Brian melangkah dengan begitu santai masuk ke dalam ruang IGD. Hari ini agaknya cuaca begitu cerah. Dia harap hari ini sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ya ... Brian berharap dia bisa sedikit lebih santai hari ini. Sebuah harapan yang langsung pupus begitu dia lihat hampir semua bed yang ada IGD full!
Brian mendesah, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan tersentak luar biasa ketika melihat sosok itu tengah menjahit dahi pasien.Brian mengucek matanya, dia tidak salah lihat, kan? Itu Heni? Sedang jahit luka? Tapi bukan kah dia ... Brian melangkah mendekat, hendak memastikan bahwa dia tidak salah lihat atau tengah berhalusinasi semata."Heh itu!" Brian menunjuk dengan suara lantang. "Sejak kapan anak seni tari ikut koas?" Heni anak fakultas seni tari, itu yang Brian tahu. Bukankah Heni memperkenalkan diri sebagai mahasiswa fakultas seni tari semester akhir? Sedang skripsi? Kenapa dia mendadak muncul di IGD dan menjahit luka?Gadis itu menoleh, menatap Brian dengan mulut setengah terbuka. Sebuah jawaban bahwa benar gadis itu adalah Heni! Bekas luka di tangannya masih ada, tidak tertutup lengan snelli pendek yang dia gunakan. Brian melangkah hendak menghampiri Heni. Kenapa bisa dia di sini dengan atribut koas?"Anak seni tari siapa sih, Yan?" Yeni, rekan sejawat dokter umum, memburu langkah Brian."Dia, yang di bed paling ujung! Dia anak seni tari." jawab Brian menjelaskan. Telunjuknya kembali menunjuk Heni yang nampak memucat."Mana ada anak seni tari bisa lolos dan ikut koas? Dia lulusan kedokteran, Yan!" jelas Yeni yang terus memburu langkah Brian.Langkah Brian terhenti, ia terkejut setengah mati mendengar penjelasan itu dan melupakan sejenak niatnya menghampiri Heni padahal tinggal beberapa langkah saja dia sudah sampai di bed tempat Heni berdiri."Di-dia lulusan kedokteran?" tanya Brian tidak percaya."Iyalah!" Yeni menimpuk gemas punggung Brian, matanya melotot gemas. "Pikirmu apa ada jurusan lain yang bisa menyelinap dan ikut koas? Nalar dong!" maki Yeni yang membuat Brian tertegun.Hanya beberapa detik Brian terdiam, dia segera menoleh dan menatap Heni tajam. Melanjutkan langkahnya mendekati Heni dengan mata yang tidak lepas dari sosok itu."Jadi kamu anak kedokteran?" tanya Brian tidak terima. Kurang aja sekali Heni ini? Kenapa segala pakai bohong dan bilang kalau dia anak jurusan seni tari?Heni tampak makin pucat, matanya menatap Brian lekat-lekat sepersekian detik lalu kepala itu menunduk dan nampak takut beradu pandang dengan Brian."Heh, aku tanya nih!" desak Brian dengan nada mulai tinggi, ia masih belum percaya sebelum Heni menjawab langsung di depan matanya.Heni mengangguk perlahan. Sebuah jawaban yang membuat Brian kembali membelalak."Kenapa saat itu bilangnya jurusan seni tari sih?" protes Brian yang masih belum terima dibohongi oleh Heni.Heni mengangkat wajahnya, matanya sudah berani balas menatap mata Brian. Namun dari wajah itu, Brian masih bisa membaca bahwa Heni masih sedikit canggung dan takut bertemu kembali dengannya."Ah sudahlah!" Brian tersenyum ganjil, mendadak ide itu muncul dalam otaknya. Ia mengulurkan tangan ke arah Heni, lalu mendekatkan wajahnya dan berbisik lirih."Nggak nyangka jumpa lagi. Good luck buat koas-mu. Siap-siap aku kerjain, oke?"***Brian sama sekali tidak menyangka bahwa gadis yang secara tidak sengaja ia serempet pagi buta itu ternyata membohongi dirinya! Ngomongnya anak fakultas seni tari semester terakhir, eh nyatanya pagi ini nongkrong di IGD sebagai dokter koas! Benar-benar penipu!Brian bertekad bahwa selama Heni menjalani kepaniteraan klinik di sini, maka Brian akan selalu menekan dan mengerjai gadis itu. Biar saja! Siapa suruh dia membohongi Brian?Brian menatap wajah yang tengah membalut luka seorang ibu penjual gorengan yang terlibat kecelakaan sepulang dari pasar. Nampak gadis itu begitu serius. Membuat Brian tertegun dan menatap Heni dari tempatnya duduk."Cantik juga!" Desis Brian tanpa sadar, sebuah gumaman yang lantas membuatnya terkejut setengah mati. Apa tadi dia bilang? Heni cantik? Tapi dia memang cantik!Brian menghela napas panjang, dia duduk santai sambil memperhatikan gadis itu. Heni memang cantik kok. Tinggi tubuhnya mungkin sekitar 165cm. Kulitnya kuning langsat. Begitu bersih dan khas Indonesia. Hidungnya mancung, tetapi tidak terlalu mancung tapi juga tidak terlalu pesek. Dan jangan lupakan, bibirnya tipis merona kemerahan. Sungguh di mata Brian, Heni menarik sekali!"Yan, kau kenal sama Heni di mana sih?" Yona mendekati Brian, ibu hamil itu nampak kesulitan menarik kursi, membuat Brian sigap menarik kursi untuk sejawatnya jaga IGD itu."Ah, kemarin beberapa hari yang lalu aku nggak sengaja nyerempet dia, Yon." jelas Brian yang masih mengawasi Heni dengan saksama. Ia ingin mencari celah untuk mengomeli atau bahkan bisa kembali menjitak kepalanya."Astaga! Itu yang bikin tangan dia sampai berparut-parut macam itu?" tentu Yona bisa melihat dengan jelas bekas parut yang mulai mengering itu."Iya, itu gara-gara aku serempet. Nggak sengaja sih, dianya mendadak nongol dari gang, gimana nggak panik? Mana agak ngantuk post jaga malam. Yaudah dia aku tubruk!" jelas Brian apa adanya.Masih lekat dalam ingatan Brian bagaimana ia kemudian membawa tubuh Heni dalam gendongan untuk dia bawa ke rumah sakit. Menungguinya terbaring di atas brankar. Hal yang lantas membuat Brian merasakan ada sesuatu yang aneh timbul dalam hatinya.Heni cantik, Brian akui. Walaupun sikapnya kadang agak menyebalkan, namun Brian merasa klop dan cocok mengobrol dengannya. Ia bisa membuat suasana menjadi begitu asyik. Entah mengapa Brian merasa saru frekuensi dengan Heni."Ngawur kamu, Yan. Untung anak orang nggak kenapa-kenapa!" desis Yona sambil geleng-geleng kepala."Aku udah tanggung jawab, Yon! Aku bawa ke rumah sakit, aku bayarin biayanya, aku ajak makan, aku antar pulang. Terus aku harus tanggung jawab yang gimana lagi? Kau suruh aku nikahin dia sekalian gitu?" ujar Brian asal.Tawa Yona pecah, ia terbahak sambil mengelus perut. "Itu kalau kau buntingin dia, kau wajib nikahin dia, Yan." Goda Yona sambil terkekeh."Tapi nggak perlu kau buntingin duluan, kalo kau naksir lamar dan nikahin aja sekalian, Yan! Cantik juga kok!"Brian terkekeh, untuk Yona sedang hamil. Kalau tidak? Sudah bisa Brian pastikan tangannya akan menampol lengan Yona dengan gemas.Dia tidak semesum itu kok! Dia tidak diajari ibunya untuk menghamili anak gadis orang sebelum sah dia nikahi. Itu perbuatan terlarang dan tidak boleh!"Terus soal anak seni tari tadi, dia ngaku ke kami dia anak seni tari gitu?" Yona membolak-balikan status pasien yang tertumpuk di meja.Brian mengangguk mantab. "Entah apa maksud dan tujuannya, yang jelas waktu aku tanya dia ngaku kalau mahasiswa semester akhir fakultas seni tari. Kampret, kan?" Entah mengapa rasanya Brian masih tidak terima dibohongi macam itu.Kembali tawa Yona pecah, ibu hamil itu perlahan-lahan mencoba bangkit. Mengelus perutnya sejenak. Membuat Brian menoleh dan mendadak trenyuh melihat perut membukit itu."Yan, izin goleran di belakang bentar, ya? Pinggang sama punggung rasanya nano-nano."Brian hanya mengangguk dan tersenyum, membiarkan Yona melangkah ke kamar jaga untuk istirahat. Pandangan dan fokus Brian kembali pada sosok itu. Kenapa makin lama gadis menyebalkan itu jadi terlihat begitu menarik dan membuat Brian penasaran?Brian menenteng plastik di tangannya, langkah Brian terasa begitu ringan. Entah mengapa sekarang rasanya Brian begitu semangat berangkat jaga. Padahal biasanya malas setengah mati. Sejak kapan dia jadi begitu semangat dan menantikan jam-jam jaganya? Tentu saja sejak anak jurusan seni tari gadungan yang tiba-tiba muncul dan bergabung di IGD selama masa kepaniteraan kliniknya berlangsung. Begitu sampai di IGD, Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Alisnya berkerut ketika tidak mendapati orang yang dia cari ada di sana. Kemana dia? Bukankah selama ini jadwal jaga mereka selalu diusahakan satu shift? Brian mendapat predikat dokter 'bau' yang tingkat 'bau'-nya sudah tidak dapat ditolerir lagi. Di mana arti 'bau' dalam dunia IGD dan paramedis adalah orang yang suka menjadi 'pembawa' pasien datang ketika dokter atau koas itu berjaga di IGD. Brian menyadari hal itu. Sejak dia koas, predikat 'bau' itu sudah melekat sempurna dalam diri Brian. Membuat dia sering diusahakan
Brian tertegun, menatap nanar layar ponsel yang sudah terputus sambungannya. Hatinya mendadak pedih. Obrolan demi obrolan tadi terus terngiang di telinga. Bagaimana Heni balas memakinya dan mengatakan sesuatu yang membuatnya ketar-ketir. Residen sana ganteng-ganteng? Residen apa yang Heni maksud? Yakin dia masih sendiri? Yakin serius? Bukan apa-apa, predikat residen tidak terlalu bagus untuk urusan asmara. Apalagi di mata mereka, koas cuma macam mainan lucu yang menggemaskan. Yang sayang jika hanya didiamkan saja! Brian mengusap wajahnya. Kenapa sih hubungan dia dan Heni sejak dulu tidak ada peningkatan ke arah yang lebih baik? Kenapa mereka selalu bertikai tiap berinteraksi? Kode Brian kurang kenceng? Atau otak Heni yang terlalu lamban menerima kodenya? Kenapa semua jadi begini? Kalau ketemu tiap hari saja kode yang Brian lancarkan tidak pernah sampai, bagaimana kalau mereka terpisah jarak dan waktu? Ya meskipun kalau pas tidak jaga mereka bisa ketemu, cuma tentu enak kalau mereka
Heni memarkirkan motornya, ia tertegun sejenak sebelum kemudian mematikan mesin dan turun dari motor. Ditatapnya bangunan gedung rumah sakit yang nampak masih baru itu. Kenapa rasanya hati Heni begitu hampa? Kenapa dia lebih suka di RSUD daripada harus di sini? Heni mendesah, ia lantas melepaskan helm, menggantungkan pelindung kepala miliknya lalu perlahan melangkah meninggalkan area parkir. Ia kembali teringat obrolannya kemarin, ketika Brian tengah meneleponnya sore itu. Benarkah Brian merindukannya karena tidak akan ada yang dia siksa kalau Heni koas di sini? Apakah dia tidak merasakan perasaan yang sekarang menyelimuti hati Heni? Semacam perasaaan sepi, hampa dan mmm ... Rindu! "Ini apaan sih? Nggak jelas banget!" Maki Heni berusaha menyingkirkan jauh-jauh dan mengelak dari perasaan yang membelenggunya.Rindu pada sosok itu? Agaknya memang iya, tetapi kenapa rasanya berat dan sulit untuk mengakuinya? Heni tersenyum kecut, terus melangkah mengingat ia harus segera sampai di labor
Anisa mendesah menatap jadwal jaga yang tertempel di dinding. Ada nama dokter Brian di sana. Tanpa ada nama Heni yang itu artinya jam jaga mereka akan sangat menyeramkan sekali.Semua tahu 'kutukan' apa yang dimiliki Brian. Hal yang membuat IGD tidak akan pernah sepi kalau Brian yang berjaga. Sepanjang Brian menjadi dokter umum di RSUD ini, penawar 'bau' itu cuma satu, lebih tepatnya baru ditemukan satu, yaitu Heni. Ketika mereka berdua disandingkan, maka keadaan akan jadi lebih baik ketimbang jika hanya Brian seorang diri. Masalahnya, kini gadis itu dirolling ke rumah sakit lain! Macam mimpi buruk yang terus menghantui perawat dan koas, bahkan dokter senior lain ketika Brian berjaga di IGD, terlebih malam hari. "Nis, kenapa?"Anisa menoleh, tampak Galih menatapnya dengan tatapan heran. Anisa mendesah, membalikkan badan dari papan daftar jaga, memperlihatkan nama Brian tercatat di sana. Hal yang langsung direspon sama oleh Galih. "Dokter Brian jaga malam lagi? What a hell!" runtuk
"Motor aku gimana, Mas?"Brian melotot, ditatapnya Heni dengan tatapan kesal. Motor? Heni malah memikirkan motornya daripada momen mereka ini? "Biarlah, nggak mungkin ilang, Hen!" jawab Brian santai sambil menahan gemas. Ia segera membawa mobilnya melaju dari halaman parkir. Ia melirik sekilas, Heni tidak tampak protes dan itu artinya dia juga sama dengan Brian, begitu rindu momen ini dan tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka ini. "Memang kita mau makan dimsum di mana, Mas?"Brian kembali melirik wajah itu, senyum Brian merekah. Rasanya sudah cukup lama mereka tidak bersama macam ini. Tidak sia-sia Brian datang jauh-jauh dan menculik Heni, akhirnya rasa rindunya terbayar sudah! "Warungnya sih kaki lima, Hen. Tapi aku jamin kamu bakalan suka." Brian tahu, Heni sebenarnya bukan tipe gadis gede gengsi yang tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Tapi dia perlu memberitahukan ini sebelum Heni berekspektasi tinggi terhadap tempat makan yang akan mereka datangi. "Enak?"Kini
Brian mendengus. Kepalanya mendadak pusing. Tentulah setelah ini dia akan mengantarkan Heni pulang. Memang mau apa lagi? Dia hendak menculik dan memperkosa Heni begitu? Bisa saja kalau Brian sudah tidak waras! Tapi dia ini masih waras. Bisa digorok mamanya kalau dia sampai berani macam-macam sama anak gadis orang. Bukan hanya itu, kesempatan dia lanjut sekolah spesialis bisa lenyap kalau sampai Brian membuat olah dan membuat murka sang mama. Sungguh horor sekali! "Iya lah! Memang mau apa lagi sih?" sahut Brian gemas. Dia mencubit-cubit dimsum dengan supit bambu di tangan, membayangkan kalo dimsum di hadapannya ini adalah Heni. "Anter ke rumah sakit lah, Mas. Ambil motor."Brian menghirup udara banyak-banyak. Inhale ... exhale ... Brian lakukan itu berkali-kali. Macam ibu-ibu yang mau partus di VK. "Khawatir banget sih sama motor? Heran aku!" protes Brian tak suka. Memang kenapa kalau Brian mau mengantar Heni sampai kost? Dilarang? Kost Heni ekslusif, bebas. Jangankan antar sampai
Brian menghentikan mobilnya di depan gerbang kost Heni, sejenak dia menoleh, di saat yang bersamaan, Heni tampak juga tengah menoleh menatapnya. "Makasih banyak buat malam ini, Mas."Brian tersenyum, nada suara Heni begitu lembut. Sangat manis sekali di dengar. Kepala Brian terangguk, refleks tangan Brian terulur mengelus kepala Heni dengan begitu lembut. Melihat sikap Heni yang semanis ini, sikap tengil dan menyebalkan milik Brian mendadak lenyap. Dia tidak ingin sikap manis dan menggemaskan Heni ini berubah jadi sikap menyebalkan seperti biasanya. "Besok malam aku jemput. Nggak lupa sama janji kamu, kan?" Brian ikut bersuara dengan begitu lembut, menyamai nada lembut Heni. Senyum itu merekah, sebuah senyum manis yang mampu membuat Brian rasanya ingin memepet Heni lalu meraup bibirnya hingga gadis ini kehilangan napas. Namun pikiran Brian masih jernih, tentu dia tidak boleh gegabah karena bisa jadi sikap gegabahnya malah membuat semua usaha Brian jadi sia-sia. "Tentu. Kabari aja
Brian kontan menggaruk kepalanya, ini masalah Kelvin kenapa jadi dia yang ikut dibuat pusing? Tak tahukah Kelvin kalau Brian sendiri tengah dibuat pusing oleh kisah asmaranya sendiri? Bagaimana cara dia menyakinkan Heni itu sudah cukup membuat kepala Brian sakit! Terlebih saingan Brian sekali lagi tidak bisa diremehkan! Seorang calon spesialis. "Nyokap elu nyusul ke Surabaya? Bawain calon elu kesana gitu?" Brian terpaksa harus meladeni curhatan Kelvin, mau bagaimana lagi? Disaat Brian galau masalah percintaan, Kelvin lah yang selalu punya banyak waktu untuk mendengar setiap keluh kesah Brian mengenai persoalan asmaranya yang selalu ketiban nasib sial! "Iyalah!" tukas Kelvin membenarkan tebakan Brian. "Gila, seniat itu nyokap gue pengen liat gue kawin, Yan!"Brian terkekeh, agaknya setelah ini, gantian Brian yang akan memiliki nasib yang sama dengan nasib sahabatnya. Dipaksa menikah karena usia yang sudah cukup matang? Ah kenapa di negara ini semua orang terlalu memusingkan umur sih?
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be