Nah loh Zara mau di hukum apa nih sama Kael??? Penasaran??? Coba komen dulu dong, terus baca bab selanjutnya ya :)
Begitu mereka sampai di rumah, Kael membuka pintu di sisi Zara, lalu tanpa banyak bicara, menarik tangannya dan menggiringnya masuk ke dalam rumah."Kaelâ""Diam," potong Kael singkat.Zara merasakan jantungnya semakin berdebar kencang. Pria ini serius, ya?Begitu mereka masuk ke dalam, pintu tertutup, dan Kael langsung berbalik menghadapnya. Tatapannya tajam, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang membuat Zara semakin bisa menebak apa yang ada di pikirannya."Duduk," perintah Kael.Zara menelan ludah, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. Matanya masih mengamati Kael yang melepas jam tangannya dengan gerakan santai, lalu melipat kedua lengannya di dada."Jadi, Nyonya Ashwara ingin dihukum seperti apa?" Kael mulai berbicara, nada suaranya rendah, tetapi terdengar penuh penekanan.Zara berdehem kecil, berusaha mencari celah untuk keluar dari situasi ini."Itu âkan cuma bercanda," jawab Zara dengan senyum manis.Kael mengangkat sebelah alis. "Sayangnya, aku nggak anggap itu berc
"Mulai hukumanmu," gumam Kael, jemarinya perlahan menyusuri lengan Zara, menciptakan jejak panas di kulitnya.Zara menahan napas, ekspresi datar Kael kini dipenuhi dengan niat yang jelas.Alih-alih menjauh, Zara justru menatapnya balik, seakan menantang. Jantungnya berdebar, tetapi bukan karena takut, melainkan sesuatu yang lebih mendebarkan dari itu.Zara tahu ini akan terjadi sejak dia mulai bermain api dengan Kael. Dan sekarang, dia harus siap menerima akibatnya.Kael menatapnya sejenak, menyadari bahwa kali ini Zara tidak mencoba menghindar. Bibirnya melengkung tipis."Masih mau menantang aku?" bisik Kael, nadanya rendah dan dalam.Zara tersenyum samar, lalu mengangkat tangannya, melingkarkan jemarinya ke belakang leher Kael.Kael menunduk, menelusuri sisi leher Zara dengan bibirnya. Gerakannya lambat, seperti menikmati setiap reaksi yang muncul darinya.Napas Zara memburu. Jemarinya meremas bahu Kael tanpa sadar. "Kael âŠ""Hm?" gumam pria itu, sementara tangannya mulai bergerak le
"Apa? Kita jadi lebih hemat waktu, âkan?" ujar Kael dengan nada polos yang jelas dibuat-buat.Zara mengerucutkan bibir, tatapannya penuh kecurigaan. "Hemat waktu dari mana? Nanti bukannya cepat malah tambah lama kalau kita mandi bareng."Kael mencondongkan tubuh sedikit, matanya berkilat jahil. "Tenang aja, aku nggak bakal macem-macem ⊠kecuali kalau kamu yang mulai duluan.""Kael!" pekik Zara, wajahnya langsung merona.Kael terkekeh, lalu bersandar santai di ambang pintu kamar mandi, sengaja tidak memberi jalan."Kamu mau ngobrol atau mau mandi?" tanya Kael, nada suaranya terdengar malas, seolah dia tidak sedang dalam situasi darurat.Zara mengatupkan rahangnya, menatapnya tajam sebelum akhirnya mendengus kesal. "Yaudah, aku aja yang mandi di kamar mandi lain."Kael tersenyum tipis, terlihat sangat puas dengan kemenangan kecilnya.Tanpa membuang waktu, Zara langsung keluar dari kamar dengan langkah cepat. Sementara itu, Kael menutup pintu kamar mandi dengan senyum kecil di wajahnya.-
âChef âŠâSemua karyawan yang ada di sana saling berpandangan, jelas bingung dengan sikap Kael yang terlalu peduli terhadap seseorang yang mereka anggap sebagai karyawan biasa.Rizal yang juga ada di sana, memperhatikan Kael dengan tatapan curiga.Namun, Kael tidak peduli. Dia hanya memastikan Zara aman dalam pelukannya, lalu bergegas menuju ambulans tanpa menoleh ke belakang.--Ambulans melaju kencang menuju rumah sakit. Di dalamnya, Kael terus menggenggam tangan Zara. Jari-jarinya mengusap punggung tangannya pelan, seolah mencoba mentransfer ketenangan melalui sentuhannya.Sesekali, Kael melirik ke arah monitor yang menampilkan detak jantung Zara. Meski stabil, wajahnya masih terlalu pucat untuk membuatnya tenang.âKenapa kamu bisa sekacau ini, hm?â gumam Kael lirih.Zara tidak menjawab, tentu saja. Matanya masih tertutup, napasnya masih pendek.Kael merasakan tenggorokannya mengering. Perasaan ini ⊠cemas, takut, marah pada dirinya sendiri karena tidak ada di sana saat Zara butuh ba
Maharani menghela napas panjang, lalu duduk di sebelahnya. Dia bisa merasakan betapa tegangnya tubuh Kael, betapa berat beban yang dipikul putranya."Kael, dengarkan Ibu. Kamu tidak bisa mengendalikan segalanya dengan sempurna. Kamu bukan Tuhan, Kael," ujar Maharani.Kael menunduk, jari-jarinya saling bertaut."Bu, aku harus bagaimana?" bisik Kael.Maharani mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Kael dengan erat."Sekarang, fokuskan segalanya untuk Zara dan bayi kalian. Pastikan Zara mendapatkan semua yang dia butuhkan. Kamu harus terus temani Zara," lanjut Maharani sambil memandang putranya yang terlihat sangat kacau.Kael mengangkat wajahnya perlahan, matanya masih menyiratkan ketakutan yang begitu nyata.Maharani tersenyum kecil, lalu mengusap bahu Kael. âKamu pasti kuat, Kael. Kamu dan Zara pasti bisa melewati semua ini.âKael menghela napas panjang, tetapi saat dia mencoba menjawab, suaranya tercekat di tenggorokan.Akhirnya, Kael tidak bisa menahannya lagi. Kepalanya jatuh di
Kael duduk di tepi ranjang, matanya tidak lepas dari Zara yang masih terlihat lemah. Tanpa berkata apa pun, dia meraih handuk hangat yang sudah disiapkan oleh perawat, lalu dengan hati-hati menyeka kening Zara.Zara mengerjap pelan, merasakan sentuhan hangat itu meresap ke kulitnya. Kelopak matanya terasa berat, tetapi dia bisa melihat bagaimana Kael begitu fokus, begitu telaten. Pemandangan yang janggal, tetapi juga menghangatkan."Aku bisa sendiri, Kael," gumam Zara, suaranya serak.Kael tetap melanjutkannya, menyeka lembut pelipisnya sebelum akhirnya menurunkan handuk."Aku tahu kamu bisa, tapi sekarang biar aku yang lakukan untuk kamu," kata Kael tenang, tetapi tegas.Zara tidak langsung menjawab. Bukan karena tidak ingin membantah, tetapi karena nada suara Kael terlalu serius.Jemari Kael menyentuh rambutnya, menyingkirkan helaian yang menutupi wajah Zara. Lalu tanpa ragu, dia merapikan piyama perempuan itu, mengancingkan bagian yang sedikit terbuka."Kamu yang bawa aku ke sini?"
âGala Mahendra.âNama itu terucap dengan nada tenang dan profesional, tetapi bagi Zara, efeknya justru sebaliknya.Jantung Zara berdebar tidak karuan. Pikirannya berputar liar, mencoba mencerna kenyataan bahwa pria yang berdiri di depannya, mengenakan jas dokter dengan clipboard di tangan, adalah seseorang dari masa lalunya."Saya adalah dokter yang ditunjuk langsung oleh keluarga Ashwara untuk menangani kehamilan Ibu Zara," lanjut Gala dengan senyum ramah.Keluarga Ashwara?Zara menegang. Kael sendiri masih diam di sampingnya, tatapan tajamnya terpaku pada pria itu. Rahangnya mengeras, jelas tidak menyukai fakta bahwa seseorang yang baru saja disebut âKak Galaâ oleh istrinya, berdiri di hadapannya sebagai dokter yang bertanggung jawab atas kehamilan Zara.Gala tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu dengan tatapan Kael. Sebaliknya, dia tetap bersikap profesional, melirik sekilas ke clipboard-nya sebelum kembali menatap Zara."Saya sudah membaca laporan medisnya," Gala berhenti sejenak
"Aku keluar dulu," jawab Kael singkat, nada suaranya datar, seperti biasa.Itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.Zara menegang. Perasaan tidak enak langsung menyelinap ke dadanya. Kael memang tidak suka berbasa-basi, tapi ... tidak bisakah dia menjelaskan sedikit saja?Tanpa sadar, Zara menggigit bibirnya sebelum akhirnya menghembuskan napas panjang."Jangan tinggalin aku sendiri," pinta Zara lirih.Zara berkata dengan nada yang dibuat selembut mungkin. Entah kenapa, ada ketakutan yang tiba-tiba muncul. Bukan karena dia takut ditinggal sendirian di kamar ini, tetapi lebih karena ... apa yang akan Kael lakukan di luar sana?Kael menatapnya sekilas, ekspresinya masih sama, dingin dan sulit ditebak.Zara mencoba berdiri, ingin mengejar, tetapi begitu kakinya menjejak lantai, kepalanya langsung berputar. Tubuhnya limbung, nyaris jatuh jika saja Kael tidak sigap menangkapnya."Bandel. Kamu tidur aja," bisik Kael di telinga Zara.Hembusan napasnya terasa di sisi wajah Zara, dan itu cu
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andinâwarna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.âZara, gue kira lo nggak akan datang,â ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
âZara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?â ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varenâdua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.âMa, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,â tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
âChef, tastenya sudah pas?â Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. âSudah,â jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoonâtempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
âApa kamu bilang?! Dokter Gala ⊠ayah dari Zelena?!â bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.âIya, Ma âŠâ Ceva menunduk, suaranya lirih. âGala ayahnya.âTubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. âKenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!âCeva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.âGawat. Aku ketahuan,â batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubahâkaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.âZara?â Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, âkan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
âKael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?â tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.âBelum, Kak,â ucap Zara pelan. âSempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.âZara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
âZara, ayo sarapannya dimakan,â suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasanâsemuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman ⊠walau tak benar-benar merasa diterima.âKalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,â ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.âMaksud kamu âŠ?â tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. âMama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.âKael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.âKamu setuju?â tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.âZara,â suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.âAku nggak mau, Mas ⊠Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?â lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarahây