“Inget, meskipun ntar udah di rumah sendiri, jangan asal main teriak aja, Hen!”Suasana mobil yang semula hening mendadak riuh. Irma kontan terbahak, membuat wajah Heni dan Brian kompak memerah. Di detik selanjutnya, tawa Bagas ikut pecah, kompak berbaur dengan suara tawa sang bunda.“iihh ... dari tadi yang dibahas itu mulu!” Heni mencebik, sementara Brian memilih memalingkan muka dan menatap dari kaca jendela.Tawa Irma makin keras. Agaknya kini bundanya itu bisa tersenyum bahkan terbahak-bahak dengan begitu bebasnya. Tidak seperti ketika di rumah dan ada 2 keponakan Heni yang masih di bawah umur. Dasar warga +62, dulu aja ketahuan kelonan dimaki dan diomeli panjang lebar, eh sekarang malah jadi bahan tertawaan. Ah ... agaknya memang Brian dan Heni ini tempat salah.“Abisnya kalian itu polos banget, sumpah! Mentang-mentang penganten baru, jadi dunia milik berdua.” Gumam Irma setelah berhasil mengendalikan tawanya.“Aaaa ... udah ah, Bun.” Rengek Heni dnegan bibir mengerucut.“Mendin
“Sayang ... kita sudah sam—“Brian tertegun, nampak Heni begitu pulas tidur di joknya. Senyum Brian merekah, ia lantas melepas seat belt, melangkah turun untuk membuka pintu gerbang rumah mereka yang kini sudah 100% siap huni dan akan mereka huni perhari ini.Setelah gerbang dibuka, Brian kembali masuk ke dalam mobil, membawa mobil itu masuk ke garasi lalu mematikan mesinnya. Ia kembali turun, membuka pintu sisi yang lain dan membawa tubuh itu ke dalam gendongan.“Astaga, Hen ... berat amat sih?” gumam Brian lalu dengan susah payah memasukkan kunci ke dalam lubang. Kenapa dia tidak membuka kunci dulu baru membawa istrinya ke dalam gendongan seperti ini?Tapi agaknya semesta mempermudah niat baik Brian, pintu itu dengan begitu mudah dibuka dan Brian segera melesat masuk ke dalam. Menapaki anak tangga guna sampai pada kamar atas yang mereka pilih sebagai kamar utama.Dengan begitu hati-hati dan lembut, Brian membaringkan tubuh sang istri ke atas ranjang. Sejenak Brian menatap wajah itu,
Brian memekik sekeras-kerasnya, begitupula dengan Heni. Mereka bebas sekarang karena di rumah ini hanya ada mereka berdua saja. Ini adalah momen pertama kali mereka bercinta di rumah mereka sendiri. Sebuah momen manis yang langsung Brian ukirkan di hari pertama mereka menginjakkan kaki untuk seterusnya tinggal bersama di sini.Brian melengguh ketika sudah tidak ada lagi cairan keluar dari miliknya. Napasnya terenggah-enggah, perlahan ia membuka mata dan tersenyum mendapati wajah sang istri memerah dan bersimbah peluh.“Sumpah demi apapun, kamu cantik banget kalo pas lagi begini, Sayang!” sebuah pujian yang tulus keluar dari mulut Brian, membuat bulu mata lentik itu lantas terangkat dan memamerkan mata hitam legam yang berlumur kepuasan.“Nggak usah gombal!” sahutnya dengan bonus cubitan di hidung Brian.Brian segera meraih tangan itu, mengunci tidak hanya tangan kanan Heni, tetapi juga tangan kirinya tepat di atas kepala. Satu tangan Brian menjelajahi wajah itu, menyeka bulir keringat
Heni menggeliat, tangan itu memeluk perutnya dengan begitu posesif, membuat dia harus sedikit bersusah payah untuk menyingkirkan tangan itu dari perutnya. Setelah berhasil, Heni segera melangkah turun dari ranjang. Mengikat rambut panjangnya dan menguap sesaat. "Udah jam setengah lima, ya?" desisnya ketika sudut mata melirik jam dinding yang menempel di bawah AC. Heni bergegas bangkit, memunguti pakaiannya yang masih berserakan. Mereka tidak memakai baju apapun selepas bercinta semalam. Hanya selimut yang menutup tubuh polos mereka berdua. "Nggak boleh males, Hen! Ada perut anak orang yang perlu kau pikirkan!" desisnya sambil kembali menguap. Ia segera memakai satu persatu pakaiannya kembali. Tentu Heni harus ingat betul status dan posisinya sekarang sudah menjadi istri orang. Banyak sekali tanggungjawab baru yang harus Heni pikul, hal yang membuat Heni mati-matian menahan kantuknya hanya demi membuat sepiring nasi goreng. Atau bubur oat mungkin? Ah ... sepiring mi instan goreng d
Brian kontan terbahak. Kini ia tengah duduk berdua dengan sang istri di meja makan. Menikmati roti tawar panggang dengan isian tuna kaleng plus keju mozarela. Brian baru tahu kalau menikah itu semanis ini. Bangun pagi, duduk sarapan berdua dan bercerita hal-hal konyol yang mengocok perut. Nikmat mana yang hendak Brian dustakan? "Jadi begitu? Pantes tau-tau dapet spesialis." gumam Brian dengan mulut penuh roti. "Salah sendiri sih. Aku udah bilang berkali-kali sama dia, kalo benci sama orang jangan kebangetan. Eh sekarang bucin maksimal dua-duanya." imbuh Heni yang tentu saja tidak akan lupa dengan bagaimana kisah Karina terukir dengan begitu apik dan anti mainstream. Brian mencebik, melirik istrinya yang nampak tengah menikmati sarapannya. "Elah! Kau pikir kamu enggak, apa?" goda Brian dengan bibir mengerucut. "Siapa kemaren yang bilang lebih pilih beranak lima kali daripada jadi istriku? Sekarang apa?"Hampir saja Heni tersedak. Ia buru-buru meraih cangkir berisi teh hangat, meneg
Karina tengah menemani Juna menyusun balok warna-warni ketika suara cempreng yang begitu familiar itu menyapa telinga Karina dengan begitu keras. "Halo keponakan ganteng kesayangan Tante! Aduh duh ... main apa, Sayang?" Karina kontan mencebik, ingin rasanya dia melemparkan balok kayu milik Arjuna sampai sukses mengenai kepala Heni. Sudah tahu lagi main susun balok, kenapa pakai tanya? Heni segera melangkah mendekati mereka, di tangannya banyak sekali plastik bergelantungan. Satu dari banyak plastik itu sudah terlihat apa isinya. Donat! "Berisik amat sih?" protes Karina dengan lirikan mata sinis. "Alah, berisik begini kamu demen kan tiap aku datang? Nih lihat!" Heni memamerkan plastik yang dia bawa, plastik yang kontan membuat Karina terkekeh dan tersenyum lebar. "Tau aja!" desisnya lirih. "Harusnya gitu dong! Masa main ke rumah orang dengan tangan kosong? Kena usir tau rasa!"Kini Heni yang mencebik, namun pandangannya cepat beralih pada Arjuna. Mengabaikan emak Arjuna yang menye
"Astaga! Serius?"Brian kontan lemas, segala upaya sudah dilakukan dengan harapan Heni bisa internship tak jauh dari rumah mereka, namun sayang ... harapan hanya tinggal harapan! Heni mendapat wahana di sebuah RSUD yang jaraknya sekitar 1.5 jam jika ditempuh dengan motor. Bersyukur sebenarnya Heni tidak harus keluar pulau atau kota yang perlu lebih dari 5 jam perjalanan. Tapi bagaimana pun, Brian tetap sedih karena harus jauh dari istrinya. "Serius, Mas! Aku dapetnya di sana. Nanti aku laju deh." gumam Heni yang tahu betul suaminya keberatan dan sedikit kecewa dengan hasil wahananya. "Sejauh itu mau kamu laju? Gimana kalo kamu jaga malam? Jangan buat aku makin khawatir, Sayang!" tentu Brian menolak, sebuah ide gila dan sampai kapanpun Brian tidak akan menyetujuinya. "Terus gimana, Mas?" Heni lemas, jujur dia tidak bisa jauh-jauh juga dari sang suami. Brian nampak berpikir sejenak, sementara Heni duduk membisu di tempatnya. Nampak mereka sama-sama sedang berpikir keras, hingga bebe
Brian menggeliat perlahan, ia merasakan tangan itu memeluk perutnya. Mendekap tubuhnya erat-erat dan membenamkan wajah di dada Brian. Brian terkekeh, tentu dia tidak lupa dengan bagaimana ganasnya Heni tadi. Brian bahkan tidak pernah mengira bahwa sang istri bisa begitu ganas memacu tubuhnya macam tadi. "Ajarannya Karina ini pasti!" desis Brian lirih. Bukan apa-apa, sejak mereka belum menikah pun, Karina sudah begitu aktif mengedukasi Heni perihal aktivitas seksual. Terbukti dengan satu buah flashdisk yang full berisi video mesum, hadiah pemberian Karina di hari sumpah dokter Heni beberapa bulan yang lalu. "Nggak apa-apa sih, asal praktiknya sama aku aja, ya, Sayang?" Brian tersenyum, mengelus lembut wajah yang masih terdapat beberapa bulir keringat sisa aktivitas seksual mereka. Cup. Sebuah kecupan dihadiahkan Brian untuk Heni, ia perlahan-lahan melepaskan tangan Heni yang memeluknya. Membetulkan letak selimut dan turun perlahan-lahan dari ranjang. Ia segera memunguti pakaian
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be