Kael memang nggak bisa tanpa Zara sih ini ... gemes banget kan mereka :)
Malam semakin larut, tetapi suasana gathering justru semakin panas. Di salah satu meja, sekumpulan orang duduk melingkar, mengelilingi satu botol kosong di tengah. Permainan klasik ‘truth or dare’ sudah memakan banyak korban yang dipaksa menjawab jujur atau melakukan tantangan konyol."Ayo, puter lagi! Jangan mandek di situ, dong!" seru Rizal, manager restoran yang malam ini merangkap sebagai MC dadakan.Zara duduk di antara Andin dan Varen, ikut tertawa setiap kali ada yang mendapatkan tantangan konyol. Namun, di tengah tawa dan sorakan riuh, dia merasakan tatapan yang terlalu tajam menghujam ke arahnya.Kael berdiri di balik kerumunan, wajahnya tersembunyi dalam bayangan, sorot matanya dingin menusuk. Tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tapi perhatiannya tidak sekalipun lepas dari Zara. Seolah dia hanya sekadar lewat, padahal sejak awal permainan dimulai, dia tidak bergerak sedikit pun."Loh, Chef! Sini gabung!" Rizal melambai ke arah Kael.Kael tidak langsung merespons. Namun, s
"Uhuk!" Zara tiba-tiba tersedak begitu keras hingga seluruh meja langsung menoleh ke arahnya. Dia buru-buru menunduk, tangannya gemetar meraih gelas air mineral."Aduh, keselek!" seru Zara panik, suaranya sedikit dibuat-buat."Lo kenapa sih?" Andin refleks menepuk punggung Zara, keningnya berkerut.Zara tidak menjawab, hanya sibuk berpura-pura batuk sambil meneguk airnya dengan panik. Fokus semua orang pun teralihkan kepadanya, tepat seperti yang dia harapkan.Sementara itu, dari sudut matanya, dia bisa melihat Kael menatapnya dengan ekspresi datar, seolah membaca semua niatnya.Sial. Itu nyaris saja.--Saat permainan selesai, semua orang beranjak kembali ke kamar masing-masing. Rizal harus mengantar Kael yang jalannya mulai tidak stabil akibat terlalu banyak minum.Sementara itu, Zara sudah kembali ke kamarnya bersama Andin, berharap bisa tidur dengan tenang. Namun, harapannya langsung pupus begitu ponselnya tiba-tiba bergetar.Kael menelepon.Zara menghela napas sebelum akhirnya men
Jantung Zara seakan berhenti berdetak. Darahnya mengalir lebih cepat.Virsha? Istri Kael?Tangan Zara mengepal di sisi tubuhnya. Itu tidak masuk akal. Itu salah. Itu … bukan dirinya.Ponsel Andin kembali bergetar. Zara tidak perlu menebak, karena dia tahu apa isinya.[Udah pada lihat berita belum?!][Jadi itu istri Chef Kael?][Kalau gitu, Zara ini selingkuhannya, dong?!]Zara mencengkram selimut, matanya masih terpaku di layar TV.Selingkuhan?Jadi begini cara dunia melihatnya sekarang?Matanya membulat, napasnya tersengal. Ini buruk. Ini benar-benar mimpi buruk.Zara harus melakukan sesuatu. Tapi apa?Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat napasnya tercekat.Kael menelepon.Zara menatap nama itu di layar, hatinya berdebar kencang. Tangannya gemetar saat akhirnya menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya."Zara." Suara Kael terdengar dalam, dingin, dan sedikit berat, seakan dia sedang menahan sesuatu.Zara menggigit bibir. "Kael, aku—""Jan
Di dalam kamar resort, Zara masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menggenggam ponsel erat. Notifikasi di grup restoran sudah lenyap, berita mulai mereda, tapi perasaan sesak di dadanya tetap bertahan."Lo tau siapa cewek itu, Ra?" tanya Andin, menunjuk ke layar TV yang masih menampilkan berita tentang Kael."Iya, dia mantannya Kael," jawab Zara datar. Jemarinya mengetuk-ngetuk layar ponselnya, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Andin berdecak. "Mantan? Terus kenapa sekarang malah nama dia yang muncul? Bukan lo yang disebut?"Zara terdiam. Dia tidak tahu harus menjelaskan apa kepada Andin. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan yang bahkan dia sendiri tidak tahu jawabannya?Suara ketukan di pintu membuyarkan kebisuannya. Zara dan Andin saling berpandangan, seakan menebak siapa yang datang.Andin bangkit lebih dulu dan membuka pintu. Sosok Kael berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung sedikit, ekspresinya dingin dan tajam. Sorot matanya langsung mengarah pad
Ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya.Kael tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, matanya menatap Zara dalam-dalam. Entah apa yang ada di kepalanya saat ini, tapi dia jelas tidak menyukai kalimat yang baru saja Zara ucapkan."Jangan pernah ngomong sesuatu yang pasti nggak bisa aku setujui, Zara." Suara Kael rendah, tapi tajam, seperti peringatan.Zara mengangkat wajahnya, menatap Kael dengan mata yang mulai memerah."Terus aku harus gimana?" tanya Zara, suaranya bergetar, campuran antara marah, frustrasi, dan luka yang tidak bisa dia tahan lagi.Kael menghela napas, lalu berdiri. Langkahnya berat saat dia berjalan mendekat, seakan menahan sesuatu dalam dirinya. Dia berhenti tepat di hadapan Zara, menatapnya dengan tajam."Aku udah pernah bilang, tugas kamu cuma tenang di samping aku. Kamu nggak usah mikirin apa pun," ujar Kael, seolah itu jawaban paling masuk akal.Zara tertawa pendek, tapi tanpa sedikit pun kebahagiaan. "Kamu kira aku bisa berhenti mikirin ini?"Kael mengu
[Zara Aluna, istri Kael Ashwara adalah anak dari salah satu konglomerat terbesar di negeri ini.]Zara menatap layar ponselnya, jari-jarinya sedikit gemetar.Kalimat itu terpampang di mana-mana. Di portal berita, trending di media sosial, memenuhi linimasa tanpa henti.Tangannya bergerak sendiri, mengetuk salah satu artikel.Di bagian atas berita, foto Anjana berdiri di tengah konferensi pers terlihat jelas, dengan kutipan yang terasa seperti bom waktu."Istri Kael yang bernama Zara Aluna … adalah anak saya."Napas Zara tercekat. Tidak. Ini pasti salah.Pikirannya berputar liar, mencoba mencari kemungkinan lain. Ini hanya sandiwara, hanya strategi bisnis Anjana, atau hanya kesalahan informasi.Namun, semakin dia membaca, semakin sulit baginya untuk menyangkal.Ponselnya kembali bergetar. Pesan masuk berdatangan. Andin. Varen. Bahkan Riki menelponnya berkali-kali. Namun, Zara hanya menatap layar, tidak mampu mengangkat atau membalas satu pun.Dada Zara terasa sesak. Semua ini terlalu men
Keheningan memenuhi ruangan, tanpa satu suara pun yang terdengar.Zara tetap diam, tidak tahu bagaimana harus merespons. Tangannya mengepal di sisi tubuh, jemarinya mencengkram kain bajunya sekuat tenaga.‘Anakku’?Kata terdengar begitu asing.Dada Zara terasa sesak. Suasana ruangan menjadi lebih sunyi, tapi bukan sunyi yang nyaman, melainkan sunyi yang memekakkan, yang membuat seluruh pikirannya berdengung tidak terkendali.Kael yang sejak tadi berdiri di samping Zara hanya mengamati. Matanya tajam, meneliti ekspresi Anjana, mencoba memahami motif di balik kehadiran wanita itu malam ini.Tanpa diminta, Anjana melangkah masuk.Zara menegakkan punggungnya, menahan diri untuk tidak menunjukkan seberapa kacaunya dirinya saat ini. Namun, Kael bisa melihat, dari caranya menggenggam ponsel terlalu erat, dari caranya menelan ludah dengan susah payah, dia tahu bahwa Zara jauh dari kata baik-baik saja.Anjana berjalan mendekat, lalu duduk di salah satu kursi di depan mereka. Matanya tidak lepas
"Maharani, apa semua pemberitaan itu benar?" Aryan akhirnya membuka suara setelah kebisuan yang cukup lama menyelimuti ruang tamu kediaman keluarga Ashwara. Suaranya lebih berat dari biasanya, mencerminkan keheranan dan kebingungan yang jelas.Sungguh, kini keluarga Ashwara dilanda keterkejutan. Bagaimana tidak? Menantu yang mereka kira yatim piatu dan hidup dalam keterbatasan, ternyata adalah putri seorang dari salah satu konglomerat terbesar di negeri ini."Aku belum bisa menyimpulkan, Mas. Zara maupun Kael belum bercerita apa pun kepada kita," kata Maharani lembut, meskipun ada kecemasan yang jelas terlihat dari nada yang dipilihnya."Tapi kamu ‘kan teman baik Anjana. Kamu memang tidak tahu kalau dia pernah punya anak sebelumnya?" tanya Aryan, suaranya terdengar menuntut, mencoba menggali lebih dalam."Aku hanya tahu, Anjana hanya punya satu anak perempuan dan satu anak laki-laki. Tapi ..." Maharani berhenti sejenak, seakan mencari kata-kata yang tepat. Wajahnya kini lebih serius, s
Zara melangkah cepat begitu melihat sosok Andin melambaikan tangan dari kejauhan. Keramaian pusat perbelanjaan di ibu kota tidak mengurangi semangatnya untuk segera menghampiri sahabatnya itu.“Andin, aku kangen banget!” seru Zara, langsung menarik Andin ke dalam pelukan erat.“Ya ampun, lama banget kita nggak ketemu. Udah, yuk kita ke kafe dekat sini aja. Lo kan nggak boleh ngopi sekarang, jadi kita makan cake aja sambil minum teh,” balas Andin, lalu tertawa kecil.Mereka pun berjalan santai menuju kafe yang berada di lantai dua. Suasananya cukup nyaman, dengan interior minimalis dan jendela besar yang menghadap ke jalan utama. Aroma kopi bercampur dengan wangi kue-kue yang baru matang, menciptakan atmosfer yang membuat Zara merasa rileks sejenak.Begitu duduk dan memesan tiramisu serta teh chamomile, Zara langsung membuka obrolan.“Gimana kabar di restoran? Pasti waktu itu heboh banget gara-gara kejadian gue, ya?” tanya Zara, lalu menyeruput tehnya pelan.Andin mengangkat alis. “Menu
"Hari ini aku mau ketemu Andin, ya …?"Namun, kata-kata Zara terhenti di tenggorokannya begitu melihat sosok suaminya keluar dari kamar mandi. Bertelanjang dada, hanya dibalut handuk yang terikat di pinggangnya, dengan otot perutnya yang terpampang jelas. Tetesan air masih mengalir turun dari rambutnya yang basah, meluncur melewati bahu, lalu menyusuri setiap lekuk tubuhnya sebelum akhirnya menghilang di batas handuk.Zara menelan ludah. Oksigen seolah sulit masuk ke paru-parunya.Kael menatap istrinya sekilas, alisnya sedikit berkerut.“Kenapa?" tanya Kael polos, seakan tidak sadar betapa mematikannya penampilannya saat ini.Zara tersadar dari keterpakuannya, buru-buru membuang pandangannya ke arah lain."Lain kali kalau keluar dari kamar mandi itu pakai baju dari dalam," ujar Zara, berusaha terdengar santai meski pipinya terasa semakin panas.Kael justru menaikkan sebelah alis, seolah tidak mengerti masalahnya di mana. "Memangnya kenapa? Kamu ‘kan udah lihat semuanya.""Kael!" Zara
"Kenapa kamu nggak mau nginep?" tanya Kael akhirnya ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Suaranya terdengar santai, tapi Zara tahu dia sedang memperhatikannya.Mereka memutuskan untuk tidak menginap di kediaman keluarga Wijaya malam ini. Begitu mobil melewati gerbang utama kediaman keluarga Wijaya, Zara menghela napas panjang, seolah baru bisa bernapas lega.Baru sekarang wanita itu sadar betapa beratnya suasana di dalam tadi. Suasana yang tegang, tatapan penuh arti, dan kata-kata yang lebih tajam dari yang seharusnya."Aku masih belum siap kayaknya," jawab Zara jujur.Kael tidak langsung menanggapi. Matanya tetap fokus pada jalan, tetapi jemari kirinya yang bertumpu di setir mengetuk permukaannya pelan, tanda bahwa dia juga sedang berpikir.Zara menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap langit yang gelap. "Aku juga kurang nyaman sama tatapan Kakek dan Atma," ujarnya pelan.Kael melirik sekilas. "Mereka lihat kamu kayak gimana emang?"Zara mengernyit, mencoba merangkai pikiranny
Kael menoleh ke arah anak itu. Bukannya bingung atau menolak, dia justru mencondongkan tubuh sedikit, menatap anak itu dengan lebih jelas."Kenapa?" tanya Kael, suaranya lebih lembut dari biasanya.Tanpa ragu, anak perempuan itu merentangkan tangannya, meminta untuk digendong. Kael hanya diam sejenak, lalu tersenyum tipis sebelum meraih tubuh mungil itu dan mendudukkannya di pangkuan.Tunggu. Kael ... tersenyum?Zara nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Sejak kapan Kael bisa setenang ini saat berhadapan dengan seorang anak?"Anak siapa ini?" tanya Kael datar, meskipun tangannya tetap bergerak pelan, menepuk punggung kecil anak itu seolah menenangkan.Anak perempuan itu langsung menyandarkan kepalanya ke dada Kael dengan nyaman, jari-jari mungilnya mencengkram kerah kemejanya erat.Zara melirik Ceva dengan alis bertaut. Ceva yang semula tampak terkejut, kini memasang senyum santai."Ini anak ... sepupu kita," jawab Ceva akhirnya.Zara tidak mengatakan apa-apa, teta
Zara menggigit bibirnya. Dia sudah tahu bahwa akan ada yang mempertanyakan keberadaannya di sini, tetapi mendengarnya langsung tetap terasa menusuk."Saya datang, karena hanya ingin mengenal ibu kandung saya lebih jauh. Itu saja," ucap Zara akhirnya, suaranya tenang tetapi tegas.Atma menyeringai, ekspresinya masih santai, tetapi ada sesuatu di balik matanya yang tidak bisa sepenuhnya dia sembunyikan. "Ah, jadi kamu hanya ingin mengenal Mama? Tapi bukan keluarga?"Anjana menghela napas kecil sebelum akhirnya angkat bicara. "Atma, bicara yang sopan kepada kakakmu."Atma terkekeh pelan, seolah tidak menganggap teguran itu serius. "Ma, aku hanya … penasaran.""Seorang kakak yang tiba-tiba datang setelah menghilang, lalu ingin mengenal Mama, tapi tidak peduli dengan keluarga lainnya. Ini terdengar agak aneh, ‘kan?" Atma menyandarkan dagunya ke salah satu tangannya, tatapannya masih menilai Zara."Mama yang meminta Kakakmu untuk datang, dan Mama juga yang mengakui bahwa dia adalah anak Mama
Akhir pekan pun tiba. Setelah memastikan Zara sehat, akhirnya mereka memutuskan untuk datang ke kediaman keluarga Wijaya.Sudah sepuluh menit mobil mereka terparkir di halaman rumah yang lebih mirip istana itu, tetapi belum ada tanda-tanda Zara ingin keluar. Tangannya mencengkeram rok dengan erat, jemarinya sedikit gemetar, sementara matanya terpaku pada pintu besar yang menjulang di depan mereka.Kael yang duduk di kursi pengemudi, hanya diam. Matanya sekilas melirik Zara, mengamati istrinya yang jelas dipenuhi keraguan.Dia tahu Zara butuh waktu.Namun, setelah beberapa menit berlalu tanpa gerakan, Kael akhirnya buka suara. "Mau pulang aja?"Zara menoleh, menatapnya. Ada kilatan keraguan di matanya, tetapi dengan cepat dia menepisnya."Nggak, kita masuk aja," ucap Zara mantap, meskipun suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan.Kael mengamati wajah istrinya sesaat sebelum akhirnya mengangguk. Dia tidak menanyakan lebih lanjut. Jika Zara sudah memutuskan, dia akan menghormatinya.Begitu k
Di rumah sakit, Kael berjalan cepat menuju meja resepsionis dengan Zara dalam gendongannya. Rahangnya mengatup erat, napasnya sedikit lebih berat dari biasanya, tapi dia tetap berusaha terlihat tenang. Sorot matanya tajam, penuh ketegangan yang tak bisa disembunyikan."Istri saya sedang hamil. Dia sakit perut, kramnya cukup parah. Bisa panggil dokter sekarang?"Perawat di meja langsung sigap. "Silakan ke ruang gawat darurat, Pak. Kami akan segera panggil dokter."Kael mengikuti arahan itu, langkahnya tetap stabil meski ada desakan dalam dirinya untuk lebih cepat. Dia menurunkan Zara ke ranjang dengan hati-hati. Tangannya masih berada di punggung Zara sejenak sebelum akhirnya perlahan menarik diri, tapi matanya tetap terpaku pada wajah istrinya yang pucat.Tidak butuh waktu lama sampai dokter datang. Seorang pria paruh baya dengan jas putih masuk, membawa clipboard dan stetoskop di tangannya."Sejak kapan sakitnya?" tanyanya, langsung memeriksa kondisi Zara."Sekitar lima belas menit ya
Zara yang masih berusaha menstabilkan napasnya langsung menegang. Matanya membulat."Kita ... belum selesai?" ulang Zara, memastikan dia tidak salah dengar.Kael mengangguk santai, senyumnya tetap tipis dan mencurigakan."Kael, aku udah nggak ada tenaga," lirih Zara, tangannya meraba selimut, berusaha menariknya untuk menutupi tubuhnya.Kael dengan mudah menarik kembali selimut itu."Emang makan butuh tenaga?" kata Kael, suaranya terdengar santai.Zara membeku.“Hah? Makan?" Detik berikutnya, Zara langsung duduk di tempat tidur, menatap Kael seakan pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang tak masuk akal.Kael mengangkat bahu. "Iya, aku nyuruh kamu jangan tidur dulu karena aku mau ajak kamu makan."Zara masih menatap pria itu lama, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menutup wajah dengan bantal. "Ya Tuhan, aku kira maksudmu tadi—""Apa?" Kael bertanya, kepalanya sedikit miring dengan ekspresi polos yang jelas dibuat-buat.Zara mendengus kesal. "Udah, nggak usah dibah
"Kael, gimana urusan di restoran? Karyawan yang lain ngomong apa tentang hubungan kita?" tanya Zara.Malam sudah larut. Lampu kamar hotel menyala temaram, menciptakan suasana tenang.Kael baru keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Dengan santai, dia mengambil handuk kecil dan mulai mengeringkan rambutnya. "Mana ada yang berani ngomong langsung. Tapi ya, mereka semua kaget, itu udah pasti."Zara menunggu kelanjutannya, tapi Kael malah sibuk mengusap handuk di lehernya, seolah tidak terburu-buru untuk menjawab.“Terus?” desak Zara.“Kamu tau siapa yang paling kelihatan terpukul?” Kael akhirnya menoleh, sorot matanya tenang, tapi ada sesuatu yang samar di sana. Seperti menunggu reaksi Zara.Zara mengernyit. “Siapa?”“Varen.” Kael melempar handuk ke kursi sebelum berjalan mendekati tempat tidur.Zara terdiam sesaat. Bukan karena terkejut, tapi lebih ke arah ... canggung. "Oh.""Itu aja reaksi kamu?" Kael mendudukkan diri di tepi tempat tidur, menatap istrinya sekilas.Zara menga