Bu Atik mengela napas panjang, benar perkataan sang anak jika semua tak bisa di ubah. Harusnya mereka semua berlalu baik pada Anisa, bukan menuduhnya kacang lupa kulitnya.“Dia pantas bahagia, kita yang terlalu naif jika mengatakan Anisa lupa saat dia susah.”Bu Atik tak banyak bicara karena ia tak bisa mengelak apa yang dikatakan sang anak. Perbuatannya pada Anisa pun tak bisa dimaafkan, ia memperlakukan dirinya sebagai pembantu tanpa bayaran. Berteriak seenaknya, juga memakai dan menghujat setiap hari. Hal itu tentu membuat Anisa tak akan bisa melupakan setiap perbuatannya. Bahkan, Anisa pun sudah mempermalukan dirinya di depan semua orang. “Ibu!” Windy masuk dan langsung memeluk sang ibu. Bu Atik keheranan saat sang anak datang dengan membawa beberapa tas. Windy menangis sesenggukan saat berada di pelukan ibunya.“Kenapa kamu?” tanya Wisnu. “Mas Fahmi mengusirku, katanya dia menyesal memiliki istri seperti aku.” Windy menjelaskan dengan sesenggukan, sedangkan Wisnu mengepa
Hendra tertawa penuh kebahagiaan, ia pikir Anisa memberinya lampu hijau. Pria itu bersemangat saat menatap wajah cantik yang berada di hadapannya kini. Namun, Abas merasa tidak suka dengan apa yang di lakukan Anisa. “Aku pasti akan bisa adil, bahkan memperlakukan kamu bagai istri pertama karena kamu—.”“Karena aku aset yang paling berharga dalam mendapatkan harta dan perusahaan kakekku, begitu?”Anisa menatap Hendra dengan tajam. Kebenciannya pun mulai tumbuh karena sifat Hendra mirip mantan suaminya. Hanya memikirkan harta dan harta. Pria seperti Hendra pun tak akan pernah bisa setia dengan satu perempuan.“Enggak kok, Anisa Sayang.”“Sayangnya, kali ini aku memilih Abas. Saya enggak suka tipe pria berpoligami. Satu lagi, jangan pernah berpikir akan mengambil harta ayahku karena aku akan tetap bertahan dengan apa yang aku miliki. Silakan pergi dari rumah ini, kamu hanya benalu yang menumpang hidup di atas harta kekayaan kakekku.”“Kamu akan menyesal Anisa. Jangan sombong!”“S
Abas dan Anisa terkesiap mendengar suara Bu Asih, apalagi keduanya salah tingkah dan mulai muncul bumbu-bumbu cinta di antara mereka. Anisa pun langsung mencari akal menjawab ucapan sang ibu. “Ehm semalam Anisa hampir jatuh, karena tersandung. Untung aja enggak luka.”Abas berdusta dan mencari alasan. Bu Asih menghampiri sang anak lalu memperhatikan kaki Anisa yang katanya sakit terjatuh. Anisa pun pura-pura meringis saat ia bergerak pelan. “Kamu enggak apa-apa, Nak?” tanya Bu Asih. Anisa merasa tidak enak karena telah membohongi sang ibu. Namun, tidak mungkin ia mengatakan kalau dirinya habis berciuman dengan Abas. Walau tidak akan marah, tapi rasanya tak baik saja mengatakan hal seperti itu. “Bu hanya syok saya akunya. Aku mau pamit dulu,” ujar Anisa dan langsung mencium takzim punggung tangan sang ibu.Tak lama Abas pun menyusul karena mereka pun akan pergi bersama. Di dalam mobil, Anisa masih canggung. Begitu juga Abas, yang merasa tidak enak mengingat kelancangannya sem
Nina sedikit gugup lalu menyimpan kembali ponsel ke saku baju. “Dari pacar saya, Nyonya.”“Oh, kalau pacaran jangan lupa ya kalau ingat kerjaan. Jangan sampai kamu malas,” ujar Bu Atik.“Iya, Nyonya.” Bu Atik pun langsung mengabaikan Nina, ia langsung menuju ke kamar untuk bersiap untuk bertemu beberapa teman. Sementara, Windy pun kembali ke kamar dan malas-malasan di kamar itu. Nina berpikir jika ada Windy, pasti ia tak akan leluasa untuk berduaan dengan Wisnu dan harus mencari tempat lain. Nina pun mengirim pesan pada Wisnu. [Mas, sepertinya kita akan lebih susah untuk berduaan karena ada adik mas, apa enggak kita keluar saja.]Nina kembali menyimpan ponsel ke sakunya. Lalu mengerjakan pekerjaan lain sembari menunggu pesan dari Wisnu. Nina mengambil baju Wisnu dan ingin mencuci. Namun, terlebih dahulu ia menciumi baju itu. Rasa kangennya pun hilang seketika saat mencium aroma baju kekasihnya yang tak alin adalah sang majikannya.“Heh, kamu ngapain cium-cium baju suami
Kesetiaan yang selalu Anisa pertanyakan. Ia tak mau kecewa untuk kedua kali. Apalagi mengingat dirinya dan Abas baru saja saling mengenal. Wisnu yang sudah mengenal lama saja bisa membuatnya kecewa, apalagi cinta kilat Abas dan dia. Semua tak ada yang tidak mungkin terjadi. Anisa hanya menjaga-jaga dari hal yang tak terduga kali ini. “Aku tidak butuh janji, hanya butuh kesetiaan dari kamu. Buktikan saja,” ucap Anisa. Ia menatap Abas dingin, sedangkan pria itu terus saja berpikir tentang apa yang di katakan Anisa.Dalam hal seperti ini Abas bingung bagaimana memberikan kesetiaan pada Anisa. Dirinya saja masih sedikit memikirkan mantan kekasihnya, Kinar. Hal itu membuatnya terkadang tak yakin dengan apa yang akan dijalaninya. Padahal ia saja sudah berusaha meyakinkan Anisa. Anisa tersenyum melihat Abas bergeming. Ia paham dan mengerti lalu melangkah ke luar tanpa peduli apa yang kini di pikirkan Abas. Anisa mengembuskan napas kasar, lalu mengambil minum yang sudah di sediakan di lu
“Kamu mau menceraikan aku?” Sinta kembali meninggikan suara.“Cukup, aku lelah. Besok kita bahas lagi.” Wisnu pun mengambil posisi di ranjang dan menutup seluruh tubuh dengan selimut. Pikirannya sedang tidak baik-baik saja sejak pagi. Bahkan saat memikirkan Anisa yang jauh berbeda dengan Sinta. Istri pertamanya itu tidak pernah berteriak saat bertengkar dengannya. Berbeda dengan Sinta, masalah sedikit saja sudah naik pitam.Lagi, Wisnu merasa menyesal dengan apa yang di lakukan dirinya pada Anisa. Berulang kali ia memejamkan mata, tapi bayangan Anisa kini menghantuinya. Sinta pun memunggungi sang suami. Tangannya mengepal keras, ia mulai curiga dengan Wisnu. Sesaat terdengar dengkuran dari sang suami, menandakan bahwa Wisnu sudah terlelap. Lalu, saat ingin memejamkan mata, ia mendengar Wisnu mengigau.“Ah, enak, Nin. Ah Nina, goyangannya indah. Ah, saya suka buah dada kamu.”Sinta terkesiap mendengar Wisnu mengingau. Ia membuka selimut, Wisnu pun masih mendesah dan menyebut na
Keringat dingin muncul di seluruh tubuh Nina saat melihat Sinta memberitahu jika ia menemukan antingnya. Sinta mengangkat tangan dan menggoyangkan benda kecil itu.Nina pun menghampiri untuk memastikan, benar pikirnya kalau anting itu miliknya. Mungkin terjatuh saat ia berada di kamar bersama dengan Wisnu. Sinta menyunggingkan senyum melihat wajah pucat pembantunya.“Ini, sama enggak?” Sinta bertanya sembari bangkit dan memperhatikan anting yang berada di telinga Nina. Sinta menahan emosi saat melihat benar anting itu memang milik Nina. Harusnya ia langsung menghajarnya bahkan membunuhnya. Namun, ia akan melihat permainan perempuan jalan itu lebih dahulu. “Eh, i—iya. Ini punya saya, aduh terima kasih Nyonya. Ketemu di mana?” tanya Nina ragu.“Di kamar saya, enggak jauh di pinggir ranjang. Kok bisa ada di sana, sih?” tanya Sinta pura-pura bingung.“Mungkin, saat saya mengganti seprei waktu itu. Pak Wisnu yang meminta, Nyonya.”“Mungkin, sih. Tapi, kamu ke kamar saya berduaan s
Sinta memanas, tangannya mengepal keras. Tak terima dengan perkataan sang suami yang cukup menyakitkan, ia pun menghampiri Wisnu. Tamparan cukup keras mengenai pipi Wisnu. Sinta tak terima dirinya disamakan dengan Nina. Apalagi, di cap pelakor oleh sang suami. Pertengkaran itu membuat pak Hartawan sakit kepala dan mual. Bahkan, ingin sekali menendang sang anak dari rumahnya.“Kalian semua biadab. Kamu Wisnu, berbuat zina di rumah saya. Dasar sudah gila! Punya pikiran tidak kamu?” Suara keras Pak Hartawan membuat Nina dan Sinta terkesiap. Pasalnya pria tua itu tak pernah semarah itu.Untung saja Bu Atik dan Windy sudah datang dan merelai pertengkaran itu. Keduanya heran dengan Nina yang sudah babak belur. Juga Sinta yang wajahnya memerah bagaikan tomat.Windy menatap Nina yang wajahnya penuh luka cakaran, lalu beranjak ke sang kakak yang tak kalah kacau. Netranya memandang Wisnu dari atas ke bawah, juga Nina yang ketakutan di ujung tembok.“Kalian gila, Mas, kamu juga enggak miki
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h