunyikan oleh Om Bayu benar-benar menggemparkan. Tidak akan ada alasan atau kebohongan lain lagi yang akan tercipta. Kini semua orang sudah mengetahui semua kebenarannya. Mereka sekarang juga tahu kenapa permusuhan Adnan dan Denis tak kunjung usai. Mereka tidak menyangka jika Adnan menanggung beban berat akan rahasia ini selama bertahun-tahun. Semua ia lakukan demi kesehatan kakek. Namun kini semuanya terbongkar karena ulah Denis dan ibunya sendiri yang serakah. Malu, itu yang dirasakan Denis dan ibunya. Namun jauh di dalam hati, Denis lebih malu lagi untuk berhadapan dengan Mitha. Dia sekarang sadar betapa menjijikkannya sikapnya selama ini. Dia dibutakan oleh kesenangan duniawi sampai lupa untuk mempertahankan kebahagiannya sendiri. Mungkin jika namanya dicoret oleh keluarga Atmadja, Denis tidak akan peduli. Dia lebih sakit hati jika kehilangan Mitha. Dia bena
Pagi hari telah datang. Celah jendela mulai dimasuki oleh cahaya yang begitu terang. Disertai dengan kicauan burung merdu yang membuat suasana hati menjadi tenang. Yang kemudian membangunkan seorang wanita yang mulai mengerang. Fasya, mantan gadis yang semalam telah resmi menjadi seorang wanita itu mulai membuka mata. Cahaya yang menyilaukan mata membuatnya menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Dia sudah kembali bersiap untuk melanjutkan tidurnya. Namun sesuatu mulai menyadarkannya. Mata Fasya terbuka lebar. Dia menurunkan selimut dan melihat keadaan kamar yang sepi. Fasya terduduk sambil memperhatikan keadaan sekitar dengan bibir terbuka. Setelah itu dia melihat keadaan dirinya sendiri. Semuanya sama, baik kamar dan penampilannya terlihat sangat kacau. Malam pertama. Fasya menutup wajahnya yang memanas saat mengingat kejadian semalam. Entah bagaimana bisa mereka berakhir untuk menyalurkan kehangatan bersama? Fasya tidak pernah menduga sebelumnya. Namun setelah terjadi, d
Puncak Bogor masih menjadi tempat pelarian Adnan dan Fasya. Mereka berdua sepakat untuk memutus komunikasi dengan keluarga untuk sementara. Bahkan Adnan memilih untuk mematikan ponselnya agar bisa lebih tenang saat berdua dengan Fasya. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk saling mendekatkan diri. Tak terasa malam telah tiba. Seperti janji Adnan, dia yang akan menyiapkan makan malam. Dengan bantuan Mbok Yem tentu saja. Jika bukan karena keinginan Fasya, tentu dia tidak mau berkutat di dapur. Bukan bermaksud pamrih, tetapi Adnan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi versi terbaik bagi Fasya. Selama ia bisa, maka Adnan akan berusaha melakukan apapun keinginan istrinya. Tanpa imbalan. Dengan Fasya yang memberikan kesempatan kedua saja sudah membuat hati Adnan melayang dan berbunga-bunga. Setelah makan malam, Fasya memilih untuk ke kamar lebih dulu. Setelah pintu tertutup rapat, dia menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Ini gila! Fasya merasa jantungn