Heni mengerutkan kening ketika melihat Brian tampak malah mengobrol dengan begitu akrab dengan ibu-ibu yang berjualan gambar. Kenapa mereka malah asyik berghibah? Eh, tapi apa yang mereka gosipkan memang? Heni hendak mendekat untuk sekedar mencari tahu ketika Brian membalikkan badan yang melangkah ke arahnya.“Nih!” Brian menyodorkan balik styrofoam yang sudah diberi tali pegangan itu. “Sekarang kita kemana lagi?”“Tadi ngapain sih? Ngomongin apa sama ibuknya?” bukannya menjawab, Heni malah jadi balik bertanya, membuat senyum di wajah Brian makin menjadi. Sebuah reaksi yang makin membuat Heni penasaran sekali.“Kepo!” sahut Brian sambil menjulurkan lidah. “Dah ah, ayo!”Brian menarik tangan Heni, membawa Heni pergi dari tempat mewarna guna menyusuri keramaian pasar malam yang selalu padat dikunjungi orang-orang. Heni sejujurnya masih penasaran, tetapi euforia keramaian pasar malam itu mampu membuat rasa penasaran Heni begitu cepat lenyap dari otak. Mereka terus membelah keramaian deng
Heni tertegun. Sungguh dia tidak mengerti, ada apa dengan hari ini? Pagi tadi dia tembak laki-laki dan malam ini ... dia dilamar hendak dinikahi? Astaga! Memang apa yang istimewa dengan dirinya ini? Brian kembali meremas tangannya, sebuah remasan lembut yang bisa Heni rasakan betul-betul. Wajah lelaki yang biasanya slengean dan menyebalkan, kini nampak begitu teduh, serius dan jangan lupa nampak sangat ganteng! Hati dan perasaan Heni bergejolak. Brian menyatakan semua perasaan yang dia miliki pada Heni barusan. Cinta dan sayang sudah Brian ungkapkan semua, hal yang jujur membuat Heni sedikit terkejut mengingat selama mereka bersama-sama, Brian selalu absurd dan menyebalkan sekali. "Aku nggak lagi bercanda loh, Hen! Please tolong, bahkan sejak dulu sekali, tiap perkataan yang keluar dari mulutku soal perasaan aku ke kamu, soal ajakan aku yang pengen nikahin kamu, itu semua serius, Hen."Kepala Heni tertunduk, dia harus jawab apa? Dia sendiri masih belum bisa mengartikan perasaan yan
"Yeay!"Brian tersenyum lebar melihat betapa gembira Heni ketika menerima permen kapas raksasa berbentuk Minions dari si penjual. Matanya berbinar, senyumnya begitu lebar dan Brian sangat bahagia dengan pemandangan itu. "Makasih ya, Mas!" ucap Brian tulus pada si penjual yang sudah berhasil membuat orang yang dia cintai begitu bahagia. "Sama-sama, Mas!"Brian kembali meraih tangan Heni, wajah itu tampak menatap Brian sekilas, hal yang sempat membuat Brian takut Heni menolak tangannya. Tapi agaknya tidak, Heni diam saja, melangkah mengikuti kemana Brian hendak membawanya. "Suka?" bisik Brian seraya terus melangkah. "Suka banget! Makasih ya, Mas!" jawabnya riang. Kembali Brian mengangguk, hatinya benar-benar bahagia malam ini, tidak peduli dia belum mendapat jawaban, tetapi melihat bagaimana Heni terlihat begitu bahagia hanya karena permen kapas, membuat Brian merasa bahwa ini adalah malam yang begitu indah yang pernah terjadi sepanjang hidupnya. "Bikin kami bahagia itu tujuan aku
Heni menundukkan wajah, dia paham apa yang Brian maksud, tapi sekali lagi jenjang pendidikan yang harus Heni lalui ... Heni mendesah, ia mengangkat wajah, menatap Brian yang bahkan tidak memalingkan wajah sama sekali dan masih tetap menatap ke dalam matanya. "Iya aku ngerti, cuma ...." kenapa rasanya Heni sulit menjelaskan? "Cuma apa?" desak Brian yang nampak sangat tidak sabar. "Aku belum siap nikah, Mas!" tegas Heni entah sudah yang ke berapa kali. Brian mendesah, suasana jadi cukup menegangkan. Heni menghirup udara banyak-banyak, sama seperti yang Brian lakukan. Agaknya mereka sedang berusaha menekan emosi masing-masing. Suasana menjadi begitu sunyi. Baik Heni maupun Brian tidak ada yang bersuara dan itu berlangsung sampai beberapa menit. "Jadi ... lamaranku kamu tolak, Hen?" tanya Brian akhirnya. Heni kembali ragu. Benarkah dia menolak ajakan baik dari Brian? Apakah benar menikah dengan Brian adalah sesuatu yang sama sekali tidak ingin Heni lakukan? "A-aku ... a-aku nggak t
"APA?"Heni menjauhkan ponsel dari telinga, teriakan itu begitu keras memekik. Heni sendiri tidak tahu, Karina sedang berada di mana sampai dia berani berteriak sekencang itu. Apakah Arjuna belum tidur sampai-sampai emaknya kumat teriak-teriak macam dulu pas dia belum kawin? Mata Heni terpejam, sudah bisa dia tebak kemana arah pembicaraan mereka kali ini. Heni jadi ragu, apakah keputusannya menceritakan perihal lamaran Brian pada Karina termasuk keputusan yang tepat atau malah sebaliknya. "Kau ini gimana sih? Ya terima aja lah, Hen! Kemana malah ditolak dan kamu malah pengen kalian pacaran dulu sih?"Tepat seperti dugaan Heni, Karina pasti mencak-mencak dengan cerita perihal lamaran Brian yang begitu mendadak dan sangat tiba-tiba. "Terima gundulmu itu!" salak Heni gemas. "Sekata-kata aja suruh main terima!" dia pikir kawin segampang itu apa? Ada yang lamar, terima lalu semua urusan akan beres dan Heni akan hidup bahagia?Tidak semudah itu Esmeralda! "Lah terus mau mu gimana?" suar
Mata Heni masih lengket, seingat Heni alarm ponselnya belum bunyi dan itu artinya masih cukup pagi. Tapi ketukan pintu itu tidak mau berhenti, membuat Heni dengan susah payah membuka mata lalu turun menghampiri pintu. Siapa yang pagi buta mengetuk pintu kamar kostnya begini? Tetangga kost mau minta gula atau kopi? Tapi Heni bahkan tidak kenal tetangga kost kanan dan kirinya! Semua yang kost di sini orang-orang sibuk yang hanya di kamar ketika mereka tidur, selebihnya mereka habiskan waktunya di tempat kerja atau kampus. Jadi mustahil jika yang mengetuk pintu kost Heni saat ini adalah tetangga kanan-kiri. Heni mencoba membuka lebar-lebar matanya, dan mata itu ternyata langsung otomatis membelalak ketika melihat siapa yang sudah berdiri di depan pintu kamar kost Heni sepagi ini. "Astaga, kamu ngapain, Mas?" bagaimana Heni tidak terkejut kalau tiba-tiba Brian mengetuk pintu kamarnya macam ini? Brian sudah rapi dengan celana bahan dan kemeja lengan pendek, di tangannya ada plastik ber
“Heni setelah ini stase apa?” Heni tersenyum, akhirnya dia lulus juga dari stase paling membosankan menurutnya ini. Kurang dua stase lagi maka selesai sudah program kepaniteraan klinik yang harus Heni jalani demi cita-citanya menjadi dokter pertama di dalam keluarganya. Dua stase yang mana kebetulan salah satu stasenya adalah stase mayor yang belum dia ambil. Stase bedah dan jangan lupa stase mata. “Bedah, Prof.” Jawab Heni untuk pertanyaan yang baru saja diajukan kepadanya. Lelaki berkepala botak dengan kaca mata tebal itu menganggukkan kepalanya. Ia menyodorkan sebuah map ke hadapan Heni, membuat Heni bertanya-tanya, untuk apa dan apa isi dari map yang disodorkan kepadanya ini? “Balik ke RSUD, ya? Ini suratnya!” Heni kontan melongo, jadi dia harus kembali ke RSUD untuk menjalani dua stase terakhirnya? Tidak lagi harus di rumah sakit pendidikan milik kampus ini? Mendadak bayangan Brian muncul dalam pikirannya, mengingat bahwa om dari lelaki itu punya ‘power’ di RSUD, maka Heni ti
Heni meletakkan sumpitnya, ia lantas menatap wajah yang terus menatap nya dari tempat dia duduk. Heni mendesah, yang membuat Heni malas bertemu Brian adalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang sama dan selalu sukses bikin Heni sakit kepala. Lelaki ini kenapa buru-buru amat pengen kawin sih? Ah Heni lupa, Brian sudah kepala tiga tahun ini!? Mungkin dia sudah diburu-buru suruh kawin sama ibunya. Tapi Heni ... dia masih ingin bebas sampai kemudian STR berada di tangan. "Ada pertanyaan lain nggak sih, Mas?" mendadak napsu makan Heni lenyap, perutnya tiba-tiba terasa begitu kenyang. Brian membulatkan mata, kepalanya refleks menggeleng perlahan. "Nggak ada! Aku bakalan tanya terus sampai aku dapat jawaban!" tegasnya serius. Nah kan! Agaknya tetap koas di rumah sakit pendidikan milik kampus adalah hal yang tepat dan terbaik. Heni tidak perlu terus menerus mendapatkan pertanyaan ini. Tapi apa boleh buat? The power of orang dalam membuat Heni kembali dilempar ke RSUD ini. "Ngebet amat kawin
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be