“Cebong?”Sebenarnya Heni sudah bisa menebak siapa orang yang Brian maksud, tetapi dia hendak memastikan apakah benar orang yang dimaksud Cebong oleh calon suaminya ini adalah Kelvin, kakak nomor dua Karina.“Iya, si Cebong, abangnya Karin itu loh. Yang somplak dan otaknya agak geser.” Sahut Brian yang kini mulai mengaduk-aduk makanannya.Hampir saja tawa Heni pecah. Ngatain orang somplak dan otaknya geser, memang Brian ini tidak, apa? Brian pun sama somplak dan gesernya kok. Pakai ngatain orang lain. Heni menggeleng perlahan, ia kembali fokus pada makanan di piring ketika panggilan itu begitu lembut keluar dari mulut Brian.“Sayang ....”Jika dulu Heni terkesima dan sedikit kikuk dipanggil ‘Sayang’ oleh Brian, kini panggilan itu sudah terdengar sangat familiar di telinganya. Bahkan tidak sekali dua kali Heni memanggil Brian dengan panggilan yang sama. Sebuah panggilan yang membuat senyum Brian merekah sempurna dan bonus peluk kadang kecupan di pipi kalau tempat mereka memungkinkan Br
Brian mendesah panjang begitu Heni turun dari mobil dan melangkah masuk ke bangunan kost yang masih akan dia tempati sampai beberapa bulan ke depan, ya setidaknya sampai kemudian mereka menikah dan Brian bisa memboyong Heni ikut tinggal di kontrakannya.Jantung Brian sudah berangsur normal setelah pertanyaan mematikan tadi dia dapatkan. Untungnya dia bisa tetap tenang dan berpikir jernih. Jadi Brian bisa menjawab pertanyaan itu tanpa membuat Heni curiga. Bagaimana kalau Heni tahu Brian pernah bertahun-tahun lamanya jatuh hati pada Karina? Bisa-bisa Heni membatalkan rencana pernikahan mereka!“Huh!” Brian menghembuskan napas berat, ia lantas turun dan mengejar langkah Heni masuk ke dalam bangunan itu.Baru beberapa langkah Brian menapakkan kaki, ponsel dalam sakunya berdering. Dengan wajah masam, Brian segera merogoh ponsel itu. Ia sangat berharap bahwa itu bukan panggilan dari rumah sakit, dan benar saja! Bukan dari rumah sakit, tetapi dari mamanya. Apa bedanya ini?“Halo ... kenapa,
“Sumpah, orang tuanya loyal banget, Rin.”Pagi itu, Heni sudah nangkring di rumah Karina, tentu saja setelah suami dari sahabatnya itu pergi ke rumah sakit. Kalau tidak? Mana berani Heni pagi-pagi begini sudah mengapeli istri orang? Karina yang nampak tengah menyantap salad buah yang Heni bawakan kontan mengangguk sambil mengacungkan sendok.“Bener, emang dari dulu om Ridwan sama tante Astrid ini loyal banget kalo sama bang Brian, maklum dia kan anak terakhir. Sama kayak kamu.” Jelas Karina lalu kembali menyuapkan buah berlumur saus mayonaise yang dipadu dengan susu kental manis ke dalam mulutnya.“Tapi duit jutaan loh, Rin. Kayak cuma recehan itu asal ngasih aja.”Karina menghela napas panjang, ia meletakkan sendok lalu menipuk lengan Heni dengan gemas.“Ya gimana nggak receh kalau dua-duanya spesialis, anak-anak udah mandiri semua. Kecil lah kalo cuma duit segitu, Hen! Gaji spesialis berapa coba? Belum jasa sama insentifnya, itung aja sendiri.” Gumam Karina bersunggut-sunggut.Heni
Senyum Heni tidak bisa dia tahan lagi ketika pintu kayu berwarna cokelat gelap itu di buka oleh pak Rusman. Dia adalah salah seorang dari developer yang hari ini khusus mengantarkan Heni dan Brian survey rumah dua lantai yang kebetulan sekali mendadak pemesannya yang terdahulu mendadak membatalkan rencanan pembelian rumah tersebut.Hawa sejuk langsung menyapa Heni, jendela kaca di beberapa bagian menyinari ruangan yang masih kosong melompong itu. Sebuah rumah penuh cahaya yang hangat dan sesuai dengan impian Heni. Mata Heni menyapu ke seluruh penjuru ruangan, kakinya melangkah menyusuri lantai bawah yang hanya terdiri dari dapur, kamar mandi dan ruang tamu serta ruang keluarga.“Untuk kamarnya ada dua kamar di lantai atas plus satu kamar mandi lagi, Mbak. Semua sudah ready siap pakai. Entah kenapa dulu mendadak dibatalkan pemesan, padahal dia sendiri sudah cukup banyak keluar uang untuk ini-itu.” Jelas pak Rusman yang bisa melihat betapa calon client-nya ini bergitu tertarik dengan ru
“Eh ... ini udah sebar seragam bridesmaid, nih?”Hampir saja Karina melonjak gembira ketika mendapati paper bag di tangan Heni ternyata berisi kain berwarna cokelat muda, salah satu warna favorit Heni.“Iya lah, kalo mepet, ntar ribet kamu yang cari penjahit. Jadi udah aku sebar aja dari sekarang.” Heni tersenyum, pendangan dan fokusnya kini beralih pada Arjuna yang entah kenapa makin lama wajahnya begitu mirip dengan sang bapak.Anak lelaki loh ini! Katanya anak lelaki cenderung akan mirip ke ibu, kenapa Arjuna plek ketiplek wajah bapaknya begini? Ah ... mau bertanya pun Heni takut, bisa-bisa Karina ngamuk kalau dia permasalahkan wajah Arjuna yang makin mirip bapaknya. Pasalnya Karina selalu dengan lantang meng-klaim bahwa wajah Arjuna begitu mirip dengan dirinya. Ini yang dimaksud mirip dari mana sih? Nggak ada miripnya sama sekali dengan Karina!“Iya bener sih, pengalaman kamu dulu seragam bridesmaid kamu masih belum seratus persen jadi,kan?” gumam Karina yang menatap lekat-lekat k
Brian menatap nanar tubuh mungil yang kemudian ditutup kain putih itu. Darah dari organ vitalnya masih mengalir. Kulit tubuh dan wajahnya memucat. Membuat Brian ikut memucat dengan mata memerah. Oleh para perawat, brankar itu didorong ke keluar melalui pintu belakang IGD, hendak di hantarkan ke dokter lain yang lebih berwenang mengurusi tubuh mungil tidak berdaya itu.Beberapa polisi nampak mengekor di belakang brankar, bersamaan dengan sesosok wanita paruh baya yang sejak Brian datang memeriksa kondisi bocah 9 tahun itu, dia tidak berhenti histeris. Wanita itu adalah ibu kandung dari gadis 9 tahun yang beberapa saat yang lalu masih bernapas dan menatap nanar ke mata Brian. Sebuah tatapan penuh kehancuran dan kesakitan.“Eeh ... ehh ... Dokter!”Suara itu riuh bersamaan dengan merosotnya tubuh Brian ke lantai. Security IGD pun sampai berlari guna membantu Brian berdiri.“Dok, Dokter baik-baik saja?” sebuah pertanyaan bersahutan menyapa telinga Brian, tetapi sungguh, Brian tidak mampu
Heni tersenyum, ia berada di kamar Brian sekarang. Sebuah keputusan nekat yang diambil setelah Brian masih belum sembuh rasa syoknya dari kehilangan pasien kecil yang begitu mengenaskan tadi. Heni ikut melihat bagaimana kondisinya, tidak salah kalau Brian sampai begitu syok. Bagaimanapun dokter juga manusia, kan? Terkadang terlihat 'tega' karena menyayat kulit, membedah dan mengeluarkan isi perut bahkan otak, jantung dan organ lain, tetapi pada hakikatnya, dokter juga manusia. Bisa lelah, bisa sedih, bisa kecewa dan segala macam perasaan yang dapat manusia lain rasakan. Kini setelah kejadian tadi, Brian macam anak kecil yang begitu takut ditinggalkan oleh ibunya. Ia meringkuk dalam pelukan Heni. Matanya berhenti menitikkan air mata karena kini kelopak mata itu terpejam begitu lelap dalam pelukan Heni. Kini malah Heni yang tidak bisa terpejam, ia teringat gadis sembilan tahun tadi. "Nggak salah kamu sampai kayak gini, Yang. Nggak bisa bayangin kalo aku ada di posisi dia." gumam Heni
“Mas, ayo!” Karina menarik tangan Yudha dengan tergesa, Arjuna nampak anteng dalam gendongan Yudha sementara Karina sendiri, ada sebuah bucket mawar besar di salah satu tangannya.Ya ... hari ini, akirnya Heni diambil sumpah dokter setelah lulus dan menyelesaikan masa kepaniteraan kliniknya. Berbeda dengan Karina yang lebih memilih menunda koas demi buah hati tercintanya, Heni akhirnya lulus, setelah ini dia masih harus mengemban tugas ke pelosok sebelum akhirnya bisa buka praktek mandiri.Hmm ... masih akan ada lagi tahap pendidikan yang harus mereka lalui jika ingin menyandang gelar spesialis. Hal yang membuat menjadi seperti mereka tidaklah mudah. Penuh perjuangan, waktu dan tentu saja UANG!“Eh, pelan-pelan, Sayang!”Tentu Yudha panik, jagoan kecilnya ada dalam gendongan dan Karina memaksa Yudha setengah berlari seperti ini? Yang benar saja!Karina tidak mengindahkan, sampai akhirnya langkah Karina terhenti dan dia berteriak histeris.“AAAA ... AKHIRNYA JADI DOKTER JUGA, BUK!” te
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be