“Apa?!” Zara hampir tidak percaya. “Tapi tadi saya sudah pastikan itu semua aman!” Rizal hanya mengangkat bahu, jelas dia tidak punya waktu untuk menjelaskan lebih jauh. “Kita harus segera menemui Chef Kael.” Dengan langkah terburu-buru, Zara mengikuti Rizal menuju ruang rapat. Begitu sampai, Kael sudah berdiri di sana bersama beberapa staf. Tatapannya dingin, tangannya bersilang di depan dada. Di atas meja, lukisan Zara yang seharusnya menjadi salah satu sorotan acara kini penuh dengan coretan besar yang melintang, merusak keseluruhan karya itu. Zara tertegun, matanya melebar. “Itu… itu bukan—” “Apa ini hasil yang kamu banggakan?” potong Kael dengan nada rendah, tetapi percayalah bahwa itu sungguh mengerikan, membuat suasana menjadi sangat mencekam. Zara menelan ludah. “Chef, saya tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Saya memastikan semuanya aman sebelum—” “Cukup,” potong Kael lagi, suaranya tajam seperti pisau. “Kamu tidak profesional.” “Tapi, saya tidak me
Wanita itu adalah Ana, seorang pelayan di The Velvet Spoon yang juga teman kerja Zara. Meskipun sebelumnya hubungan mereka tampak biasa saja, sikap Ana mulai berubah sejak Zara terlihat lebih sering bersama Varen. Ada kemungkinan Ana menyukai Varen, tetapi rasa tidak sukanya kepada Zara terasa lebih dalam daripada sekadar cemburu. Zara berhenti di tempat, menatap Ana dengan bingung. “Maksud kamu apa?” Ana menyeringai kecil, mengangkat bahu dengan sikap santai yang terlihat dibuat-buat. Namun, matanya yang tajam memancarkan sesuatu yang tidak bisa diabaikan. “Oh, aku cuma kasih tahu aja. Kadang, kesuksesan sementara bikin orang lupa daratan. Apalagi kalau yang sukses cuma modal kebetulan.” Zara mengerutkan kening, menahan rasa jengkel yang mulai naik. Kata-kata itu tidak hanya menyindir, tetapi juga terasa seperti serangan langsung. “Aku nggak ngerti kamu ngomongin apa, tapi aku nggak pernah lupa diri.” Ana terkekeh pelan, tawa kecilnya penuh dengan nada ejekan yang memb
Rizal mengangguk. “Baik, Chef. Saya akan mulai dari CCTV dan menanyai semua staf.” Kael hanya memberikan anggukan kecil, menatap Rizal seolah ingin memastikan dia mengerti betapa seriusnya situasi ini. Rizal memulai penyelidikannya dari ruang keamanan, memeriksa rekaman CCTV dengan penuh konsentrasi. Dia meminta petugas keamanan mempercepat putaran rekaman hingga ke waktu sebelum gala dinner dimulai. “Stop!” Rizal menunjuk layar ketika seorang staf terlihat memasuki ruang penyimpanan lukisan. Namun, wajah orang itu tidak terlihat jelas karena kamera hanya menangkap sudut belakang. Orang itu mengenakan seragam dapur, tetapi dengan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya. “Bisa diperbesar?” tanya Rizal, meskipun dia tahu hasilnya tidak akan banyak membantu. Petugas menggeleng. “Sudah maksimal, Pak.” Rizal menghela napas panjang. Tanpa wajah yang jelas, ini menjadi semakin rumit. Setelah tidak mendapatkan hasil memuaskan dari CCTV, Rizal memutuskan untuk menany
Dimas terperangah, matanya membesar. “Chef, tolong beri saya kesempatan! Saya janji tidak akan mengulangi lagi …” Kael tidak menjawab. Dia hanya menatap Rizal dengan isyarat jelas untuk menindaklanjuti perintahnya. “Ayo keluar sekarang,” kata Rizal dingin, menggiring Dimas keluar dari ruangan meskipun pria itu masih mencoba memohon. “Chef, tolon–” kata Dimas penuh permohonan, tetapi suaranya lenyap di balik pintu, tanpa ada sedikitpun belas kasihan dari Kael. Begitu pintu tertutup, keheningan memenuhi ruang kerja Kael. Dia kembali berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya, tetapi sikapnya sudah cukup menunjukkan bahwa dia tidak akan mentolerir kesalahan sekecil apa pun. Setelah hari yang panjang, Kael akhirnya tiba di rumah lebih awal dari Zara. Dia membuka jasnya dengan gerakan lambat, kemudian menggantungnya di belakang kursi ruang makan. Matanya terpaku pada meja makan ya
Zara mengetik pesan dengan cepat di ponselnya. [Saya pulang terlambat hari ini. Om Riki sakit, saya akan menjenguknya sepulang kerja.] Dia mengirim pesan itu kepada Kael, berharap pria itu tidak akan khawatir atau bertanya-tanya jika dia tidak segera pulang. Namun, Kael tidak membalas pesan itu. Dan Zara juga tidak Malam itu, Zara tiba di rumah Riki dengan membawa sekantong buah-buahan dan beberapa makanan yang dia beli dalam perjalanan. Begitu masuk, dia melihat Riki berbaring di sofa ruang tamu dengan wajah pucat. Sarah duduk di kursi yang ada di samping, tetapi alih-alih terlihat khawatir, dia justru tampak sibuk dengan ponselnya. “Om, gimana keadaannya sekarang?” Zara bertanya lembut sambil meletakkan buah-buahan di meja kecil. Riki mengangguk pelan, ada senyum tipis di wajah sayunya. “Mendingan, Zara. Makasih udah sempat mampir. Kamu pasti capek habis kerja.” “Nggak, Om. Aku sempatkan karena Om itu penting buat aku,” jawab Zara sambil tersenyum. Sarah m
Zara menoleh, menatap Kael dengan sedikit kaget. “Siapa?” “Tante Sarah,” jawab Kael singkat, matanya tetap fokus ke jalan. Meskipun nadanya datar, tetap ada tekanan halus yang sulit diabaikan. Zara terdiam sejenak, berusaha menyusun kata-kata. Dia tahu Kael tidak akan mudah dibohongi. “Dia cuma ngomong soal Om Riki,” kata Zara akhirnya. “Katanya butuh bantuan tambahan.” Kael melirik Zara sekilas, lalu kembali menatap jalan. “Cuma itu?” Zara menggigit bibirnya. Dia tahu Kael tidak bertanya untuk basa-basi, tapi mengatakan semuanya hanya akan memperumit keadaan. “Iya, kira-kira begitu.” “Jangan kira-kira,” potong Kael, suaranya tetap tenang tapi terdengar tegas. “Apa dia menyusahkanmu?” Zara menghela napas, merasa tidak punya pilihan selain lebih terbuka. “Tante Sarah memang suka bicara hal yang … membuatku kurang nyaman. Tapi aku bisa mengatasinya.” “Contohnya?” tanya Kael singkat, masih tanpa menoleh. Zara menatap Kael dengan ragu. “Dia bilang … aku harus le
‘Jadi itu alasan dia batalin perjodohan sama Clara?’ pikir Zara, perlahan mulai memahami. Zara memutuskan untuk kembali ke kamarnya sebelum Deon atau Kael menyadari bahwa dia telah mendengarkan percakapan mereka. Setibanya di kamar, Zara duduk di tepi ranjang, membiarkan pikiran-pikiran itu mengalir tanpa penghalang. Memang, dari awal dia tahu pernikahan ini hanya sebuah kontrak, tapi tetap saja, mendengar alasan konkret di balik semuanya memberikan rasa lega yang aneh. ‘Dia pilih aku karena aku nggak akan nuntut apa-apa.’ Zara menghela napas panjang. Dia juga tahu bahwa keputusan itu, meskipun berawal dari kepentingan Kael, tapi pada akhirnya juga memberinya keuntungan dan kebebasan. Jika bukan karena Kael, dia mungkin masih terjebak di rumah omnya, tanpa tahu kapan atau bagaimana dia bisa keluar dari situasi itu. Namun, di balik rasa lega itu, muncul kekhawatiran yang baru. Kontrak ini tidak akan berlangsung selamanya. Zara memeluk lututnya, mencoba meredakan gelis
“Bisa bicara sebentar?” Zara menghela napas panjang, mencoba melangkah melewati Clara. “Maaf, saya harus kerja.” Namun, wanita itu cepat menahan langkahnya. Dengan senyum penuh arti, Clara maju selangkah, memosisikan diri tepat di depan Zara. “Shift kamu masih satu jam lagi, Zara. Jadi jangan cari alasan,” ujar Clara dengan nada tenang namun tajam, membuat Zara terpaksa berhenti. Zara menatap Clara dengan pandangan waspada, merasakan tatapan menusuk wanita itu. Dia melirik sekeliling, memastikan tidak ada staf atau pelanggan yang mungkin memperhatikan mereka. Zara tahu bahwa Clara tidak akan membiarkannya pergi tanpa menyelesaikan urusannya. “Baiklah,” kata Zara akhirnya, menghembuskan napas pelan. Clara mengangguk kecil, lalu melirik mobilnya yang terparkir tak jauh. “Kita nggak bisa bicara di sini. Terlalu terbuka. Ayo ke mobilku.” Zara menimbang sejenak, ragu untuk mengikuti Clara. Namun, menyadari bahwa Clara tidak akan menyerah begitu saja, dia akhirnya setuj
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andin—warna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.“Zara, gue kira lo nggak akan datang,” ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
“Zara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?” ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varen—dua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.“Ma, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,” tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
“Chef, tastenya sudah pas?” Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. “Sudah,” jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoon—tempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
“Apa kamu bilang?! Dokter Gala … ayah dari Zelena?!” bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.“Iya, Ma …” Ceva menunduk, suaranya lirih. “Gala ayahnya.”Tubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. “Kenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!”Ceva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.‘Gawat. Aku ketahuan,’ batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubah—kaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.“Zara?” Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, ‘kan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
“Kael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?” tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.“Belum, Kak,” ucap Zara pelan. “Sempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.”Zara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
“Zara, ayo sarapannya dimakan,” suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasan—semuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman … walau tak benar-benar merasa diterima.“Kalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,” ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.“Maksud kamu …?” tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. “Mama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.”Kael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.“Kamu setuju?” tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.“Zara,” suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.“Aku nggak mau, Mas … Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?” lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarah—y