"Sampai detik ini, saat Oma melihatnya, rasanya Oma mau menangis," wanita paruh baya itu mengusap pipinya yang basah. "Dia anak yang baik, meskipun dia terlihat baik-baik saja di luar, tapi di dalam hatinya ada banyak hal yang ingin diungkapkan," ucapnya lagi melirik yang paling muda.Hingga yang dilirik memeluk yang paling tua dari belakang, "Oma, bagaimanapun dia, tapi yang kita lihat saat ini, adalah seorang Ducan yang kuat," wanita itu menyemangati."Kamu jangan tinggalkan Ducan ya?" senyum si Oma menatap wanita itu lembut.Menarik pelan wanita di belakangnya, menghadapnya, Hanisa yang melihat wanita paruh baya itu tampak masih bersedih, perlahan mengusap air mata si Oma seraya memberikan senyum."Oma, jangan menangis lagi ya, sekarang aku adalah istrinya Ducan," ucapnya tersenyum memegangi tangan wanita paruh baya itu, "dan aku janji sama Oma. akan merawatnya," ucapnya lagi dengan senyuman membuat yang paling tua merasa tenang.Kemudian wanita paruh baya itu memeluk Hanisa eratny
"Tidak apa-apa, saya senang bisa membantu kamu," ucap Robert pada wanita yang bingung melihat si atasan terniat sekali menjemputnya.Padahal jika bisa dibilang wanita itu adalah karyawan baru di perusahaannya.Dan sebagai karyawan dan atasan mestinya itu menimbulkan pertanyaan bagi siapapun yang melihatnya.Kecuali, kalau bukan ada sesuatu di antara mereka.Sedangkan di sisi lain ternyata beberapa menit tadi pria yang telah menjadi suami wanita itu telah memperhatikan mereka.Dari jarak yang jauh, di lantai dua dengan jendela kaca yang panjangnya menyusuri batas dinding ruangan itu.Si pria memperhatikan mereka dengan ekspresi yang tampaknya ada kekesalan di hatinya.Dan dengan wajah kesalnya, pria itu pun pergi berjalan menghampiri keduanya dengan sigapnya."Kalau begitu, yuk," ucap Robert memperhatikan wanita itu, kemudian wanita itu pun melangkahkan kakinya berusaha menaiki mobil pria itu.Namun saat wanita itu ingin melangkah, tiba-tiba langkahnya terhenti karena sebuah genggaman
"Dia adalah Robert," ucap Ducan Tampa memandang orang yang diajak bicara, "setelah semua yang terjadi, dia tidak bisa dipercayai begitu saja," ucap pria itu lagi, mengalihkan pandangannya pada Tony."Tuan, saya sudah menyelidiki Tuan Robert beberapa hari ini setelah mengetahui bahwa kejadian masa lalu ada hubungannya dengan keluarga Town. Saya menyelidikinya," Tony sesekali menoleh kepada Ducan di belakangnya seraya mengendarai mobil itu."Beberapa hari ini, Pak Robert sering mengantar pulang Nyonya Hanisa, Tuan," ucap Tony lagi.Sontak hal itu membuat yang dibelakang berubah ekspresi, terlihat kesal namun juga penuh arti."Tetap awasi pria itu," Ducan lagi.*"Hanisa," ucap Ducan menghampiri wanita yang baru tiba dari pekerjaannya, yang telah lama ditunggunya sejak tadi di dalam kamar.Entah mengapa, tapi ini pertama kalinya pria itu menunggu si wanita dari pekerjaannya. Namun jika dilihat-lihat, dari ekspresinya, si pria tampaknya serius.Hingga si wanita yang melihat itu tampak bin
"bodoh! APA YANG KALIAN LAKUKAN, SAMPAI DIA BISA MELARIKAN DIRI." ucap Ducan membuat orang-orangnya merasa takut dan merasa bersalah. Berfikir bahwa mereka gagal menjalankan perintah tuannya. "Maaf, tuan kami sudah berusaha mencarinya kemana- mana tapi kami tidak berhasil," ucap seorang pria berbadan tinggi tegap, berbicara tunduk. Sedangkan yang mendengar menghela nafas tak habis pikir. Bagaimana bisa penjaga sebanyak ini bisa kehilangan satu orang tawanan pikirnya. Namun karna tak bisa berbuat apa-apa pria itupun hanya bisa pasrah dan berkata. "Tony, cepat urus semua yang sudah kita bicarakan," pria itu menghadap Tony di sebelahnya, "sedangkan kalian cepat cari dia lagi, beritahukan setiap penjagaan yang ada di hutan ini," ucap Ducan lagi pada semua penjagaannya. "Tuan, apa yang harus kita lakukan lagi?" ucap Tony. "Untuk sekarang lakukan saja yang kita bicarakan kemarin, karna besok aku akan bulan madu," ucap Ducan sambil berjalan. Hingga Tony yang mendengarnya tiba-tiba h
"Hallo, nama saya Hanisa," senyum manisnya. "Wow, kamu sangat cantik. Extraordinariamente hermosa," wanita Spanyol itu terus memberi pujian pada Hanisa. Saking terpesonanya, ia bahkan memuji menggunakan bahasa Spanyol, tanpa sadar. "Oh, terima kasih banyak, kamu juga sangat cantik. Extraordinariamente hermosa," balas Hanisa dengan senyuman. Hanisa juga membalas pujian wanita itu menggunakan bahasa Spanyol. Ketika Hanisa mengucapkan kata terakhir yang sama dengan wanita Spanyol itu, wanita tersebut terkejut. Dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan, meskipun beberapa kalimat dalam berbagai bahasa mungkin ada yang mengetahuinya. Tapi tidak dipungkiri, wanita Spanyol itu juga penasaran. Apakah dia bisa berbahasa Spanyol? Pikirnya. Namun, tidak ingin mengambil pusing, wanita Spanyol itu langsung bertanya. "Vaya, ¿puedes hablar español?" penasaran, wanita Spanyol itu bertanya apakah wanita itu bisa berbicara bahasa Spanyol. Tentu Hanisa menjawab, "Sedikit," dengan meng
"She is my wife, Mr. Agusto Calvino," kehadiran Ducan yang tak terduga, mengatakan bahwa wanita yang sedang diajak pria Spanyol itu berbicara adalah istrinya.Dan dengan pasti, Ducan pun melepaskan tangan pria Spanyol itu dari lengan Hanisa pelan."Hahah, tuan Ducan, apa kamu becanda? Dia terlihat serius," ucap si pria Spanyol tertawa, sesekali memperhatikan Ducan dan Hanisa, tak menyangka dan tak percaya pikirnya pria ini pasti becanda. Sedangkan wanita disebelah mereka hanya bisa terdiam heran."Saya tidak bercanda, tuan Agusto Calvino," seriusnya.Hingga membuat tegang suasana. Hanisa yang tahu dan melihat tegangnya suasana, ia pun berusaha untuk mencairkannya."Ehh, tuan Ducan, aku tahu kau pasti terkejut, tapi ternyata tuan Gusto bisa bahasa kita," ucap wanita itu meyakinkan dengan tawa kecil yang dibuat-buat agar memecah ketegangan. "Hahaha."Namun, namanya juga Ducan, ia tidak akan begitu mudah untuk meredakan ekspresinya. Namun, ia juga sadar bahwa ia tidak bisa kasar bicarany
"Ducan, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" ucap wanita itu, namun tidak direspon oleh si pria, yang masih tenggelam dalam pikirannya, mencari cara untuk membuat si Oma tidak terlalu terfokus pada bulan madu mereka, yang mana saat ini keduanya masih berada di dalam ruangan pribadi mereka. Namun, pada saat keduanya tengah berfikir untuk membuat rencana kedua, tiba-tiba seorang pria bertubuh tinggi, berkulit putih, hidung mancung datang menghampiri mereka. Tok-tok... "Permisi, tuan dan nona Hanisa," ucap pria itu setelah membuka pintu kamar keduanya, yang tak lain adalah Tony. "Ada apa?" ucap Ducan yang sedari tadi beracak pinggang, masih memikirkan seribu cara untuk menolak Oma. Bagi Ducan, sangat sulit rasanya untuk membantah perkataan Oma kesayangannya itu. Ya, benar saja, meskipun ia adalah tipe pria yang tidak suka diperintah, namun untuk wanita yang satu ini adalah pengecualian baginya. Karena memang dari dulu sampai sekarang, Oma yang selalu peduli dan mau me
"Akhirnya, Oma sangat senang kalian bisa pergi berbulan madu. Jangan lupa, bawa cucu ya," ucap wanita paruh baya menggoda keduanya. Yang mana, saat ini ketiga orang itu telah berada di depan pintu utama kediaman keluarga Alexan. Sedang menunggu mereka untuk keberangkatan keduanya, yang akan pergi berbulan madu, juga ditemani oleh sekretarisnya, Tony, sebagai bodyguardnya. "Baiklah Oma, kalau begitu kita pergi dulu ya," ucap Ducan seraya memegang dua koper di sampingnya yang berwarna ungu dan hitam. Sementara di sisi lain, wanita dengan gaun lengan panjang berwarna putih di bawah lutut itu tampak sangat pasrah dengan semuanya. Karna meskipun kini wanita itu memberontak tidak terima. Tapi hal itu tidak akan ada gunanya, karena selain melakukan ini untuk kebahagiaan wanita paruh baya itu, ternyata Hanisa juga melakukannya karena ancaman si pria yang akan memaksanya untuk membayar utang jika tidak menurutinya. "Hufff," helaan nafasnya setelah membayangkan ucapan pria itu yang te
Di ruangan yang tertutup tanpa cahaya, seorang pria berjambang tipis terbaring dengan pakaian serba hitam tanpa alas. Pria itu tampak terluka setelah mendapatkan pukulan dari beberapa penjaga yang ada di gedung itu. Gedung yang berdiri sendiri di tengah hutan yang lebat. “Sial, kurang ajar kau, Ducan,” umpatnya setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah Ducan, yang tak lain adalah Hendri, orang yang kemarin disekapnya. “Aku sudah katakan, Hendri, jangan menolakku. Aku paling benci ditolak. Kau tahu kan, istrimu saat ini ada bersamaku beserta putramu.” “Jadi, jika kau masih ingin melihat mereka, maka lakukan saja apa yang aku katakan,” ucap Ducan penuh penegasan. “Ck, dari dulu kau memang brengsek. Kau selalu menggunakan kelemahan seseorang setiap kali membutuhkan sesuatu dari orang itu.” “Aku tahu itu,” jawab Ducan dengan enteng. “Sekarang katakan, apa kau mau mengikuti perintahku? Atau… kau mau melihat mayat anak dan istrimu?” tanya Ducan lagi. Pria itu tidak menjawab
Waktu terus berjalan, jam menunjuk pukul 07.30 pagi. Hanisa terbangun dari tidurnya, setelah ia memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, mengingat semalam ia menangis karena teror yang membuatnya terpukul.Ducan masih saja terlelap dengan pakaian kerja, kemeja putihnya. Hanisa menatap lekat-lekat wajah pria yang telah menjadi suaminya itu. Ia tak menyangka bahwa semalaman ini ia tertidur di pelukan Ducan dan memeluknya begitu erat, sampai tidak ada jarak di antara mereka.Sehingga Hanisa bisa dengan jelas menatap wajah pria itu. Wajahnya yang tampan dan berkarisma benar-benar membuat Hanisa gila. Betapa tampannya.Meski dalam tidur saja ia bisa terlihat sangat tampan dengan rambut teracak dan wajah sayu yang tampan. Pria itu tidak sempat mengganti pakaiannya karena ia tidak ingin meninggalkan Hanisa dan membuat wanitanya terbangun karena pergerakan yang Ducan lakukan. Karena itu, Ducan tidak menggantinya hingga matahari terbit."Dia, dia yang menemaniku sepanjang malam ini
"Ducan," peluk Hanisa sebelum pria itu bisa membenarkan posisinya, menangis di pelukan Ducan sambil tersedu-sedu. "Tolong jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya ada yang mengirimkan sesuatu seperti itu padaku. Aku takut," tangisnya yang tak henti. Ducan yang melihat itu seketika merasakan ada sesuatu yang terkoyak di dalam dirinya. Entah mengapa, tetapi yang pasti, di dalam lubuk hati Ducan yang paling dalam, ada suara keras dalam hatinya yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa ia sama sekali tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada Hanisa, meskipun itu hanyalah hal kecil. Ducan hanya bisa terdiam membiarkan Hanisa memeluk erat dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata melihat kondisi Hanisa yang sangat terpukul karena teror itu, dan hanya bisa pasrah. Kemudian, ia mengelus lembut puncak kepala Hanisa. "Aku tidak akan pergi, tenanglah. Aku di sini bersamamu. Jangan khawatir," ucap Ducan menenangkan Hanisa. Hanisa sedang tidak berpikir apa-apa. Ia hanya terus berdiam di dalam pelukan Du
"Ada apa, Tuan? Apakah Anda percaya akan ucapan orang sialan itu?" ucap Tony setelah melihat reaksi wajah Ducan yang berbeda. "Tidak, bukan itu, Tony. Aku hanya merasa bahwa apa yang orang itu katakan tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah." "Maksud Tuan?" tanya Tony penasaran setelah mendengar ucapan tuannya yang penuh teka-teki. "Aku hanya merasa kalau orang ini ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu, tapi aku tidak tahu apa itu. Awalnya, aku kira orang ini hanyalah orang biasa yang disuruh untuk menerorku saja." "Tapi setelah ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku tak percaya, sekarang aku yakin dia bukanlah orang biasa." "Selama ini kita sudah salah menilainya," ucap Ducan lagi. "Iya, Tuan, Anda benar. Selama ini kita salah mengenalnya. Awalnya, saya juga mengira begitu, tapi setelah mendengar semua ucapannya, sekarang saya juga yakin." "Ini, Tuan, coba lihat ini. Beberapa hari ini saya telah menyelidiki tentang Hendri ini," ucap Tony lagi s
"Bagaimana dengan ini?" ucap Ducan, menyuruh anak buahnya untuk membawa seseorang ke hadapan mereka."Apa kau masih mementingkan bosmu itu?" Ducan menunjuk pada wanita yang agaknya berusia 25 tahun, yang tak lain adalah istri pria itu."Dasar bajingan kau, Ducan!" umpatnya meludah, dengan bibir yang masih berdarah. Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Ducan. Ia malah tersenyum licik dengan penuh kemenangan; orang yang selama ini berusaha membunuhnya telah kalah telak dan tak bisa melarikan diri lagi.Tapi itu bukan berarti ia akan terjamin keselamatannya. Selama musuh dari musuh ke musuhnya masih hidup dan mengganggu ketenangan keluarganya, ia akan tetap waspada dan tidak buta diri akan hal ini."Sekarang katakan, siapa orang yang menyuruhmu?" ucap Ducan dengan nada sedikit tidak sabar, melihat orang di depannya tampak ragu-ragu untuk menjawab."Cepat katakan, atau..." ancamnya sambil menyodorkan pistol ke kepala wanita yang sedang pingsan akibat bius yang Ducan berikan."Iya. Baik, b
"Mau ke kamar mandi," jawabnya berbicara dengan mulut yang tidak terlalu lebar, yang diangguki Ducan, percaya.Ducan kemudian memperhatikan Hanisa berjalan sampai memasuki kamar mandi, tampak perhatikannya.Hingga sampai di depan pintu kamar mandi, Hanisa pun dengan cepat menutup pintunya.Dan..."Aaaa...," teriak Hanisa, menutup mulutnya agar tidak terlalu sakit dan terdengar oleh Ducan. Dia melompat-lompat kecil tak percaya, kalau tadi ia baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Ducan, yang hampir saja ketahuan karena kecerobohannya."Bodoh! Bodoh kau, Hanisa. Kenapa kau bisa-bisanya membayangkan hal-hal yang seperti itu bersama dia? Kenapa?" gerutunya kesal."Apa tadi dia tahu kalau aku sedang memikirkannya?" serunya menatap diri dalam cermin. "Hufff... ini benar-benar membuatku gila. Apa yang harus kukatakan padanya? Dan... apa yang dia pikirkan tentangku saat ini?""Apa dia tahu? Tidak. Aku rasa dia tidak akan tahu apa yang aku pikirkan tadi," ucapnya meyakinkan diri,
"A... aku? Aku... aku tidak apa-apa," ucapnya terbata-bata, terlihat canggung melihat Ducan yang tadi jauh di sana kini sudah berada tepat di depannya. "Kau yakin?" ucap Ducan memperhatikan dengan pasti. "Umm," dehemnya, menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan Ducan. "Ya sudah, kalau begitu. Ayo," ucap Ducan kemudian mengajak Hanisa menuju lift lantai kamar mereka. Hingga tak lama, kedua orang itu pun kini sampai di lantai kamar mereka. Sampai saat ini, Hanisa masih saja tak berkutik untuk mengeluarkan suaranya karena merasa canggung kepada pria yang dipeluknya, mengingat kejadian saat di gedung tadi. Ia kemudian hanya bisa keluar, menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun. "Hanisa," seru Ducan lagi hingga membuat Hanisa tersentak dari pikirannya. "Iya," jawabnya sambil menoleh pada Ducan yang membuatnya harus mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka, yang masih berada tepat di depan pintu lift itu. "Malam ini, aku ingin kau tidur di kamarku," serunya yang membuat Hanisa t
"Kau!" Bugh! Pria itu tersulut emosi, kemudian menampar wajah Hanisa hingga pipi wanita itu memerah. Bahkan, karena kerasnya pukulan itu, sapu tangan yang diikatkan ke mulutnya terlepas. "Jangan coba-coba memancing emosiku jika tidak ingin aku memukulmu lebih keras lagi." "Mengerti?" ucapnya lagi, memberikan peringatan. Namun Hanisa masih mengabaikannya, padahal kini sudut bibirnya terluka. Namun, diabaikannya karena rasa sakit yang dialaminya tidak sebanding dengan keinginannya untuk bebas dari sekapan pria itu. "Lepaskan aku! Lepaskan!" teriaknya. "Sebenarnya, kau mau apa dariku?" tanya Hanisa, menuntut penjelasan. "Aku? Mau apa?" ucapnya. "Aku mau kau. Aku mau hidup dan matimu," ucapnya lagi dengan nada yang begitu menyeramkan menurut Hanisa. "Maksudmu?" tanyanya bingung dengan wajah ketakutan sebab pria itu kini menatap dirinya, seakan ingin melakukan sesuatu pada wanita itu. Kemudian, pria itu mengeluarkan benda tajam dari dalam pakaiannya dan mendekat. "Mau apa kau? Ha?"
"Kau?" ucap wanita itu ketika ia melihat seorang pria berdiri di hadapannya tertunduk dengan topi berwarna hitam. "Siapa?" ucap wanita itu lagi ketika ia melihat sesosok pria yang ia pikir Ducan ternyata bukanlah Ducan. Kemudian pria itu pun menegakkan kepalanya sehingga si wanita bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. "Sedang mencari siapa ya?" ucapnya lagi yang sedikit agak takut karena tampang pria yang di depannya agak sedikit mencurigakan. "Saya mencari kamu," ucap pria tak dikenal itu dengan nada sedikit berat dan menakutkan yang membuat si wanita agak sedikit takut, namun ia masih berusaha tenang. "Maaf, tapi sepertinya Anda salah orang," ucap wanita itu lagi, karena menurutnya selama ia di Prancis, ia tidak pernah sekalipun berhubungan dengan pria manapun selain dengan Ducan dan sekretaris pria itu. Kemudian karena takut dan merasa orang ini ingin berbuat jahat padanya, wanita itu pun dengan cepat langsung ingin menutup pintunya. Namun gagal karena pria itu dengan cepa