Brian mencengkeram rambut Heni kuat-kuat. Setelah menanti cukup lama, sudah saatnya ia menyelesaikan permainan petang ini. Suara gemericik air dari keran ternyata mampu menyamarkan suara-suara sensual yang meluncur dari bibir keduanya. Desah lirih penuh nikmat yang makin membuat suasana memanas.Heni hanya mampu pasrah. Tubuhnya dihimpit antara tembok dan tubuh itu sedari tadi. Jika tadi dia yang memimpin dengan mencuri start, maka kini Brian-lah yang sepenuhnya memimpin. Menguasai dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.“A-aku mau ke-keluar, Hen!” bisik Brian dibarengi dengan makin cepatnya ia memacu tubuh Heni yang basah kuyup.Tidak perlu waktu lama, Brian memekik keras dibarengi dengan bergetarnya seluruh tubuh. Sementara di bawah sana, di dalam inti tubuh Heni, cairan pelepasan itu keluar memenuhi ruang di lapisan lateks tipis yang menjadi pembatas antara Brian dan Heni di dalam sana.“Makasih banyak, Sayang!” sebuah kecupan Brian hadiahkan di puncak kepala sang istri, ia su
Jose dengan lunglai masuk ke dalam kamar. Ia memutuskan menyewa sebuah kamar selama dia mengabdikan diri di daerah ini. Dia sendiri tidak tahu mau berapa lama dia di sini, dia baru memasuki tahun ke dua dan di tahun kedua ini, Jose belum bisa memutuskan dia akan tetap di sini atau pergi suatu hari nanti. Ia menjatuhkan diri ke atas kasur, matanya terpejam. Dihelanya napas kuat-kuat. Kepalanya yang sejak tadi terasa pusing, malah semakin terasa sakitnya begitu dia ada di kamar. "Heni!" nama itu lah yang meluncur keluar dari bibir Jose, sebuah nama singkat yang dulu menyemarakkan hati Jose walau hanya beberapa saat. "Nyesek banget rasanya, Gusti!" kembali Jose mendesah, ia mencengkram kepalanya, rasa sakit itu semakin terasa menusuk. Lamat-lamat, ia seperti kembali dilemparkan kesunyian ke dalam kenangan bertahun-tahun silam, saat ia sedang berjuang lulus dari masa pre klinik. Jose baru saja turun dari mobilnya ketika melihat sosok itu tengah mengendari motor matic menuju parkiran
Hampir Jose tersedak sisa nasi di dalam mulut. Untung saja dia bisa tetap slay sehingga insiden itu tidak terjadi. Jose tersenyum, kembali mengaduk-aduk nasinya dengan tenang. "Pernah sih, tapi LDR dan ujungnya bubar. Dia kuliah di Bandung. Di UNPAD kebetulan kedokteran juga karena dari SMA passion kita sama. Cuma ya itu, rejeki aku di sini, dia di sana dan kayaknya kami emang nggak bisa sama-sama." jawab Jose yang mendadak pedih karena teringat sosok itu. "Ah ... maaf kalo begitu, Bang. Maaf kalo pertanyaan aku bikin Abang harus flashback ke masa lalu." ujar gadis itu lirih. Jose tertawa, ia kini meraih gelas tehnya dan meneguk cairan itu hingga sisa separuh. "Kamu sendiri, nggak ada yang marah aku ajak sarapan di sini?" tanya Jose yang tentu saja ingat pemaksaan yang tadi dia lakukan pada gadis ini. Kalau benar dia sudah punya pacar, agaknya Jose harus berjuang dengan sedikit lebih keras untuk tetap bisa berada dalam momen seperti ini, bukan? Kini gantian Heni yang tertawa, gad
Jose mendesah panjang. Agaknya ia cukup mengingat sampai di sini. Hatinya mendadak sakit. Tapi salah siapa? Bukankah itu semua salah Jose sendiri! Mengingat kenangan itu jujur hanya membuatnya sakit dan mengutuk dirinya sendiri. Tapi dia tidak memungkiri juga bahwa mengingat kenangan itu sedikit banyak mengobati kerinduannya pada sosok Heni. Terlebih kenangan akan malam itu, saat akhirnya ia sukses sidang skripsi dan sudah dijadwalkan untuk wisuda. "Lulus, Bro!" Jose menepuk bahu Radit, mereka keluar dari ruang sidang sore itu, setelah pengumuman kelulusan mereka terima dalam selembar amplop. "Akhirnya, siap kerja rodi nih setelah ini." gumamnya dengan wajah yang sama sumringahnya dengan wajah Jose. "Demi stetoskop di leher, snelli di badan, apapun bakalan aku lakuin!" gumam Jose berapi-api. Ia begitu bahagia sampai tidak bisa lagi mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, hingga tiba-tiba tepukan di pundak Jose membuyarkan euforia yang tengah menderanya. "Tuh, cariin Dede Em
Jose menghela napas panjang. Tidak terasa air matanya menitik. Itu adalah sebuah momen yang tidak akan pernah dia lupakan dalam seumur hidupnya. Sebuah kenangan yang makin keras menampar Jose ketika ia tengah sendirian seperti ini, ketika ia menyadari bahwa ia sudah terlalu bodoh bertindak dan asal mengambil keputusan tanpa pemikiran yang matang.“Di sesali kayak apapun sebenarnya nggak ada guna, ya?” desisnya sambil menyusut air mata.Jose sendiri tidak tahu apa yang membuatnya dulu memutuskan untuk memilih kembali? Tentu selain momen Jose meraup bibir manis itu, satu momen ini juga tidak akan pernah Jose lupakan seumur hidupnya. Momen di mana untuk pertama kali dia melihat sorot mata itu menyorotkan luka yang begitu dalam, menatapnya dengan tatapan kecewa.Jose celingak-celinguk begitu keluar dari tempat wisuda, tentu ada yang dia cari. Siapa lagi kalau bukan Heni? Tapi bukan Heni yang dia tangkap dengan matanya, melainkan sosok itu yang nampak begitu cantik dengan rok batik panjang
“Lain kali kalo waktunya mepet, nggak usah lah jauh-jauh ke sini, Mas.” Heni menyodorkan dua tangkup roti gandum dengan selai kacang ke hadapan Brian. Lelaki itu baru saja beres mandi.“Oh gitu ... jadi nggak boleh nih suami ke sini?” Brian langsung cemberut, membuat Heni rasanya ingin menganiaya Brian sampai memar-memar. Kenapa setelah menikah lelaki ini jadi manja dan baper sekali?“Bukan gitu, Sayang!” tepis Heni sebelum suaminya itu bablas ngambek. “Kasian kamu harus wira-wiri, berangkat sepagi ini. Masih jam setengah empat loh ini. Mana nanti sampai sana langsung mandi lagi terus kerja. Aku kasihan sama kamu!” jelas Heni panjang lebar.“Ah ... Cuma sini-sana aja, nggak usah khawatir. Pokoknya kalo aku kangen, aku kesini!” tukas Brian lalu mencomot setangkup roti gandum dan mulai mengunyahnya.Heni tersenyum simpul menatap bagaimana lelaki itu duduk sambil menyantap roti isi selai kacang yang dia buatkan. Bukan karena ada beberapa selai yang mengotori sudut bibir Brian, tetapi leb
[Ada waktu nggak nanti? Please aku pengen ngomong sama kamu!] Sudah Heni duga! Ada apa sih dengan laki-laki ini? Memang dia mau apa lagi? Heni sama sekali tidak bisa mengerti jalan pikiran Jose. Sebenarnya mau dia apa? Heni sudah tidak lagi mempermasalahan luka yang pernah Jose torehkan di hatinya. Dia pergi dengan tenang dan legawa tanpa menganggu Jose dan kekasihnya itu. Lantas Heni kurang apa lagi? Heni keluar dari room chat nomor tidak dikenal yang Heni yakin betul itu adalah Jose. Entah dari mana dia dapat nomor Heni, Heni sampai tidak bisa berpikir. Ia hendak membuka aplikasi streaming-nya ketika mendadak ia seperti lupa sesuatu. Buru-buru Heni kembali masuk ke aplikasi chat, membuka room chat nomor baru itu dan memblokir nomornya. “Selesai! Beres!” desisnya sambil tersenyum lebar. Heni sudah tidak mau lagi ada urusan dengan Jose. Baginya ia sudah cukup tahu. Dia tidak mau lagi tahu apapun tentang Jose dan berhubungan apapun kecuali pekerjaan di rumah sakit dengan lelaki it
"Nomorku kamu blokir lagi, Hen?"Heni yang tengah melangkah hendak menuju ruang jaga kontan melonjak kaget. Ia menoleh dan mendapati Jose sudah berdiri tegak melangkah di sisinya. Ia mengenakan atasan batik biru, seragam rumah sakit yang dia padukan dengan celana bahan hitam."Memang kenapa? Itu yang terbaik, Bang." jawab Heni sambil terus melangkah dengan pandangan lurus ke depan."Aku pengen ngomong penting sama kamu, Hen!" tegas suara itu lirih.Heni menghentikan langkah, menoleh dan menatap tajam sosok itu. Lama-lama Heni jengah juga! Ia harus membuat Jose berhenti mengejarnya macam ini. Dia tidak ingin Brian sampai tahu dan membuat kepercayaan laki-laki itu pada Heni luntur."Kalau begitu katakan! Ini satu-satunya kesempatan, kesempatan terakhir yang aku kasih ke kamu, Bang. Jadi manfaatkan baik-baik, kamu mau ngomong apa?" tantang Heni dengan sorot mata tajam."Soal apa yang kamu lihat saat wisuda dulu ... sungguh aku tidak tahu kalo dia bakalan datang dan pakai batik kembaran s
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be