Bagas tertegun di tempatnya duduk. Kini dia dan dua sejoli itu duduk di salah satu warung bubur ayam yang cukup ramai. Ia masih syok dan benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata ada sesuatu hal yang disembunyikan adiknya ini dari Bagas dan bunda.Agaknya Heni benar. Bunda akan sangat syok jika tahu anak perempuan kesayangannya ini hampir dilecehkan oleh seniornya di rumah sakit. Bahkan Heni harus rutin mengunjungi psikiater dan sesekali dibekali obat untuk diminum agar bisa sedikit menghilangkan trauma psikis yang Heni alami atas kejadian itu.‘Untung kemarin ada mas Brian, Mas. Kalau enggak, Heni nggak tahu Heni bakal jadi apa nanti.’Tentu kalimat itu masih Bagas ingat dan terekam jelas dalam otaknya.‘Dia baru nyentuh bagian atas tubuh aku, Mas. Lecet dan sedikit memar di bagian dada yang kemarin dijadikan alat bukti, baju aku yang dia sobek dan tentu saja mas Brian dan beberapa orang polisi yang lihat dengan mata kepala bagaimana kondisi aku ketika mereka datang.’Mata Bagas mem
"Ngomong apa aja tadi sama mas Bagas?" tanya Heni menyelidik.Mereka sudah dalam perjalanan ke rumah sakit, seperti biasa, Brian dan Heni pasti selalu dijadwalkan jaga bersama. Entah bagaimana caranya, teman-teman yang lain pasti selalu mengusahakan mereka agar bisa jaga berdua."Kepo amat. Ini obrolan lelaki dewasa." balas Brian dengan senyum geli.Heni mencebik, melirik gemas ke arah Brian yang wajahnya begitu sumringah. Obrolan lelaki dewasa? Memang apa yang mereka obrolkan tadi? "Obrolan pria dewasa yang bagaimana?" Heni yakin, ketika ia pergi ke toilet tadi pasti mereka berdua membicarakan banyak hal.Brian kembali melirik Heni, senyum setengah menggoda tergambar di wajah itu. Membuat Heni mengerucutkan bibirnya setengah gemas."Apaan, kepo nih, Mas!" kejar Heni yang masih sangat penasaran dengan apa yang tadi dibahas."Astaga, penasaran banget sih? Bahas gimana caranya bahagiain istri, bikin seneng istri dan sejenisnya." jawab Brian dengan senyum merekah.Mata Heni membulat, ap
"Dadakan banget sih, Mas? Baru juga dateng main mau balik aja!" gerutu Heni dengan bibir mengerucut.Bagas terkekeh, diacaknya rambut Heni dengan gemas. Matanya tidak lepas menatap Heni yang masih mengajukan protes dengan ekspresi wajah yang dia tunjukkan. "Ada yang ajak reunian temen-temen SMA, Mas. Toh urusan di sini udah kelar, kan? Mas tunggu kabar aja kapan Brian bawa orang tuanya ketemu sama Mas dan bunda. Oke?"Heni menghela napas dalam-dalam, mau tidak mau dia tidak bisa melarang kakaknya untuk kembali pulang, kan? Toh benar apa yang Bagas katakan tadi, urusannya di sini sudah beres. "Biar Heni ant--""Ah tidak perlu! Sudah ada yang akan megantar Mas ke bandara." potong Bagas dengan senyum merekah.Alis Heni berkerut, ia menatap Bagas yang tersenyum lebar. Heni baru hendak buka mulut untuk bertanya ketika mendadak ketukan dan panggilan itu menyapa telinganya. "Mas Bagas, jadi diantar, kan?"Mata Heni membulat, ia tentu kenal betul dengan pemilik suara. Sementara Bagas ia ha
"Kalo begitu ... biar nanti Mas bilang sama bunda, ya?"PLONG! Lega sekali hati Brian mendengar jawaban dari Bagas. Meskipun belum fix juga karena katanya masih hendak dibicarakan dengan Irma. Tapi bukankah harusnya Brian sudah bisa bernapas lega? Dia lihat begitu bagaimana Irma begitu antusias dengan dirinya saat berkunjung kemari. "Serius, Mas?" mata Brian berbinar cerah, senyumnya merekah sempurna. Sama dengan senyum yang tergambar di wajah Bagas. "Mas bohong buat apa sih, Yan? Nggak ada untungnya juga." Bagas terkekeh, tidak perlu bertanya pada Irma sebenarnya, bundanya itu pasti sudah setuju dengan rencana percepatan pernikahan Brian dan Heni. Brian mengangguk, rasanya kalau tidak malu, Brian ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang ini juga. Tapi tentu dia harus jaga image, kan? Dia tengah bersama calon kakak iparnya! "Terima kasih banyak, Mas. Brian ucapkan banyak Terima kasih." ucap Brian tulus dengan mata memerah, saking bahagianya dia rasanya sampai ingin menangis.
"Ngomong apa aja tadi sama mas Bagas? Kok cerah amat sih wajahnya?" selidik Heni dengan mata menatap Brian dengan saksama. Brian tidak langsung menjawab, ia menjalankan mobil meninggalkan depan kost Heni. Memang apa yang harus Brian jawab? Bilang kalau Brian sukses membujuk mas Bagas untuk menyetujui pernikahan mereka dipercepat? Bisa gagal rencana makan malam mereka hari ini! "Banyak, kita cerita banyak hal tadi." dusta Brian dengan senyum merekah. "Mas Bagas asyik ya, sama kayak bunda." gumam Brian mencoba membuat Heni tidak curiga. Heni lantas mencebik. Sama kayak bunda? Apakah itu artinya Brian secara tidak langsung mengatakan bahwa Heni ini tidak asyik? "Samanya cuma sama bunda aja nih? Sama aku enggak? Kan aku adeknya, anak bunda juga!" protes Heni sedikit tidak terima. Dia asyik juga kok, tapi memang kalau dengan Brian, Heni agak sedikit berbeda. Ditanya seperti itu, Brian malah garuk-garuk kepala sambil nyengir. Membuat kerucutan bibir Heni makin lancip. Tidak perlu Brian
Brian benar-benar tidak percaya! Akhirnya setelah berulang kali mencoba menyatakan dan mengajak Heni menikah, kini ia mendapatkan jawaban dari mulut Heni langsung! Heni setuju dan bersedia menikah dengan Brian? Agaknya Brian harus catat tanggal ini sebagai tanggal spesial! "Serius! Masa iya aku bercanda? Aku mau nikah sama kamu, Mas. Tapi janji, tetep boleh lanjut sekolah sama buka praktek, kan?"Mendengar itu senyum Brian makin merekah, mata Brian sampai memerah bahkan. Sebuah kebahagiaan yang tidak terkira untuk Brian. Bagaimana tidak? Sempat tersia-siakan cintanya, kini dia mendapatkan balasan atas perasaan cinta yang begitu dalam ia miliki pada Heni. "Tentu, kamu sekolah sampai S3-pun bakalan aku support, Sayang! Selalu!"Tangan Brian kembali meraih tangan Heni, ia meremas lembut tangan gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Tidak lebay, kan, kalau Brian sampai menangis? Dia begitu bahagia hari ini. Heni pun juga nampak menyembunyikan air mata. Ia memalingkan wajah menatap keluar
"Bentar-bentar!" Heni menatap gemas ke arah Brian. "Konsep nikahan kita ini mau gimana sih?"Mereka tengah duduk di meja kerja seorang desainer undangan, membicarakan bagaimana desain undangan pernikahan mereka yang sudah disepakati oleh ke dua belah pihak akan dilaksanakan dua bulan lagi. Pertemuan sudah dilakukan, dan semua sepakat merujuk pada tanggal itu. Kini disela-sela kesibukan mereka berdua, baik Heni maupun Brian harus kejar target mengurus pernikahan mereka. Dadakan sih, cuma untuk segala macam hal harus tetap diupayakan sempurna, bukan? "Ya konsepnya pokoknya kawin." balas Brian santai, karena yang terpenting bagi Brian adalah itu, kan? Heni mendesah, menatap Brian dengan tatapan gemas. Sementara di desainer undangan nampak sekuat tenaga menahan tawanya. Untuk dekorasi dan lain-lain, sudah diurus bunda yang kebetulan free. Sponsorship terbesar mereka, mas Bagas dan mama-papa Brian, sudah mengatakan bahwa siap menggelontorkan Dana berapapun untuk pesta pernikahan ini. A
“Cebong?”Sebenarnya Heni sudah bisa menebak siapa orang yang Brian maksud, tetapi dia hendak memastikan apakah benar orang yang dimaksud Cebong oleh calon suaminya ini adalah Kelvin, kakak nomor dua Karina.“Iya, si Cebong, abangnya Karin itu loh. Yang somplak dan otaknya agak geser.” Sahut Brian yang kini mulai mengaduk-aduk makanannya.Hampir saja tawa Heni pecah. Ngatain orang somplak dan otaknya geser, memang Brian ini tidak, apa? Brian pun sama somplak dan gesernya kok. Pakai ngatain orang lain. Heni menggeleng perlahan, ia kembali fokus pada makanan di piring ketika panggilan itu begitu lembut keluar dari mulut Brian.“Sayang ....”Jika dulu Heni terkesima dan sedikit kikuk dipanggil ‘Sayang’ oleh Brian, kini panggilan itu sudah terdengar sangat familiar di telinganya. Bahkan tidak sekali dua kali Heni memanggil Brian dengan panggilan yang sama. Sebuah panggilan yang membuat senyum Brian merekah sempurna dan bonus peluk kadang kecupan di pipi kalau tempat mereka memungkinkan Br
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be