"Nona, sebentar!" ucap pria yang berada didalam lift tadi, sambil tangannya meraih lengan Gisa.
Gisa mengerutkan keningnya bingung, sambil mencoba melepaskan tangan si pria tersebut.
"Oh, sorry!" ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.
Pria tersebut mengambil saputangan dari dalam saku celananya, kemudian dia berjongkok. Dililitkan sapu tangan tersebut pada pergelangan kaki Gisa yang terluka. "Sebaiknya nona periksakan luka nona ke rumah sakit!" lanjutnya.
Setelah berucap demikian, dia langsung pergi menaiki mobil mewah berharga fantastis, yang sedang menunggunya di depan lobi, sebelum Gisa sempat mengucapkan terima kasih pada pria tersebut.
Gisa hanya mematung sambil melihat ke arah pria yang sudah menjauh tersebut. "Terima kasih! Setidaknya, masih ada orang asing yang mau peduli dengan wanita ini," lirihnya pelan.
***
Saat ini Gisa tengah berada di dalam sebuah taxi yang akan membawanya menuju rumah sakit. Dia menyandarkan kepalanya pada jok mobil, dengan mata yang terpejam. Jangan tanya bagaimana keadaan hatinya saat ini!
Gisa meraih hand bag yang ia letakan di sebelahnya, saat suara nyaring telepon genggam berbunyi dari dalam sana.
"Iya Dokter? Apa terjadi sesuatu dengan bibi saya?" tanyanya lirih, saat nama Dokter Riadi, terpangpang di telepon genggam miliknya.
"Sebelumnya, saya ingin memberitahu Nona, kalau batas waktu untuk operasi pemasangan ring pada jantung bibi anda, adalah minggu ini. Dokter yang akan melakukan operasi, pada Minggu depan akan kembali ke Jerman. Untuk lebih lanjutnya lagi, saya tunggu Nona di ruangan saya besok pagi!" jelas dokter Riadi yang merupakan dokter jantung yang menangani Serravina, bibi dari Gisa.
"Baik Dokter. Sebelum pergi bekerja, saya usahakan untuk menemui Dokter terlebih dahulu," terangnya.
Gisa menarik nafasnya dalam. Saat ini, dia harus memutar otaknya untuk mendapatkan biaya operasi bibinya yang tidak sedikit tersebut. Sang kekasih, yang menjadi harapan Gisa satu-satunya malah berkhianat.
Gisa meringis saat kakinya terasa perih. Terlalu banyak yang Gisa pikirkan sehingga dia melupakan luka yang ada dipergelangan kakinya.
Gisa melihat saputangan biru dongker yang membalut lukanya. Diusapnya saputangan tersebut dengan lembut. Ujung dari saputangan itu, terdapat bordiran bertuliskan "C, D, G".
Gisa menepuk bahu sang sopir pelan. "Pak, tolong berhenti di klinik terdekat," pintanya lembut pada pria paruh baya yang tengah mengemudikan taxi tersebut.
"Baik neng, kebetulan tidak jauh dari sini ada klinik yang buka 24 jam," jelas sang sopir taxi.
Taxi yang Gisa tumpangi berjalan membelah jalanan ibu kota yang sepi petang ini.
Belum sampai setengah jalan, telepon genggam milik Gisa, kembali berdering. Kali ini nomor yang tidak di kenal yang memanggilnya. Gisa mengerutkan keningnya bingung. Dia merasa tidak pernah menghubungi nomor tersebut.
"Siapa?" tanyanya sambil melihat kembali nomor yang berjejer di layar.
"Apa mungkin, Bik Minah?" tanyanya pada diri sendiri. "Dean ...," gumamnya pelan menyebutkan nama seseorang, saat ingatannya tertuju pada Bik Minah tetangganya.
Gisa segera mengangkat panggilan tersebut dengan tergesa. "Halo," jawabnya.
"Nirwasita Gistara Savrinadeya?" tanya seorang pria bersuara serak dan berat menyebutkan nama lengkap Gisa.
Gisa mengerutkan keningnya, semakin bingung dengan si penelepon. Siapa dia sampai hapal nama lengkap Gisa, pikirnya.
"Iya," jawabnya singkat.
"Anda ditunggu di Rumah Sakit Queen Elizabeth sekarang! Jangan sampai telat jika Anda, masih ingin bekerja di Perusahaan Ganendra!" Ancamnya.
"Ta-tapi ... " jawab Gisa terbata. Namun panggilan tersebut sudah terputus. Gisa menghembuskan nafasnya kasar.
"Menyebalkan! Dia seenaknya saja memerintah," gerutu Gisa dalam taxi membuat sang sopir tersenyum geli melihat wajah Gisa yang berubah-ubah.
"Pak, putar balik! Kita pergi menuju Rumah Sakit Queen Elizabeth. Cepat ya, Pak." Pinta Gisa pada sang sopir. Gisa menggagalkan rencananya untuk ke klinik dan lebih memilih pergi ke rumah sakit. Jangan sampai Gisa dipecat. Dia masih membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi kehidupan orang-orang tersayangnya.
"Baik, neng," jawab sang sopir.
Pak sopir menancap gas agar cepat sampai di tempat tujuan. Kebetulan petang ini jalanan sepi.
Gisa sampai di Rumah Sakit Queen Elizabeth. Dia menghabiskan 20 menit di jalan dari seharusnya 35 menit.
Di pintu masuk sudah ada Abhinav, yang sedang menunggu kedatangan Gisa. Dia melambai ke arah Gisa. Gisa menengok kiri dan kanan untuk melihat siapa yang Abhinav sapa. Saat kiri dan kanan Gisa tidak ada orang, Gisa menunjuk dirinya sendiri sambil bergumam tanpa suara, "Saya?" tanyanya.
Abhinav mengangguk sambil berjalan kearah Gisa.
"Yu, masuk!" Abhinav mempersilahkan Gisa berjalan di depannya.
"Bapak yang menghubungi saya?" tanya Gisa bingung. Abhinav merupakan atasan Gisa di kantor. Dia cukup populer diantara para pekerja wanita. Bahkan gosip yang berkembang di lingkungan kerjanya, Abhinav adalah CEO di perusahaan tempat Gisa bekerja.
"Nanti saya jelaskan! Sekarang kamu ikut, saya!" jawab Abhi sambil masuk ke dalam lift yang akan membawanya menuju ruang VVIP.
Lift yang mereka naiki sampai di lantai teratas rumah sakit. Ruangan tersebut begitu mewah dengan segala fasilitas yang eksklusif.
Gisa berjalan di depan Abhi, saat Abhi menyebutkan kalau mereka akan pergi menuju ruang VVIP II.
Abhi menatap heran Gisa, saat Gisa dengan lancarnya menemukan ruang VVIP II tempat tujuan mereka.
Bagaimana karyawan biasa bisa tahu tentang ruangan yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang rela menghabiskan 25 juta semalam hanya untuk sewa kamarnya saja dan itu belum termasuk biaya perawatan.
Namun, keingintahuan Abhi ia pendam karena saat ini ada yang lebih penting dari itu semua. Abhi bisa kehilangan segalanya jika telat semenit saja.
Gisa sudah berdiri di depan pintu ruang VVIP II. Dia ragu untuk masuk ke dalam. Gisa berbalik. Posisi Abhi saat ini kurang lebih 6 meter di belakang Gisa. Abhi menyuruh Gisa masuk terlebih dahulu, dengan menggerakan tangannya kedepan seperti gerakan mengusir.
Gisa membalikan kembali tubuhnya, untuk mengetuk pintu. Namun sayang, yang Gisa ketuk bukan pintu, melainkan dada bidang seorang pria.
Gisa meringis. Dia arahkan pandangannya ke atas. Matanya bertemu kembali dengan mata hijau pria yang menolongnya tadi sore. Namun matanya yang sekarang, terlihat jauh lebih dingin dan misterius. Reflek Gisa memundurkan tubuhnya beberapa langkah.
"Kamu?!" pekik Gisa sambil menunjuk wajah si pria.
Terimakasih sudah membaca ❤️❤️ Dukung terus dengan cara masukan buku ini kedalam rak kalian kemudian vote dan beri bintang 5 nya ya 🤗🤗🤗 Sekecil apapun bentuk dukungan kalian, sangat berarti bagi Author ❤️❤️
"Kamu?!" pekik Gisa sambil menunjuk wajah si pria. Si pria tersebut hanya mengerutkan keningnya tanpa menjawab keterkejutan Gisa. "Kalian sudah saling kenal?" tanya Abhinav. Gisa menggeleng pelan. "Dia, Catra Dewantara Ganendra, CEO di perusahaan tempat kita bekerja," bisik Abhinav pada Gisa. "Jadi, bukan anda CEO nya?" tanya Gisa polos yang sukses membuat Abhinav tertawa. Mata Catra menatap tajam Abhi. Gisa sendiri menggigit bibirnya sambil memainkan jari jemarinya gugup. Dia sudah berbuat lancang dengan menunjuk langsung wajah CEO-nya. Catra yang dia temui sore tadi, sungguh berbeda dengan Catra yang ada di hadapannya saat ini. Jiwa kepemimpinannya sungguh mendominasi saat ini. "Abhi, jelaskan tujuan dia dipanggil ke rumah sakit ini!" perintah Catra pada Abhi. "Jadi begini__ kamu, 'kan mmm ... " bingung Abhi. "Ckk," Catra berdecak sambil melayangkan tatapan tajamnya. "Kamu akan mendonorkan darah kamu untuk adik saya yang akan
"Ayo kita menikah!" ajaknya dengan suara serak khas Catra. Gisa menghentikan langkahnya untuk masuk kedalam rumah. Dengan reflek dia berbalik melihat kearah Catra yang masih berdiri tegap dengan wajah arogannya yang mendominasi. Kedua tangan Catra masih tersimpan didalam saku celana kerjanya. Dengan wajah bingung dan matanya yang melotot, Gisa memekik kencang, "Apa?! Anda jangan bercanda, Pak!" ucap Gisa tegas lebih kearah membentak. Namun setelahnya dia merutuki mulut lancangnya yang berani membentak bosnya. "Apa saya terlihat sedang bercanda, hem?" tanya Catra masih dengan wajah arogannya. "Tapi kan, mmm ... ke-kenapa harus saya?" tanya Gisa pelan dengan wajah menunduk. "Kenapa memangnya? Anda sudah mempunyai suami?" tanya Catra kembali. Gisa menggeleng. "Anda sebaiknya mencari perempuan yang jauh lebih sempurna dari pada, saya! Maaf, saya tidak bisa menerima permintaan, Anda!" ucap Gisa pelan. "Saya tidak membutuhkan perempu
"Pada akhirnya, semua laki-laki sama saja. Lihatlah dia yang langsung pergi setelah mengetahui kenyataan kalau aku sudah mempunyai seorang anak," lirih Gisa sambil dia arahkan pandangannya pada mobil Catra yang menghilang di sebuah belokan. "Mami, macuk," ajak Dean sambil menunjuk kearah pintu rumah. Gisa menoleh kearah Dean sambil memberikan senyum hangatnya. "Oke, baby. Let's gooooo ... " Pekiknya sambil berlari kearah rumah dengan posisi Dean dibuat seperti pesawat terbang. Gelak tawa Dean dan Gisa terdengar sampai tempat Catra berhenti. Catra sebenarnya belum pulang. Catra meminta sopir berhenti di tikungan dekat rumah Gisa sambil melihat ke arah Dean yang sedang tertawa bahagia. Dia memegang dadanya yang berdetak cepat. Nafasnya terasa sesak dengan mata yang memanas siap menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Catra keluar dari dalam mobil dengan tangan kanannya merogoh ponsel dari dalam saku celananya. Dia cari nama seseor
Tubuh tegap tersebut masih memeluk tubuh rapuh Gisa. "Maaf, selama 3 tahun ini aku tidak bisa melindungi kamu dan anak kita. Terima kasih sudah bertahan ditengah hujatan dan cacian yang kamu dapatkan dari orang-orang," ucap Catra dalam hati. Ya, laki-laki yang menjadi penyelamat Gisa hari ini adalah Catra. Laki-laki yang bahkan lamaran dadakannya Gisa tolak. Awalnya Gisa pikir Catra akan ikut menghujatnya atau bahkan tertawa puas dengan apa yang Gisa alami saat ini. Mungkin Catra akan berpikir Gisa sedang menerima karma atas penolakannya semalam, pikir Gisa. Namun Catra justru memeluknya, merangkulnya seolah-olah dia berkata semua akan baik-baik saja. Entahlah pelukan tersebut begitu menenangkan. Seperti pelukan seseorang yang Gisa rindukan namun entah siapa Gisa pun tidak mengerti. Dia bawa tubuh rapuh itu kedalam gendongannya. Orang-orang didalam restoran saling melempar pandang dengan seribu tanya dibenak mereka. Bagaimana seorang Catra Ganendra yang
Gisa menyerongkan tubuhnya menghadap Catra yang sedang mengemudi, "Pak, saya menyetujui permintaan Bapak untuk menikah!" ucap Gisa membuat Catra bersorak dalam hati. Catra mengangguk pelan dengan wajah dibuat sebiasa mungkin nyaris tanpa ekspresi. Jangan sampai Gisa tau kalau sebenarnya saat ini Catra tengah bereuphoria merayakan kemenangannya. Kemudian Gisa melanjutkan kalimatnya, "Tapi ... " ucapnya terjeda. Catra mengerutkan keningnya mendengar kata "tapi" yang Gisa lontarkan. "Saya ingin pernikahannya dilakukan di kantor catatan sipil tanpa pesta resepsi," lanjut Gisa. Catra memelankan laju kendaraannya kemudian berhenti di pinggir jalan yang jauh dari keramaian. Catra arahkan wajahnya menghadap Gisa dengan kedua tangan bertumpu pada setir mobil. "Kenapa?" tanya Catra bingung. Gisa menelan ludahnya dengan susah payah saat wajah tampan Catra sangat dekat dengannya. Mata hijau Catra menatap penuh intimidasi. Gisa tidak gentar! Dia melanjutka
Catra masuk kedalam ruangannya disambut kehebohan Abhi saat melihat Catra menggendong Dean. Abhi yang awalnya sedang duduk di kursi kebesaran Catra, langsung berdiri dan berjalan kearah Catra yang datang sambil membawa Dean di pangkuannya. "Wah ... wah ... wah ... " seru Abhi sambil bertepuk tangan. "Benar-benar little Catra. Lihatlah bagaimana cara dia menatap uncle, nya. Sama persis seperti kamu, Catra." Lanjut Abhi saat melihat Dean menatap Abhi dengan tatapan dingin seperti mengintimidasinya. Biasanya anak 2 tahun akan menangis saat bertemu dengan orang baru. Namun Dean berbeda. Dia terlihat sedang memprovokasi lawan bicaranya. Benar-benar gambaran seorang Catra. Wajahnya boleh mirip Gisa, namun segala sifatnya menurun dari Catra. "Ckk ... cepat bilang, ada hal penting apa yang ingin kamu sampaikan?!" tanya Catra sedikit menggerutu pada Abi sambil mendudukan Dean di sofa ruangannya. "Hay boy. Nama kamu siapa?" tanya Abhi pada Dean sambil m
Catra ketar ketir mencari keberadaan anaknya. Ia masuk kedalam toilet, namun nihil Dean tidak ditemukan didalam sana. Catra kemudian berlari menuju restoran. Disana pun tak ditemukan sosok Dean. Catra bertanya kepada orang-orang yang ada di dalam restoran, mereka yang melihat Dean mengatakan kalau Dean keluar dari dalam restoran. Catra mencoba untuk tenang. Dia menelpon salah satu bodyguard yang selalu mengikuti Catra kemanapun Catra pergi. Bodyguard tersebut masuk kedalam mall untuk mencari Dean serta meminta rekaman Cctv dari pengelola mall. Sementara Catra terus mencari di sekitar restoran. Catra sudah frustasi. Bagaimana kalau Gisa tau bahwa anaknya hilang? Catra yakin, Gisa bukan hanya membatalkan pernikahan mereka saja tapi juga akan membunuh Catra. Orang-orang yang tau siapa Catra menatap kagum pria yang terlihat sedang panik itu. "Dean, maaf ... Daddy bahkan tidak becus menjaga kamu!" lirih Catra dengan kedua tangannya ia simpan di pinggang dan kepala
Saat ini Catra tengah berdiri di depan sebuah pintu ruang rawat inap seseorang. Catra menarik nafasnya dalam sebelum masuk kedalam ruangan tersebut. Catra mengetuk pintu pelan. Terdengar jawaban dari dalam ruangan tersebut. Catra masuk dengan disambut tatapan penuh tanya perempuan paruh baya yang tengah berbaring diatas ranjangnya. Saat ini Catra sedang menemui Serravina, yang selama 3 tahun terakhir sudah merawat Gisa dan Dean sang anak. Serravina merupakan adik dari Arsita, mendiang ibunya Gisa. Nama depan Gisa sendiri diambil dari gabungan nama ayah dan ibunya, Nirwan dan Arsita. Catra mendekat kearah Bibi Sera kemudian membungkuk hormat. Bibi Sera mengerutkan dahinya bingung melihat seorang pria yang tidak dia kenal langsung membungkuk hormat padanya. Namun tak urung Bibi Sera pun membalas dengan membungkukkan tubuhnya setelah dia mendudukkan bokongnya diatas ranjang. Serravina dipindahkan pagi tadi atas perintah Catra semalam. Rencananya Catra ak
Saat ini sudah pukul tiga dini hari. Gisa tengah tertidur pulas, ditemani Kayanna dan Abhinav yang tidak di ijinkan pulang oleh Catra. "Anna," panggil Catra sambil sedikit menggoyangkan tubuhnya agar bangun. "Mmmmhhhh ... " gumam Anna pelan. "Bangun!" "Kenapa sih, bang?" kesal Anna yang merasa tidurnya terganggu. "Abang pulang dulu. Kalau ada apa-apa bangunkan Abhi dan langsung hubungi Abang." Kayanna mengucek matanya sambil menatap jam dinding yang ada di ruangan Gisa. "Astaga Abang ... ini pukul tiga dini hari. Kenapa tidak pulang besok saja sih?" "Abang harus pulang sekarang. Besok pagi Abang ke sini sekalian membawa Dean," "Ya sudah. Hati-hati," Anna kembali tidur, sementara Catra pergi menuju parkiran dan pulang ke rumah Gisa. Kurang dari setengah jam, Catra sampai di rumah Gisa sambil menenteng goodie bag berisikan pakaian ganti miliknya. Begitu sampai, dia pergi menuju kamar Gisa kemudian mandi dan berganti pakaian. Setelah di rasa sudah bersih, Catra bergegas pergi me
Catra memasuki ruang operasi lengkap dengan baju steril biru telor asinnya. Walaupun sebagian wajahnya tertutupi masker, namun semua orang tau kalau pria tersebut adalah ayah dari anak yang akan mereka tolong kelahirannya itu. Sesaat para petugas medis membeku, tersihir dengan ketampanan Catra. Tubuh tinggi mendulang, mata tajam dengan bola matanya yang indah. Sungguh, jauh lebih tampan dari pada yang mereka lihat di televisi ataupun surat kabar. "Mom," sapa Catra sambil mengusap dan mengecup kening Gisa. Selanjutnya Catra berdiri di samping kiri Gisa. Gisa yang tengah memejamkan mata, kemudian membuka kedua matanya, kala mendengar sapaan lembut dari sang mantan suaminya itu. Dia berusaha tersenyum, ditengah ketegangannya. "Apa mommy sudah cantik?" tanya nya pada Catra. "Selalu. Mommy selalu jadi yang tercantik," jawab Catra membuat pipi Gisa memerah karena malu. "Daddy serius! Mommy gak mau bertemu baby dengan keadaan yang berantakan!" jelas Gisa. Catra tersenyum. "Tapi Daddy
Dengan segala kepanikan yang terjadi pada semua orang, akhirnya Gisa berhasil dievakuasi menggunakan helikopter yang didatangkan langsung dari kediaman Ganendra. Gisa di bawa menuju RS tempat dokter Rumi bekerja. Sungguh beruntung saat kejadian dokter Rumi ada di sana. Semua acara yang sudah di rencanakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Acara gender reveal, gagal. Lamaran? Tentu saja gagal juga. Bahkan cin-cin lamarannya masih tertanam di dalam kue yang belum sempat di potong oleh Gisa. Ditengah kepanikan semua orang, hanya Gisa lah satu-satunya yang terlihat tenang. Dia sibuk memperbaiki riasan wajahnya, sambil sesekali menenangkan anggota keluarganya yang lain. Gisa memalingkan wajah, menatap Catra yang tengah melipat kedua tangannya. Catra tidak banyak bicara. Dari awal hanya diam, sambil sesekali memperhatikan Gisa. Ditengah diamnya tersebut, semua orang tau kalau Catra tengah diliputi kegelisahan. Catra menutup mata, sambil menghembuskan nafasnya secara kasar. Selanjutny
Acara inti dari pesta Gender reverral akan segera dimulai. Semua tamu sudah berkumpul sesuai team yang mereka pilih. Team biru berdiri di sebelah kanan, dan tim merah muda, berdiri di sebelah kiri. Semua orang terlihat begitu antusias menunggu momen mendebarkan tersebut. Tidak terkecuali dengan Catra yang terlihat cemas, dan tegang. Gisa yang menyadari kegugupan yang di rasakan oleh Catra, lantas bertanya kepadanya. "Daddy, are you oke?" tanyanya. Catra tersenyum, mencoba meredam kegugupannya. Dia mengusap pipi Gisa, "It's oke. Daddy terlalu excited menunggu momen ini," dusta Catra. Pada kenyataannya, dia gugup menunggu momen lamarannya. Dia takut semua tidak berjalan sebagaimana yang sudah Catra bayangkan sebelumnya. Perihal jenis kelamin anaknya, Catra tidak terlalu mempermasalahkannya. Mau yang lahir anak laki-laki ataupun perempuan, dia akan tetap menyambut buah hatinya itu dengan penuh suka cita. "Mom, sebentar. Daddy ke kamar mandi dulu," ijin Catra pada Gisa. Dia perlu menen
Dari lantai atas villa, Gisa turun ditemani Catra yang berjalan di sampingnya. Wajah Catra terlihat tegang, namun tak mengurangi ketampanannya. Dia mengenakan kemeja baby blue, yang bagian tangannya dia gulung sebatas sikut. Sudah tau kan, Catra masuk team mana? Berbeda dengan Catra, Gisa justru menggunakan dress berwarna baby pink. Sebuah dress cantik, bermodel tutu dress, yang panjangnya hanya sebatas lutut. Malam ini, Gisa terlihat manis sepeti seorang balerina. Dia berhasil menjadi pusat perhatian orang-orang yang datang ke pesta. Dari sudut ruangan, seseorang menatap Gisa dengan penuh kerinduan. Dari sudut matanya, beberapa air mata, menetes tanpa seizinnya. "Tos, kita satu team!" celetuk Abhi, saat Gisa sampai di lantai bawah, tempat berlangsungnya acara. Abhi menggunakan kemeja merah muda, sama seperti Gisa. Gisa tersenyum, sementara Catra mendelik sambil berdecak seperti biasanya. "Ckk ... " "Kenapa kak Abhi memilih warna merah muda?" tanya Kayanna yang datang menghampiri
Acara yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besar Ganendra, akhirnya terlaksana. Semua persiapan di lakukan dari jauh-jauh hari. Di usia ke delapan bulan kehamilannya ini, tidak banyak yang Gisa pinta. Cukup sehatkan dan lancarkan sampai saat lahirannya tiba. Namun, pada akhirnya Gisa menyetujui permintaan kakek dari mantan suaminya itu, untuk mengadakan sebuah pesta perayaan kehamilan. Kebetulan jenis kelamin dari anaknya belum di ketahui, Gisa dan Catra memutuskan untuk mengadakan gender reverral party, dengan hanya mengundang kerabat terdekatnya saja. Tujuan kakek Brahmana meminta mengadakan pesta ini, tidak lain sebagai bentuk penebusan dosanya di masa lalu. Saat mengandung Dean, Gisa mengalami banyak penderitaan. Kakek berharap, dengan diadakannya pesta ini, dapat menggantikan memori masa lalu Gisa yang menyakitkan, dengan kenangan penuh kebahagiaan dari orang-orang terdekat dalam menyambut anggota keluarga baru yang sangat dinantikan kehadirannya itu. Acara itu sendiri, diadaka
Dengan wajah menahan kesal, pada akhirnya Catra tetap mengikuti Gisa untuk masuk kedalam hotel. "Kenapa harus di hotel?" pikir Catra dalam hatinya. Tidak jauh berbeda dengan Catra, disepanjang jalan menuju tempat pertemuannya, Gisa pun memasang wajah cemberut. Dia malu dengan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan heran. Bagaimana tidak heran, Gisa mengenakan setelan olahraga dipadukan dengan Stiletto dan tas pesta yang berkilau. Setelah keduanya berjalan di tengah keheningan, akhirnya mereka sampai di tempat yang menjadi tujuan Gisa. Sebuah restoran mewah, di lantai atas hotel. Catra tersenyum kecil, mentertawakan pikiran kotornya sendiri. "Oh ... di sini," celetuk Catra membuat Gisa menatapnya dengan tatapan tajam. "Ya! Menurut Daddy," Gisa mengangkat jari kemudian menunjuk dirinya sendiri. "Apa pantas memakai pakaian seperti ini saat masuk kedalam?" tanya Gisa sinis. "Tidak masalah. Mommy datang dengan piyama pun, tidak akan ada yang berani menegur mommy," jawab Catra denga
Novera sudah berlalu beberapa langkah dari hadapan Catra yang saat ini masih mengumpat, mengutuk Novera, yang sudah menghancurkan kegiatan intim dari bos-nya itu. Novera dengan terpaksa harus kembali ke hadapan Catra, dengan konsekuensi amarah dari bos-nya itu akan meledak kembali, begitu melihat dirinya. "Apalagi sekarang?!" Seperti dugaan Novera sebelumnya, Catra menaikan nada suaranya, begitu melihat Novera kembali. "He ... he ... " Novera tersenyum kaku, sambil tangannya sedikit menggaruk leher bagian belakangnya. "Sepuluh menit lagi kita ada rapat, pak!!" ucap Novera dalam satu tarikan nafas. Dengan cepat Novera membungkuk hormat, dan bergegas pergi sebelum Catra benar-benar mengeluarkan sumpah serapahnya. Catra memejamkan mata, sambil menghembuskan nafasnya secara kasar. Mood dia hari ini benar-benar hancur. Dia sudah cukup lelah, sehingga melupakan rapat yang sudah diaturnya dari jauh-jauh hari. Sebuah tangan lembut, menepuk punggungnya dengan pelan, seakan-akan tengah menen
Sebelum membaca bab ini, harap baca ulang bab sebelumnya. ^^ *** Peletak! Catra menyentil dahi Gisa menggunakan telunjuk dan ibu jari yang dia lipat. "Gila mommy bilang?" tanya Catra. Nada bicaranya sudah lebih lembut daripada sebelumnya. Catra kemudian mengusap kepala Gisa dengan lembut. Tubuh Catra sedikit condong ke depan, menatap manik coklat milik Gisa. "Ya. Sepertinya Daddy memang gila. Daddy gila karena berpisah dengan, mommy," ucap Catra terdengar seperti sebuah gombalan. Sejak kapan seorang Catra yang terkenal dingin, sudi melontarkan gombalannya di tempat seperti ini? Entahlah. Hanya dia dan Tuhan yang tau. Gisa mengerutkan kening, melihat perubahan Catra yang tiba-tiba. "Sepertinya lift ini berhantu. Kenapa si keras kepala ini berubah lembut dalam beberapa saat saja?" batin Gisa berbicara pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak heran, beberapa waktu yang lalu, saat mereka berdua bercerai, Catra terkesan dingin dan tidak ramah dengan Gisa. Tapi saat ini, Catra kembali pad