Share

BAB 3

Penulis: Selfie Hurtness
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-10 02:33:43

"Diminum obatnya. Hati-hati kalau naik motor!"

Brian melangkah keluar dari IGD bersisihan dengan Heni. Semua pemeriksaan lanjutan sudah dilakukan dan semuanya baik-baik saja kecuali parut panjang di lengan dan tentu saja luka di dahi Heni. Bisa Brian lihat mulut gadis itu mencebik, tidak sedikit pun menjawab nasehat yang barusan Brian berikan kepadanya.

"Sudah baik-baik saja, kan? Aku mau balik!" Brian hendak melangkah lebih dulu ketika tangan itu lantas menariknya.

Brian menoleh, tampak gadis itu melotot kesal ke arahnya. Wajah cantik itu berubah menjadi tambah menggemaskan sekali di mata Brian.

"Heh! Enak aja main pergi!" salak Heni galak.

Bukan hanya Heni saja yang melotot sekarang, Brian pun ikut melotot tajam ke arahnya.

"Aku udah bawa kamu ke rumah sakit, bayar tagihannya dan sekarang apa lagi?" Brian berteriak, matanya masih melotot gemas ke arah gadis itu.

Gadis itu tampak memutar bola matanya dengan gemas. "Ya saya tau, Mas! Tapi motor sama tas saya di mana?"

"Dibawa ke kantor sama polisi. Ambil sana!" Brian mengibaskan tangan Heni, kalau kelamaan tangan Brian digenggam olehnya macam ini, rasanya Brian mau pingsan! Ia kembali hendak melangkah pergi ketika tangan itu kembali meraih tangannya, macam tidak mengizinkan Brian pergi dari sisinya.

"Antar ke sana dong kalo gitu! Masa iya mau ditinggal gitu aja?"

Mulut ternganga, ia benar-benar terkejut luar biasa dan hampir saja berteriak keras-keras. Namun Brian masih mampu menahan diri. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, menghembuskan perlahan-lahan macam orang mau melahirkan. Pandangannya kembali teralih pada Heni yang matanya nampak berbinar cerah itu.

"Oke! Aku antar kamu ke kantor satlantas!" desis Brian lalu kembali mengibaskan tangan itu dan melangkah menuju mobil miliknya.

Brian mendadak sakit kepala. Gadis itu cantik, tapi kenapa dia begitu menyebalkan macam ini?

***

Heni tertegun ketika masuk ke dalam mobil lelaki ini. Nampak ada atasan scrub warna biru dan snelli tergantung dengan hanger di belakang jok. Jadi lelaki menyebalkan ini seorang dokter? Astaga, dokter model apa kelakuannya macam itu?

"Kamu pagi buta udah pecicilan, mau kemana emang?" tanya sosok itu yang sudah duduk dan nampak tengah mengenakan seat belt.

Heni kembali mendengus, "Kepo amat sih? Mau ngapain nanya-nanya?" balas Heni judes.

Heni tengah memasang wajah jutek ketika ia mendadak kepalan tangan itu mendarat di kepalanya, menjitak kepala Heni dengan sedikit keras.

"Kamu itu! Tentulah aku penasaran, kamu bikin aku hampir kena masalah hukum!" desisnya sambil melirik tajam ke arah Heni.

"Eh! Kamu hampir bikin aku kehilangan nyawa, Mas! Atau mungkin cacat? Yang jelas nih lihat, aku lecet-lecet! Pokoknya di sini bukan cuma kamu yang merasa dirugikan, aku juga!" Heni ikut melotot, kalau saja dia tidak butuh tumpangan ke kantor polisi guna mengambil motor dan barang-barang miliknya, ogah dia nebeng lelaki menyebalkan ini!

"Kamu yang bikin gara-gara, kenapa jadi aku yang kamu salahkan?" Lelaki itu masih belum terima, pokoknya yang salah itu Heni. Titik!

Heni hendak mendebat, namun ia ingat bahwa rasanya semua tenaga dan napas yang dia hembuskan untuk bersuara tidak akan ada artinya dan hanya berakhir sia-sia. Jadilah Heni pilih tutup mulut, melipat tangan di dada dan fokus pada jalanan yang ada di depan. Heni benar-benar hendak mogok ngomong, ketika tiba-tiba bunyi memalukan itu terdengar begitu nyaring dan cukup keras efek tidak adanya obrolan di antara mereka.

KRUUKKKK

Wajah Heni merah padam, ia mengumpat dalam hati sambil memasang wajah masam dan frustasi. Harga dirinya mendadak anjlok. Ia berharap lelaki itu mendadak budek, namun sayang, harapan Heni tinggal harapan semata karena sedetik kemudian terdengar suara tawa riuh dari lelaki itu.

"Kamu lapar? Kenceng kali bunyi perut kamu?"

'SIALAN!'

Heni mengumpat dalam hati, rasanya ia ingin menghilang saja dari hadapan lelaki ini. Sungguh ini sangat memalukan sekali!

Heni mengusap wajahnya dengan tangan, ia hirup udara banyak-banyak dan kembali bunyi memalukan itu terdengar! Kenapa sih ini ascaris lumbricoides-nya tidak bisa diajak kerja sama? Tengsin dong sama cowok tengil satu ini!

Kembali tawa itu terdengar, membuat Heni makin tidak punya muka. Ia memalingkan wajah, menghirup udara banyak-banyak sambil berharap mereka segera sampai dan Heni tidak harus bertemu dengan lelaki ini lagi!

Mobil itu terus melaju, mendadak belok ke kanan setelah pasang sein dan spontan membuat Heni tertegun. Mobil ini belok ke sebuah rumah makan! Warung ayam goreng terkenal seantero kota. Untuk apa cowok rese ini membelokkan mobilnya ke sini?

"Loh Mas! Ngapain ke sini?" Protes Heni ketika mobil itu berhenti setelah beres parkir?

Lelaki itu menoleh, tersenyum sambil melepas seat belt-nya. Ia membuka pintu mobil, sebelum melangkah turun, ia menoleh dan menatap Heni dengan saksama.

"Ayo turun! Kita makan dulu!"

***

Heni benar-benar tidak menyangka Mas Dokter menyebalkan ini ternyata baik juga. Kini mereka duduk berhadapan dengan seporsi nasi dan ayam goreng yang baunya sungguh benar-benar menggoda iman Heni.

Heni menatap lelaki itu dari tempatnya duduk, kalau sedang diam dan kalem macam ini, kenapa pesona yang terpancar dari pribadi itu benar-benar luar biasa? Tapi kalau lagi mode on cerewet ... jangan tanya! Heni saja rasanya ingin kabur dan malas berhubungan dengan lelaki ini.

"Makan dulu, ntar baru aku anter ke kantor buat ambil motor sama barang-barangmu!" titahnya sambil mulai menyuapkan nasi dan suwiran ayam ke dalam mulut.

Agaknya cowok ngeselin itu lapar juga. Bisa Heni lihat dari bagaimana dia makan. Tapi sialnya, cacing perut Heni yang nggak ada akhlak! Kenapa pakai bunyi segala sih? Dua kali pula! Tengsin setengah mati jadinya.

"Terima kasih banyak, Mas." Desis Heni akhirnya dengan suara lirih. Ia mulai menyuapkan nasi jatahnya. Menikmati ayam goreng dengan sambal tomat itu setelah semalaman dia menahan lapar.

"Ngomong-ngomong, kamu ini masih kuliah atau bagaimana?"

Heni menelan nasinya dengan susah payah. Dia ini dokter! Jadi tetap pada prinsip aturan tidak tertulis yang tadi Heni katakan, dia tidak boleh mengaku kalau dia ini anak Fakultas Kedokteran yang mulai minggu depan sudah aktif koas! Bisa-bisa habis Heni dibully dokter tengil itu! Intinya rahasia ini harus tetap aman!

"Masih kuliah, Mas. Semester akhir." Jawab Heni berbohong. Padahal dia sudah wisuda. Sudah sah menyandang gelar Sarjana Kedokteran!

"Oh. Ambil jurusan?" Wajah itu terangkat, menatap Heni dengan saksama.

"Seni tari."

Entah setan apa yang merasuki Heni, otaknya mendadak bisa sampai pada jawaban edan yang entah darimana Heni bisa memikirkan jurusan itu. Seni tari? Badan Heni saja kaku setengah mati dan dia suruh menari? Hancur sudah tatanan dunia kalau begitu!

"Wah, pas banget!" Nampak dia menjentikkan jari, hal yang sontak membuat Heni melongo terkejut. "Keponakan kebetulan cari guru tari. Bisa dong jadi guru tari keponakan?"

Skakmat!

Edan! Ini sungguh edan! Heni disuruh jadi guru tari? Hancur lebur tidak berbentuk nanti muridnya punya guru macam Heni ini!

"Ke-keponakan Mas umur berapa emang?" Keringat dingin mulai mengucur dari dahi Heni, mendadak rasa lezat dan nikmat ayam goreng yang tersaji di hadapan Heni lenyap entah kemana. Jantung Heni berdegup dua kali lebih cepat. Kenapa tadi dia mengaku mahasiswi jurusan seni tari sih?

"Masih SD. Gimana, kau bisa?" Kejar lelaki itu yang nampak begitu serius.

Heni nyengir lebar, harus dia jawab apa sekarang? Otak Heni berputar mencari celah untuk menyelamatkan diri. Kebohongan apa lagi yang bisa Heni pakai tanpa harus menjerumuskan dia pada kesialan?

"Ah a-anu, Mas ... Untuk saat ini belum bisa. Fokus ke skripsi dulu."

Heni sangat berharap lelaki itu percaya dan bisa mengerti. Kalau tidak? Habis sudah riwayat Heni. Heni menatap wajan itu dengan takut-takut, hatinya mendadak lega ketika akhirnya lelaki itu mengangguk pelan tanpa banyak bicara lagi.

"Sayang deh, butuhnya sekarang sih. Yaudah lancar-lancar buat skripsimu."

"Ma-makasih, Bang!" Heni tersenyum getir, kembali ia fokus pada makanannya.

Dari cara bicara, bisa Heni lihat lelaki ini lelaki yang baik. Hanya saja, entah mengapa sikapnya yang rese dan tengil itu sungguh terkadang membuat Heni sakit kepala dan kesal! Ada lelaki model begini? Baru kali ini Heni temui dan rasanya Heni sudah tidak ingin bertemu dengan lelaki model begini lagi!

Heni kembali fokus dengan makanannya, begitu pula dengan lelaki tengil itu. Tidak ada lagi pembicaraan membuat Heni kembali sadar bahwa lelaki ini seorang dokter!

Dokter apa dia? Praktek di mana?

Satu harapan Heni adalah, dia tidak dinas di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit yang kelak akan dia gunakan untuk pendidikan pre klinik! Kalau iya? Ah ... bisa Heni pastikan dia akan habis ... habis!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
beneran anak medan kak
goodnovel comment avatar
Cahaya S
author anak medan nih.. menulis Mas, lalu Bang hihi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mendadak Kawin   BAB 4

    Brian membawa mobilnya pergi dari depan Satlantas, gadis menyebalkan bernama Heni Saraswati itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Karena gadis itu, dan juga kecerobohannya sendiri, Brian yang seharusnya sejak tadi sudah sampai rumah dan tidur, harus menunda waktu tidurnya sampai selama ini! Ia melirik jam tangan, hampir tengah hari! Astaga, kepala Brian mendadak terasa begitu sakit. Brian mendesah, membawa mobilnya terus melaju menyusuri jalanan untuk sampai ke rumah kontrakan yang dia sewa untuk satu tahun ke depan. Ada rumah Om Julius sebenarnya, namun Brian tidak mau merepotkan. Lebih tepatnya dia tidak ingin diganggu siapapun ketika dia sudah sampai di rumah ketika beres berjaga. Rasanya setelah jaga, apalagi jaga malam, Brian ingin langsung tidur tanpa ada distraksi apapun. Apalagi anak-anak omnya begitu jahil dan super semua, Brian bisa depresi lama-lama kalau tinggal di sana! "Heni Saraswati."Entah mengapa secara tiba-tiba bibir Brian menyebutkan nama itu. Bayangan wajah

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-10
  • Mendadak Kawin   BAB 5

    Brian mematikan mesin mobilnya. Dia sudah sampai di minimarket yang dia tuju. Segera melepas seat belt dan melangkah turun. Dia hendak melangkah masuk ketika ada tubuh yang menabraknya dari sisi lain."Woy, woles dong, ah!" Teriakan itu ... Brian segera menoleh, menatap siapa pemilik suara itu. Dan benar saja! Gadis yang menabraknya itu Heni! Heni Saraswati!"Ka-kamu ...." Brian terkejut setengah mati, baru tadi Brian mengomel karena bayangan Heni mendadak hadir dalam pikirannya, eh sekarang mereka harus ketemu lagi?Mereka sama-sama terkejut, saling tatap dengan sorot mata tajam. Brian pastikan setelah ini gadis itu akan berteriak-teriak heboh dengan begitu nyaring."Kenapa sih harus ketemu kamu lagi, Mas?" salaknya dengan gemas, ia menjambak rambutnya dengan frustasi.Sebuah protes dan ekspresi yang entah mengapa terasa sedikit sakit di hatinya dan membuatnya agak kecewa. Apa? Kecewa?"Kamu pikir ini minimarket punya nenek moyangmu? Jadi aku nggak boleh ke sini, heh?" balas Brian s

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-10
  • Mendadak Kawin   BAB 6

    Brian melangkah dengan begitu santai masuk ke dalam ruang IGD. Hari ini agaknya cuaca begitu cerah. Dia harap hari ini sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ya ... Brian berharap dia bisa sedikit lebih santai hari ini. Sebuah harapan yang langsung pupus begitu dia lihat hampir semua bed yang ada IGD full!Brian mendesah, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan tersentak luar biasa ketika melihat sosok itu tengah menjahit dahi pasien.Brian mengucek matanya, dia tidak salah lihat, kan? Itu Heni? Sedang jahit luka? Tapi bukan kah dia ... Brian melangkah mendekat, hendak memastikan bahwa dia tidak salah lihat atau tengah berhalusinasi semata."Heh itu!" Brian menunjuk dengan suara lantang. "Sejak kapan anak seni tari ikut koas?" Heni anak fakultas seni tari, itu yang Brian tahu. Bukankah Heni memperkenalkan diri sebagai mahasiswa fakultas seni tari semester akhir? Sedang skripsi? Kenapa dia mendadak muncul di IGD dan menjahit luka?Gadis itu menoleh, menatap Brian den

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-10
  • Mendadak Kawin   BAB 7

    Brian menenteng plastik di tangannya, langkah Brian terasa begitu ringan. Entah mengapa sekarang rasanya Brian begitu semangat berangkat jaga. Padahal biasanya malas setengah mati. Sejak kapan dia jadi begitu semangat dan menantikan jam-jam jaganya? Tentu saja sejak anak jurusan seni tari gadungan yang tiba-tiba muncul dan bergabung di IGD selama masa kepaniteraan kliniknya berlangsung. Begitu sampai di IGD, Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Alisnya berkerut ketika tidak mendapati orang yang dia cari ada di sana. Kemana dia? Bukankah selama ini jadwal jaga mereka selalu diusahakan satu shift? Brian mendapat predikat dokter 'bau' yang tingkat 'bau'-nya sudah tidak dapat ditolerir lagi. Di mana arti 'bau' dalam dunia IGD dan paramedis adalah orang yang suka menjadi 'pembawa' pasien datang ketika dokter atau koas itu berjaga di IGD. Brian menyadari hal itu. Sejak dia koas, predikat 'bau' itu sudah melekat sempurna dalam diri Brian. Membuat dia sering diusahakan

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-10
  • Mendadak Kawin   BAB 8

    Brian tertegun, menatap nanar layar ponsel yang sudah terputus sambungannya. Hatinya mendadak pedih. Obrolan demi obrolan tadi terus terngiang di telinga. Bagaimana Heni balas memakinya dan mengatakan sesuatu yang membuatnya ketar-ketir. Residen sana ganteng-ganteng? Residen apa yang Heni maksud? Yakin dia masih sendiri? Yakin serius? Bukan apa-apa, predikat residen tidak terlalu bagus untuk urusan asmara. Apalagi di mata mereka, koas cuma macam mainan lucu yang menggemaskan. Yang sayang jika hanya didiamkan saja! Brian mengusap wajahnya. Kenapa sih hubungan dia dan Heni sejak dulu tidak ada peningkatan ke arah yang lebih baik? Kenapa mereka selalu bertikai tiap berinteraksi? Kode Brian kurang kenceng? Atau otak Heni yang terlalu lamban menerima kodenya? Kenapa semua jadi begini? Kalau ketemu tiap hari saja kode yang Brian lancarkan tidak pernah sampai, bagaimana kalau mereka terpisah jarak dan waktu? Ya meskipun kalau pas tidak jaga mereka bisa ketemu, cuma tentu enak kalau mereka

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-10
  • Mendadak Kawin   BAB 9

    Heni memarkirkan motornya, ia tertegun sejenak sebelum kemudian mematikan mesin dan turun dari motor. Ditatapnya bangunan gedung rumah sakit yang nampak masih baru itu. Kenapa rasanya hati Heni begitu hampa? Kenapa dia lebih suka di RSUD daripada harus di sini? Heni mendesah, ia lantas melepaskan helm, menggantungkan pelindung kepala miliknya lalu perlahan melangkah meninggalkan area parkir. Ia kembali teringat obrolannya kemarin, ketika Brian tengah meneleponnya sore itu. Benarkah Brian merindukannya karena tidak akan ada yang dia siksa kalau Heni koas di sini? Apakah dia tidak merasakan perasaan yang sekarang menyelimuti hati Heni? Semacam perasaaan sepi, hampa dan mmm ... Rindu! "Ini apaan sih? Nggak jelas banget!" Maki Heni berusaha menyingkirkan jauh-jauh dan mengelak dari perasaan yang membelenggunya.Rindu pada sosok itu? Agaknya memang iya, tetapi kenapa rasanya berat dan sulit untuk mengakuinya? Heni tersenyum kecut, terus melangkah mengingat ia harus segera sampai di labor

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-11
  • Mendadak Kawin   BAB 10

    Anisa mendesah menatap jadwal jaga yang tertempel di dinding. Ada nama dokter Brian di sana. Tanpa ada nama Heni yang itu artinya jam jaga mereka akan sangat menyeramkan sekali.Semua tahu 'kutukan' apa yang dimiliki Brian. Hal yang membuat IGD tidak akan pernah sepi kalau Brian yang berjaga. Sepanjang Brian menjadi dokter umum di RSUD ini, penawar 'bau' itu cuma satu, lebih tepatnya baru ditemukan satu, yaitu Heni. Ketika mereka berdua disandingkan, maka keadaan akan jadi lebih baik ketimbang jika hanya Brian seorang diri. Masalahnya, kini gadis itu dirolling ke rumah sakit lain! Macam mimpi buruk yang terus menghantui perawat dan koas, bahkan dokter senior lain ketika Brian berjaga di IGD, terlebih malam hari. "Nis, kenapa?"Anisa menoleh, tampak Galih menatapnya dengan tatapan heran. Anisa mendesah, membalikkan badan dari papan daftar jaga, memperlihatkan nama Brian tercatat di sana. Hal yang langsung direspon sama oleh Galih. "Dokter Brian jaga malam lagi? What a hell!" runtuk

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-15
  • Mendadak Kawin   BAB 11

    "Motor aku gimana, Mas?"Brian melotot, ditatapnya Heni dengan tatapan kesal. Motor? Heni malah memikirkan motornya daripada momen mereka ini? "Biarlah, nggak mungkin ilang, Hen!" jawab Brian santai sambil menahan gemas. Ia segera membawa mobilnya melaju dari halaman parkir. Ia melirik sekilas, Heni tidak tampak protes dan itu artinya dia juga sama dengan Brian, begitu rindu momen ini dan tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka ini. "Memang kita mau makan dimsum di mana, Mas?"Brian kembali melirik wajah itu, senyum Brian merekah. Rasanya sudah cukup lama mereka tidak bersama macam ini. Tidak sia-sia Brian datang jauh-jauh dan menculik Heni, akhirnya rasa rindunya terbayar sudah! "Warungnya sih kaki lima, Hen. Tapi aku jamin kamu bakalan suka." Brian tahu, Heni sebenarnya bukan tipe gadis gede gengsi yang tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Tapi dia perlu memberitahukan ini sebelum Heni berekspektasi tinggi terhadap tempat makan yang akan mereka datangi. "Enak?"Kini

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-21

Bab terbaru

  • Mendadak Kawin   EP. END

    “Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.

  • Mendadak Kawin   EP. 8

    Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe

  • Mendadak Kawin   EP. 7

    Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala

  • Mendadak Kawin   EP. 6

    “Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc

  • Mendadak Kawin   EP. 5

    Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,

  • Mendadak Kawin   EP. 4

    Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,

  • Mendadak Kawin   EP.3

    Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te

  • Mendadak Kawin   EP. 2

    "Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu

  • Mendadak Kawin   EP. 1

    Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be

DMCA.com Protection Status