Maaf ya, kemarin tidak update selama beberapa hari. Doakan supaya bisa update terus menerus ya. Oh ya jangan lupa ikut giveaway-nya. Beri gems kalian sebanyak-banyaknya dan pemenang akan diumumkan setelah kisah ini tamat. Akan ada sepuluh pemenang yang beruntung nantinya.
Heni meletakkan sumpitnya, ia lantas menatap wajah yang terus menatap nya dari tempat dia duduk. Heni mendesah, yang membuat Heni malas bertemu Brian adalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang sama dan selalu sukses bikin Heni sakit kepala. Lelaki ini kenapa buru-buru amat pengen kawin sih? Ah Heni lupa, Brian sudah kepala tiga tahun ini!? Mungkin dia sudah diburu-buru suruh kawin sama ibunya. Tapi Heni ... dia masih ingin bebas sampai kemudian STR berada di tangan. "Ada pertanyaan lain nggak sih, Mas?" mendadak napsu makan Heni lenyap, perutnya tiba-tiba terasa begitu kenyang. Brian membulatkan mata, kepalanya refleks menggeleng perlahan. "Nggak ada! Aku bakalan tanya terus sampai aku dapat jawaban!" tegasnya serius. Nah kan! Agaknya tetap koas di rumah sakit pendidikan milik kampus adalah hal yang tepat dan terbaik. Heni tidak perlu terus menerus mendapatkan pertanyaan ini. Tapi apa boleh buat? The power of orang dalam membuat Heni kembali dilempar ke RSUD ini. "Ngebet amat kawin
Karina sontak menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala. Ia lantas menoyor kepala Heni dengan gemas. Terbentur apa kepala Heni sampai-sampai dia punya pikiran seperti ini? "Apaan sih, Rin? Nggak salah, kan, kalo aku punya pikiran kayak gini?" Heni nampak tidak terima, ia membelalakkan mata sambil menatap Karina dengan tatapan kesal. "Salah lah!" tukas Karina kesal. Heni membeliak, "Masalahnya dia ngebet banget ngajakin kawin, Rin!" Heni mendesah panjang, "Apa coba alasannya kalo nggak keburu pengen ngewe?""Heni ... please deh ya!" Karina makin tidak sabar lagi, "Kalo cuma pengen ngewe nggak perlu ngajakin nikah, tinggal seret kamu ke kamar, selesai! Ngapain coba pakai mau nikahin kamu segala?" kembali tangan Karina menoyor kepala Heni, ia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Heni ini. Mata Heni membulat, balas menimpuk punggung Karina sedikit keras. Langsung mencerna obrolannya bersama Karina barusan. Jujur Heni takut Brian hendak menikahi dirinya hanya karena i
Heni terkekeh sepanjang perjalanan pulang. Sebodoh amat aja mereka mau berantem atau ribut, siapa suruh Karina begitu menyebalkan macam tadi? Sok-sokan menasehati suruh kawin sama dokter yang dinas di rumah sakit, padahal apa kabar dia dulu yang hampir kabur dari rumah pas malam H-1 pernikahan mereka? "Diremes-remes sama dokter Yudha tau rasa kau, Rin! Keki aku lama-lama!"Walaupun begitu, Heni tahu dan yakin bahwa mereka tidak akan ribut besar. Palingan si Karin cuma diajak tarung di kasur sama suaminya. Heni tahu betul kalau dokter bedah senior itu bucin akut maksimal pada Karina, jadi mana tega lelaki itu sampai menyiksa sang istri? Menyiksa dengan penuh gairah nan menggelora itu baru mungkin! Senyum Heni kembali merekah, bahagia sekali kehidupan Karina yang sekarang! Pernikahan yang dulu Karina tolak mentah-mentah dan terpaksa dia jalani hanya karena sudah 'kadung' mengucap sumpah itu kini menjadi pernikahan paling manis dan membahagiakan untuk sahabatnya itu. "Apakah nanti aku
"Bang kok berhenti?" Heni memekik ketika Gibran menghentikan mobilnya di tempat sepi. Tempat itu berada di jalan yang tidak terlalu ramai jika siang hari, apalagi malam seperti ini? Sangat sepi ditambah dengan penerangan yang buruk. Bukannya menjawab, Gibran malam mematikan mesin mobil. Hal yang lantas membuat Heni buru-buru hendak melepaskan seat belt ketika tangan kekar itu mencekal tangannya. "Kau menolak aku cuma demi dokter umum itu, Hen?" tanya Gibran dengan nada suara dingin. Heni membelalak, jadi hanya karena itu Gibran lantas membawanya kemari? Tapi darimana Gibran bisa tahu? "Bang ... tolong lepasin aku, Bang! Aku mau pulang!"Sial! Pintu mobil terkunci, Heni sama sekali tidak bisa membuka pintu mobil itu. Keringat dingin mengucur, dalam hati ia memaki dirinya sendiri yang begitu dengan mudahnya memutuskan untuk ikut keluar bersama Gibran tadi. "Pulang?" tanya suara itu sinis. "Susah-susah aku seret kamu ke sini dan kamu minta pulang?" suara itu benar-benar dingin dan
"Kamu nggak apa-apa?"Heni termangu melihat wajah panik itu muncul dari pintu mobil yang terbuka, tangisnya kembali pecah. Bahkan ketika Brian lantas memeluknya erat-erat, tangis Heni makin menjadi-jadi. Ia begitu syok luar biasa, tubuhnya masih gemetar hebat. "It's okay, Sayang. It's okay." Brian mengelus punggung Heni, mendekap Heni yang terisak hebat dalam pelukannya. "Maaf, Mas, bisa ikut ke kantor sebentar? Kami perlu memintai keterangan dari korban."Brian menoleh, lelaki dengan pakaian serba cokelat itu sudah berdiri di dekatnya. Jangan tanyakan apa yang teman-teman dari lelaki ini lakukan pada Bajingan itu, Brian tidak peduli bahkan dia mau menembak kepalanya sekalipun. Sementara Heni sudah tidak bisa berkata-kata apapun, otaknya sudah tidak mampu berpikir barang sekecil apapun. Ia terlena dengan begitu hangat dan nyaman pelukan Brian yang terasa seperti melindunginya ini. "Baik, Pak. Tapi tolong, kondisinya masih syok begini, saya harap dari pihak kepolisian tidak terlalu
Heni langsung meraih ponsel dari tangan Brian. Benar saja, Brian hendak menghubungi Karina! Ia buru-buru menutup panggilan sebelum panggilan itu terjawab. Mengembalikan ponsel itu ke pemilik sambil menatapnya dengan tatapan setengah memohon. "Please, Mas ... cukup kita yang tahu!" desis Heni dengan air mata mengambang di pelupuk mata. Brian mendesah, menundukkan kepalanya dengan mata terpejam lalu mengangguk cepat. Air mata Heni menitik, ia menghirup udara banyak-banyak lalu menyeka air mata yang membasahi mata dan wajahnya. "Makasih banget buat hari ini, Mas." gumam Heni tulus, Brian menjadi penyelamatnya hari ini. Lelaki yang di mata Heni selalu menyebalkan, kini menjelma menjadi sesosok pahlawan untuknya. Heni tersentak ketika tangan Brian meraih tangannya, meremas tangan itu dengan begitu lembut dengan sorot mata teduh. Heni tercekat, ia baru sadar bahwa Brian ini bukan lelaki sembarangan yang biasa-biasa saja! Dia lelaki yang sangat spesial! "Aku nggak akan bisa maafin diri
Brian terkesiap, tangan itu mencengkeram kuat tangan Brian seolah-olah tidak ingin Brian meninggalkan dia sendirian. Ia tersenyum getir, ia lantas duduk di tepi ranjang, membiarkan Heni lantas memeluk dan menyandarkan kepala di pahanya. "Oke kalo kamu maunya aku di sini, aku nggak akan pergi, Hen. Aku bakalan jagain kamu!" bisik Brian lembut dengan satu tangan mengelus pipi Heni perlahan. Tidak ada jawaban, Heni kembali terlelap dalam tidurnya. Membuat Brian kembali tersenyum. Rasanya begitu damai melihat dan memastikan bahwa Heni baik-baik saja, meskipun di tempat yang tidak terlihat, di dalam jiwa Heni, dia sedang tidak baik-baik saja sekarang. Brian mendesah, tangannya mengelus rambut dan kepala Heni dengan satu tangan tidak melepaskan genggaman tangan Heni. Agaknya sampai pagi dia akan seperti ini, tapi tidak masalah, demi Heni, apapun akan Brian lakukan! Brian menyandarkan kepala dan tubuh ke tembok yang ada di belakangnya. Ia mencoba memejamkan mata, meskipun rasanya berat m
Heni membuka pintu kamar mandi, melangkah keluar dan tertegun melihat Brian nampak merapikan meja belajarnya yang ada di sudut ruangan. Lelaki itu juga merapikan meja di sudut lain hingga pemandangannya jadi begitu rapi dan bersih.Senyum Heni merekah, ia masih berdiri di tempatnya, menikmati pemandangan itu dengan hati yang kembali berkecamuk. Ia tersentak ketika Brian tiba-tiba menoleh dan menatapnya dengan alis berkerut.“Ngapain di situ? Teh mu hampir dingin, Sayang!” desisnya sambil menumpuk buku-buku milik Heni lalu membuang beberapa struk belanjaan yang tergolek di sana hampir beberapa hari.Heni tersenyum, melangkah mendekati Brian dan entah mengapa ia refleks memeluk tubuh itu dari belakang secara tiba-tiba. Brian adalah satu-satunya lelaki asing, bukan bagian keluarga yang bisa membuat Heni merasa begitu nyaman dan aman ketika memeluk tubuhnya seperti ini. Membuat Heni rasanya seperti dilindungi oleh tinggi dan kokoh tubuh Brian.Brian langsung mematung di tempatnya berdiri,
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be