Mbak Lastri terkesiap saat ada panggilan masuk ke ponsel Anisa. Ia menatap dengan penuh kebimbangan untuk menerima panggilan atau tak menjawabnya. Namun, ia kasihan melihat Anisa yang sejak tadi di siksa Sinta. Mbak Lastri pun tak senang dengan wanita yang di bawa oleh Tuannya. Namun, ia tak bisa berkhianat karena ia terlalu peduli dengan pria bernama Hendra itu. Lagi, panggilan masuk itu terus berdering. Akhirnya Mbak Lastri membuka pesan masuk lalu mengirimkan share lokasi di mana Anisa kini berada.[Nisa, ini kamu yang Kirim?]Mbak Lastri bingung membalasnya. Tangan itu gemetar saat mendengar teriakkan Anisa dari ruangan di mana dia di sekap. Secepatnya ia pun mengetik balasan.[Cepat datang ke sini. Aku hampir mati, aku tidak bisa banyak membalas]Mbak Lastri langsung menyimpan kembali ponsel itu. Lalu bangkit ke luar kamar untuk melihat Anisa.Sementara, Sinta pun semakin menjadi saat kembali menginjak kaki Anisa. Lalu tangan itu menjambak rambut panjangnya. Sejak tadi i
Bu Asih terlanjut sakit hati dengan Wisnu dan keluarganya. Bahkan melihat wajah pria itu saja sudah tak mau. Pengusiran secara halus sampai kasar pun ia lakukan. Bukan karena sudah menjadi kaya raya seperti yang di katakan Bu Atik. Akan tetapi, lebih ke rasa sakit hati setelah anaknya terusir dan perlakuan mereka padanya. Di jadikan pembantu tanpa di bayar dan kenyataan yang harus diterima Anisa saat Wisnu berselingkuh.“Sebaiknya kamu pergi dulu,” pinta Abas. Dengan berat hati Wisnu pergi walau ia ingin sekali bertemu dengan Anisa. Ia tak bisa tetap di sana karena akan memperuncing masalah. Pria itu pamit dan gegas pergi.“Sebaiknya kamu jangan percaya sama orang yang telah berkhianat. Ibu enggak mau kalau ternyata dia memiliki akal bulus dan membuat semuanya hancur,” ujar Bu Atik. “Iya, Bu. Maaf,” jawab Abas.Mereka semua masuk ke ruangan Anisa karena suster mengabari Anisa sudah sadar. Sang ibu memeluk Anisa dengan cemas, melihat beberapa luka lebam membuat Bu Asih miris d
“Memang kenyataannya, kan. Lihat Windy, baru beberapa bulan menikah saja sudah di ceraikan. Alasan utama adalah ketidak becusan Windy mengurus suami. Saat Fahmi bekerja, dia malah keluyuran bahkan ke rumah ini untuk menumpang makan. Apa namanya kalau kamu tidak bisa mendidik anak?” Pak Hartawan meninggikan suara.Bu Atik tidak terima, tapi memang kenyataannya sang suami benar. Windy seolah-olah tak mengerti dengan tugasnya sebagai seorang istri.Pak Hartawan pun kembali meminum teh hangatnya. Ia merasa hidupnya kini sudah tak ada gairah untuk lebih baik karena merasa masa depannya hancur dalam perbisnisan.Terdengar deru mobil Wisnu, Bu Atik gegas menghampiri sang anak karena pusing menghadapi sang suami yang sejak tadi terus saja mengomel. “Nu, kamu baru pulang, dari mana?” tanya sang ibu.Wajah Wisnu terlihat sangat lelah, ia malas juga menjawab pertanyaan sang ibu. Namun, Bu Atik terus saja mendesak.“Bertemu teman, siapa tahu bisa menanamkan saham di perusahaan Papa. Aku capek, b
“Semua hal yang tidak mungkin bisa saja terjadi, semisal saat Anisa berubah pikiran dan kembali pada Wisnu. Hal itu tentu tidak terduga bukan, apalagi jika Anisa melihat sisi baik laki-laki itu. Apa saya tidak cemas?” Bi Asih sedikit menarik napas dalam saat ia membayangkan hal yang tak akan terduga.Amira pun tak berpikir sampai ke sana. Ia hanya percaya jika Anisa itu tidak gegabah dan sudah bisa membedakannya saat dirinya kaya raya akan ada orang-orang yang dulu menjauh kini akan mendekat dengan sengaja.“Ibu tidak usah cemas, aku tidak akan kembali pada dia,” ujar Anisa yang tanpa sengaja mendengar perbincangan keduanya. Bu Asih merasa tidak enak saat Anisa tiba-tiba datang. Hanya saja ia mencemaskan sang anak yang takutnya jatuh kembali ke lubang yang sama. Hal itu tak ia inginkan terjadi kedua kalinya.“Walau Mas Wisnu berulang kali meminta rujuk, aku tetap pada pendirian kalau tidak akan pernah kembali padanya. Kenapa Ibu harus mencemaskan masalah ini?” “Maafkan ibu, Nis
Abas menggeleng lalu ia menarik kepala Anisa dan mencium pucuk rambutnya. Ia percaya kalau Anisa tidak akan berpikir untuk kembali pada Wisnu. “Hm, Nis.” Wisnu sudah berada di ambang pintu menunggu keduanya yang sedang bermesraan. Api cemburu sedikit membakar hati Wisnu, apalagi saat pria itu mencium pucuk rambut mantan istrinya itu.“Aku ke luar saja dulu,” pamit Abas.”Anisa mengangguk lalu melihat Abas yang sudah ke luar dari ruangan. Sementara, Wisnu memenangkan diri dari rasa cemburu. “Kabar kamu Bagaimana?” tanya Wisnu.“Bisa kamu lihat sendiri aku sudah bisa kembi bekerja.” Anisa menjawab santai.“Maaf untuk semuan yang telah aku lakukan. Aku berharap kamu bisa memaafkan aku walau memang itu sangat sulit. Banyak hal yang aku alami dan aku yakin itu semua buah dari apa yang aku tanam,” ujar Wisnu.Anisa tak bisa berkata-kata mendengar semua pengakuan dari mantan suaminya. Tidak ingin seperti kemarin, Anisa bersikap dingin dan enggan terlalu memberikan rasa iba padanya
Keyakinan Abas berubah saat melihat kembali wajah Kinara yang begitu sembab. Sejak dulu ia tak pernah bisa melihat mantan kekasihnya itu menangis. Dengan bujukan Alfian juga, akhirnya ia menghampiri Kinara dan ibunya.Melihat kehadiran Abas dalam pemakaman sang ayah, Kinara langsung memeluk Abas dengan erat. Selain ia butuh tempat mengadu, ia pun sudah sangat merindukannya.“Bas, Papa,” ujarnya dengan isak tangis.Abas kikuk dengan keadaan yang sedang ia alami. Di satu sisi ia merasa iba, tapi di sisi lain dirinya merasa bersalah pada Anisa di rumah. Perlahan Abas melepaskan pelukan mantan kekasihnya itu. Pelan ia mulai bicara pada Kinara kalau dia turut berduka cita dan meminta maaf baru sekarang bisa bertemu dengannya.“Kamu yang sabar dan kuat.” “Terima kasih, Bas.” Selesai pemakaman Abas pun langsung beranjak ke mobil. Kinar kembali mengejarnya sampai ke parkir mobil. “Bas, aku mau bicara,” ujar Kinara. “Ki, semua sudah tak ada yang harus di bicarakan. Aku datang k
Kinar tersenyum mendengar apa yang di usulkan sang ibu. Mungkin ia bisa melamar di kantor sang mantan kekasih. Apalagi jika dirinya bisa bersama dengan Abas yang mungkin bisa ia luluhkan kembali hatinya.Bu Zani pun kembali tersenyum, lalu membuka web yang kebetulan perusahaan Abas sedang mencari karyawan di divisi keuangan. Sebuah keberuntungan karena Kinar adalah lulusan sarjana ekonomi. “Mama mau ke luar dulu. Jangan lupa kamu kirim CV, kali saja bisa langsung di hubungi.”“Baik, Ma.”Bu Zani pun ke luar dari kamar Kinar. Ia berharap sekali jika sang anak bisa kembali merajut cinta dengan Abas. Lumayan karena kini suaminya sudah tidak ada jadi tidak ada penghasilan. Memang sejak dulu ia sangat materialistis.Sementara, Kinar langsung mengirimkan CV pada perusahaan Abas. Hal yang ia ingat terakhir kali adalah sebuah kejutan yang Abas berikan. Sebuah keputusan untuk berpisah dan memutuskan untuk tidak bersama. Kinar menarik napas panjang, harapannya kembali tubuh. Kesedihan k
Pertanyaan sang suami membuat Anisa tertawa, bagaimana bisa Wisnu datang saat mantan istrinya menikah lagi. Itu sama saja membuat hati semakin panas dan tak tenang.“Aku sudah mengundang kok, tapi dia enggak datang ya sudah. Itu pilihan, Bas.”Bijak pikiran Anisa, ia tak merasa marah saat mantan suaminya tak datang. Lagi pula baginya cukup melihat karma dan penderita yang ia alami. Dirinya kini berbahagia dan sudah melupakan semua aksi untuk rujuk ia tak akan mau. Mereka pun kembali menyalami beberapa tamu yang sengaja ingin mengucapkan selamat pada keduanya. Dari kejauhan, Bu Asih dan Amira pun menikmati kebahagiaan yang terpancar dari kedua mempelai.Butuh waktu cukup lama untuk menyatukan mereka karena banyak hal yang membuat keduanya berpikir untuk bersatu. Terutama Anisa yang masih trauma. Bahkan, Amira pun mengingat beberapa waktu lalu saat sang anak datang ke pemakaman sang mantan kekasih. Ia sangat takut hal itu memengaruhi pikiran dan hati Abas. Untung saja semua kecemas
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h