Bu Atik hampir pingsan, Windy pun sama dengan sang ibu yang menahan lemas di tubuhnya. Masalah Nina saja belum selesai, kini mereka sudah menjadi miskin dan setara dengan pembantu yang di hinanya. Nina yang juga datang menemui keluarga Pak Hartawan ternyata berbahagia mendengar berita kebangkrutan mereka. Kini, dirinya dan Wisnu pun sederajat dan Bu Atik tidak bisa menghinanya lagi.“Saya turut sedih, sabar ya, Mas Wisnu.” Walau ia turut prihatin, tapi di hati perempuan itu begitu bergembira. Nina datang bersama dengan Bu Atik karena ingin tahu kabar Pak Hartawan. Ia tak mau jika satu-satunya orang yang mendukung pernikahannya dengan Wisnu meninggal dunia. Bersyukur Nina saat Pak Hartawan hanya mengalami stroke ringan.“Wajah kamu itu enggak menunjukkan kalau kamu bersimpati,” ujar Windy.“Saya tuh salah terus, ya sudah saya diam saja.” Nina langsung membuang wajahnya, ia malas menatap calon adik iparnya yang seperti benalu.Bu Atik memperhatikan Nina, jika ia berbuat jahat pa
Anisa menepuk pundak Abas karena ucapannya membuat wajahnya memerah. Pria itu selalu saja mencari alasan untuk membuatnya tersipu malu. Apalagi saat membicarakan masalah anak atau pernikahan. Setelah berhasil membuat wajah perempuan itu memerah, Abas mengajaknya makan siang. Setelah beberapa jam merasa bisan di kantor, Anisa pun mengikuti ajakan Abas. Makanan kesukaan Anisa sudah di hafal pria itu. Ia pun mengajaknya makan di sebuah restoran seafood karena di sana ia akan memesankan kwetiau goreng seafood. “Aku lapar sejak tadi emosiku terkuras oleh Wisnu.” Abas melihatnya sangat gemas, bahkan saat dalam keadaan marah pun Anisa terlihat sangat cantik dan menggemaskan. Perempuan yang kuat juga tak mudah menyerah. “Iya pasti lapar, kan tenaga terkuras untuk memukul mantan suami kamu.”“Eh, ini aku yang lagi kelaparan, bukan kamu.” Abas menyunggingkan senyum setelah menggoda Anisa lagi. Pernikahan mereka sebentar lagi akan terlaksana, ia merasa sangat deg-degan bahkan sering
“Kita simpan bagaimana? Kalau Anisa tidak tahu, ia tak bisa waspada dong, Bas,” ujar Amira.“Bingung kalau cerita sama Anisa. Aku takut dia tak tenang, apa aku menikah siri saja kali, Ma?” Ide Abas tak mendapat respon dari sang ibu. Amira malah menolak setelah beberapa detik berpikir. “Jika siri itu nanti anggapannya tidak sah. Ini murni untuk menghindar dari Hendra atau kamu yang sudah enggak sabar menikah dengan Anisa?” Wajah Abas memerah saat sang ibu menggodanya. Ia pun mencoba tenang dengan mengalihkan pembicaraan. Bukan masalah itu, ia pun berpikir jika sudah menikah dengan Anisa, ia bisa terus bersamanya 24 jam.“Ya, sudah. Mama bercanda, kita bicarakan saja sama Anisa agar dia berhati-hati. Lagi pula, Anisa biar lebih tenang jika nanti terjadi sesuatu. Entah dengan Mama atau siapa,” ujar Amira. “Abas pastikan tak akan terjadi apa pun dengan kalian.” Amira menepuk pundak sang anak, ia berharap Abas bisa menjaga dirinya juga orang yang berada di sekelilingnya. Terutama
Tubuh Anisa hampir saja oleng jika Abas tak menangkapnya. Abas menyimpan ponsel itu di meja, lalu mengambil air untuk Anisa. Siapa yang berani mengancam langsung ke Anisa pikir Abas. “Kamu jangan panik,” ujar Abas. Lalu ia memberikan minuman pada Anisa agar ia tak terus menerus ketakutan dengan pesan masuk yang belum jelas dari siapa. “A—aku bukan takut miskin, tapi aku takut jika mereka berbuat sesuatu denganku atau ibu.”“Iya, aku paham. Kita cari tahu nanti,” ujar Abas. Abas paham ketakutan Anisa, ia pun akan berusaha mencari tahu siapa yang nekat melakukan hal itu. Namun, ia sepertinya curiga pada satu nama yaitu Hendra, pria itu sejak kemarin mencoba menekan sang ibu. Harta tak di bawa mati, tapi Abas dan ibunya tak rela jika jatuh ke tangan yang lain karena perusahaan itu adalah jerih payah kakek dan nenek. Abas mencoba menelepon beberapa teman detektif untuk mencari tahu. Untuk sementara, Anisa terus bersamanya agar tak ada yang mengganggu Anisa. Apalagi ia terlihat
Sinta menyunggingkan senyum puas lalu membantu Anisa untuk berjalan. Ia membopongnya ke mobil, netranya kunang-kunang lalu barulah saat sampai mobil Anisa tertidur.Sinta mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Hendra. Lalu, ia menuruti apa yang di perintahkan oleh pria itu untuk membawa Anisa ke suatu tempat. Tak butuh waktu lama, Sinta pun sudah membawa Anisa ke sebuah rumah kosong. Ia di bantu beberapa orang suruhan Hendra untuk membantu Sinta. “Halo Sayang, kamu hebat,” puji Hendra. Pria itu sudah membungkam Anisa dan menguncinya di kamar tertutup. Sementara, ia membawa Sinta ke kamar satu lagi.“Iya dong, Om. Bagaimana uang yang di janjikan?” tanya Sinta.“Tentu, dong aku enggak akan lupa. Tapi, kamu sini dulu.” Hendra menarik tubuh Sinta ke dalam dekapannya. Tangan pria itu sudah bergerak ke seluruh tubuh hingga ke bagian dada Sinta. “Argh,” desah Sinta.“Sayang, kamu sexy,” bisik Hendra di telinga Sinta.Pria itu perlahan membuka baju Sinta lalu kembali membuat pe
“Sialan!” Abas berteriak keras hingga membuat sekeliling menatapnya, begitu juga dengan Wisnu yang juga heran dengan Abas.Sambungan itu terputus sampai membuat Abas panik. Napasnya tersengal-sengal memikirkan Anisa yang kini berada di tempat tidak aman.“Ada apa?” tanya Wisnu.Abas menceritakan apa yang sedang terjadi, ia pun bercerita tentang Hendra, orang yang ingin mengambil semua harta milik Anisa. Kini, ancaman itu terjadi dan Abas kecolongan menjaga Anisa.“Kita ke kafe sebelah,” ujar Wisnu.Abas pun mengikuti apa yang Wisnu katakan, mereka ingin melihat rekaman cctv. Keduanya ingin tahu apa Sinta terlibat dengan semua yang menimpa Anisa. Setelah meminta izin pihak kafe, mereka dapat melihat CCtv itu. Terlihat saat Sinta dan Anisa masuk, terlihat sangat biasa dan tak ada yang harus di curigai. “Itu, coba pause!” titah Wisnu.Pria itu menunjukkan saat Sinta membopong Anisa lalu di sambut beberapa pria yang membantunya memasukkan ke mobil. “Ya, itu Sinta. Pause saat m
Mbak Lastri terkesiap saat ada panggilan masuk ke ponsel Anisa. Ia menatap dengan penuh kebimbangan untuk menerima panggilan atau tak menjawabnya. Namun, ia kasihan melihat Anisa yang sejak tadi di siksa Sinta. Mbak Lastri pun tak senang dengan wanita yang di bawa oleh Tuannya. Namun, ia tak bisa berkhianat karena ia terlalu peduli dengan pria bernama Hendra itu. Lagi, panggilan masuk itu terus berdering. Akhirnya Mbak Lastri membuka pesan masuk lalu mengirimkan share lokasi di mana Anisa kini berada.[Nisa, ini kamu yang Kirim?]Mbak Lastri bingung membalasnya. Tangan itu gemetar saat mendengar teriakkan Anisa dari ruangan di mana dia di sekap. Secepatnya ia pun mengetik balasan.[Cepat datang ke sini. Aku hampir mati, aku tidak bisa banyak membalas]Mbak Lastri langsung menyimpan kembali ponsel itu. Lalu bangkit ke luar kamar untuk melihat Anisa.Sementara, Sinta pun semakin menjadi saat kembali menginjak kaki Anisa. Lalu tangan itu menjambak rambut panjangnya. Sejak tadi i
Bu Asih terlanjut sakit hati dengan Wisnu dan keluarganya. Bahkan melihat wajah pria itu saja sudah tak mau. Pengusiran secara halus sampai kasar pun ia lakukan. Bukan karena sudah menjadi kaya raya seperti yang di katakan Bu Atik. Akan tetapi, lebih ke rasa sakit hati setelah anaknya terusir dan perlakuan mereka padanya. Di jadikan pembantu tanpa di bayar dan kenyataan yang harus diterima Anisa saat Wisnu berselingkuh.“Sebaiknya kamu pergi dulu,” pinta Abas. Dengan berat hati Wisnu pergi walau ia ingin sekali bertemu dengan Anisa. Ia tak bisa tetap di sana karena akan memperuncing masalah. Pria itu pamit dan gegas pergi.“Sebaiknya kamu jangan percaya sama orang yang telah berkhianat. Ibu enggak mau kalau ternyata dia memiliki akal bulus dan membuat semuanya hancur,” ujar Bu Atik. “Iya, Bu. Maaf,” jawab Abas.Mereka semua masuk ke ruangan Anisa karena suster mengabari Anisa sudah sadar. Sang ibu memeluk Anisa dengan cemas, melihat beberapa luka lebam membuat Bu Asih miris d
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h