"Jauh amat?" desis Karina ketika siang itu pas jam makan siang, Heni mendadak muncul di rumah sakit. Mereka duduk di salah satu bangku yang ada di kantin, menikmati masing-masing satu porsi siomay dengan satu butir telur rebus. "Untungnya juga nggak harus sampai luar kota, Rin. Bayangin kalo dapet di Sulawesi atau Kalimantan? Atau malah Papua sana." Heni melirik Karina sekilas, ia kembali fokus mengaduk siomay miliknya. "Auto nggak dibolehin berangkat sama bang Brian pasti!" tukas Karina sambil menjentikkan jari. "Ah, kudu berangkat lah! Tinggal satu tahapan nih biar aku dapat STR dan sah jadi dokter, Rin!" Heni memekik kecil. Walau bagaimanapun dia terus jadi dokter! Kasihan mas Bagas dan bunda yang sudah keluar banyak uang untuk biaya pendidikannya. Karina terkekeh. Heni enak tinggal satu tahap, nah dia? Karena harus jadi istri si bujang lapuk dan hamil oleh ulahnya, Karina harus mandek koas dan baru bisa lanjut di mana teman-teman lainnya sudah prepare berangkat internship. Na
Brian tertawa terbahak-bahak, membuat Heni yang melangkah di sisinya sontan menimpuki punggung lelaki itu berkali-kali. Kenapa malah tertawa? Brian menyepelekan kekhawatiran Heni? "Mas!! Aku serius!" gumam Heni kesal. "Aku ngerti ... aku paham, Sayang. Tapi tau nggak, ketakutan itu juga yang kini sedang menyiksaku, Sayang! Kau tau?"Alis Heni berkerut, mereka masih dalam perjalanan menuju ruang jaga para dokter, ruang istirahat untuk para dokter jaga maksudnya. Kenapa rasanya jauh sekali ruangan itu? Apa karena efek Heni yang sudah cukup lama tidak menginjakkan kaki di tempat ini? "Kenapa bisa gitu?" Heni meraih tangan Brian, lorong ini sepi, jadi tidak masalah, kan, kalau Heni hendak melangkah dengan menggandeng tangan suaminya? "Kami bakalan tinggal jauh, kita mungkin cuma bisa ketemu seminggu sekali tergantung jadwal masing-masing. Bagaimana aku nggak takut?" gumam Brian serius. "Aku nggak tau siapa-siapa saja nanti teman satu tim kamu. Orangnya bagaimana, sikapnya bagaimana. A
"Besok bawa mobil, nggak tenang aku kalo kamu bawa motor."Brian dan Heni dalam perjalanan ke rumah sakit bakal tempat Heni internship. Mereka hendak survey lokasi dan tentu saja mencari kost untuk Heni tinggal barang satu setengah tahun sampai dua tahun ke depan. "Mas, berlebihan agaknya kalo aku bawa mobil. Motor aja, ah!" tolak Heni yang merasa sungkan hendak membawa mobil. Brian memutuskan mengalah, dia yang akan bawa motor Heni untuk berangkat ke rumah sakit. "Nggak, Sayang! Daripada aku nggak tenang. Tolong jangan bikin suamimu ini gila!"Heni mendesah, dipijitnya pelipis perlahan-lahan. Sementara Brian beberapa kali melirik Heni dari tempatnya duduk. "Aku rasa di dekat rumah sakit bakalan banyak rumah kost. Ayolah, Mas!" rayu Heni yang masih dalam pendirian. Brian gantian mendesah panjang. Ia bungkam, tidak mencoba menjawab permintaan istrinya itu. Ia sendiri belum bisa memutuskan sebelum melihat sendiri kondisi dan lokasi rumah kost yang akan Heni tempati. Kalau memang memu
"Rencana mau buat berapa tahun, Mbak ... Mas? Mau bulanan atau tahunan sekalian?"Brian yang tengah mengamati kondisi kamar kost itu menoleh, menatap ibu kost yang berbadan agak subur itu. Dari wajahnya sih kelihatan sabar, tapi tidak tahu juga, kan?"Rencana sih sampai istri saya selesai magang, Bu. Paling lama dua tahunan lah. Nanti cuma istri yang mau tempati, kalo saya paling pas libur kesini." jelas Brian lengkap."Bisa, Mas. Bayar tahunan aja sekalian biar murah. Kebanyakan yang kost juga pegawe rumah sakit kok. Itu yang kamar belakang itu apoteker, mbak Dila namanya. Terus yang dua berjejer itu perawat, satunya bidan. Banyak kok yang kerja di sana." ujar bu Atun penuh semangat."Gimana, Yang?" tanya Brian lalu mengalihkan pandangan ke istrinya.Heni mengangguk, dari wajahnya Brian sudah tahu dan bisa menebak bahwa sang istri cocok dengan rumah kost ini. Letaknya tepat di samping rumah sakit, cuma butuh lima sampai tujuh menit untuk jalan ke depan dan Heni akan sampai di depan g
"Eh ... kenapa nangis, Mas?"Heni yang baru kembali dari toilet tentu terkejut bukan main ketika mendapati suaminya menitikkan air mata sepeninggalnya tadi. Brian kenapa? Apa yang membuat lelaki itu menangis macam ini?"Habis nelpon mama, Sayang." jawabnya seraya menyeka air mata."Mama marah-marah?" Heni bergegas duduk, menyimak wajah sang suami yang matanya memerah itu."Bukan!" tukas Brian sambil tersenyum. "Bahas rencana masuk PPDS tadi, Sayang." jelas Brian dengan sebuah senyum manis yang tidak mau pergi.Alis Heni berkerut. Ia malah makin dibuat penasaran oleh jawaban dari suaminya ini. Membahas rencana Brian masuk PPDS sampai Brian menangis? Mama mertuanya itu tidak membatalkan tunjangan dana untuk Brian masuk PPDS, kan?"Apa yang bikin Mas nangis kalo gitu?" kejar Heni yang masih begitu penasaran."Kagum sama mama dan papa, Hen. Baru sadar kalo orang tua yang selama ini aku anggap cerewet banget ternyata sesayang itu sama aku." gumam Brian lirih dengan mata yang kembali berkac
Suasana yang tadinya begitu mendung dan tidak bersemangat, kini berubah menjadi begitu panas. Dua tubuh itu kini saling dekap tanpa sekat bahkan hanya selapis benang tipis. Brian terus menyerang sang istri. Dia tidak menyerang dengan senjatanya, melainkan dengan gempuran ciuman dan sapuan ujung lidah yang sukses membuat Heni menggelinjang hebat dan mendesah tidak karu-karuan dibuatnya. Bersyukur sekali mereka hanya tinggal berdua di rumah ini, kalau tidak? Mana bisa mereka melakukan foreplay segila ini? Mana bisa mereka bebas bercinta macam ini? "Maassss!" Heni memekik kewalahan, sementara Brian tersenyum puas ketika sudah kedua kalinya dia membuat Heni banjir dan nampak begitu frustasi macam ini. "Ya ... Sayang?" tanya Brian setengah menggoda tanpa menarik jemarinya dari dalam sana. Brian begitu menikmati lelehan cairan hangat itu keluar dari organ intim istrinya. Begitu menikmati getaran tubuh Heni yang sebelumnya mengejang dengan pinggul terangkat. Brian sangat menikmati itu s
"HENI!" Heni yang hendak masuk ke dalam mobil kontan menoleh, mendapati Karina turun dari mobil dan segera berlari ke arahnya. "Loh, sampai sini, Rin?" tanya Heni yang tidak menyangka kalau Karina bahkan rela jauh-jauh sampai ke rumahnya. Karina tidak menjawab, ia langsung mendekap tubuh itu erat-erat. Membuat mata Heni seketika memanas dan menitikkan air mata. "Hati-hati di jalan, Hen. Semangat iship-nya. Berkabar terus, ya!" bisik Karina dengan suara parau.Heni tersenyum geli sekaligus tersentuh dengan apa yang Karina lakukan ini, ia lantas melepaskan pelukan mereka dan menatap Karina dengan seksama."Aku cuma iship di kota sebelah yang jarak tempuh cuma satu setengah jam, Rin. Bukan ke negara antah berantah!" tukas Heni yang tidak bisa menutupi rasa bahagianya punya sahabat macam Karina ini, ya meskipun orang satu ini keras kepala dan kadang menyebalkan sekali, tapi bagi Heni, Karina itu lebih dari seorang sahabat."Bodo! Tetep jauh itu, Hen. Doain aku cepet iship juga, ya?" u
"Ayo!"Heni yang baru saja ke rumah ibu kost mengantarkan bolu kukus dan beberapa oleh-oleh kontan melongo. Ayo? Ayo kemana? Kamar kost itu sudah lengkap dengan kasur, lemari pakaian, TV serta kamar mandi dalam. Cukup untuk tempat istirahat Heni selepas lelah jaga di rumah sakit. Heni tinggal membawa pakaian ganti, perlengkapan mandi dan air cooler. Semua sudah rapi dan siap pakai dan mendadak Brian mengajaknya pergi? Mau pergi kemana? "Ayo kemana? Semua udah komplit, aku nggak pengen beli apa-apa lagi, Mas." jelas Heni seraya menutup pintu kamar dan melangkah menuju Brian yang duduk di tepi kasur. "Astaga, Hen!" Brian mendesah, mengusap wajah dengan gemas. "Ayo main, lah!" ujarnya dengan mata setengah melotot. Heni kembali melongo, main? Main kemana? "Main kemana, Mas? Katanya nanti jaga malem?" tanya Heni yang masih tidak mengerti maksud dari ajakan Brian. Brian mengeram, ia segera bangkit dan mendorong istrinya ke arah ranjang. Sebuah kode yang Heni tau betul kemana dan apa i
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be