Bu Asih bergeming, sudah lama semuanya tertutup rapat. Bahkan keberadaan mereka di desa itu pun pihak keluarga tak ada yang tahu. Masa lalu tertutup rapat hingga kini dan mungkin tak akan ia ceritakan pada sang anak.
Pak Anjar semakin pucat, penyakitnya yang menggerogoti dirinya pun sudah lama tak bisa di sembuhkan karena biaya. Keuangan mereka hancur kala terus menerus berobat. Beberapa simpanan emas pun ludes terjual.
“Bu, kenapa enggak bilang sama aku kalau Bapak sakit sudah lama,” ujar Anisa.
“Kami tidak mau membuat kamu cemas, lagi pula kami pikir kamu akan sibuk dengan suamimu. Bapak juga enggak mau bikin kamu cemas, Nis,” jawab sang ibu.
“Kaya gini yang bikin aku cemas, Bapak kita rujuk saja ke Jakarta.”
“Ibu sudah enggak ada uang lagi.”
Anisa bergeming, ia pun tak memiliki biaya. Bahkan hanya membawa baju saja keluar dari rumah sang suami. Emas yang di berikan Wisnu pun tak ia bawa karena malas jika di tuduh membawa barang yang bukan miliknya walau itu sang suami memberikannya saat belum ada goncangan orang ketiga.
“Bapak juga sudah lebih baik, dia hanya syok mendengar perpisahan kamu. Tuh, sudah sehat kan. Sudah bisa tidur nyenyak,” tunjuk sang ibu.
Tetap saja Anisa merasa takut jika terjadi sesuatu dengan sang ayah. Harusnya ia tahu sejak lama dan bisa membawa ayahnya berobat di Jakarta dan mengurus semua dokumen untuk merujuk ke rumah sakit di kota.
Namun, semuanya sudah terlambat. Kalau mereka ke Jakarta, akan tinggal di mana karena tak ada sanak saudara pikir Anisa.
“Iya sudah, Bu. Anisa mau istirahat.”
Anisa masuk ke kamar lamanya, walau sudah tak pernah ia tempati, kamar itu selalu bersih dan rapi karena sang ibu selalu merapikan setiap pagi dan berharap sang anak menempatinya lagi.
Anisa mengambil ponsel di tasnya, terlihat banyak panggilan tak terjawab dari sang suami. Tak ketinggalan pesan masuk Wisnu, ia pun kembali menaruh di nakas dan tidak sama sekali berniat membalasnya.
“Sudah tiada, bagi terasa.” Anisa bergumam sendiri.
Anisa pun sejujurnya merasa syok, ia pikir sang suami setia dan sayang dengan cobaan yang mereka hadapi. Lamanya belum di karuniai seorang anak membuat Wisnu selalu menguatkan Anisa. Sempat ia berpikir jika sang suami adalah pria paling sempurna. Akan tetapi, terpatahkan begitu saja saat perselingkuhan yang sangat rapi itu terbongkar.
Anisa mengusap air mata, ia berjanji tak akan menangisi Wisnu yang sudah berkhianat. Hanya karena dirinya tak bisa memberikan anak, bukan berati dia bisa sembarangan menikah lagi tanpa persetujuan dirinya.
***
Sinta merajut sejak tadi, ia merasa sang suami mengabaikannya padahal baru hari kedua pernikahan mereka. Semenjak Anisa ke luar dari rumah itu, Wisnu merasa tak tenang memikirkan istrinya.
“Mas, kamu kenapa sih? Aku tanya diam, aku ajak bicara diam, kamu sakit?” tanya Sinta.
“Bukan seperti itu, tapi aku cemas sama Anisa. Sampai sekarang dia enggak ada kabar,” ujar Wisnu.
“Mas, dia kan yang memilih pergi. Untuk apa Mas pikirin dia, ada aku di sini yang setia menemani Mas, kita baru saja menikah.”
Wisnu mengusap wajah kasar, ia mencoba tak memikirkan Anisa, tapi memang tidak bisa. Tidak mungkin dia tak memikirkan wanita yang sudah lama bersamanya, apalagi Anisa itu tak pernah ke luar rumah tanpa dirinya.
“Aku mengerti, tapi kamu juga harus paham, dong. Apa yang kamu inginkan sudah terwujud, kita sudah menikah. Dan kamu pun awalnya enggak mempermasalahkan Anisa yang masih menjadi istriku.” Wisnu bersuara, ia tak suka dengan apa yang di katakan Sinta. Walau bagaimanapun, Anisa adalah istrinya.
“Kamu masih cinta sama dia, Mas?” tanya Sinta meninggikan suara.
“Sudah, Sin. Jangan buat aku tambah emosi. Tolong, mengerti aku sekarang,” pinta Wisnu.
Sinta membanting pintu kamar, ia tak suka jika sang suami masih memikirkan istri pertamanya. Walau benar apa yang di katakan Wisnu jika memang dirinya sejak awal tidak mempermasalahkan pernikahannya dengan Anisa. Yang terpenting mereka sudah menikah walau dirinya merasa cemburu.
“Sial sekali aku, kenapa sih dia masih memikirkan si Anisa. Sudah bagus dia pergi, sudah enggak ada penghalang aku. Tapi kenapa sih masih aja mencarinya, kalau dia kembali lagi, susah aku menguasai semuanya. Ah, sialan tuh Anisa, menyusahkan saja.” Sinta menggerutu sendiri karena kesal.
Harusnya mereka kini berbulan madu, tapi Wisnu masih saja mencoba menghubungi Anisa istri pertamanya.
Sementara itu, Bu Atik kebingungan karena terbiasa semua yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah Anisa. Kini ruang tamu masih kotor dan berantakan, belum lagi sepagi ini ia belum makan karena kesiangan bangun.
“Aduh, bagaimana ini. Males sekali aku keluar. Ternyata susah juga enggak ada si Anisa itu. Coba aku bisa menahannya lebih lama, aku enggak akan pulang seperti ini,” ujar Bu Atik.
Wanita tua itu mencoba menelepon Windy sang anak untuk datang dan membawakannya nasi. Namun, Windy tak juga mengangkat telepon darinya. Ia pun gegas ke laut rumah dan berjalan agak jauh untuk membeli makanan untuk sarapan.
“Bu Atik, tumben keluar, biasa menantu kesayangan yang belanja,” sapa tukang sayur yang biasa mangkal tak jauh dari gerbang rumah Bu Atik.
“Oh, Nisa lagi pulang kampung. Jadi, susah kan saya ni,” gerutunya.
“Oh, pantes Bu Atik keluar. Kan, biasanya takut sama matahari,” ledek salah satu ibu-ibu yang sedang belanja.
Bu Atik masam, tapi malas meladeni mereka. Keburu lapar, ia pun langsung gegas menuju warung nasi yang tak jauh dari gerbang kompleksnya juga. Ia pun langsung memesan nasi dan lauk.
Memang susah pikirnya jika tak ada Anisa, biasanya ia hanya berteriak dan makanan pun sampai. Tidak seperti sekarang, dirinya harus ke luar sendiri dengan terpaksa.
***
Kondisi Pak Anjar tiba-tiba saja memburuk. Napasnya sudah terasa sesak, bahkan saturasi oksigennya pun rendah. Mereka pun membawa ke puskesmas terdekat karena ke rumah sakit pun tak ada kendaraan.
Anisa mencoba menenangkan sang ibu yang sejak tadi menangis dan lemah melihat kondisi sang suami yang seperti itu. Ia pun sejujurnya panik, tapi mau bagaimana lagi, jika ia tak tenang, bagaimana dengan ibunya.
Dokter puskesmas sudah memeriksa sang ayah, mereka pun menyarankan untuk membawa Pak Anjar ke rumah sakit kota. Anisa berpikir keras, ayahnya tak ada BPJS, kalau pun harus di rujuk, ia tak punya uang. Anisa semakin cemas karena melihat sang ayah sudah sangat lemah. Suster pun sudah membawa tabung oksigen untuk sang ayah.
“Bu, jaga Nisa kalau Bapak enggak ada.”
“Pak, jangan bicara seperti itu, Bapak pasti sehat,” ujar Anisa.
“Iya, Pak. Jangan macam-macam bicaranya,” ujar sang istri.
“Bapak, sudah tidak kuat. Kabari keluarga di Jakarta, kasih tahu kalau Anisa anak aku,” ujar Pak Anjar.
Anisa mengernyitkan kening, ia tak mengerti dengan apa yang di katakan sang ayah. Mungkin ia pikir sang ayah sedang mengigau karena sudah lelah. Tidak lama, jerit tangis Bu Asih terdengar begitu nyaring, sama halnya dengan Anisa, yang memeluki tubuh sang ayah yang sudah tak bernyawa lagi.
“Bapak!”
***
Bu Asih dan Anisa menjerit histeris saat dokter menyatakan jika Pak Anjar sudah tak bernyawa lagi. Penyakitnya sudah kronis dan menjalar ke bagian tubuh lain hingga membuat komplikasi. Karena terbatasnya dana, Bu Asih tak membawa suaminya ke rumah sakit besar. Ia pun tak mengabari sang anak yang ada di Jakarta kala itu.Anisa memegangi tubuh sang ayah yang sudah kaku. Ia meratapi nasibnya yang malang. Kehancuran rumah tangannya dan juga kepergian sang ayah. Tangisnya tak henti, Bu Asih pun sama hatinya menjerit karena ia masih merasa membutuhkan sang suami.“Nis, sudah, kasihan Bapakmu kalau kau tangisi,” ujar sang ibu.“Bu, Nisa belum bisa membahagiakan Bapak, Bapak meninggal apa karena masalah yang Anisa bawa padanya?”“Bukan, ini memang kesalahan Ibu yang enggak bisa merawat Bapak, ibu tak punya uang untuk membawa Bapak ke rumah sakit besar. Ibu juga enggak mengabari kamu karena takut menggang6 rumah tangga kamu, Nis. Ini bukan salah kamu,” ujar sang ibu.Tetap saja Anisa masih mer
Bu Asih menjelaskan semuanya pada Anisa, bagaimana mereka bisa berada di kampung itu dan meninggalkan keluarga mereka di Jakarta. Hal itu bentuk protes sang ayah karena tak bisa menerima semua yang telah di putuskan oleh kakeknya Anisa.Jiwa pemberontak sang ayah begitu kuat, dia pun rela menjadi miskin demi harga diri. Kini, semua sudah berlalu dan Amara ingin mengajak keponakan dan Kakak iparnya kembali ke Jakarta dan menjalankan wasiat yang di berikan oleh sang ayah.“Apa aku enggak salah dengar? Ayah adalah anak salah satu konglomerat di Jakarta dulu?” tanya Anisa.“Iya, dulu memang kamu semua tak bisa melakukan apa pun untuk membuat kakek kamu sadar. Namun, ternyata sebenarnya kakek kamu sudah mengetahui rencana jahat istri barunya. Dia membiarkan ayahmu pergi bukan dengan senang hati. Tapi, sepanjang hidup kakek kamu sangat menyesal saat kehilangan anak laki-laki yang paling siap sayang,” ujar Amara.“Tante kenapa baru sekarang mencari kami?” Pertanyaan itu begitu saja terlontar
Anisa membanting ponsel ke kasurnya. Tidak menyangka akan seperti ini. Pesan masuk Wisnu membuatnya tak berselera melakukan apa pun. Bahkan memasukkan keperluan ke dalam koper saja malas.“Ada apa, Nis?” tanya sang ibu.“Itu, Mas Wisnu. Dia bilang aku masih istrinya dan enggak akan menceraikan aku. Siapa yang enggak kesal, mana mau aku bermadu seperti itu. Dia pikir hebat melakukan poligami?” Anisa terus saja menggerutu.“Bisa kita selesaikan, apalagi Tante kamu orang hebat. Nanti dia yang menyelesaikan. Jangan cemas.” Bu Asih menenangkan Anisa.Anisa pun tak membalas pesan masuk suaminya. Ia hanya melihat dan kembali merapikan beberapa barang yang akan di siapkan.Bu Asih memandang foto sang suami. Entah, apa suaminya bahagia dengan keputusan mereka kembali ke Jakarta. Namun, sesuai dengan apa yang di wasiatkan sang suami, memang almarhum menginginkan Anisa kembali ke Jakarta agar keluarga Wisnu tak semena-mena dan membuktikan kalau Anisa bukan kalangan biasa.“Nis, sampai Jakarta ki
Semua pelayan pun menunduk hormat, Anisa benar-benar merasa menjadi orang kaya mendadak. Biasanya ia di teriaki Bu Atik untuk mengerjakan sesuatu. Jika saat ini, ia yang bisa berteriak dan meminta di ambilkan sesuatu.Netranya memandang kagum setiap detail isi rumah megah itu. Beberapa foto dan ia kembali menatap sebuah foto keluarga. Di sana ada ayahnya yang masih terlihat sangat muda. Rasa sedih kembali muncul, saat ia mendapat kebahagiaan, tapi sang ayah pun tiada.“Biar Tante antar ke kamar kamu, Mbak Asih sekalian yuk,” ujar Amara.Tante Amara mengantar Anisa dan Bu Asih ke kamar mereka. Setelah itu saat di kamar Anisa, Amara pun duduk di tepi ranjang.“Apa kamu ingin sesuatu?” tanya sang tante.“Tidak, Tan. Tapi, sepetinya aku butuh bertemu dengan Mas Wisnu. Tapi, aku tidak mau memberitahu dulu kehidupanku yang sekarang, biarlah mereka menganggap aku masih gembel. Aku akan menyelesaikan semua.”“Kabari Tante jika kamu butuh sesuatu. Di sini kita hanya tinggal ber empat.”“Suami
Amara menarik napas saat ingin mengatakan hal sebenarnya pada Bu Asih. Ia takut sang kakak tak percaya dengan apa yang akan dikatakannya, terlebih tentang wasiat dari sang ayah tentang masa depan perusahaan mereka.“Ini, bisa Mbak baca.” Amira menyerahkan sebuah pernyataan dari kertas kecil. Asih pun membacanya, perlahan dan ia menatap tak percaya pada Amira.“Aku agak ragu untuk mengatakan hal ini karena takut Mbak Asih tak percaya,” ujar Amira.“Apa harus secepatnya?” tanya Asih.“Seharusnya lebih cepat, aku enggak tahu kalau Anisa itu punya suami. Makanya sejak lama kami mencari, agar lebih cepat menikahkan Abas dan Anisa. Apa Mbak percaya dengan apa yang aku katakan?” tanya Amira.“Mbak percaya karena sebelum meninggal, Mas Anjar pernah mengatakan hal ini. Tapi belum tahu dengan siapa Anisa akan menikah. Tapi, Mas Anjar bilang kalau Anisa seharusnya menikah dengan pilihan kakek agar harta kekayaan tak jatuh ke tangan orang yang salah. Apalagi jika kami tak memiliki keturunan laki-
Luapan emosi Anisa tak bisa tertahan karena kali ini ia harus mengeluarkan semua isi hatinya. Wisnu pun seperti merasa tak bersalah atas yang apa yang di lakukan sang ibu. Malah ia mengatakan hal itu memang tugas seorang istri.“Demi Allah, aku sakit hati atas perlakuan kalian, apalagi saat kamu mengatakan hal itu wajar. Mas, lepaskan aku, ceraikan aku.” Napas Anisa tersengal-sengal seperti sedang berlari.“Baik, kalau itu yang kamu mau. Silakan ajukan perceraian kita, satu hal yang harus kamu tahu, suatu saat kamu akan menyesal dan memohon untuk kembali. Ingat itu, Nisa.”“Enggak akan, Mas. Tunggu surat perceraian dariku dan sampai bertemu di persidangan. Permisi,” ujar Anisa.Anisa mengambil tas dan meninggalkan Wisnu yang masih bergeming melihat kepergiannya. Wisnu heran melihat Anisa yang lebih berani dari yang pernah ia tahu.Apalagi Anisa berani membentak dan begitu tegas ingin bercerai. Sebelumnya ia hanya menerima apa yang sudah diperintahkan oleh dirinya dan sang ibu.“Kenapa
Mendengar nama Abas di sebut oleh sang ibu, Anisa merasa kesal. Haruskah ia menikah dengan orang yang baru saja ia kenal, bahkan rasa trauma masih melekat di jiwa. Pernikahan pertama kandas, kini ia harus kembali di paksakan dalam sebuah drama rumah tangga baru.Tak pernah ia mengerti, untuk menjadi orang kaya apa perlu pengorbanan yang besar. Apalagi menikah dengan Abas agar harta kekayaan miliknya tak jatuh ke tangan pihak yang tak bertanggung jawab.“Jika aku tidak mau menikah dengan Abas, apa yang akan terjadi?” tanya Anisa.“Tidak masalah, tapi kami tidak menjamin kalau harta kamu tidak akan berpindah ke pihak lain. Harta akan jatuh ke tangan kamu jika menikah dengan pria pilihan kakek. Jika tidak, harta akan menjadi perebutan beberapa pihak. Satu hal lagi, kamu akan tatap menjadi miskin dan tidak akan bisa membalas mantan suami dan mertua kamu,” ujar Amira.Tangan Anisa mengepal keras, ia tak mengerti dengan situasi seperti ini. Ia ingin membalas semua perlakuan mantan suaminya.
Mimik wajah Anisa tak bersahabat saat mendengar apa yang di katakan Abas.“Aku enggak mau bahas masalah itu lagi, lagi pula proses perceraian aku masih panjang. Tidak bisa begitu saja menikah dengan kamu.”“Oh, jadi seperti itu. Aku akan menunggu hari itu, di mana kamu akan menjadi istriku.” Senyum semringah dari Abas membaut Anisa jengkel.Niat mencari angin malah membuatnya kembali tak bersemangat. Ia pun kembali memutuskan masuk ke rumah karena ada Abas di sana.Pria dengan kaca mata itu hanya tersenyum tipis saat Anisa melangkah dengan cepat masuk ke rumah. Senyum itu kembali hilang saat Anisa sudah tak terlihat.“Aku pun tak berharap menikah denganmu.” Abas langsung menyesap kopi hangat miliknya. Setelah itu, ia pun duduk menatap langit-langit malam ini.***Wisnu datang ke rumah orang tuanya bersama Sinta. Bu Atik masih menyambut hangat menantunya itu. Sementara, Pak Hartawan memperhatikan Sinta dengan penuh selidik. Baginya, Anisa menantu terbaiknya yang tak ada gantinya.“Jadi
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h