Sambil mengemudi dengan kecepatan tinggi karena jalanan di pagi hari ini masih lengang—Jillian menghubungi pengacara daddynya untuk mengabarkan berita terbaru tentang Kenzo.
“Calling Om Yudha.”Setelah berkata demikian, Jillian langsung tersambung dengan ponsel sang Pengacara.“Ya, Jill?” Yudha menyahut di nada dering ke tiga.“Om … Kenzo itu penipu, dia mau nipu aku … dia enggak mencintai aku, aku mau cerai sama Kenzo dan mau ambil alih perusahaan lagi!”“Woooow, ada apa ini Jill? Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?”Hening yang terjadi selama beberapa detik karena Jillian sedang menahan tangis.“Om tahu enggak kalau tante Amira itu mantan Kenzo dan dia juga sahabatnya putri pak Adam Askandar yang bernama Tiara? Om tahu enggak kalau Kenzo sengaja ngedektin Tiara untuk bisa menguasai perusahaan pak Adam Askandar?”“Jill … kamuJillian membekap mulutnya dengan tangan agar suara isak tangis tidak sampai terdengar ke luar bilik toilet kampus di mana ia berada, bersembunyi entah dari apa yang pasti saat ini ia merasa ketakutan. Bagi Jillian, Kenzo bukan lagi seorang Prince Charming melainkan monster yang menyeramkan karena ambisinya. Tapi jauh, sangat jauh di lubuk hati yang terdalam—Jillian masih mencintai Kenzo, sulit membenci pria itu. Berkali-kali Jillian memukul kepala agar otaknya berfungsi dengan benar karena kata cerai yang berulang kali ia ucapkan kepada Yudha hanya di mulut saja. Demi Tuhan, Jillian tidak tahu bagaimana nanti hidupnya bila tanpa Kenzo. Dan kenapa Jillian menjadi seemosional ini? Air matanya tidak berhenti mengalir semenjak tiba di kampus. Satu jam lamanya Jillian bersembunyi di toilet, ia baru keluar ketika kelas akan di mulai. Jilli
Kenzo langsung meminta drivernya membelokan kemudi menuju kampus Jillian padahal ia sedang dalam perjalanan menuju meeting penting. Wali kelas Jillian menghubungi Kenzo, memberitau jika Jillian pingsan dan dibawa ke klinik. Jika dulu Kenzo masih bisa mengesampingkan Jillian demi klien-kliennya yang akan menguntungkan perusahaan—sekarang tidak lagi. Pikirannya terfokus pada Jillian, masalah salah paham ini sesungguhnya mudah diselesaikan jika saja Jillian mau mendengar penjelasannya namun sayangnya Jillian tidak mau dan memilih mempercayai apa yang ia dengar dari Amira dan ia lihat di rumah Adam Askandar. Kenzo langsung menuju klinik begitu tiba di kampus Jillian. Langkah panjangnya tidak sabaran disertai raut khawatir yang tercetak di wajah pria itu, ditandai dengan kerutan di antara alis. Kenzo mendorong pintu klinik tanpa mengetuk. Netranya langsung
Kenzo berhasil menenangkan Jillian dengan mengatakan Jillian tidak boleh sesumbar ingin menggugurkan kandungan karena bisa jadi ada yang mendengar lalu melaporkannya ke polisi. Bujukan-bujukan Kenzo yang berjanji akan membicarakan ini di rumah berhasil memuat Jillian ikut pulang bersama Kenzo. Andaikan kondisinya tidak seperti ini, Kenzo ingin membawa Jillian ke klinik Obgyn agar Jillian melakukan USG untuk mengetahui bagaimana kondisi janinnya dan berapa minggu usianya? Apakah detak jantung calon anaknya kuat? Apakah anaknya sehat? “Gue akan menggugurkan bayi ini, gue enggak butuh ijin lo dan lo enggak bisa ngelarang karena bayi ini ada di perut gue,” tegas Jillian sungguh-sungguh yang terlihat dari pancaran matanya. Hening yang beberapa lama menjadi satu-satunya suasana dalam perjalanan pulang itu dipecahkan oleh kalimat kejam Jillian. Sang driver ya
“Pokoknya jangan sampai dia keluar kamar, usahakan di cek dulu posisinya sebelum masuk bawa makanan … kalau Jillian dekat pintu, minta Jillian menjauh atau datang lagi nanti.” “Tapi Pak, kasian Non Jill kalau dikurung seperti itu,” sahut bu Nenny hati-hati. “Saya juga kasian Bu, dia istri saya tapi kalau dia kabur … saya khawatir dia akan membunuh anak kami.” Kenzo tidak tersinggung ketika Bu Nenny mencampuri urusannya, dengan sabar ia memberitau bu Nenny alasan kenapa sampai mengurung Jillian meski sebelumnya sudah menceritakan bahwa ia dan Jillian sedang memiliki masalah yang berawal dari salah paham lalu Jillian dinyatakan hamil dan ingin menggugurkan kandungannya karena Jillian memaksa meminta bercerai. Bu Nenny mengembuskan napas panjang, ia tahu karakter Jillian memang keras dan pembangkang selain sangat manja. Jillian juga sering kali melakukan hal tidak terduga yang membah
“Makanlah Jill, setelah itu minum vitamin.” Kenzo melangkah pergi setelah memerintah demikian, terpaksa meninggalkan Jillian yang terisak di atas ranjang. Bukan ini yang ia harapkan dari pernikahannya dengan Jillian saat menghadapi hadirnya calon anak buah cinta mereka. Kenzo ingin menjadi suami siaga yang selalu ada di samping Jillian ketika mual muntah melanda. Kenzo bersedia menyuapi Jillian makan dan membuatkan susu ibu hamil. Ia juga yang akan memeluk Jillian setiap malam agar Jillian tenang dan nyaman. Kenzo ingin membentuk keluarga yang bahagia dan sempurna bersama Jillian yang tidak pernah ia dapatkan seumur tiga puluh satu tahun hidupnya. *** Sudah satu minggu lebih Kin tidak melihat Jillian bergentayangan di kampus semenjak Jillian pingsan dan dibawa ke klinik. Kin jadi khawatir terjadi sesuatu kepada Ji
“Ken … Ken … jangan tidur.” Amira yang panik menepuk-nepuk pipi Kenzo. “Dingin.” Kenzo bergumam lemah. “Permisi Bu, apa yang terjadi?” Dua orang sekuriti datang, bermaksud untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di Penthouse milik Kenzo setelah tadi melihat istri dari pemilik Penthouse ini berlari keluar gedung sambil berlumuran darah sementara saat mereka tiba di sini sang pemilik Penthouse tengah terkapar bersimbah darah. “Jillian, istrinya Kenzo … dia yang menusuk Kenzo, apa Bapak-Bapak tidak melihat Jillian keluar dari gedung ini?” Amira menjelaskan diakhiri sebuah tanya. “Lihat Bu, bu Jillian keluar dari gedung dengan pakaian berlumuran darah.” Salah seorang sekuriti menjawab. “Terus kenapa enggak ditangkap?” Amira mengesah, tangannya yang berlumuran darah mencoba menutup luka Kenzo agar darah tidak terus keluar. “Kami sudah berusaha mengejar t
Mata Jillian membulat ketika melihat dua orang anggota kepolisian berdiri di depannya ketika ia membuka pintu. Untuk apa lagi kedua polisi itu datang ke sini jika bukan untuk menangkapnya. Amira benar-benar memenuhi ucapannya yang akan melaporkan Jillian kepada yang berwajib. Jillian hendak menutup kembali benda berbahan kayu itu tapi dua orang polisi berhasil menahan. “Kin,” panggil Jillian meminta pertolongan tatkala kedua tangannya dicekal dua pria berbadan tegap yang menggunakan seragam coklat. “Sorry Jill, gue nggak bisa ambil risiko dengan nama baik keluarga gue … tapi gue janji akan bantu lo, gue akan carikan pengacara terbaik untuk lo.” Kin berujar dengan raut wajah penuh penyesalan. Jillian menggeleng, tatapan matanya sangat terluka dan kecewa. Ia pikir Kin bisa diandalkan. “Brengsek lo, Kin.” Jillian mengumpat dengan nada tinggi.
Laura langsung datang ke Jakarta begitu dikabari mengenai keadaan Kenzo oleh Amira. Dijemput sendiri oleh Amira dari Bandara dan langsung menuju rumah sakit di mana Kenzo di rawat. Pria itu masih belum siuman. Laura tidak berhenti meneteskan air mata melihat kondisi sang putra yang terbaring lemah dengan alat penunjang kehidupan di samping kiri dan kanan ranjangnya. Bunyi ‘bip’ dari salah satu mesin membuat jantung Laura terasa dihujat dengan ribuan pisau. Wanita yang masih berusia kepala empat itu sampai menyimpan satu telapak tangan di dada mencoba meredakan nyerinya. “Aku enggak tahu percis masalah apa yang terjadi di antara mereka sampai Jillian tega mencoba melakukan pembunuhan sama Kenzo,” cetus Amira sambil menatap kosong ke arah Kenzo dari kaca jendela di luar ruang ICU. Satu fitnahan Amira layangkan karena sebenarnya Jillian tidak pernah menco
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli