Anisa pamit ke toilet, ia terkesiap saat lengannya ada yang menarik. Ia membalikkan badan. Sesuai dugaan, akan ada Wisnu yang meminta penjelasan dan kepo dengan kehidupan barunya.“Nis, ini kamu?” tanya Wisnu.“Kenapa, kaget lihat aku yang seperti ini?” tanya Anisa. Senyum tipis menghiasi bibir munggilnya hingga membuat Wisnu pun bergetar melihatnya.“Nis, kamu benar-benar cantik. Dari dulu sampai saat ini, Nis. Sayang maafkan, aku, kita kembali sama-sama seperti dulu dan kita jalani program bayi tabung yang kamu inginkan dulu. Bagaimana?”Anisa menepis tangan Wisnu yang hampir memeluknya. Ia memundurkan langkah saat pria itu mendekat.“Tolong jangan mendekat, kita bukan suami istri lagi. Ingat itu, kamu pikir setelah penghinaan keluarga kamu, aku akan kembali sama kamu. Kenapa baru sekarang kamu mengiyakan program itu, bukannya dulu kamu menolak? Aku tahu, karena kamu melihat aku menjadi pemilik perusahaan?” Netra Anisa tak dapat berbohong tentang kebanciannya pada Wisnu.Pria itu me
Wajah mantan ibu mertua Anisa pun memerah, tubuhnya bergetar dan hampir saja oleng jika dirinya tak berpegangan pada meja. Mendengar perkataan Anisa membuat ia takut juga malu.“Sepertinya Bu Atik kurang kuat menghadapi sesuatu. Contohnya, ketika saya mengingatkan semua perbuatan Anda. Oh, iya, perusahaan suami Anda berada di bawah naungan perusahaan saya. Untung saja saya sudah tidak menjadi menantu Ibu Atik yang terhormat, kalau iya, mungkin kalian akan menguras semua dan menyingkirkan saya, betul atau benar?”Seulas senyum terpancar dari bibir Anisa. Masalah betul atau benar, hanya perumpamaan saja. Anisa mendekati mantan ibu mertuanya, tangan lembut itu mengelus pipi Bu Atik.“Jika saya mau, saat ini juga kalian akan menjadi gembel, tapi tidak semudah itu lepas dari saya. Semua baru di mulai,” ujar Anis.Anisa melenggang meninggalkan Bu Atik yang menganga saat Anisa berlalu melewatinya. Ia melenggang cantik bak majikan yang anggun.Bu Atik sedikit memundurkan langkah, tubuhnya kem
Selesai Anisa mandi, sang ibu pun sudah menunggunya di kamar. Bu Asih sengaja menemukan sang anak karena akan membicarakan sesuatu. Anisa pun duduk menghampiri wanita tua yang kini terlihat lebih segar dan cantik. Memang, uang itu segalanya dan membuat semua terlihat berubah.“Bu, ada apa?” tanya Anisa.“Ibu hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Apalagi, ibu yakin enggak mudah bertemu dengan mantan mertua kamu. Ibu yakin, hati kamu enggak sekuat yang di perlihatkan ke mereka.”Anisa bergeming memikirkan apa yang dikatakan sang ibu. Benar dugaan Bu Asih, sekuat tenaga ia pun ingin berteriak memaki sang mantan mertua. Dirinya begitu membenci wanita yang menoreh luka di hatinya.“Bu, tenang saja, aku akan terlihat kuat di depan mereka. Semua harus aku lakukan agar mereka mendapatkan balasannya.”“Tapi ibu cemas dengan dendam kamu, ibu takut kamu malah tersiksa dengan semua itu.”Seorang ibu hanya mencemaskan sang anak. Bu Asih tidak mau kalau Anisa malah menjadi tidak bahagia. Apal
Senyum Anisa begitu terpancar saat Sinta tak bisa melawan dirinya. Kini, Sinta tinggal menunggu nasib saja. Sementara, Anisa sudah mempersiapkan sesuatu untuk Sinta.“Ini pekerjaan, bukan masalah pribadi. Tidak bisa di campur adukkan. Tidak ada hak Anda mengatakan saya seperti itu,” ujar Sinta membela diri.“Ya, ada dong. Kalau kamu sedang banyak pikiran, otomatis pekerjaan kamu terganggu. Ini buktinya bulan lalu zero. Kosong, apa saja yang kamu lakukan!”Anisa melempar berkas laporan ke wajah Sinta.Hal itu membuat Sinta kembali menjadi bahan pergunjingan bagi para karyawan yang mengintip di jendela.“Saya kasih waktu satu bulan, jika tidak naik 50 %, maka kamu harus siap mengajukan surat pengunduran diri.”Sinta mengangkat kepala, ia terkesiap oleh ancaman Anisa. Mantan istri suaminya itu tidak main-main dengan pembalasannya.Bibir Sinta bergetar hebat, ia tak tahu harus mengatakan apa. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan mengiyakan apa yang dikatakan Anisa.“Silakan kembali.”Diki da
Windy menarik rambut Sinta, lalu tak mau kalah Sinta pun menarik rambut Windy. Keduanya saling jambak dengan kencang.Bu Atik mencoba merelai dengan menarik dan mendorong Sinta. Namun, kekuatannya tak bisa menahan Sinta yang semakin menarik rambut Windy.“Sudah, cukup!” teriak Bu Atik. Namun, keduanya masih terlihat saling tarik menarik. Bu Atik kembali mendekat, ia mencoba kembali menarik tangan Sinta. Akan tetapi, Sinta menangkis hingga mendorong tubuh ibu mertuanya terjatuh dan kepalanya membentur meja.“Ibu!” Pak Hartawan yang baru saja datang langsung menghampiri sang istri.Sinta dan Windy yang sejak tadi saling menjambak pun melirik ke arah sumber suara. Windy langsung menghampiri sang ibu yang sudah pingsan.Pak Hartawan langsung membawa sang istri ke rumah sakit. Tak ketinggalan Windy pun masuk dalam mobil.Sementara, Sinta pun kembali ke kamar. Istri kedua Wisnu itu tak hentinya bolak-balik memikirkan nasib Bu Atik.“Apa aku harus ke luar saja dari rumah ini? Tapi, ke mana?”
Tubuh Anisa bergetar hebat mendengar pernyataan dari Abas. Sejujurnya, ia begitu lemah, tapi ia mencoba kuat agar tidak ada yang tahu jika saat berhadapan dengan musuhnya Anisa merasa sangat takut.“Tidak ada yang bisa mengambil harta ini, termaksud kamu,” ujar Anisa sembari menatap Abas.“Aku? Kamu pikir aku akan merebut hartamu?” Abas tersenyum aneh.“Tidak ada yang tahu bukan, pengkhianatan berkedok pengambilan.”Untuk saat ini Anisa belum bisa percaya dengan siapa pun. Bahkan pada sang Tante yang selama ini sudah membantunya. Bukan tidak berterima kasih. Hanya saja, pengalaman hidup membuat ia tak mudah percaya begitu saja.Bisa saja sang tante juga anaknya malah memanfaatkan dirinya. Semua tidak ada yang tahu, banyak pula orang kepercayaan, seperti pembantu yang setia saja berselingkuh degan majikannya.“Jadi, kamu sampai detik ini belum juga percaya denganku?” tanya Abas.“Begitulah.”“Nis, sampai sini cukup. Tante mau ke luar dulu. Kamu mau ikut apa di rumah?”“Aku mau ke rumah
Windy masih diam seribu bahasa setelah sang ayah mengomeli habis-habisan. Pak Hartawan pun mengantarnya langsung ke rumah, terlihat mobil Fahmi pun sudah bertengger di halaman rumah. Lalu, saat mendengar suara deru mobil, suami Windy pun ke luar.Pria itu menghampiri dan mencium punggung kedua orang tua sang istri.“Maaf, Nak Fahmi. Ibu tadi ada kecelakaan sedikit di rumah jadi Windy mengantar sebentar,” ujar Pak Hartawan.“Iya, Pa. Tadi Windy pun sudah bilang. Tapi, saya tidak bisa ke rumah sakit,” ujar Fahmi.Setelah pamit, kedua orang tua Windy pun langsung pamit dan pergi dari rumah menantunya. Di dalam mobil pak Hartawan terus mengingatkan sang istri agar tidak melakukan hal gegabah. Apalagi bertengkar dengan Sinta seperti hari ini.“Bukan sama Ibu, kok.” Bu Atik masih saja membela diri.“Terserah mau salah siapa, tapi Papa hanya mengingatkan. Apalagi jika ibu mengganggu Anisa lagi. Jangan sampai Anisa marah dan membuat hancur perusahaan Papa. Mau jadi gembel?”Bu Atik bergidik n
Wisnu tak bisa menjawab semua yang dilontarkan oleh Anisa. Ia pun menyesal karena dulu tidak menghentikan sikap sang ibu yang sudah keterlaluan.“Bahkan, saat aku ingin proses bayi tabung, ibumu menolak dengan alasan buang-buang uang saja. Tapi, dia malah selalu menyalahkan aku atas kemandulan kamu!”“Aku tidak mandul, Nisa. Jaga bicara kamu,” ujar Wisnu emosi.“Cukup, jangan pernah berteriak di depan Anisa. Lebih baik kita pergi, Nis,” ucap Abas.“Tunggu.” Wisnu menarik lengan Anisa, tapi Abas gegas melepaskannya.“Jangan pernah sentuh calon istri saya atau kubuat Anda jatuh miskin. Camkan itu!”Tanpa banyak bicara, Abas menggandeng Anisa ke luar dari ruang persidangan meninggalkan Wisnu yang tak berpikir jika Abas mengancam dengan tegas.“Sial!”Wisnu terus menggerutu, harusnya ia masih bisa bersama Anisa jika ia tak menikah lagi. Sungguh penyesalan yang datang terlambat. Kecantikan Sinta mampu membuat ia berpaling.Sementara di mobil, Anisa tak berani menatap Abas. Kejadian tadi sa
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h