Semakin lama Kenzo menatap pria yang katanya daddynya itu maka semakin besar rasa bencinya pada Augusta Maverick terlebih yang pria itu gandeng sekarang bukan mommynya.
Augusta Maverick merupakan pengusaha sukses yang terkenal setia kepada wanita yang telah dinikahinya selama tiga puluh delapan tahun.Dari wanita yang bernama Jeniffer itu, Augusta Maverick dikaruniai tiga orang anak laki-laki tampan yang kini memegang banyak cabang perusahaannya yang tersebar di penjuru Negri.“Kenapa berhenti?” Jillian bertanya kemudian matanya mengikuti arah pandang Kenzo yang berakhir pada sosok seorang pria paruh baya.“Itu daddy kamu bukan?” Jillian bertanya lagi karena tidak ada jawaban dari Kenzo.“Bukan,” jawab Kenzo tegas dengan rahangnya yang mengeras.Kenzo membawa Jillian melewati pintu yang dijaga seorang sekuriti dengan pakaian formDi dalam gedung itu nominasi demi nominasi dibacakan dan dimenangkan oleh berbagai pengusaha dan perusahaan dari seluruh penjuru dunia hingga nominasi yang terdapat nama Kenzo di dalamnya mulai ditayangkan di layar besar yang berada di atas panggung. Semua menoleh ke meja di mana keluarga Maverick berada ketika nama Kenzo Maverick disebut. Mereka yang mengenal keluarga Kenzo tentu tidak mengerti dan tidak mengenal siapa Kenzo Maverick karena setau mereka dari ketiga anak Augusta Maverick tidak ada yang bernama Kenzo. Sementara itu, Kenzo dan Jillian terlihat santai, apalagi Kenzo yang sudah siap untuk menerima penghargaan tersebut. “Kenzo Maverick!” Dan ketika MC memanggil nama Kenzo, kamera langsung tertuju pada meja di mana Kenzo dan Jillian duduk hanya berdua. Kenzo menarik pundak Jillian untuk memudahkannya mengecup pipi Jill
Semua Lampu langsung menyala ketika Kenzo dan Jillian memasuki kamar mereka. Tubuh Kenzo terasa lelah mungkin dampak dari menahan emosi karena harus mengendalikan dirinya sepanjang acara tadi. “Ini apa?” Jillian yang berdiri di depan meja rias bertanya seraya menunjuk sebuah kotak beludru berwarna biru. Raut muram yang tadi sempat tercetak di wajah Kenzo lantas memudar karena senyum pria itu terkembang. “Buka aja,” titah Kenzo seraya berjalan mendekati Jillian. Satu tangannya tengah membuka kancing di lengan kemeja setelah tadi meletakan dasi kupu-kupu dan menggantung jasnya di lemari. Jillian menurut, meraih kotak beludru tersebut. Benaknya menerka-nerka kemungkinan apa yang ada di sana. Ia membayangkan perhiasan karena kotak beludru berwarna biru itu seperti kotak perhiasan. D
“Jadi namanya, Max?” “Iya … anak pertama daddy bernama Keith dan yang ketiga Sean, Max anak kedua.” “Kamu kenal sama mereka?” Jillian bisa merasakan kepala Kenzo menggeleng karena rahang pria itu bergesekan dengan keningnya. “Kita hanya saling tau tapi belum pernah berkenalan dengan benar … beberapa kali aku bertemu mereka di Jakarta dalam suatu forum … atau ketika ada acara para pemimpin perusahaan di Canada dan Australia … tapi enggak pernah bertegur sapa.” “Sekarang … kamu masih marah sama mommy dan daddy?” Hening beberapa menit terbentang, Kenzo tidak mampu menjawab pertanyaan Jillian. “Harusnya sih enggak ya, soalnya kamu sekarang udah sukses tanpa bantuan daddy … kamu berhasil menunjukan kalau kamu itu berharga.” “Enggak semudah itu.” Kenzo bergumam dan Jillian masih
”Baby, bangun … ayo mandi … nanti kamu terlambat ospek.” Kenzo menarik tubuh Jillian yang berbaring membelakanginya, lalu ia masukan tangan ke bawah leher dan paha Jillian kemudian mengangkat Jillian yang tubuhnya masih dalam keadaan polos. “Males ah, aku enggak mau ospek!” Jillian mengeratkan lingkaran tangan di leher Kenzo ketika pria itu hendak menurunkannya di bathub yang telah terisi air. “Kamu harus ospek, biar tahu semua tentang kampus baru kamu.” Kenzo membungkuk lebih dalam untuk menenggelamkan tubuh Jillian ke bathub dan mau tidak mau Jillian terbenam di bathub yang telah berisi air sabun. “Jangan ngambek, donk sayang!” Kenzo mengapit dagu Jillian kemudian menariknya agar ia mudah memberikan kecupan di bibir sensual itu. Bibir Jillian mencebik lantas mendelik tajam sebagai bentuk protes. Jill
“Jill!” panggil Kenzo, menyusul Jillian yang berjalan cepat menuju parkiran. “Tau ah!” seru Jillian merajuk. “Tunggu,” pinta pria itu menambah kecepatan langkahnya. “Jill,” panggil Kenzo lagi yang akhirnya bisa meraih tangan Jillian. “Lepas! Nanti orang mikir yang enggak-enggak.” Kenzo tidak mengerti kenapa Jillian menjadi ketus seperti itu tapi tak ayal ia melepaskan tangan Jillian. Pria itu membuka pintu mobil di kabin depan untuk Jillian lalu memutar setengah bagian mobil dan duduk di belakang kemudi. Sore ini, Kenzo mengemudikan sendiri mobilnya pulang dari kantor. “Kamu kenapa sih?” Kenzo bertanya begitu santai dengan nada rendah saat mobil yang ia kendarai mulai melaju bergabung dengan banyak kendaraan di jalan raya. Jillian tidak menjawab, menol
Augusta Maverick menatap Laura dalam, wanita yang tengah tertidur pulas dalam pelukannya itu tidak bergerak barang sedikit pun, menempel dan mendesak, melingkarkan tangan di pinggangnya seakan enggan untuk berpisah. Ia tahu bahwa Laura juga merindukannya tapi wanita cantik ini terlalu santai untuk tidak merecoki hidupnya yang sibuk. Dibelainya pipi Laura dengan punggung tangan kemudian kecupan singkat Augusta Maverick berikan di kening wanita itu, wanita yang telah melahirkan anaknya, yang kini menjadi seorang pria hebat. Ingatan Augusta Maverick ditarik paksa pada kejadian tiga puluh dua tahun silam, saat itu ia mengunjungi sebuah night club di Bali untuk melepas penat setelah seharian disibukkan dengan meeting dalam proyek terbaru. Augusta Maverick bersama sekertarisnya duduk di salah satu meja, Jhon-sekertarisnya kala itu memesan minuman untuk mereka. Laura yang masih berusia enam belas tahun menjadi pelayan di sana, mes
Jillian : Aku ke toko buku sebentar beli alat tulis, terus pulangnya ke Caffe Callista. Jillian mengirim pesan singkat kepada Kenzo. Perlu diketahui jika tadi bagi Jillian merajuk karena di hari Sabtu yang cerah ini—Kenzo harus melakukan touringdengan seorang klien pecinta motor besar. Ingin memaksa ikut tapi tidak mungkin karena itu akan memberitau dunia jika ia adalah istri Kenzo. Tapi Jillian juga tidak ingin ditinggal, akhirnya Jillian bertingkah dengan melempar semua pakaian Kenzo yang tertata rapih di walk in closet keluar kamar—berdrama mengusir suaminya dan bujukan demi bujukan Kenzo baru berhasil didetik-detik terakhir waktu kumpul keberangkatan touring. Beruntung Dion yang saat itu ada bersama Amira di Penthouse Kenzo dan menyaksikan drama Jillian dengan Kenzo—memiliki ide cemerlang yaitu meminta heli standby di rooftop agar bisa mengantar Kenzo tepat waktu ke tempat acara. Sementara motor besar milik
“Waktu di Paris kemarin gue sama Kirana dan Izora ketemu Rangga lho, Jill.” Jillian yang sedang menyeruput green tea latte nyaris tersedak mendengar ucapan Callista. “Kok baru ngomong sekarang? Dia tahu gue pergi sama Kenzo?” “Eh … tuh ‘kan keceplosan.” Jillian membatin. “Maksudnya om Kenzo,” ralat Jillian lagi. “Iya lah, dia tanya ya gue jawab jujur … lo itu bukannya mau ketemu Rangga kenapa malah ketemu om Kenzo sih? Gue juga lupa tanya sama lo waktu di sana.” Jillian mengembuskan napas panjang, bersandar punggung lantas menatap sedotan yang sedang ia putar-putar di dalam gelas. Raut wajahnya drastis menyendu bukan karena Rangga berselingkuh dengan wanita lain tapi sakit hati karena orang yang ia percayai di dunia ini ternyata tidak sebaik kelihatannya. “Dia ngomong apa aja sama lo?” Bukannya menjawab pertanyaan Callista, Jillian malah ingin tahu apakah Rangga mengatakan yang sebenarny
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli