Sepertinya Kenzo memiliki segudang stok sabar untuk menghadapi Jillian, buktinya ia mau pulang—atau menjemput Jillian di rumah ibunya.
Ibu yang dibencinya, ibu yang dianggapnya telah dengan tidak bertanggung jawab melahirkannya ke dunia tanpa seorang ayah, tanpa status pernikahan tanpa sesuatu yang seorang anak butuhkan, yaitu keluarga.Rumah yang sekarang Kenzo tuju adalah rumah masa kecilnya yang telah direnovasi berulang kali sehingga bisa terlihat nyaman seperti sekarang.Entahlah kapan Mommynya terakhir merenovasi rumah itu karena ketika ia sampai dan memarkirkan mobil di halaman depan rumah dengan dominasi bahan kayu—warna catnya telah berubah.Kenzo mendorong pintu mobil agar terbuka, ia menjejak kakinya ke tanah dengan malas.Jika bukan karena Jillian, tidak sudi ia menginjakkan kaki di rumah Mommynya lagi.Sekarang kakinya ia seret dengan“Jill, ayo kita pulang.” Kenzo berdiri di ambang pintu yang menghubungkan teras belakang dan bagian dalam rumah. Pria itu seperti anti menginjakkan kaki di rumah ini. Jillian yang sedang membantu Mommy meletakan piring kotor di bowl sink kemudian berbalik. Begitu pun Laura yang kedua tangannya dibungkus sarung tangan untuk mencuci piring. “Sebentar, Mom.” Jillian keluar dari pantri menghampiri Kenzo. “Om, abis makan Jill ngantuk … Jill mau tidur di sini.” Kenzo mengerutkan kening, sorot mata pria itu tampak sekali jika sedang menahan kesal. Remaja nakal yang sialnya adalah adalah istrinya itu tampak sengaja mengerjainya. Jillian memamerkan senyum sangat manis yang ia punya, menarik tangan Kenzo hingga pria itu sedikit membun
“Baby ….” Kenzo yang berbaring miring menghadap punggung Jillian mengangkat sedikit tubuhnya, mengusap lengan atas Jillian kemudian memberi kecupan singkat di pundak. “Tau ah!” Jillian berseru ketus sambil menggerakan pundaknya, seolah dengan begitu bekas kecupan Kenzo akan hilang. “Sorry … tadi lagi nanggung, enggak mungkin aku ke minimarket dulu beli kondom.” Setelah tadi mereka bercinta di bathub tanpa karet pengaman, Jillian menangis sambil memukul Kenzo. Kenzo membiarkan Jillian memukulnya tanpa perlawanan selama beberapa saat hingga puas dan Jillian yang memang sudah kelelahan lantas terduduk lagi di bathub, menangkup wajah dengan kedua tangan. Percis seperti drama-drama di sinetron. Nyeri di dada akibat hantaman kepalan tangan Jillian masih ia rasakan—jadi bingung harus bahagia atau menyesal set
“Kamu akan menjadi pemimpin Indo Corp yang hebat karena kamu melakukannya dengan sepenuh hati ….” Mutiara tersenyum setelah berkata demikian. Sorot matanya yang sayu menunjukkan betapa besar rasa sakit yang sedang ia derita kini. Genggaman tangannya di tangan Kenzo melemah dan sekarang Mutiara yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit itu mulai memejamkan mata. “Tiara,” gumam Kenzo memanggil nama kekasihnya. Pria itu bersedia duduk selama beberapa jam di sisi ranjang Mutiara setiap malam, menemaninya di rumah sakit. Hanya sebentar terlelap kemudian esok harinya kembali ke kantor melakukan perannya sebagai CEO yang ambisius. Satu tangan Kenzo mengusap kepala Mutiara dan satu tangannya yang lain selalu menggenggam erat tangan rapuh yang tidak tertancap selang infus. “Aku lelah, Ken …,” ujar Mutiara yang
“Jadi, Mommy sudah maafin Jill, kan?” Jillian menaik turunkan kedua alisnya berkali-kali menunjukkan wajah jenaka membuat Laura melepaskan kekehan singkat. “Iya, Mommy maafin kamu tapi baru setengah ….” Laura bersandar punggung seraya melipat tangan di dada, gerakannya begitu kalem dan elegan. Jillian jadi penasaran bagaimana rupa daddynya Kenzo, pria yang bisa meluluhkan hati wanita cantik nan anggun seperti Laura. “Kok setengah-setengah maafinnya?” Jillian tampak tidak terima karena ia merasa telah berjuang sepenuh jiwa dan raga untuk membuat Kenzo menginap di sini. Dan karena hal tersebut—ia dan Kenzo jadi harus bercinta tanpa pengaman. “Iya, soalnya nginepnya cuma sehari.” Dengan enteng Laura menjawab demikian. Jillian melorotkan bahu. “Disyukuri
Kenzo segera memutar badan, tidak sanggup menatap momen haru itu lebih lama lagi. Bukan karena hatinya berhasil diluluhkan Laura oleh satu set perhiasan untuk Jillian tapi karena Kenzo teringat Mutiara. Mutiara juga menyukai perhiasan mutiara, kekasihnya yang telah lebih dulu menghadap sang pencipta—memiliki banyak koleksi perhiasan mutiara—seperti namanya. Andaikan Mutiara masih hidup, mungkin dia yang sedang dipeluk Mommy sekarang ini. “Om Kenzo,” panggil Jillian membuat Kenzo refleks membalikan badan dan mengubah ekspresi wajahnya. “Bagus enggak?” Jillian sengaja bertanya setelah pelukannya dengan sang ibu mertua terurai. Kenzo hanya memberikan anggukan kepala tanpa suara. “Bilang makasih sama Mommy,” titah Jillian. Kenzo melirik ke arah Laura, untuk mempersingkat waktu akhir
“Mir … tolong temenin Jillian beli gaun untuk promnight.” Kenzo memberi perintah sambil menandatangani beberapa berkas di meja kerja sementara Amira berdiri di depannya. “Kamu mau menempatkan aku di posisi dulu lagi?” Kenzo mengangkat wajah bersama kerutan halus di antara alis. “Maksud kamu apa?” Kening Kenzo ikut mengerut dalam. Ia merasa semenjak kepulangannya dari Bali—Amira sering kali menyindirnya tidak jelas. “Dulu waktu kamu sama Tiara juga kaya gini nyuruh-nyuruh aku temenin dia dan setelahnya kamu minta aku temenin kamu tidur,” sindir Amira seraya membungkuk meraih berkas yang telah Kenzo tanda tangani. Rahang Kenzo mengeras, terpancing emosi oleh Amira yang menyinggung masa lalunya. Tidak ada bantahan dari Kenzo karena memang itu yang terjadi dulu ketika masa awal ke
“Om enggak usah anter, beneran … Jill sama driver aja ya, pleaseeee ….” Jillian menyatukan telapak tangan di depan dada sambil menunjukkan ekspresi memohon. Ia tidak bisa membiarkan Kenzo mengantarnya ke pesta promnight, khawatir ketiga sahabatnya curiga jika Kenzo menampakkan diri di pesta tersebut. Jillian sedang malas menjelaskan. “Hari sabtu dan minggu semua driver libur, nanti aku tunggu di mobil aja kalau kamu enggak mau teman-teman kamu melihat aku.” Kenzo tersenyum, bertolak belakang dengan kalimatnya barusan yang terdengar getir. “Bukan gitu ….” Jillian menggigit bibir bagian bawah, menatap Kenzo dari cermin di depannya. Wajah cantik itu tampak menyesal. Kenzo mendekat lalu berhenti di belakang Jillian. “Aku tunggu di mobil sampai acara selesai, ayo … nanti kamu terlamba
Jillian mencari tempat duduk untuk mengistirahatkan kakinya yang pegal. Jalan keluar pelataran parkir pasti macet karena acara telah selesai dan serempak semua siswa hendak meninggalkan hotel ini. Jillian mencari ponselnya dari dalam clutch dan mulai mengetik pesan untuk Kenzo. Jillian : Om, Jill sudah selesai. Nanti Jill tunggu depan loby tapi santai aja lah ya, pasti macet juga kan? Beberapa saat Jillian menunggu tapi tidak ada jawaban dari Kenzo. Jillian memasukan kembali ponselnya ke dalam clutch kemudian beranjak dari kursi. Tiba-tiba saja Jillian ingin buang air kecil, tadi memang ia banyak minum dan hanya sedikit menikmati hidangan yang disajikan di sana. Jillian harus menjaga berat badannya agar tetap proporsional. Langkah Jillian terhenti ketika beberapa meter lagi tib