"Eh, Pak Damar. Enggak, kok, Pak. Cuma lagi sharing masakan tadi pagi aja. Iya, kan, Bu-Ibu?"Staf bernama Erni itu mengedipkan sebelah matanya pada staf dan bidan yang lain. Mereka tentu tak mau dicap sebagai tukang gosip oleh Damar.Apalagi, Damar ini termasuk incaran para pegawai lajang di puskesmas itu."Beneran, nih? Kok, tadi saya dengar pakai sebut-sebut nama bidan Hesti?"Erni salah tingkah, tapi buru-buru ia ubah wajahnya menjadi tertawa. Ibu-ibu yang lain pun mengikutinya."Cuma tanya aja nih, Pak, kita-kita. Penasaran sama calon suaminya bidan Hesti.""Apa, nih, sebut-sebut nama saya?"Tiba-tiba saja Hesti datang. Puskesmas memang sedang sepi. Hanya ada beberapa pasien yang datang. Karena ini juga siang hari, tepat setelah jam istirahat telah usai."Gak apa-apa, Bu Hesti. Tadi, kan, Bu Hesti sendiri yang bilang kalau nikahnya mau diadain di hotel Sun Palace, kan? Nah, kita ini cuma salut sama Bu Hesti. Hebat banget nikahannya bisa diadain di hotel mewah gitu," ucap seorang
"Mas Damar ngapain malam-malam begini ke restauran? Gak mungkin kalau belum makan, kan?" tanya Sari saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil.Ya, seseorang yang Sari lihat tadi adalah Damar. Rupanya, Damar memang sengaja menunggu Sari di sana."Udah, sih. Tapi tadi mendadak pengen nyemil onion ring. Ibu mana bisa bikin, aku apalagi," ucap Damar dengan dibubuhi sedikit tawa."Tadi juga kebetulan ketemu sama om Yahya, katanya kamu masih di dalam. Jadi, sekalian aja aku tungguin kamu.Sari mendadak terdiam. Sebenarnya ia merasa tak enak pada Damar dan orang-orang yang tahu akan kisah hidupnya. Meski sudah ditalak oleh Lian, tapi di mata hukum negara, dirinya masih sah menjadi isteri Lian."Mas, maaf sebelumnya. Bukannya aku gak mau nerima semua kebaikan kamu. Tapi, rasanya kurang etis saat kita sering keluar berdua seperti ini di saat aku belum sah cerai dengan mas Lian di mata negara."Damar berdehem singkat. Ia tiba-tiba merasa gugup saat Sari mengutarakan kegundahannya selama in
Mata bu Tri terbelalak saat Damar menyelesaikan kalimat panjangnya. Ingin sekali bu Tri bertanya maksud Damar mengatakan hal itu. Tapi, saat ia berteriak memanggil Damar kembali, sambungan telepon itu rupanya sudah diputus secara sepihak oleh Damar."Apa maksudnya? Lian kritis? Jangan-jangan ini hanya akal-akalan Sari saja."Bu Tri mencoba mengeyahkan segala pikiran buruk. Tapi, hati kecilnya mengatakan jika ada sesuatu yang terjadi. Tadi, setelah perdebatannya dengan Lian, Lian memutuskan untuk mengajak Kia kembali ke rumah.Padahal, tadi rencananya Lian dan Kia akan menginap di rumah bu Tri. Tapi karena bu Tri merajuk dan Lian yang merasa pusing dengan semua yang terjadi, ia memilih untuk tidur di rumahnya sendiri.Pada akhirnya, bu Tri bangkit dari pembaringan. Ia tidak yakin dengan pikirannya sendiri yang beranggapan bahwa Damar hanyalah mengada-ada."Dikunci, kok. Pasti Lian ada di dalam," gumamnya sendiri. Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Untuk memastikan ba
Diberondong pertanyaan oleh ibunya di saat dirinya baru saja membuka mata. Lian mengerang merasakan pusing pada kepalanya, ditambah lagi dengan rasa nyeri tepat di luka bekas tusukan itu."Hesti, panggil dokter. Lian kesakitan, itu!" pekik bu Tri yang membuat Hesti segera berjalan cepat untuk memanggil perawat."Mana yang sakit, Lian? Katakan sama Ibu."Bu Tri tak tega melihat anaknya kesakitan seperti itu. Sedewasa apapun seorang anak, bagi ibunya, ia tetaplah seorang anak kecil.Perawat sudah datang bersama dengan Hesti. Karena semakin lama, rintihan Lian semakin kuat, sang perawat pun akhirnya memberikan obat pereda nyeri yang disuntikkan melalui selang infus di tangan Lian."Istirahat saja ya, Pak. Jangan terlalu banyak bergerak. Atau nanti luka Bapak bisa terbuka dan mengalami pendarahan."Menurut dengan ucapan si perawat, Lian hanya mengangguk lemah. Bu Tri merasa lega saat Lian terlihat tenang. Tak lagi merintih seperti beberapa saat yang lalu."Syukurlah kalau kamu sudah siuma
Sari mencoba menenangkan Kia yang tengah menangis. Tadi, saat Sari berhasil masuk ke dalam rumah, lebih tepatnya kamarnya dan Lian dulu, Sari dikejutkan dengan kondisi Kia yang tengah duduk di lantai dengan kedua kaki menekuk.Bocah itu memeluk kedua kaki dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lutut. Kia takut, ia takut karena saat bangun tadi pagi, tidak ada orang di rumah. Pintu pun terkunci dan tentu Kia tak kuat memindahkan batu besar yang menjadi kunci sementara pintu bagian belakang."Ibu di sini, Kia. Kia jangan takut, ya?""Kenapa ayah gak ada pas Kia panggil-panggil, Bu? Kia takut," cicit Kia dalam pelukan ibunya.Dada Sari teremas melihat kondisi Kia yang demikian. Baru saja ia meninggalkan Kia belum genap satu bulan, tapi lihat saja. Pasti ada saja yang anaknya itu alami."Ayah sakit, Sayang. Ayah sedang dirawat di rumah sakit," jawab Sari lembut. Tangannya tak berhenti mengusap pucuk kepala sang anak. Berharap agar dengan cara itu, Kia merasakan ketenangan.Sari pun t
"Mas Damar? Kok, kamu bisa masuk ke sini?"Sari celingukan, was-was jika ada orang yang melihat Damar berada di dalam ruangannya. Apalagi, saat ini pak Yahya tidak sedang di tempat."Kamu gak usah takut gitu, dong, Sari. Aku ke sini bukan sebagai penyusup, kok. Tadi, aku udah ketemu sama om Yahya dan aku diijinin buat nemuin Kia di sini.""Kia?" Sari membeo. Damar hanya mengangguk dengan senyuman. Kini, arah pandang laki-laki itu kembali pada sosok anak kecil yang tengah bermain di lantai beralaskan karpet."Gimana, Kia? Kia mau, gak, makan es krim sama Om?"Kia yang semula asik dengan mainnya itu segera berdiri. Ia melonjak kecil karena merasa sangat senang. Dulu, ia jarang sekali dibelikan es krim. Tapi, jika dengan Damar, Kia selalu bisa merasakan makanan manis nan dingin itu."Mau ... mau! Ibu, Kia mau makan es krim sama Om baik, boleh, ya?""Om Damar, Sayang. Nama Om baik ini, Om Damar. Ayo salim dulu sama Om Damar."Kia berlari kecil menghampiri Damar dan Damar dengan senang hat
"Tensi pak Lian turun drastis dan itu yang membuat dia kehilangan kesadaran. Apa mungkin pak Lian sedang memikirkan sesuatu?" tanya dokter laki-laki itu pada bu Tri dan Sandi yang kini berhadapan dengannya.Bu Tri bingung harus menjawab apa karena sejatinya, ia mungkin tahu apa yang menjadi beban pikiran Lian."Anak saya habis dibegal, Pak. Motor, HP sama uang-uangnya hilang. Mungkin itu yang buat dia kepikiran."Mungkin benar, mungkin juga salah. Sebetulnya, yang menjadi puncak beban pikiran Lian adalah Hesti yang merajuk dan tak mau tahu keadaannya. Yang ada dalam pikiran perempuan itu hanyalah ego dan gengsinya "Saya turut prihatin ya, Bu. Semoga, setelah ini pak Lian bisa segera pulih kembali dan menjalani aktivitasnya seperti sedia kala."Sepeninggal dokter dan perawat, bu Tri menghempaskan tubuhnya ke atas kursi. Sandi hanya bisa memandang iba pada kakak satu-satunya itu."Semua ini gara-gara Sari dan pacar barunya itu."Sandi mengerutkan dahi tak mengerti dengan apa yang ibuny
"Sekarang, Kia cerita sama Ibu. Tante Hesti itu jahat gimana sama Kia?" Sari ingin tahu lebih dalam tentang sifat asli Hesti di depan Kia.Mungkin, jika di depan orang dewasa, Hesti akan menjaga sikap. Tapi, di depan anak-anak, biasanya seseorang akan terlihat sifat aslinya."Tante Hesti suka marahin Kia kalau Kia pakai bajunya gak bagus. Katanya Kia kaya Ibu, kampungan. Terus, kalau lagi makan sama-sama ayah, Kia gak boleh minta makanan yang Kia suka. Pokoknya, harus nurut sama tante Hesti. Apalagi kalau gak ada ayah, Kia pernah dicubit gara-gara Kia gak mau habisin makanan Kia."Sari menghela napas berat. Ia tak pernah membayangkan Jika anaknya akan diperlakukan secara kasar oleh orang lain.Selama dalam asuhannya, Sari sebisa mungkin untuk tidak berteriak di depan anaknya. Tapi, justru orang lain yang melakukannya."Ibu, memangnya bener ya, kalau tante Hesti mau jadi ibunya Kia?"Pertanyaan yang sulit untuk Sari jawab. Setahunya, Lian dan Hesti memang sudah merencanakan pernikahan.
Sari turun dari mobil yang ia tumpangi bersama Damar. Seperti biasa, Sari mempersilakan Damar untuk sekadar duduk di kursi teras untuk menikmati secangkir teh buatannya."Terimakasih karena udah anterin aku hari ini ya, Mas."Damar buru-buru menelan air teh yang masih berada dalam mulutnya dan segera meletakkan cangkir teh ke atas meja."Sama-sama."Sari menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang. Ia sendiri tak tahu mengapa rasanya bisa selega ini. Tanpa sadar, Sari tersenyum sendiri membayangkan jika nanti saatnya Kia akan ikut bersamanya.Lamunan Sari buyar saat mendengar suara dering ponsel milik Damar. Buru-buru lelaki itu menjawab panggilan telepon untuknya."Ya, Bu?"Rupanya sang ibu yang menghubungi Damar. Sari tak ingin menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Ia sendiri memilih untuk mengutak-atik ponsel miliknya sendiri."Aku tanya dulu ya, Bu. Bisa jadi dia sedang lelah. Kami baru saja pulang setelah berbelanja."Sari jadi merasa bahwa Damar dan ibunya tengah membi
Wajah Hesti seketika berubah cemberut saat Lian membentaknya di depan umum. Dalam hati, Hesti semakin merasa bahwa ia harus segera membalas dendam pada Lian.Setelah membentak Hesti, Lian berlalu menuju bagian baju anak perempuan yang tadi disambangi oleh Sari dan Damar.Saat ini, Sari sudah berpindah tempat. Mungkin sedang mencari barang-barang lain yang ingin ia berikan pada putrinya.Seketika Lian menelan ludahnya kasar saat melihat harga yang tertera pada baju tersebut.Itu baju yang hampir sama dengan yang Sari ambil tadi. Lian tidak menyangka jika baju anak-anak seperti itu harganya bisa mencapai lima ratus ribu.Ia jadi teringat masa dimana Sari meminta uang pada Lian untuk membelikan baju untuk anaknya itu karena baju-baju milik Kia sudah banyak yang tak muat."Eh, buat apa uang itu, Lian?" tanya bu Tri saat Lian menyerahkan uang senilai dua ratus ribu pada Sari.Padahal, Sari sudah merasa sangat senang karena ia akan pergi ke pasar guna membelikan anaknya itu baju baru."Buat
Hari cepat sekali berganti. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Lian. Akhirnya, perceraiannya dengan Sari pun sudah sah secara hukum negara. Tuntutan Sari akan harta gono gini juga terkabul. Dalam waktu dekat, Lian harus menjual rumah itu agar hasil penjualan bisa ia bagi dengan Sari. Atau, jika Lian masih ingin mempertahankan rumah itu, Lian harus membayar separuh harga rumah pada Sari. Dan tentu saja Lian tak punya uang untuk itu.Berbeda dengan yang Sari rasakan. Selain perasaan lega karena kini statusnya sudah jelas, Sari juga merasa lebih baik karena tak ada lagi ikatan yang menyambung dirinya dan juga keluarga Lian selain Kia.Namun, Sari berjanji untuk tidak menciptakan permusuhan di antara keduanya. Bagi Sari, yang terputus darinya dan Lian hanyalah status suami dan isteri. Tapi, untuk menjadi orang tua Kia, mereka tetaplah berada di posisinya masing-masing."Udah, sih, Mas. Ikhlasin aja rumah itu. Toh, kamu bilang kalau bangun rumah itu pakai uang mbak Sari juga, kan? Berart
Sari dan Damar saling berpandangan. Merasa sia-sia kebohongan yang mereka buat untuk mengelabuhi orang tua Damar."Ibu gak lagi becanda, kan?"Ibu dari Damar itu tertawa. Sesekali menepuk pundak sang suami karena merasa lucu, sebab sudah berhasil menipu anaknya sendiri."Ya enggak, lah, Damar. Namira itu memang saudara jauh kita. Tepatnya, dari keluarga ayah kamu. Ya, kan, dari dulu kamu jarang kumpul sama keluarga dari ayah kamu. Kebetulan juga, Namira kuliahnya di luar negeri, dapat beasiswa kuliah di China."Damar hanya bisa menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Gara-gara ia yang tidak terlalu dekat dengan keluarga ayahnya, apalagi saudara jauh, ia jadi mudah ditipu."Tapi gak apa-apa ya, Pak. Kita nipu kamu juga ada hasilnya, kan? Sekarang, akhirnya kamu pulang bawa perempuan juga. Seneng Ibu rasanya, Mar.""Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian berhubungan?" Ayah Damar yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suaranya.Sari melirik ke arah Damar, seakan menyuruh
"Ya gak usah ditanya lagi, lah, Hesti. Kalau bukan pelakor, apa namanya? Wong kamu sama Lian aja udah jalan bareng sebelum mereka sah bercerai," ucap bu Rasti membuat Hesti mengeram marah. Tapi, ia tidak ingin merusak imej sebagai seorang bidan jika harus marah-marah di depan umum."Tapi gak apa-apa, sih. Secara tidak langsung, kamu sudah menyelamatkan Sari dari mertua toksis macam bu Tri. Siap-siap aja kamu nanti, kalau gak kuat, langsung lambaikan tangan aja, ya. Jangan sampai gila kaya si Sari."Ketiga ibu itu tertawa bersama-sama. Merasa diolok-olok, Hesti sudah tak kuat terus berlama-lama disana."Ini Bu bidan, kembaliannya," ucap pemilik warung seraya menyerahkan beberapa lembaran uang pada Hesti.Tak ingin berlama-lama mendengar celotehan para ibu, Hesti lantas segera menaiki motornya dan segera pulang menuju rumah."Huuu ... malu, kan, dia. Makanya buru-buru pergi, tuh!""Iya. Profesinya mulia banget, tapi kelakuan orangnya gak ada mulia-mulianya. Ya udah yuk, Ibu-ibu, kita la
Lian berkata dengan suara yang cukup keras hingga mengambil alih atensi orang-orang yang semula sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Kini, nyaris semua pasang mata tertuju padanya. Sari hanya bisa melongo melihat apa yang sudah Lian lakukan di tempat umum seperti ini.Sari bangkit, diikuti dengan Damar yang ada di belakangnya. Lian masih menatap tajam ke arah Sari dan secara bergantian menatap ke arah Damar."Mas, apa yang kamu lakukan? Malu didengar orang, Mas!" desis Sari yang jujur saja merasa sangat malu."Kamu malu karena kamu merasa sudah memiliki laki-laki lain sebelum kita resmi bercerai, kan? Kalau aku, untuk apa malu? Aku mengatakan hal yang benar."Sari hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Lian. Kedua mata Sari terasa makin lembab mengingat laki-laki di hadapannya, yang dulu pernah begitu ia damba, kini berubah menjadi laki-laki tak berperasaan."Biarin aja kenapa, sih, Lian. Bener kata kamu, tuh. Dia malu karena orang-orang jadi tahu kalau dia itu perempu
Sari tergagap. Meski sedari tadi hal itulah yang ada di dalam pikirannya. Tapi, ia benar-benar tidak menyangka jika Damar akan mengatakan hal itu."M-mas, ka-kamu becanda, kan?"Damar berdehem singkat, ia pun membetulkan posisi duduknya yang tadinya condong ke depan."Tidak, Sari. Untuk yang kedua kalinya aku meminta kamu untuk jadi kekasihku. Tapi, kali ini tolong jangan tolak aku. Aku hanya ingin meminta bantuan kamu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Maksudku, aku minta kamu untuk jadi pacar pura-puraku."Rasanya jantung Sari nyaris terlepas dari tempatnya. Akhirnya, ia bisa bernapas lega saat Damar mengutarakan niat aslinya untuk menjadikannya seorang kekasih."Maaf, Mas. Tapi, untuk apa?"Sari merasa banyak berhutang budi pada Damar. Jika memang diperlukan dan sangat mendesak, Sari mungkin bersedia menjadi pacar pura-pura Damar. Tapi, tentu saja Sari perlu tahu apa alasannya."Ibuku terus mendesak agar aku segera menikah, Sari. Kamu tahu sendiri, tahun ini usiaku sudah
Sari refleks mendorong tubuh Lian hingga laki-laki tersebut terjatuh dan beruntung, tepat di belakang Lian adalah ranjang dengan ukuran besar. Jadi, tubuhnya hanya terhempas ke atas empuknya kasur."Akh!" Sari memekik sebab bu Tri menarik tangannya dengan kasar. Tak lupa bu Tri juga mencengkeram erat pergelangan tangan Sari hingga wanita itu meringis kesakitan."Buat apa kamu masuk ke kamar ini, wanita gila?!" bentak bu Tri tepat di depan wajah Sari.Kia yang ketakutan langsung memeluk tubuh sang ayah yang kini sudah terduduk. Lian masih sesekali meringis sebab lukanya yang memang terasa nyeri."Bu, Ibu salah paham," ucap Lian mencoba memberi pengertian pada ibunya."Jadi ini pilihan kamu, Mas? Kamu mau pernikahan kita batal, iya?"Ternyata, bu Tri tak datang sendirian ke rumah Lian. Di belakangnya, ada Hesti yang kini menatap nyalang pada Lian dan Sari secara bergantian."Jangan, Hesti! Ibu yakin, ini semua pasti gara-gara wanita gila ini. Pasti Sari yang sudah menghasut Lian agar me
"Sekarang, Kia cerita sama Ibu. Tante Hesti itu jahat gimana sama Kia?" Sari ingin tahu lebih dalam tentang sifat asli Hesti di depan Kia.Mungkin, jika di depan orang dewasa, Hesti akan menjaga sikap. Tapi, di depan anak-anak, biasanya seseorang akan terlihat sifat aslinya."Tante Hesti suka marahin Kia kalau Kia pakai bajunya gak bagus. Katanya Kia kaya Ibu, kampungan. Terus, kalau lagi makan sama-sama ayah, Kia gak boleh minta makanan yang Kia suka. Pokoknya, harus nurut sama tante Hesti. Apalagi kalau gak ada ayah, Kia pernah dicubit gara-gara Kia gak mau habisin makanan Kia."Sari menghela napas berat. Ia tak pernah membayangkan Jika anaknya akan diperlakukan secara kasar oleh orang lain.Selama dalam asuhannya, Sari sebisa mungkin untuk tidak berteriak di depan anaknya. Tapi, justru orang lain yang melakukannya."Ibu, memangnya bener ya, kalau tante Hesti mau jadi ibunya Kia?"Pertanyaan yang sulit untuk Sari jawab. Setahunya, Lian dan Hesti memang sudah merencanakan pernikahan.