Dinda menatap langit yang dipenuhi bintang dengan tatapan resah. Duduk di balai-balai yang berada di halaman Pak Kades dalam suasana malam yang indah itu bersama Dr.Andra harusnya membuat hatinya senang."Maafkan saya, Dok," ucapnya dengan rasa bersalah. "Maaf kenapa?" Laki-laki di sampingnya mengerutkan kening. "Karena saya lukisnya lama, jadi kita mesti nginap di sini." Andra tersenyum. Lalu ikut menatap bintang di langit malam desa Sejuk Beramai. "Justru aku senang, kita bisa menginap di sini," ujarnya."Ibu-ibu tadi juga kasihan, udah capek masak tapi tamunya nggak jadi datang," imbuh gadis itu. Kakinya yang menggantung, ia goyangkan dengan raut manyun. "Besok pagi kita sarapan di rumah mereka.""Mereka? Maksudnya di rumah semua ibu-ibu yang ngundang makan, gitu?"Andra tertawa pelan, terdengar renyah dan hangat. "Ya. Kita makan sedikit-sedikit saja. Lebihnya kita minta dibungkus, jadi banyak bekal makanan kita sampai ke Rumah Pinus," guraunya. Dinda ikut tertawa mendeng
"Semanggi Mobil?" gumam Lina dengan kening mengernyit. Ia tahu itu nama Showroom mobil terbesar di kota Bukit. Tapi tidak mungkin pemiliknya adalah pemuda di hadapannya ini, bukan? Maksum mengambil kartu itu dari tangan istrinya. Raut wajahnya pun langsung berubah."Showroom mobil ini punya kamu?" tanyanya tak percaya. "Iya, warisan orang tua saya. Saya hanya mengelola dan hasilnya saya rasa cukup untuk membiayai Fathimah," jawab Alex apa adanya. Linda dan Maksum saling pandang. Sementara Fathimah masih tampak bengong, tak percaya jika Alex akan melamarnya. "Ya, sudah kalau begitu. Kamu pulang dulu sekarang. Kami akan selidiki dulu kebenarannya dan Fathimah juga harus mempertimbangkan dulu lamaran kamu," ujar Linda kemudian. Alex menatap Fathimah sejenak. Gadis itu pasti syok mendengar lamarannya. Ia akan menjelaskan besok, bahwa lamaran ini hanya sandiwara sementara, sampai Fathimah menemukan pilihan hatinya sendiri. *Subuh menjelang. Dinda membuka matanya dan menyadari Dr.An
Bab 47"Silahkan dimakan," tawar putri Bu Tati yang ternyata bernama Kinara itu. Perempuan itu tampak lebih banyak memperhatikan Dr.Andra dibandingkan suaminya sendiri. Namun Dinda sama sekali tak terbawa perasaan lagi. Suasana sarapan itu juga menjadi lebih hangat karena ternyata suaminya Kinara yang bernama Gunawan, tahu banyak tentang dunia lukis dan bercerita banyak tentang lukisan-lukisan ternama. "Kemarin Ibu yang bilang ada perempuan dari kota yang sedang melukis di sungai lembah. Jadi Dinda datang kemari karena tugas melukis dari kampus?" tanya Gunawan. "Ya, kami datang untuk mencari ide yang bagus," pungkas Andra. Gunawan manggut-manggut. Tapi tatapannya kemudian tetap pada Dinda. "Kalo kamu mau, setelah kuliah nanti kamu bisa bekerja di perusahaanku. Aku sangat butuh seorang pelukis berbakat," tawarnya."Tidak perlu. Dinda bercita-cita menjadi pelukis hebat yang bebas berkarya dan tidak bekerja dibawah aturan orang lain," pungkas Andra lagi. Dinda meneguk salivanya. S
Bab 48Menaiki bukit yang menuju Rumah Pinus, Dinda masih merasa malu dengan kejadian di rumah Bu Tati tadi. Padahal Bu Kades maupun Bu Tati sendiri sangat respek dan mengaguminya. "Sudah, jangan dipikirkan lagi. Tadi itu kamu hebat sekali," Andra meraih jemari gadis itu dan menggenggamnya. Dinda menoleh, lalu menunduk kembali dengan jantung yang berdebar. Genggaman itu, walau mulai sering ia rasakan, namun tetap masih mendebarkan. Andra terus menggenggam tangannya saat menaiki bukit, dan kadang membantunya saat jalannya menanjak. Hingga akhirnya mereka tiba di hadapan sebuah kastil kecil. Ini ke-dua kalinya Dinda melihat bangunan yang dinamakan oleh sang dokter Rumah Pinus itu. Namun ia kembali merasakan takjub. Serasa masuk kembali ke dunia dongeng. "Saya belum sempat nanya, Dokter suka dongeng, ya?" tanyanya sambil menatap gemas rumpun bunga berwarna-warni yang nyaris lebih banyak bunga dibanding dan daunnya. Andra tersenyum mendengarnya. "Ya. Karena hanya di dalam dongen
Bab 49Siska melihat itu. Melihat tatapan penuh hasrat yang ditujukan Andra pada Dinda. Ia tahu seperti apa laki-laki yang sedang berhasrat, karena pekerjaannya yang berkecimpung dalam hasrat para lelaki. Hatinya sakit. Ia marah. Siska benar-benar tak rela Janson-nya berhasrat pada wanita lain. Apalagi selama ini ia tahu Andra tak pernah bisa berhasrat pada wanita karena trauma dan bencinya terhadap wanita. Tapi kenapa Andra bisa berhasrat pada perempuan kampungan itu?!"Janson!" teriaknya keras. Membuat Andra menoleh. Dan laki-laki itu langsung mengusap wajahnya sambil membuang napas kasar. "Aku marah padamu!" pekik Siska lagi. Matanya memerah."Kalau begitu, pergilah dari sini. Kau telah membuat istriku menangis," jawab Andra. Siska benar-benar kehilangan kata. Hatinya benar-benar sakit. Dengan kemarahan yang meledak, ia meluapkannya pada barang-barang yang ada di sekitarnya. Ia mengamuk. Melemparkan semua benda ke mana saja. Andra langsung berdiri membentengi Dinda, agar le
Reza memajukan tubuhnya dan menatap serius. "Memangnya ada apa di kamar ke-tiga itu?"Siska tak langsung menjawab. Ia kembali tersedu hingga pundaknya berguncang. Andra menunggunya dengan tatapan lurus. Tak sedikitpun teralihkan. "Aku tak ingin masuk ke kamar itu , sungguh. Aku hanya ingin dicintai." Siska malah kembali mengeluh.Reza menarik kembali tubuhnya dan bersandar pada sandaran kursi dengan tangan bersedekap. Ia sadar interogasi ini tak akan berjalan mulus. "Kenapa kau ingin dicintai oleh suami orang? Bukankah Dr.Andra itu sudah memiliki istri?" Siska langsung mengangkat wajahnya. Wajah cantik itu tampak begitu berantakan. "Siapa bilang?! Perempuan kampungan itu tak akan pernah menjadi istrinya. Aku tak akan membiarkan Janson-ku direbut perempuan itu!" ketusnya marah. Reza menghela napas panjang. "Ya, sudah. Kalau kau ingin dicintai, perbaiki dirimu dulu. Jangan memandang orang lain lebih rendah darimu. Dan jangan lagi meminum minuman yang diharamkan Allah. Di dunia ini
Pulang dari Rumah Pinus di sore hari, Andra dan Dinda sama-sama tersipu sambil menahan senyum.Setelah kejadian di sofa tadi, keduanya sama-sama salah tingkah. Hingga akhirnya sepakat untuk kembali ke kota Bukit di sore hari karena Andra harus bekerja Senin esok. "Jadi, kapan kita harus mulai kencannya?" tanya Andra sambil melirik sedikit."Kapan saja Dokter punya waktu," jawab Dinda sambil pura-pura melihat keluar jendela. "Kencan itu biasanya ke bioskop, taman, ataupun cafe, kan? Kamu sukanya kemana?""Taman juga boleh," jawab gadis itu lagi.Andra mengangguk-angguk. Tring. Ponsel Dinda berdering. Gadis itu merogoh tas kecilnya dan mengambil benda pipih yang sedang bergetar di dalamnya."Reza," bacanya dalam hati begitu melihat nama yang tertera di layar ponselnya.Andra kembali melirik. Dinda tampak bimbang sejenak, namun kemudian menerima panggilan telepon itu. "Halo, assalamu
Driiing ....Ponsel Dinda kembali berdering. Reza kali ini menelepon. Dinda menatap ragu gambar telepon berwarna hijau di layar ponselnya. Lalu beralih pada pintu kamar yang tertutup. Dr.Andra mungkin tak akan mendengar suaranya dari luar sana. Tapi tentu akan menjadi dosa besar jika ia tetap mengangkat, sementara ia tahu sang dokter pasti tidak suka. Akhirnya Dinda memilih abai hingga layar kembali pada gambar wallpaper-nya. Namun beberapa detik berselang, ponselnya kembali berdering, dering singkat yang berarti sebuah pesan. Dinda membukanya dan membaca tanpa suara. "Ada yang penting, Din. Tidak akan lama."Gadis itu menghela napas. Haruskah ia menemui Reza? Ia yakin hal penting yang dimaksud Reza pasti benar-benar penting walau ia tak tahu tentang apa. Karena sejak kecil Reza bukan tipe orang yang bisa merepotkan orang lain untuk hal yang sepele. Dengan hati yang penuh dilema ia keluar untuk menyiapkan makan malam. Namun ternyata Andra telah berada di dapur dan sedang mengad
Extra partAndra berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertopi yang tak lain adalah IPDA Reza. "Apa yang bisa membuatku yakin, kau tak akan berubah karena trauma itu lagi?" Andra menghela napas. "Yang pertama, aku telah mengetahui apa alasan ibuku menggantung diri. Dan aku juga sudah menangkap orang yang menjadi penyebab ibuku melakukan hal itu. Yang kedua, aku memiliki seorang istri seperti Dinda, kau juga mengenalnya seperti apa, dia tak akan membiarkanku kembali ke masa lalu.""Baiklah kalau begitu. Aku akan melupakan sebuah flashdisk yang pernah aku temukan di rumahmu di bukit Pinus.""Flashdisk?" Andra mengernyit. Karena rasanya ia dan Dinda telah memusnahkan semua flashdisk-nya. "Ya," Reza tersenyum tipis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu kali akan jatuh juga."Andra terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Itu benar," sahutnya."Aku pergi dulu. Siang ini aku harus segera b
Soni dan Guntur serentak keluar dari pintunya masing-masing. Lalu berlari menuju pintu masuk. Menyusul Andra yang sudah berlari lebih dulu. Sementara Dinda yang terpaksa tak ikut langsung mengunci pintu mobil seperti perintah Andra sebelumnya. "Bahaya, kalau karyawan perempuan itu dilenyapkan juga karena cuma dia saksi matanya," deduksi Soni sambil berlari di samping Guntur. "Tidak, bagaimana kalau karyawan perempuan itu yang membawa air bercampur racun?"Brak!Andra mendobrak pintunya. Lalu berlari cepat ke arah dua orang karyawan yang berjongkok di samping tubuh Yani. "Jangan bergerak!" teriaknya. Kedua orang itu tersentak dan sama-sama menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu! Namun bedanya, yang perempuan langsung menunduk kembali. Andra tertegun. Ia mengenal wajah itu. *Flashback.Jamal menatap sosok berpakaian serba hitam yang datang untuk berterimakasih padanya kedalam penjara. "Kenapa kau ingin mengkambinghitamkan laki-laki yang kau cintai?" Sosok itu menghela nap
Hari sudah siang, semua karyawan PT sedang keluar untuk makan siang. Begitu juga dengan pekerja di gudang. Mereka baru saja keluar, saat mobil Andra dan timnya berhenti di tepi jalan. Andra membuka jendela mobilnya. Sekilas terdengar salah seorang pekerja di gudang itu membicarakan sesuatu dengan bibir tersenyum-senyum. "Pekerja baru itu cantik banget, ya? Udah gitu pekerja keras lagi. Barang sekarung besar itu diseret sendiri. Aku udah nawarin bantuan tapi doi menolak secara halus.""Iya, gue juga udah ngajak makan. Katanya mau nyelesain kerjaan dulu. Bakal betah gue kerja kalo ada temen kerja kayak gitu," timpal temannya. Sementara itu, Martin dan lima anak buah kepercayaannya langsung mengepung di sekeliling gudang.Sedangkan Andra, Dinda, Soni, dan Guntur tidak langsung keluar dari mobil karena Soni harus meretas kamera CCTV gudang untuk melihat keadaan di dalam."Tidak akan lama," Soni langsung fokus.Kamera berhasil di retas setelah beberapa saat. Tampaklah penampakan isi gud
Tring. Semua yang terdiam tampak tersentak kaget mendengar dering ponsel Andra. "Paman Amir," ujarnya pada Dinda. Lalu mengangkat telepon itu."Ya, halo," jawabnya. "Halo, Nak Andra! Istriku menghilang!" panik Amir di seberang. "Apa?!" Mata Andra melebar. Yani, yang menjadi umpan jebakannya menghilang? "Paman yakin dia tidak pergi ke suatu tempat?" "Entahlah, tapi sepertinya istriku benar-benar takut akan dituntut. Jadi kurasa tak mungkin dia berani mengacaukan rencana.""Baiklah, kalau begitu. Aku akan mencarinya!" Andra mematikan teleponnya dan menatap semua orang di dekatnya. "Kita salah sasaran!" serunya. "Bibi Yani kenapa?" tanya Dinda yang tak tahu mengenai rencana yang disusun Andra. "Dia menjadi umpan untuk menangkap pembunuh itu. Dan sekarang dia menghilang."Dinda tercenung. Hatinya resah. Bagaimanapun, Yani tetap keluarga dekatnya. "Dinda akan bantu mencari.""Tidak, ini bahaya Dinda. Makanya aku tidak memberitahu mu sejak awal.""Dinda akan berhati-hati dan terus
"Soni, Guntur! Kalian yang berada lebih dekat langsung beralih ke rumah Dinas. Dugaan kita meleset. Target malah di rumah Dinas dan istriku dalam bahaya!" teriak Andra sambil berlari. Tiba di luar, tampak Martin telah menunggu dengan motornya. Andra langsung berlari menyongsong orang kepercayaannya itu. "Cepat, Martin!" "Baik, Dok!" angguk Martin yang kemudian menarik gas motornya sekencang mungkin. *Dinda berdiri membeku melihat laki-laki berwajah pucat itu berjalan menghampirinya. Ia berhenti berlari karena teringat pada Bingo yang tertinggal di kamar. Laki-laki bernama Faisal itu menggendong Bingo dan kemudian berhenti 3 langkah di hadapan Dinda. "Lepasin Bingo!" Dinda memberanikan diri untuk membentak. Faisal tak menanggapi. Tangannya yang sebelah lagi merogoh saku belakang celana, membuat Dinda was-was menerka apa yang diambil laki-laki itu. Bagaimana kalau senjata tajam? Namun ternyata yang diambilnya adalah sebuah buku catatan dan pulpen. Orang itu kemudian menurunkan
Bab 107Tiba-tiba, Amir muncul dan menghadang jalan Andra. Laki-laki paruh baya itu kemudian berlutut dengan wajah memelas, membuat orang-orang di sekitar langsung memperhatikan. "Nak Andra, tolong kasihanilah kami, jangan tuntut kami. Nak Andra boleh mengambil toko baru itu, Kami akan menyerahkan sertifikatnya juga."Andra menghela napas. "Aku hanya ingin toko buku milik istriku kembali seperti semula. Aku tidak butuh toko lain!" tegasnya. Amir melirik cemas, meski telah membantu bersandiwara seperti ini ternyata suami dari keponakannya itu tetap tak mau memberi keringanan. "Tapi itu tak mungkin bisa, Nak! Orang itu telah mendapatkan tokonya dengan harga murah, tidak mungkin mau mengembalikannya lagi."Andra menatap tak sabar. Bisa-bisanya Amir mengambil kesempatan untuk bernegosiasi dengannya di tengah sandiwara yang telah ia atur. Ia hanya ingin Amir mengatakan bahwa Yani hendak bunuh diri, untuk memancing si pembunuh. "Kalian bisa membelinya kembali dengan harga yang lebih
"Kalau dalam kasus pembunuhan itu si pelaku sengaja mencari orang-orang yang hendak bunuh diri, kita bisa menjebaknya dengan memberi umpan seseorang yang akan berpura-pura bunuh diri. Dan lebih baik, orang itu memiliki hubungan dengan Anda atau istri Anda, Pak Andra," usul Guntur, sang detektif swasta.Andra mengangguk-angguk. "Aku tau siapa yang bisa berperan menjadi umpan," sahutnya. *Andra berdiri di hadapan sebuah ruko dengan tangan di dalam saku celananya. Bibirnya tersenyum menatap teras toko dimana ia dan seorang gadis baik hati bertemu. Kala itu ia hanya menganggap gadis berwajah ayu itu sebagai kelinci percobaan.Namun siapa sangka, kelinci percobaannya malah menjadi kelinci manis yang ia cintai. Bahkan berhasil mengubah jati dirinya.Klik. Pintu kaca toko terbuka. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Amir muncul dari dalam dan tampak tersentak kaget melihat Andra yang berdiri di depan tokonya. "N-nak Andra?" sebutnya terbata. "Ya. Ini saya."Amir buru-bur
"Apa kita pindah ke rumah dinas saja dulu? Sampai kasus ini selesai," tawar Andra. Ia melihat Dinda mulai tidak nyaman dan was-was setiap saat, setelah munculnya pemilik Bingo di rumah baru mereka itu.Meski enggan untuk meninggalkan rumah impiannya bersama Andra, namun Dinda merasa tawaran sang suami lebih tepat untuk saat ini. Rumah dinas berada di tengah kota, dan jarak rumah dengan tetangga juga tak jauh. Akhirnya, setelah berbenah mereka berangkat ke rumah dinas. Rumah dimana keduanya saling mengenal hingga saling mencintai dan bermadu kasih. Tiba di sana, bibir Dinda seketika tersenyum. Banyak kenangan manis yang telah terpatri di rumah itu."Kamu senang?" Andra ikut tersenyum dan merangkul pundak istrinya hangat.Dinda mengangguk, kemudian melangkah masuk bersama dalam rangkulan lelaki itu.Andra benar-benar memperhatikan dan memanjakannya. Laki-laki itu juga mengajaknya bersantai sore, membuatkannya teh dan menikmati senja di kursi taman seperti biasa. "Padahal harusnya Di
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter